Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Acara dinner keluarga sudah selesai dilangsungkan. Pertemuan antar dua keluarga itu cukup sukses.
“Kamu tahu nggak, tadi Mami bilang apa?” kata Jonathan kepada istrinya itu. “Tahu!” ucapnya pelan. Jonathan tersenyum tipis. “Kalau nggak mau, belum mau, jangan dipaksa.” Laura tidak menjawabnya. Matanya sudah berat, ingin ditutup dan tak ingin mendengar suara apa pun. Jonathan kemudian menghela napasnya dengan pelan dan kembali melajukan mobilnya agar segera sampai ke rumah. Lima belas kemudian, mereka pun tiba di rumah. Laura segera keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam rumahnya. Tidak peduli dengan Jonathan yang masih di dalam mobil. Ting! Notifikasi pesan masuk di dalam ponsel lelaki itu. Ia baru menghidupkan ponselnya karena tidak ingin ada yang mengganggu saat pertemuan keluarga itu. Tanpa nama: [Kamu di mana? Kenapa nomornya nggak aktif?] Jonathan meghiraukan pesan tersebut. Ia memilih memblokir nomor itu dan kembali melangkahkan kakinya hingga masuk ke dalam rumah. Melihat Laura yang sudah tepar, tertidur di atas ranjang dengan gaun yang masih menempel di tubuh perempuan itu. Jonathan kembali menghela napasnya seraya geleng-geleng kepala. “Kenapa Tuhan memberiku istri unik seperti ini,” gumamnya kemudian melepas sepatu yang masih melekat di kakinya. Mengganti pakaian formal itu dengan mengenakan celana boxer saja. Dadanya ia biarkan telanjang karena sedang ingin mengerjai Laura malam itu. Biar saja perempuan itu kembali berteriak saat melihat dirinya tidur tanpa mengenakan apa pun saat itu. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Laura membuka matanya kemudian menatap langit-langit kamar tersebut. “Bentar, bentar. Perasaan ini kaki berat amat,” ucapnya kemudian menatap ke arah samping. Saat ini, dia tidak kaget lagi atau berteriak. Karena sudah tahu kalau Jonathan pasti akan tidur satu kamar dengannya lagi. “Jonathan, bangun. Kaki kamu ini, berat banget!” Laura mencoba menyingkirkan kaki suaminya yang melilit di atas kakinya. Jonathan membukanya dengan pelan. Saat itu, tatapan mereka begitu dekat bahkan deru napas keduanya saling berembusan. “Kenapa?” tanya Jonathan kemudian. “Kaki kamu, berat.” Laura pun berhasil menyingkirkan kaki suaminya itu dari kakinya. “Heeuuh! Bisa nggak, kalau tidur jangan deket-deket!” Jonathan menyunggingkan senyum tipis. Ia kemudian beranjak dari tidurnya dan merentangkan tangannya. Laura menelan salivanya kala melihat tubuh kekar milik suaminya itu. Begitu indah dan sangat enak dipandang. Namun, kala matanya menangkap sinyal yang berdiri mentereng dengan jelasnya, ia pun menolehkan kepalanya dengan cepat. Membuang muka karena tidak ingin melihat sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia lihat, kecuali melihat milik anaknya Gerald.