Laura mengerjap-ngerjapkan matanya kala mendengar ucapan Jonathan.
“Heuuh?” Laura menatap Jonathan dengan mulut menganga. Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian memegang kedua lengan perempuan itu. Matanya menatap dengan lekat seraya tersenyum tipis. “Aku … cinta, sama kamu,” ucapnya pelan. Laura semakin salah tingkah. Dia tidak pernah tahu isi hati Jonathan yang ternyata sudah mencintainya. “Sejak kapan?” tanyanya kemudian. “Perasaan tidak pernah tahu kapan datangnya, Laura. Yang jelas, aku mencintai kamu karena kamu istri aku. Cukup tahu itu saja. Semoga kamu bisa membalasnya.” Laura kembali menganga. “Serius?” tanyanya lagi. Jonathan menggetok pelan kening istrinya itu. “Harus dibuktikan dengan apa, supaya kamu percaya kalau aku cinta, sama kamu?” Laura menghela napasnya. “Kiara. Kenapa dia sampai datang ke kampus, nyariin kamu? Katanya udah putus. Kalau belum, itu artinya kamu selingkuh. Aku ini istri kamu. Kasta tertinggi dari hanya sekadar pacar!” Jonathan mengangguk. “Kiara minta penjelasan. Udah aku putusin, tapi dia nggak terima. Mau gimana lagi, dia udah aku putusin lewat HP, nggak ada tanggapan. Udah diputusin di depan matanya, malah nggak mau. Aku kasih tahu, kalau aku sudah menikah. Dia malah ingin tahu, siapa perempuan itu.”“Mau ngapain? Suruh cerai, sama kamu? Minta sono, sama Papa!” sengalnya kemudian. Jonathan terkekeh pelan. “Nggak usah dipikirin. Dia udah jadi urusan aku. Aku tidak akan mempermainkan pernikahan. Lagi pula, hubungan kami tidak akan berjalan lancar karena Mami dan Papi emang udah jodohin aku sejak hubungan kami masih berlangsung.” Laura memiringkan kepalanya seraya menatap Jonathan. “Sejak kapan? Aku tahunya bulan lalu. Satu minggu sebelum pernikahan itu dilaksanakan.” Jonathan mengendikan bahunya. “Sejak enam bulan yang lalu. Orang tua kamu datang ke rumahku, bilang katanya anaknya bandel, nggak mau nurut, harus dinikahkan supaya ada yang jaga.” Laura lantas menyunggingkan bibirnya. “Hanya karena pacaran sama Virza?”“Nggak tahu pasti, Laura. Yang jelas, papa kamu tidak mau anak bungsunya terjerumus ke dalam jurang. Kamu dan Virza tidak akan bersama kalau tidak ada yang mau mengalah. Lagi pula, bukan hanya kamu saja, perempuan yang dia punya.” Laura menghela napas kasar. “Ngapain kamu pulang?” “Karena nyari kamu.”“Ngapain nyari aku? Aku bisa jaga diri, kali. Udah gede!” Jonathan mengacak rambut perempuan itu. “Kamu sudah punya suami. Sudah ada yang tanggung jawab atas hidup kamu.” Jonathan mengambil tas milik istrinya dan membawa masuk ke dalam kamar. Menyimpannya di meja belajar perempuan itu kemudian duduk di tepi tempat tidur seraya menghubungi seseorang yang entah siapa, Laura tidak tahu. “Ada di rumah Kinara, tadi. Jangan sampai mereka ketemu. Tolong, awasi kalau aku nggak bisa ada di samping dia.” Jonathan menutup panggilan tersebut kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Kamu kenapa sih, Jo? Emangnya ada apa? Kenapa harus jagain aku terus? Psikopat, mantan pacar kamu?” Laura semakin penasaran dengan sikap Jonathan. Menghubungi orang yang tidak tahu siapa orangnya.“Nggak. Bukan karena psikopat. Tapi, untuk antisipasi aja. Namanya dia nggak terima aku putusin, pengen tahu siapa istri ak—““Aku punya Papa yang punya segalanya. Dia bisa bunuh orang yang berani mencelakai anak-anaknya. Kamu kira, Kak Gerald bisa nikah sama Kak Sandra karena siapa? Karena Papa. Sampai Gery berani tanda tangan surat cerai itu karena siapa? Karena Papa. “Aku nggak takut pada siapa pun kecuali Tuhan. Nggak! Dua puluh empat jam, Papa pasti on kalau aku hubungi. Nggak perlu takut sama perempuan gila, yang nggak terima diputusin. Kekayaan dia, lebih banyak dari Papa?” Jonathan menarik tangan perempuan itu kemudian memeluknya. Mengusapi punggung Laura dengan lembut seraya menghela napasnya dengan pelan. “Papa kamu memang punya kuasa. Semuanya untuk anak-anaknya. Aku merasa gagal jadi suami, kalau kamu meminta bantuan pada orang tua kamu,” ucapnya dengan pelan. Laura menelan saliva dengan pelan. “Cinta kan, sama aku?” Jonathan melepaskan pelukan itu. Kemudian menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya. Kamu sendiri?” Laura menggeleng. Jonathan kemudian memutar bola matanya pelan. “Ya sudah. Tidak mudah memang, jatuh cinta, sementara hati kamu baru saja mengeluarkan orang yang kamu cinta.”“Kiara ngomong apa, sampai buat kamu khawatir, takut dan segala macem lainnya?” tanyanya ingin tahu. “Laura. Kamu ingat kan, permintaan Mami kemarin malam?” “Jangan out to topic, Jonathan! Jawab dulu pertanyaan aku, setelah itu ….” Jonathan menaikkan alisnya sebelah. “Setelah itu?” tanyanya seraya menjebak Laura. “Jawab dulu pertanyaan aku, Jonathan!” Laura sudah mulai kesal. Jonathan terkekeh pelan. “Dia pengen tahu, wanita mana yang sudah berani menikah dengan aku. Udah sih, itu aja.” Laura tersenyum pasi. “Masaa? Kalau hanya ingin tahu, kenapa sampai buat kamu khawatir kayak gitu?” “Siapa yang khawatir, Laura? Aku udah jawab pertanyaan kamu, sekarang turuti permintaan Mami.”“Aku masih kuliah, Jo!” “Apa hubungannya, dengan kuliah? Kamu udah pulang. Ini di rumah, bukan di kampus. Kamu tahu nggak, dulu Gerald pernah bercinta di kampus?” “What? Serius? Kok bisa?” Laura kembali mengalihkan pembahasan. Sungguh, perempuan itu masih takut dengan pusaka besar milik suaminya itu.Jonathan membuka satu persatu kancing kemejanya seraya menatap Laura. “Mungkin karena usia kamu saat itu masih kecil. Makanya dia nggak mau cerita. Dia banyak cerita ke Nicko and you know, kenapa Papa bisa kenal dengan orang tuaku.” Laura menelan salivanya kala Jonathan sudah membuka kemejanya. Bertelanjang dada, sisa celana yang belum dia buka. Laura yang tengah berdiri di tepi tempat itu lantas meraih kasur kemudian duduk di sana. “Nggak tahu kenapa, Kak Gerald suka banget melakukan hal extreme,” ucapnya pelan. Jonathan menatap Laura dengan lekat. “Mau tahu, kenapa Gerald berani bermain di mana pun dan kapan pun?” Dengan polosnya, perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanyanya dengan mudahnya. Jonathan menyunggingkan senyumnya. “Karena enak, Laura. Gimana sih!” ucapnya kemudian duduk tepat di depan Laura. “Ke villa, yuk! Besok, aku mau ambil cuti. Kamu izin aja.”“Jo.” Laura mengeluh lesu. “Aku belum siap, Jo.” “Nggak akan siap, kalau belum pernah mencobanya. Kamu takut banget, aku bobol.” Jonathan mengerutkan keningnya. “Aku masih perawan, Jonathan. Jangan mikir yang aneh-aneh!” Jonathan terkekeh pelan. “I trust you. Karena itu, aku ingin jadi laki-laki yang pertama kali bobol. Lagian kamu istri aku.”Laura menghela napasnya dengan pelan kemudian melirik Jonathan yang tengah melipat tangan di dadanya seraya menatap dirinya dengan lekat. “Kamu sendiri, masih perjaka?” Jonathan menggeleng. “Sering buang calon anak di closet.” Laura menganga mendengarnya seraya mengerjap-ngerjapkan matanya. “Serius?” Jonathan mengangguk. “Belum pernah masuk, belum tentu masih perjaka. Jangan terkecoh dengan hal itu, Laura. Lagi pula, kamu tidak akan bisa membedakannya.” “Iya, sih,” ucapnya pelan sembari menggaruk rambutnya. “Laura. Jangan mengulur waktu. Kalaupun kamu hamil, ada suaminya. Emangnya Sandra. Hamil, bukan sama suaminya.” “Jangan bahas mereka, Jo. Bikin mumet ke—“ Laura menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Jonathan. “Kok kamu banyak tahu tentang mereka sih? Sebenarnya kamu udah kenal aku dari kapan?” Jonathan tersenyum miring. “Enam bulan yang lalu.” “Terus, kenapa tahu banget soal Kak Gerald?” “Dari papa kamu lah. Dia nggak mau anaknya kayak kakaknya dulu. Nyari masalah dengan suami orang, sampai buat papa kalian hampir gila dibuatnya. Akhirnya aku tanya-tanya ke Nicko.” Laura menghela napas panjang. “Aneh!” “Aneh gimana? Aku ngomong apa adanya, malah dibilang aneh!” “Kamu aneh. Udah kenal aku dari dulu, tapi kayak orang asing kalau di kampus.” Jonathan menyunggingkan senyumnya. “Mau ya, kasih cucu buat Mami?”“Misyaaa!!” Laura berteriak kemudian menghampiri Misya yang tengah duduk di resto bersama sang kekasih.“Anak dajjal! Ngapa sih lo, teriak-teriak mulu? Dikira hutan apa.” Misya menyunggingkan bibirnya.“Misya. Besok gue suruh izi nggak masuk. Tolong kasih tahu Pak Santoso, yaa. Gue nggak nggak bisa masuk. Mau ke villa.”“Bulan madu lo, yee? Udah mau nih, ceritanya? Kok bisa?” tanyanya ingin tahu.“Emang kenapa sih Lau, harus ditunda-tunda? Enak tahu!” timpal Ricko kepada Laura.“Diem, dugong! Gue nggak ngomong sama elo. Emang dasar pedofil elo mah.”Misya memukul lengan sahabatnya itu. “Sendirian?”“Mana ada. Laki gue nungguin di mobil. Nggak mau ke sini dengan alasan malas. Nggak mau lihat muka kalian pada.”Misya lantas menyunggingkan bibirnya. “Setan Kutub Utara mana mau, mencairkan suasana di sini. Kita mah bobrok, dia mah kalem.”Laura meringis pelan. “Untung ganteng, yaa. Masih ketolong dikit.”Misya memutar bola mata lagi. “Udah siap beneran? Kok bisa?”Laura menghela napasnya.
Jonathan mengangguk. “Pasti.” Kemudian menerbitkan senyumnya.Dengan sangat pelan, lelaki itu melajukan temponya dengan sangat hati-hati. Menggerakan tubuhnya hanya untuk membuat Laura terbiasa akan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.“Euuh!” keluh Laura seraya menggigit bibirnya menhan desahan yang ingin dia keluarkan. Namun, bukannya mendesah, yang ada menangis lagi. Ia pun memilih untuk diam saja seperti patung boneka yang tengah digerayangi.Mata itu kemudian terbuka. Menatap Jonathan yang masih mencoba bertahan dengan sikap Laura yang sedari tadi hanya diam. Jonathan benar-benar bekerja sendiri.“Kenapa, Jo?” tanya Laura tanpa dosa.Jonathan menatap Laura kemudian mencabutnya lagi. Duduk di samping perempuan itu seraya menatapnya dengan lekat.“Maunya, kamu ini juga ikut gerak. Jangan diam kaku seperti robot begitu. Kenapa ditahan? Semangatnya laki-laki itu karena mendengar desahan istriny
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Kedua insan yang baru saja menyelesaikan malam pertama yang penuh dengan drama itu masih terlelap dalam tidurnya. Sinar mentari yang mencoba menerobos masuk ke dalam kamar tersebut tak berhasil lantaran tirai itu masih ditutup dengan rapat.Namun, dering panggilan dari ponsel Jonathan membuat telinga Laura bising sebab ponsel tersebut berada tepat di sampingnya. “Heeuuhh! Siapa sih, pagi-pagi begini telepon!” gerutu Laura seraya mengambil ponsel tersebut. Keningnya mengkerut kala melihat nomor tak dikenal menghubungi suaminya itu. “Nomor siapa nih?” Laura langsung beranjak dari tidurnya seraya menggeser tombol hijau pada ponsel tersebut.“Jonathan. Kamu pikir, dengan satu nomor bisa kamu blokir. Aku masih bisa menghubungi kamu dengan berbagai nomor yang aku punya. Di mana kamu, Jonathan? Aku sudah ada di depan rumah orang tuamu.” Laura menarik tangan Jonathan seraya melempar ponsel itu. “BANGUUNN!” teriak Laura merasa kesal. Jonathan kemud
Jonathan mengambil ponselnya dan melihat siapa yang tengah menghubunginya itu. Kemudian menghela napasnya seraya menatap Laura yang tengah menggerutu kecil. Tanpa memberi tahu, Jonathan menerima panggilan tersebut seraya menatap Laura yang masih seperti tadi. "Iya, Pi?" Laura langsung menoleh ke arah suaminya itu. "Papi, ternyata." "Kamu di mana, Jo? Kok nggak ada di rumah?" "Lagi di villa, Pi sama Laura. Ada apa?" "Oh. Lagi bulan madu, yaa? Emangnya Laura udah mau?" Jonathan terkekeh pelan. "Mau lah, Pi. Telepon aku hanya untuk menanyakan itu saja?" "Nggak. Papi lagi di rumah kamu. Kita mau ke luar negeri hari ini. Nggak lama sih, hanya satu mingguan saja." "Sama Mami?" "Ya iyalah, Jonathan." "Ke mana, Pi?" "Ke Milan. Mami kamu lagi pengen jalan-jalan katanya. Tadinya mau ajak kalian juga. Tapi, Laura lagi kuliah. Nanti saja lah. Kalian bisa jalan-jalan sekalian bulan madu saat libur semester nanti. Dua bulan lagi, kan?" Jonathan menganggukkan kepalanya. "Oke, Pi. Have f
Di malam yang dingin, dengan hujan deras mengguyur kota Bogor. Di dalam villa, dua insan yang tengah asyik memainkan statusnya sebagai pengantin baru. Peluh keringat membasahi tubuh keduanya. Sama-sama sudah polos, tidak ada satu helai benang pun menempel di tubuh keduanya. Jonathan kembali menggerayangi tubuh mungil istrinya itu. Di malam kedua, lebih nikmat daripada malam kemarin. ***Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Mereka sudah berada di Jakarta satu jam setelah bercinta di malam itu. Kini, keduanya tengah sarapan yang dibuatkan oleh ART di rumahnya.“Laura?” panggilnya kemudian. “Heung?” Jonathan menghela napasnya dengan pelan. “Jangan ke kampus sendiri, ya. Sama aku, oke? Katanya udah mau go public. Berarti, ke kampus pun harus sama aku,” pinta Jonathan kepada istrinya itu. Laura menatap Jonathan kemudian menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Nurut aja, maunya kayak gimana. Lagi pula, semua orang udah tahu kalau kamu udah nikah. Hanya belum tahu, istrinya yang mana. Te
Lelaki itu membawa Laura masuk ke dalam ruangannya, meninggalkan semua orang yang masih menganga kala mendengar penuturan Jonathan, mengakui bahwa Laura adalah istrinya. “Minum dulu,” ucapnya sembari memberikan sebotol air mineral kepada Laura. Perempuan itu mengambilnya dan meminumnya. Matanya masih menatap lelaki itu yang tengah menatapnya. Ia kemudian menarik tangan perempuan itu. Ada sedikit luka baret di tangan perempuan itu. “Ckk!” Jonathan berdecak pelan. Ia kemudian mengambil P3K dan membersihkan luka di tangan perempuan itu. “Ssstth!” Laura meringis pelan. “Sakit, Jo,” lirihnya kemudian. Jonathan kemudian meniupnya. “Diapain aja, sama mereka? Kenapa berani banget dorong kamu sampai jatuh?” tanyanya lagi. Laura menggeleng. “Nggak tahu.” Jonathan menghela napas kasar. “Mau pulang? Izin lagi aja, nggak apa-apa. Nanti aku bilang.” Laura hanya menunduk kemudian sesenggukan dengan pelan. Air matanya sudah menetes karena sakit hati oleh hinaan yang dilontarkan kepadanya. J
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Setelah beberapa kali Jonathan membujuk Laura untuk makan, akhirnya luluh setelah mencium wangi bumbu masakan yang dibuatkan oleh Jonathan. “Mommy sama Papa udah di jalan. Jangan nangis lagi, yaa. Malu, sama status!” ucap Jonathan menasihati sang istri. “Iya, iyaa. Nggak usah tegasin juga, kalau aku udah nikah!” sengalnya kemudian. Jonathan hanya menghela napasnya kemudian geleng-geleng kepala. “Selain ganteng, kamu juga pintar masak. Aku nggak bisa masak, tapi kamu masih mencintai aku. Aku nggak bisa ngapa-ngapain, cengeng, manja. Tapi, kamu masih mencintai aku. Sebenarnya kamu ini siapa?” Laura bertanya karena penasaran. Betapa tidak, usia pernikahan mereka yang baru saja menginjak empat hari itu sudah banyak kejanggalan yang dirasakan oleh Laura. Jonathan memberikan bukti sendiri bahwa dirinya memang sangatlah mencintai Laura. Namun, hasil perjodohan tidak seperti yang dialami olehnya. Jarang sekali perempuan dimanja oleh lelaki yang bi
“Kata Papi juga, apa. Jangan jadi dosen, Jonathan!” Setelah mendengar kabar dari besannya, Albert dan juga Tiara langsung pulang ke Indonesia dua hari setelah mendapat kabar Laura dirundung di kampus dan kini kedua orang tuanya tengah menghampiri Jonathan di rumahnya. Memarahi anaknya itu karena sudah mengambil keputusannya sendiri yang ingin menjadi dosen.“Berulang kali Papi katakan pada kamu, Jonathan. Bukan sekali dua kali. Kata Papi juga lebih baik jadi CEO di kantor yang sudah Papi sediakan untuk kamu. Kamu hampir mencelakai istri kamu sendiri, Jonathan!” Laura kemudian menghampiri kedua orang tua Jonathan. “Aku nggak apa-apa kok, Pi. Jangan marahi Jonathan lagi, yaa. Dia nggak salah apa-apa. Akunya aja yang cengeng emang. Sama mereka yang nggak terima kalau aku udah jadi istrinya Jonathan.” Laura tak ingin Albert terus menyalahkan Jonathan hanya karena sudah membuat Laura terluka walau hanya sedikit. “Tidak, Laura. Suami kamu yang sudah gegabah karena sudah membiarkan kamu
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral