“Jangan khawatir, akan kukembalikan cincin itu ke Kakek Ramon. Aku lupa dialah yang memberikanku itu padaku,” ujar Stella. Charles akan berbicara, tetapi ragu. Egonya menang.Stella menambahkan, "Mungkin kamu sedang menunggu cincin untuk melamar Elizabeth.""Aku bisa menikahinya tanpa cincin itu!"Stella memperhatikan intensitas suaranya dan ketegangan di otot rahangnya yang mengencang. Dia bertanya-tanya mengapa dia begitu kesal."Baiklah, jadi aku tidak perlu merasa bersalah jika kamu belum menikah. Kamu boleh mengambil perhiasan itu jika tidak ingin berakhir pada Siti. Tapi biarkan dia yang menyimpan baju, tas, dan sepatu itu. "Charles merasa lebih frustrasi karena Stella sepertinya meremehkan pentingnya barang-barang ini, menandakan bahwa tidak ada lagi yang berhubungan dengannya yang berarti baginya."Jika kamu sudah siap, aku akan mengambil cincin itu dari kamar." Tanpa menunggu jawabannya, dia menuju ke kamar lamanya."Brengsek!" Charles menendang tembok dengan frustrasi, tida
Stella mengusap bibirnya, merasa jijik setelah ciumannya terpisah dari Charles. Dia ingin meledakkan amarahnya, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia melihat siapa yang menelepon dan dia segera menjawabnya, mengabaikan Charles yang berdiri di depannya. "Ibu, aku mau tidur sekarang," ucap Zion dengan manis.Stella tersenyum mendengar suara Zion, amarahnya memudar. "Iya sayang. Maaf aku tidak bisa menelepon tadi. Kamu sudah makan?"Charles mengepalkan tangannya, melihat kebahagiaan di wajah Stella saat dia berbicara. Nada itu dulunya ditujukan untuknya. Sekarang, terlihat jelas bahwa dia benar-benar mencintai orang yang dia ajak bicara.“Ya, Bu. Aku merindukanmu!”Senyum Stella melebar mendengar kata-kata manis Zion. Jika dia ada di depannya, dia akan membekap pipinya dengan ciuman. "Aku juga merindukanmu, sayang!"Ekspresi Charles menjadi semakin kelam. Sepertinya Stella lupa dia masih di sana. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan ruangan, mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia
“Ini kopi untukmu, sayang,” ujar Elizabeth, tersenyum saat dia menaruh secangkir kopi di depan Charles. Dia tetap membuatkannya meskipun Charles menolak.Charles memijat keningnya, merasakan dampak akibat kurang tidur.“Minumlah selagi masih hangat,” ujarnya dengan halus sekali lagi.“Dia seharusnya minum susu,” ujar Stella yang baru masuk.Charles mengerutkan kening dan menatap ke arah suaranya.Stella tersenyum pada mereka, lalu berjalan ke lemari es. Dia senang melihat susu yang biasa dia beli, menyadari Charles pasti memesannya secara online. Dia mulai minum susu hanya karena dia bersikeras ketika mereka pindah ke rumah ini.Elizabeth menoleh ke Stella, kesal. "Charles tidak minum susu."Mengabaikannya, Stella mengambil susu segar, menuangkannya ke dalam gelas, dan berjalan ke arah Charles. “Sepertinya insomniamu sudah kembali. Jangan lupa minum ini.”Elizabeth berjalan ke arah Stella, dengan marah, berniat mengambil gelas susu itu. Yang mengejutkannya, Charles mengambilnya dan mem
“Kakek Ramon, sudah saatnya untuk tidur. Aku akan memeriksa Charles dan masuk ke kemarku,” ujar Stella. Ramon tersenyum, memejamkan matanya dan berterima kasih pada Stella. Dia tenggelam dalam tidurnya, berharap bahwa esok hari akan mendatangkan buah dari usahanya.Setelah memastikan bahwa Ramon tertidur, Stella pergi ke kamarnya dengan tenang. Di luar, ada Alex yang sudah menunggunya dengan barang yang diperlukan olehnya. “Tuan Besar Mahardi mencari Anda,” ujar Alex.“Akan kutelepon dia,” balas Stella, mengambil tas kecil dari Alex. Alex menunduk dan pergi. Satu hal baik dari keluarga di mana dia bekerja adalah mereka tidak pernah memaksanya untuk berdiskusi mengenai hal pribadi mereka. Dari teras, Charles mencengkeram gelas wine-nya lebih erat saat dia melihat Stella berbicara dengan pria yang dia curigai sebagai penyebab perpisahan mereka. Namun alisnya berkerut saat melihat pria itu membungkuk hormat kepada Stella.Tampaknya dia salah, pria itu hanyalah salah satu karyawannya.
“Apakah kamu benar-benar mencintaiku?” tanya Charles dengan suara yang serak oleh alkohol.“Apa pentingnya menjawab pertanyaan itu?” Balas Stella, merasa terganggu oleh pertanyaan dan tuduhannya yang bertubi-tubi.“Kamu milikku, ‘kan?” tanyanya lagi.Stella menghela nafas dan alih-alih menghindar, dia membantu membopong Charles sebelum dia limbung. Dia tahu Charles tidak akan menyakitinya seperti ini. Dia tidak tega menendangnya keluar dari kamar, apalagi dengan kemungkinan Ramon yang akan khawatir jika dia tahu Charles belum tidur. "Sssh... Stella..." Gumam Charles."Berengsek!" Umpatnya ketika wajah Charles menempel di dadanya, hampir membuatnya tersandung."Stella, kenapa kamu melakukan ini padaku?" Erangnya."Apa-apaan ini, Charles? Kamu tahu kamu tidak bisa mengendalikan diri saat mabuk, tapi kamu minum terlalu banyak?" tanyanya dengan nada marah, berjuang untuk membimbingnya menuju tempat tidur.Dia berhasil menjatuhkannya ke tempat tidur, berakhir di atasnya.Namun meski dalam
Stella dengan cepat bangkit dari kasur sebelum pemikiran bodoh itu mengambil alih dirinya. Dia langsung ke kamar mandi dan mandi. Sebelum dia menyelesaikan mandinya, seseorang mengetuk pintu.“Buka pintunya sekarang!” Perintah Elizabeth, sambil menggedor pintu.“Liz, tenanglah dan pelankan suaramu.” Sophie mencoba untuk menahan Elizabeth, khawatir Ramon akan mendengarnya.Elizabeth menghentakkan kakinya dengan kesal. Dia di sini sebab Charles tidak ada di kamarnya. Dia membangunkan Sophie agar mereka bisa melabrak Stella bersama. Stella berjalan keluar dari kamar mandi bersamaan dengan Charles yang baru bangun. Dia menatapnya dengan bingung. “Apa yang kamu lakukan di kamarku?”Dia memutar bola matanya. Sepertinya Charles belum sepenuhnya sadar dan tidak ingat apa yang dilakukannya semalam. “Lain kali, jangan minum terlalu banyak sampai kamu berakhir di kamar yang salah. Bangun dan bukalah pintu untuk pacarmu sebelum Kakek mendengarnya.”Charles memegangi kepalanya yang berdenyut-denyu
Senyum di wajah Ramon tidak memudar sampai mereka meninggalkan rumah. Dia begitu bahagia melihat keluarga ini bersama lagi.“Kakek, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Sophie dengan penuh kasih sayang.Ramon tersenyum padanya, terlihat senang dia tidak bertengkar dengan Stella lagi.Sophie duduk di samping Ramon, bertekad untuk tidak membiarkan Stella memonopoli perhatiannya. Hal ini menempatkannya di sebelah Charles di kursi depan mobil. "Elizabeth tidak ada di sini," dia berbisik pada dirinya sendiri, lega karena dia mendapat perhatian Ramon.Stella tetap diam, menyibukkan diri dengan teleponnya. Dia menerima foto selfie dari Zion yang sedang sarapan dan tersenyum sebelum mengetik balasan kepada pengasuhnya.Charles mempererat cengkeramannya pada kemudi ketika dia melirik Stella yang sibuk dengan teleponnya. Sepertinya dia sedang berbicara dengan suaminya.Ketika mereka tiba di rumah sakit, Stella diam-diam mengikuti kedua kakak beradik itu sambil mendorong kursi roda Ramon. Dia melih
Charles mengingat temannya, si dokter, karena ponselnya. Dia menyadari dia belum memahami apa yang temannya katakan padanya tadi karena dia tengah terburu-buru dan hanya mengambil kartu nama dari Ayah temannya. “Dia pasien pertamaku, empat tahun yang lalu.” Perkataan itu terngiang di benak Charles saat dia mengingat apa yang dikatakan oleh Jenny. “Pasien? Empat tahun yang lalu?” Gumamnya pada dirinya sendiri. Kebingungan yang melandanya mulai jelas, dia segera berdiri tegak. Charles dengan sigap langsung berdiri dan meraih ponselnya dari meja kecil. Alih-alih menelepon Elizabeth, dia menelepon Roy.“Ya, Pak?”“Ketika Stella pergi, rumah sakit mana yang diantar oleh supir taksinya?”Roy mengernyitkan dahinya, terheran akan pertanyaan bosnya. “Jawab aku, sialan!” Seru Charles ketika Roy tidak segera menjawab. “Maaf, saya masih berpikir.” Roy terbata-bata sebab terkejut oleh nada suara Charles yang meninggi. Dia tidak tahu mengapa bosnya tiba-tiba menanyakan ini.“Aku butuh jawabanm
“Tidak peduli kamu suka atau tidak, kamu akan menikah denganku lagi. Kamu tidak akan memiliki suami selain aku,” ujar Charles dengan nada dingin dan raut wajah datar.“Jika kamu merencanakan hal kotor untuk menghindari ini, jangan harap!” Seru Stella.“Siapa yang peduli? Apa yang penting bagiku adalah kamu menjadi istriku dan mengurus perusahaan keluargamu,” sahutnya dengan arogan.Stella kesulitan menyembunyikan kekecewaannya. Kemarahannya naik dua kali lipat, mengetahui bahwa yang dipedulikan Charles adalah reputasi dan kekayaan.“Mulai hari ini, kamu harus menjawab teleponku. Aku harus tahu kamu ke mana, kapanpun kamu pergi sendiri.”“Bajingan, kamu pikir siapa diriku? Wanita yang bisa kamu kendalikan seperti Elizabeth?” Ujarnya ketus, giginya digertakkan dan bibirnya terkatup rapat.“Terserah kamu mau berpikir apa. Aku tahu kamu marah, tapi ini cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkanmu kembali,” jawabnya dengan nada dingin.“Bermimpilah!” Stella dengan cepat memakai pakaiannya
“Ahh, sial! Lebih cepat lagi, sayang!” Charles menggeram sambil meremas pantat Stella.Alih-alih merasakan sakit dari apa yang dilakukannya, nafsu Stella malah semakin menjadi. Stella melepaskan desahannya dan menggerakkan pinggangnya di atas Charles.Namun, Charles tidak puas dengan posisi mereka. Dia dengan cepat berdiri dan menggendongnya, membalikkan badannya dan melakukannya dari belakang.“Aaahhh …” Stella mendesah panjang, melengkungkan punggungnya. Dia mencengkram sofa dengan erat untuk mencegahnya terjatuh.Segalanya terasa bergetar dari intensitas dan kecepatan dorongan Charles. Stella ada di ujung kesadarannya dari kenikmatan saat gerakan Charles dipercepat. Terdengar dari geramannya, jelas sekali dia menikmatinya, sama seperti Stella, hal ini membuat semakin berat baginya.Setelah beberapa dorongan kuat, Charles belum mengeluarkan kejantanannya darinya. Dia memiringkan kepalanya dan mengeratkan cengkraman di pinggang Stella, lalu menenggelamkan kejantanannya lebih lagi di l
“Sial, aku sangat merindukanmu!” Ucap Charles sambil merobek atasan lengan panjangnya. Kancing-kancingnya bertebangan dan memperlihatkan buah dadanya. Meskipun ditutupi oleh kain merah kecil, dia mulai menciuminya.“Uhmmm …. Sial, Charles! Kenapa kamu merobek bajuku?” Dia memarahi Charles dan jantungnya berdegup.Charles mengangkat dalamannya dan menghisap putingnya layaknya seorang anak kecil.“Maafkan aku, akan kubelikan yang baru,” bisiknya sambil terus menghisap putingnya.Stella merasa kewalahan akan sensasi asing yang menjalari tubuhnya saat Charles bergantian memberi perhatian pada kedua buah dadanya. Dia melepas kaitan dalamannya, seolah takut jika dia akan kehabisan susu jika melihat caranya menghisap buah dada Stella. Tangannya menggerayang secara liar, bahkan tidak repot-repot melepas celananya. Dia menyelipkan tangannya ke dalam celana dalam Stella, dan si wanita merasa seperti tersengat listrik saat jarinya bermain dengan klitorisnya.“Charles, ahhh sialan! Apa yang kamu l
Ketika Stella kembali ke rumah yang pernah ditinggalinya bersama Charles, lingkungan rumah itu sangat sepi. Siti tidak terlihat di mana pun, membuatnya kebingungan. Ramon ada di ruang tengah, tampak seperti dia sudah menunggu cukup lama.“Kenapa kamu ada di ruang tengah, Kakek? Apakah Kakek sudah makan malam?” tanya Stella.“Sudah, tapi Charles belum,” jawab Ramon.Stella menoleh pada Ria dengan tatapan penuh tanya.“Pak Tjandra sedang minum sejak beberapa waktu yang lalu dan tidak ingin diganggu,” jelas Ria.Stella mengerutkan dahinya, bertanya-tanya kenapa Charles tiba-tiba memutuskan untuk minum-minum. Dia lalu mengingat Elizabeth dan mendecakkan lidahnya. “Mungkin dia sakit hati karena putus dengan Elizabeth, jadi dia minum-minum.”Ramon dengan cepat menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan asumsi Stella. “Kurasa bukan begitu, Stella. Aku akan memeriksanya. Dia mungkin sudah minum terlalu banyak.”Stella dengan cepat menghentikan kursi rodanya. “Aku yang akan pergi, Kakek. Isti
“Stella, nak, benar ini kamu?” Ramon dengan lemah memanggil Stella, saat dia membuka matanya dia melihat Stella duduk di tepi ranjang ranjangnya. Stella segera menghampirinya. “Kakek, bagaimana perasaan Kakek?”Ramon, dengan mata berkaca-kaca, menggenggam tangan Stella dengan gemetaran. “Stella, Kakek tidak tahu berapa lama lagi akan bertahan.”Stella menggigit bibirnya untuk menahan isakannya. Dia menarik napas panjang sebelum berbisik, “Kakek, aku minta maaf aku menyimpan rahasia ini begitu lama. Aku minta maaf tidak memperkenalkannya ke keluarga kita. Aku hanya tidak ingin anakku diketahui, apalagi aku hamil dia di waktu yang sulit.” Mata Ramon memancarkan kebahagiaan. Dia mengerti meski belum tahu penjelasan lengkapnya. “Aku mengerti, Stella! Terima kasih sudah melahirkan cicit pertamaku! Aku pasti tidak akan pernah memaafkan Charles kalau saat itu ada hal buruk yang terjadi denganmu.” Ramon menghela napas. Dia tidak bisa menyalahkan Stella karena menyembunyikan keberadaan anak
Sophie dengan cepat menghampiri Elizabeth dan memeluknya. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghiburnya karena dia merasa tersakiti oleh Charles. Namun, dia juga tidak menyukai perkataan yang keluar dari mulut Elizabeth sebelumnya yang membuat Charles sangat marah.“Sekarang aku mengerti kenapa Kakek tidak menyukaimu,” kata Charles, kekecewaan tampak jelas di wajahnya.“Sayang, maafkan aku! Aku hanya marah dan cemburu, karena itu aku mengatakan hal-hal itu. Aku sangat mencintaimu dan aku akan melakukan apa pun untuk cinta kita!” Elizabeth mulai terisak dan memohon, takut Charles tidak akan mencintainya lagi.“Kita sudah berakhir, Elizabeth,” balasnya dengan dingin.Sophie dan Elizabeth tertegun. Elizabeth merasa seperti dia menjadi tuli karena apa yang baru saja dia dengar dan berdiri membeku di tempatnya.“Maaf, tapi aku sudah menyadari bahwa cintaku padamu sudah hilang sejak lama,” ungkap Charles.Elizabeth dengan cepat melepaskan dirinya dari pelukan Sophie dan berlari ke arah
Ria Halim, perawat Ramon, tersenyum saat dia melihat wanita yang baru saja dia biarkan masuk. Dia segera mengenalinya. Tidak hanya dia sudah melihatnya di kunjungan pertamanya, tapi Ramon sering bercerita tentangnya, mantan cucu menantunya. “Terima kasih sudah mengunjungi Pak Ramon lagi.”Stella tersenyum pada Ria sebelum menatap ke ranjang. Ramon tertidur dengan selang oksigen di hidungnya.“Bagaimana kabarnya? Kenapa dia diberi selang oksigen?” tanyanya dengan khawatir.“Cucunya, Nona Sophie, tadi datang dan dia membawa seorang temannya,” jelas Ria.Stella menghela nafas. Ramon pastilah kecewa dan menyebabkan tekanan darahnya meninggi.“Beliau sudah baik-baik saja. Saya baru memasangkan selang oksigen untuk memastikan beliau lebih nyaman. Dokter juga sudah memeriksanya.”“Kenapa kamu tidak memberitahuku jika ada masalah?” tanya Charles dengan marah sebab dia mencuri dengar perkataan terakhir Ria.Ria menundukkan kepalanya ketakutan ketika melihat Charles. “Maafkan saya, Pak Tjandra,
Charles menghela nafas saat dia melihat Stella bergegas memasuki rumah dengan terlihat ketakutan. Dia perlahan keluar dari mobil dan mengikutinya.Siti terkejut saat pintu terbuka, dan melihat wanita yang tidak pernah diharapkannya untuk dilihatnya kembali. Dia dengan cepat menurunkan kakinya dari meja kaca kecil dan membersihkan kekacauan yang diperbuat olehnya.Stella menatap pelayan itu, menyadari perilakunya tidak berubah ketika Charles tidak ada.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Siti dengan kesal.“Pertanyaan macam apa itu?” tanya Charles balik dengan marah.Wajah Siti memucat saat mendengar suara Charles. Dia tidak menyadari bahwa Charles ada di belakang Stella. “M … Maaf, Pak! Saya terkejut melihat beliau masuk tanpa mengetuk.”Charles mengernyitkan dahinya dan dia memberi tatapan tajam pada Siti. “Inikah caramu memperlakukan Stella selama ini?”Siti merasa jantungnya berpindah ke lambungnya dan dia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Dia menatap pada Stella, mencari ba
Stella dengan enggan memasuki mobil Charles. Charles tidak membiarkannya mengendarai kendaraan lain. Setelah duduk, dia menyilangkan lengannya dan tetap tidak bergerak. Charles mendekat, dan tersenyum padanya. Stella terkesiap tapi tidak bisa bergerak menjauh. Dia perlahan mendekatkan wajahnya, dan Stella merasakan jantungnya berdegup kencang dengan ketakutan dan kepanikan. Dia pikir Charles akan mengecupnya.“Sudah,” ujarnya sambil memasangkan sabuk pengaman Stella.Stella merasa malu karena menyangka Charles akan melakukan hal lain dan memalingkan pandangannya untuk menyembunyikan rona di pipinya.Sebelum dia bisa bergerak, Charles menangkup dagunya dan mendekatkan wajahnya dengan wajahnya sendiri.“Apa yang kamu ...” Perkataannya terhenti oleh ciuman Charles. Tangannya segera mendorong bahunya, tapi hal itu tidak memengaruhi Charles.Ciuman mereka kian mendalam dan Charles menyapukan lidahnya agar dia membuka mulutnya. Bagi Charles, dia seakan menemukan air di padang gurun setelah