“Gede banget. Mana muat di liang gue yang kecil mungil imut kayak muka gue ini,” gumamnya seraya merapikan selimutnya. Ia kemudian segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. “Kamu mau sarapan apa? Biar aku siapkan,” kata Jonathan dengan elegannya menawarkan diri menyiapkan sarapan untuk istrinya itu. “Heeuh? Mau nyogok, ceritanya? Buat apa, Pak Jonathan yang terhormat?” kata Laura kemudian menatap datar suaminya itu. Jonathan mengendikan bahunya. “Ya sudah kalau tidak ma—““Roti bakar selai nanas!” ucap Laura kemudian segera masuk ke dalam kamarnya setelah memberi tahu ia ingin sarapan apa di pagi hari itu. Jonathan menyunggingkan senyum tipis. Ia pun keluar dari kamarnya kemudian menyiapkan sarapan untuknya dan juga untuk Laura—istri yang paling unik dan lucu menurut seorang Jonathan yang sedang berbaik hati menyiapkan sarapan di pagi hari itu. Lima belas kemudian, Laura pun keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap sudah ia kenakan. “Emang kamu nggak mau mandi?” tanya Laura kemudian duduk di kursi meja makan. “Selamat makan,” ucap Jonathan dengan suara datarnya. Ia bahkan tidak menjawab pertanyaan istrinya itu. Laura hanya menyunggingkan bibirnya kemudian mengambil roti tersebut dan melahapnya dengan semangat. Perutnya sudah tak sabar ingin segera diisi oleh makanan yang sudah menggoda hidungnya sedari tadi. “Mama kamu bilang, kamu punya asam lambung. Wajib sarapan, dengan apa pun kamu harus makan. Jangan meninggalkan sarapan, makan siang dan makan malam. Aku juga sudah siapkan susu kotak dan sandwich untuk bekal di kampus. Sorry! Baru tahu kalau kamu punya asam lambung.” Jonathan menjelaskan kepada perempuan itu mengapa dirinya langsung inisiatif untuk membuatkan sarapan pagi ini. Rupanya, Kayla memberi tahu bila Laura memiliki asam lambung yang merupakan penyakit yang diturunkan oleh sang mama kepadanya. “Ooh!” Hanya itu yang diucapkan oleh Laura kepada suaminya itu. Jonathan diam. Hanya menatap Laura yang dengan lahapnya memakan roti bakar buatannya. “Aku mandi dulu,” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. “Aku juga mau berangkat. Status kita masih disembunyikan. Hanya sebagian orang saja yang tahu, dan itu pun udah aku peringatkan untuk jangan memberi tahu kepada siapa pun!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya.“Oh! Satu lagi. Thank you untuk roti bakar dan sandiwich-nya.” Laura kembali melangkahkan kakinya keluar dari rumah tersebut. Jonathan menghela napas pelan. “Whatever!” ucapnya kemudian masuk ke dalam kamarnya. Setibanya di kampus. Laura duduk di kursi taman karena jam kuliah diundur ke satu jam yang akan datang. Alhasil, ia tidak punya kerjaan selain melamun sembari meminum susu kotak yang sudah disiapkan Jonathan di dalam tasnya. “Jonathan aneh. Kenapa saat di kampus, kayak batu es yang baru keluar dari kulkas. Dingin banget dan nggak gampang mencair. Senyum aja sulit. Tapi, waktu di rumah, banyak omong, kadang nyebelin bahkan ....” Laura menghela napasnya. “Dia berani menunjukkan pedang pusakanya di depan gue! Sialan! Gue kan jadi terngiang-ngiang. Aah!” Laura menjambak rambutnya sendiri sembari berbicara seorang diri. “Ngapa lo?” Misya menghampiri Laura yang tengah duduk di bangku panjang tersebut. “Abis diubek-ubek Pak Jonathan ya, lo?” tebak Misya kemudian. Laura melirik sahabatnya dengan malas. “Nggak ada!” “Aahh! Payah, lo. Kebanyakan gengsi. Ngapa sih? Jangan bilang, elo udah nggak perawan!” “Nggak! Gue masih ori, Misya. Gila lo!” Laura memutar bola matanya. “Terus? Kenapa takut banget diubek-ubek laki sendiri? Karena nggak ada cinta? PSK aja berani megang pedang orang karena lihat duitnya gede. Gimana sih, lo!” Laura menelan saliva dengan pelan. “Masalahnya, gue belum siap. Gue takut banget. Tadi pagi gue lihat pas lagi on. Gede banget. Kalau nanti gue nangis gimana?” Misya tertawa mendengar ucapan polos sahabatnya itu. “Yaa namanya juga udah dewasa. Tubuhnya tinggi, proposional. Udah pasti pusakanya juga gede. Nangis udah pasti sih. Tapi yang bakal bikin ngakak paling juga elo bakalan teriak gak jelas gitu.” Laura mengerucutkan bibirnya kemudian menghela napasnya dengan pelan. Ia pun menatap Misya yang tengah sibuk membalas pesan masuk dari sang kekasih. “Misya. Jonathan kemarin lihatin potongan video si Virza lagi main sama perempuan coba. Dia mikir nggak ya, kalau gue juga udah diubek-ubek si Virza? Eeh! Sialan bener itu orang. Gue udah mati-matian belain dia di depan bokap gue. Tahunya berengsek. Sialan bener itu orang!” Laura tampak kesal kepada mantan kekasihnya itu. Di sisi lain, dia beruntung karena menuruti perintah sang papa untuk menikah dengan pilihannya. Tapi, dia masih belum nyaman bahkan belum mencintai Jonathan. Ada niat untuk mencintainya pun tidak ada. “Nggak bakalan, Lau. Dia percaya, kalau elo masih perawan. Asalkan jangan nolak, kalau dia lagi ajak elo atau nawarin elo buat bikin anak. Lagian kalau Jonathan nggak yakin elo masih perawan, boleh dites. Gitu aja dipikirin.” Misya memutar bola matanya. Laura menghela napasnya dengan pelan. “Emang, kalau untuk melakukan itu, nggak perlu ada cinta?” Misya menggeleng pelan. “Nggak. Banyak juga tuh yang nggak pake cinta, tapi hanya untuk kebutuhan aja. Tapi, mungkin aja elo bakalan jatuh cinta kalau Pak Jonathan memperlakukan elo dengan baik dan lembut.”“Sorry, ganggu! Ada yang kenal Jonathan Albert Jovanca? Aku telepon soalnya nggak bisa.”Laura dan Misya menoleh kompak ke arah perempuan cantik, tinggi, langsing. Cukup sempurna bagi pria yang melihatnya sudah pasti ingin memiliki perempuan itu. “Woaah! Bidadari turun dari mana ini?” gumam Misya, terpesona melihat kecantikan perempuan itu. “Kalau boleh tahu, Mbak ini siapa?” tanya Laura kemudian. “Eeum ....” Perempuan itu tidak meneruskan ucapannya karena matanya sudah menangkap orang dia cari. Ia kemudian melebarkan senyumnya dan melangkahkan kakinya menghampiri Jonathan yang tengah berdiri sembari menerima panggilan entah dari siapa. “Wahh! Wahh! Kayaknya pacarnya laki elo tuh! Gosipnya kan, Pak Jonathan punya pacar. Kata gue juga apa, Lau. Ada kan, pacarnya. Mana cantik banget, lagi. Kagak bisa move on gue sama mukanya.” Laura menelan saliva dengan pelan seraya menatap suaminya yang terlihat marah kala perempuan itu menghampirinya. Lalu, pergi dari taman tersebut tanpa ingin tahu siapa sebenarnya perempuan itu. “Nggak panas sih, hanya gosong aja. Tapi, kenapa ha
Laura mengerjap-ngerjapkan matanya kala mendengar ucapan Jonathan.“Heuuh?” Laura menatap Jonathan dengan mulut menganga. Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian memegang kedua lengan perempuan itu. Matanya menatap dengan lekat seraya tersenyum tipis. “Aku … cinta, sama kamu,” ucapnya pelan. Laura semakin salah tingkah. Dia tidak pernah tahu isi hati Jonathan yang ternyata sudah mencintainya. “Sejak kapan?” tanyanya kemudian. “Perasaan tidak pernah tahu kapan datangnya, Laura. Yang jelas, aku mencintai kamu karena kamu istri aku. Cukup tahu itu saja. Semoga kamu bisa membalasnya.” Laura kembali menganga. “Serius?” tanyanya lagi. Jonathan menggetok pelan kening istrinya itu. “Harus dibuktikan dengan apa, supaya kamu percaya kalau aku cinta, sama kamu?” Laura menghela napasnya. “Kiara. Kenapa dia sampai datang ke kampus, nyariin kamu? Katanya udah putus. Kalau belum, itu artinya kamu selingkuh. Aku ini istri kamu. Kasta tertinggi dari hanya sekadar pacar!” Jonathan men
“Misyaaa!!” Laura berteriak kemudian menghampiri Misya yang tengah duduk di resto bersama sang kekasih.“Anak dajjal! Ngapa sih lo, teriak-teriak mulu? Dikira hutan apa.” Misya menyunggingkan bibirnya.“Misya. Besok gue suruh izi nggak masuk. Tolong kasih tahu Pak Santoso, yaa. Gue nggak nggak bisa masuk. Mau ke villa.”“Bulan madu lo, yee? Udah mau nih, ceritanya? Kok bisa?” tanyanya ingin tahu.“Emang kenapa sih Lau, harus ditunda-tunda? Enak tahu!” timpal Ricko kepada Laura.“Diem, dugong! Gue nggak ngomong sama elo. Emang dasar pedofil elo mah.”Misya memukul lengan sahabatnya itu. “Sendirian?”“Mana ada. Laki gue nungguin di mobil. Nggak mau ke sini dengan alasan malas. Nggak mau lihat muka kalian pada.”Misya lantas menyunggingkan bibirnya. “Setan Kutub Utara mana mau, mencairkan suasana di sini. Kita mah bobrok, dia mah kalem.”Laura meringis pelan. “Untung ganteng, yaa. Masih ketolong dikit.”Misya memutar bola mata lagi. “Udah siap beneran? Kok bisa?”Laura menghela napasnya.
Jonathan mengangguk. “Pasti.” Kemudian menerbitkan senyumnya.Dengan sangat pelan, lelaki itu melajukan temponya dengan sangat hati-hati. Menggerakan tubuhnya hanya untuk membuat Laura terbiasa akan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.“Euuh!” keluh Laura seraya menggigit bibirnya menhan desahan yang ingin dia keluarkan. Namun, bukannya mendesah, yang ada menangis lagi. Ia pun memilih untuk diam saja seperti patung boneka yang tengah digerayangi.Mata itu kemudian terbuka. Menatap Jonathan yang masih mencoba bertahan dengan sikap Laura yang sedari tadi hanya diam. Jonathan benar-benar bekerja sendiri.“Kenapa, Jo?” tanya Laura tanpa dosa.Jonathan menatap Laura kemudian mencabutnya lagi. Duduk di samping perempuan itu seraya menatapnya dengan lekat.“Maunya, kamu ini juga ikut gerak. Jangan diam kaku seperti robot begitu. Kenapa ditahan? Semangatnya laki-laki itu karena mendengar desahan istriny
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Kedua insan yang baru saja menyelesaikan malam pertama yang penuh dengan drama itu masih terlelap dalam tidurnya. Sinar mentari yang mencoba menerobos masuk ke dalam kamar tersebut tak berhasil lantaran tirai itu masih ditutup dengan rapat.Namun, dering panggilan dari ponsel Jonathan membuat telinga Laura bising sebab ponsel tersebut berada tepat di sampingnya. “Heeuuhh! Siapa sih, pagi-pagi begini telepon!” gerutu Laura seraya mengambil ponsel tersebut. Keningnya mengkerut kala melihat nomor tak dikenal menghubungi suaminya itu. “Nomor siapa nih?” Laura langsung beranjak dari tidurnya seraya menggeser tombol hijau pada ponsel tersebut.“Jonathan. Kamu pikir, dengan satu nomor bisa kamu blokir. Aku masih bisa menghubungi kamu dengan berbagai nomor yang aku punya. Di mana kamu, Jonathan? Aku sudah ada di depan rumah orang tuamu.” Laura menarik tangan Jonathan seraya melempar ponsel itu. “BANGUUNN!” teriak Laura merasa kesal. Jonathan kemud
Jonathan mengambil ponselnya dan melihat siapa yang tengah menghubunginya itu. Kemudian menghela napasnya seraya menatap Laura yang tengah menggerutu kecil. Tanpa memberi tahu, Jonathan menerima panggilan tersebut seraya menatap Laura yang masih seperti tadi. "Iya, Pi?" Laura langsung menoleh ke arah suaminya itu. "Papi, ternyata." "Kamu di mana, Jo? Kok nggak ada di rumah?" "Lagi di villa, Pi sama Laura. Ada apa?" "Oh. Lagi bulan madu, yaa? Emangnya Laura udah mau?" Jonathan terkekeh pelan. "Mau lah, Pi. Telepon aku hanya untuk menanyakan itu saja?" "Nggak. Papi lagi di rumah kamu. Kita mau ke luar negeri hari ini. Nggak lama sih, hanya satu mingguan saja." "Sama Mami?" "Ya iyalah, Jonathan." "Ke mana, Pi?" "Ke Milan. Mami kamu lagi pengen jalan-jalan katanya. Tadinya mau ajak kalian juga. Tapi, Laura lagi kuliah. Nanti saja lah. Kalian bisa jalan-jalan sekalian bulan madu saat libur semester nanti. Dua bulan lagi, kan?" Jonathan menganggukkan kepalanya. "Oke, Pi. Have f
Di malam yang dingin, dengan hujan deras mengguyur kota Bogor. Di dalam villa, dua insan yang tengah asyik memainkan statusnya sebagai pengantin baru. Peluh keringat membasahi tubuh keduanya. Sama-sama sudah polos, tidak ada satu helai benang pun menempel di tubuh keduanya. Jonathan kembali menggerayangi tubuh mungil istrinya itu. Di malam kedua, lebih nikmat daripada malam kemarin. ***Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Mereka sudah berada di Jakarta satu jam setelah bercinta di malam itu. Kini, keduanya tengah sarapan yang dibuatkan oleh ART di rumahnya.“Laura?” panggilnya kemudian. “Heung?” Jonathan menghela napasnya dengan pelan. “Jangan ke kampus sendiri, ya. Sama aku, oke? Katanya udah mau go public. Berarti, ke kampus pun harus sama aku,” pinta Jonathan kepada istrinya itu. Laura menatap Jonathan kemudian menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Nurut aja, maunya kayak gimana. Lagi pula, semua orang udah tahu kalau kamu udah nikah. Hanya belum tahu, istrinya yang mana. Te
Lelaki itu membawa Laura masuk ke dalam ruangannya, meninggalkan semua orang yang masih menganga kala mendengar penuturan Jonathan, mengakui bahwa Laura adalah istrinya. “Minum dulu,” ucapnya sembari memberikan sebotol air mineral kepada Laura. Perempuan itu mengambilnya dan meminumnya. Matanya masih menatap lelaki itu yang tengah menatapnya. Ia kemudian menarik tangan perempuan itu. Ada sedikit luka baret di tangan perempuan itu. “Ckk!” Jonathan berdecak pelan. Ia kemudian mengambil P3K dan membersihkan luka di tangan perempuan itu. “Ssstth!” Laura meringis pelan. “Sakit, Jo,” lirihnya kemudian. Jonathan kemudian meniupnya. “Diapain aja, sama mereka? Kenapa berani banget dorong kamu sampai jatuh?” tanyanya lagi. Laura menggeleng. “Nggak tahu.” Jonathan menghela napas kasar. “Mau pulang? Izin lagi aja, nggak apa-apa. Nanti aku bilang.” Laura hanya menunduk kemudian sesenggukan dengan pelan. Air matanya sudah menetes karena sakit hati oleh hinaan yang dilontarkan kepadanya. J
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral