“Stella, mengapa kamu ada di kamar Kakek? Apa maumu, dan mengapa kamu kembali?” Sophie menghujami Stella dengan pertanyaan saat dia berjalan mendekat pada Ramon.Stella mendecakkan lidahnya, merasa tersinggung oleh nada Sophie yang seolah menuduh."Sophie, kenapa bertanya seperti itu? Ini rumah Stella, jadi kamu tidak perlu menginterogasinya," sela Ramon.Sophie memutar matanya ke arah Stella, frustrasi karena Ramon masih memihaknya. "Dia tidak menandatangani dokumen sebelumnya, jadi dia tidak punya hak atas rumah milik Charles ini!" Serunya.Magda membeku di tempat ketika mendengar kata-kata Sophie. Dia merasa gugup karena informasi ini mungkin sampai ke Charles."Apa katamu?" Ramon bertanya sambil menyipitkan matanya. "Maksudmu kamu tahu dia tidak menerima tawaran Charles, tapi kamu tidak memberitahunya?"Sophie menjadi pucat, jantungnya berdebar kencang. Sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya, yang diucapkan di saat cemburu dan marah. "Kakek, ini bukan salahku. Stella te
Ramon tenggelam di kursi rodanya, turut tenggelam dalam kesedihannya saat dia sadar Sophie dipenuhi oleh rasa kecemburuan.Stella, karena tidak ingin memperburuk keadaan, tidak membalas komentar Sophie. Sebaliknya, dia berkata dengan lembut, "Kakek Ramon, istirahatlah sekarang. Aku harus pergi."Ramon menatap Stella dengan tatapan memohon, menggelengkan kepalanya, tidak ingin dia pergi. Dia khawatir ini mungkin pertemuan terakhir mereka."Oh, bersikap baiklah sekarang karena Kakek ada!" Sophie mencibir pada Stella.Karena tidak ingin terlibat dan mungkin menjadi sasaran kemarahan Ramon, Magda buru-buru pergi. Dia tahu tindakan Sophie mungkin disalahkan padanya tetapi diam-diam merasa puas dengan kekacauan yang terjadi. Jika Ramon mati karena marah, itu mungkin akan membuat hidupnya lebih mudah."Cukup, Sophie!" Suara Ramon bergetar karena marah."Apa yang terjadi di sini?" Charles memasuki ruangan dengan tergesa-gesa, langsung menuju ke samping Ramon dan memanggil perawat.Sophie panik
Ramon sudah tertidur ketika dokter sampai. Stella masih di dekatnya, mengabaikan tatapan penuh amarah dari Sophie.“Syukurlah kami bisa menurunkan tekanan darahnya. Cobalah untuk tidak membuatnya marah,” kata dokter ke pada keluarga.“Bawa dia menjauh, Charles, sebelum kondisi Kakek memburuk,” ujar Sophie sambil menunjuk Stella."Kalau tidak ada hal berguna yang ingin kau sampaikan, diam saja," jawab Charles tegas.Sophie mengatupkan bibirnya, merasa malu sekaligus marah, merasakan bahwa Charles memihak Stella.“Kalian perlu membawanya ke rumah sakit besok pagi untuk tes darah dan urin,” kata dokter sambil mengemasi tasnya."Terima kasih, dokter," kata Charles sambil menjabat tangan dokter sambil mengajaknya keluar.Stella diam-diam kembali ke tempat duduknya, mengabaikan tatapan tajam Sophie."Mengapa kamu ada di sini? Jika kamu pikir kamu bisa menggunakan Kakek untuk menemui Charles lagi, lebih baik kamu berhenti sekarang karena aku akan membuat hidupmu seperti neraka!" Sophie mengan
“Kamu seharusnya hormat padaku dan berlaku baik padaku. Apakah kamu lupa kalau kamu punya pilihan lain saat kamu kembali?” tanya Stella dengan nada suara rendah yang terdengar mengancam.Elizabeth dengan cepat memandang ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. “Diamlah! Tidak akan ada yang memercayaimu meskipun kamu membocorkannya!”Stella memandangnya rendah. “Jangan khawatir. Aku tidak berencana kembali ke keluarga ini, jadi rahasiamu aman.”Elizabeth sangat marah saat dia melihat Stella pergi, merasa diabaikan dan tidak berdaya.Di ruang kerja, Sophie dengan hati-hati mendekati Charles, dan Magda mengikuti dengan diam. Sikap Charles yang tegas sangat mengintimidasi, membuat Sophie ragu untuk menanyakan panggilan mereka."Ceritakan padaku semuanya sekarang," tuntut Charles.Sophie dan Magda bertukar pandang dengan gugup, keduanya tidak yakin dengan apa yang dimaksud Charles.“Mengapa kamu memberitahuku bahwa Stella mengambil surat-surat itu setelah dia menandatanganinya?”
Sophie dan Magda saling bertukar pandang, mereka memikirkan hal yang sama. Jika Stella masih serumah dengan Ramon, dia pasti akan menggunakan situasi ini untuk berhubungan kembali dengan Charles. Sophie sudah merasa kasihan pada Elizabeth, mengetahui dia akan tersakiti lagi.Charles adalah orang pertama yang keluar dari ruang kerja, meninggalkan mereka. Di ruang tamu, dia menemukan Elizabeth menunggu."Sayang!" seru Elizabeth, bangkit dari sofa begitu dia melihat Charles."Apa yang kamu lakukan di sini?"Elizabeth merasa sakit hati dengan pertanyaannya. "Kudengar Kakek Ramon sedang tidak enak badan dan...""Kamu tidak seharusnya berada di sini, terutama karena itu mungkin akan membuatnya semakin kesal."Elizabeth tidak bisa menyembunyikan rasa sakit di wajahnya. Dia menatap Charles dengan air mata berlinang. Dia merasa seperti parasit, tidak disukai dan membebani. “Charles, jika aku tahu kakekmu akan semakin membenciku, aku tidak akan pernah setuju untuk membiarkanmu menikahi Stella.”
“Jangan khawatir, akan kukembalikan cincin itu ke Kakek Ramon. Aku lupa dialah yang memberikanku itu padaku,” ujar Stella. Charles akan berbicara, tetapi ragu. Egonya menang.Stella menambahkan, "Mungkin kamu sedang menunggu cincin untuk melamar Elizabeth.""Aku bisa menikahinya tanpa cincin itu!"Stella memperhatikan intensitas suaranya dan ketegangan di otot rahangnya yang mengencang. Dia bertanya-tanya mengapa dia begitu kesal."Baiklah, jadi aku tidak perlu merasa bersalah jika kamu belum menikah. Kamu boleh mengambil perhiasan itu jika tidak ingin berakhir pada Siti. Tapi biarkan dia yang menyimpan baju, tas, dan sepatu itu. "Charles merasa lebih frustrasi karena Stella sepertinya meremehkan pentingnya barang-barang ini, menandakan bahwa tidak ada lagi yang berhubungan dengannya yang berarti baginya."Jika kamu sudah siap, aku akan mengambil cincin itu dari kamar." Tanpa menunggu jawabannya, dia menuju ke kamar lamanya."Brengsek!" Charles menendang tembok dengan frustrasi, tida
Stella mengusap bibirnya, merasa jijik setelah ciumannya terpisah dari Charles. Dia ingin meledakkan amarahnya, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia melihat siapa yang menelepon dan dia segera menjawabnya, mengabaikan Charles yang berdiri di depannya. "Ibu, aku mau tidur sekarang," ucap Zion dengan manis.Stella tersenyum mendengar suara Zion, amarahnya memudar. "Iya sayang. Maaf aku tidak bisa menelepon tadi. Kamu sudah makan?"Charles mengepalkan tangannya, melihat kebahagiaan di wajah Stella saat dia berbicara. Nada itu dulunya ditujukan untuknya. Sekarang, terlihat jelas bahwa dia benar-benar mencintai orang yang dia ajak bicara.“Ya, Bu. Aku merindukanmu!”Senyum Stella melebar mendengar kata-kata manis Zion. Jika dia ada di depannya, dia akan membekap pipinya dengan ciuman. "Aku juga merindukanmu, sayang!"Ekspresi Charles menjadi semakin kelam. Sepertinya Stella lupa dia masih di sana. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan ruangan, mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia
“Ini kopi untukmu, sayang,” ujar Elizabeth, tersenyum saat dia menaruh secangkir kopi di depan Charles. Dia tetap membuatkannya meskipun Charles menolak.Charles memijat keningnya, merasakan dampak akibat kurang tidur.“Minumlah selagi masih hangat,” ujarnya dengan halus sekali lagi.“Dia seharusnya minum susu,” ujar Stella yang baru masuk.Charles mengerutkan kening dan menatap ke arah suaranya.Stella tersenyum pada mereka, lalu berjalan ke lemari es. Dia senang melihat susu yang biasa dia beli, menyadari Charles pasti memesannya secara online. Dia mulai minum susu hanya karena dia bersikeras ketika mereka pindah ke rumah ini.Elizabeth menoleh ke Stella, kesal. "Charles tidak minum susu."Mengabaikannya, Stella mengambil susu segar, menuangkannya ke dalam gelas, dan berjalan ke arah Charles. “Sepertinya insomniamu sudah kembali. Jangan lupa minum ini.”Elizabeth berjalan ke arah Stella, dengan marah, berniat mengambil gelas susu itu. Yang mengejutkannya, Charles mengambilnya dan mem
“Tidak peduli kamu suka atau tidak, kamu akan menikah denganku lagi. Kamu tidak akan memiliki suami selain aku,” ujar Charles dengan nada dingin dan raut wajah datar.“Jika kamu merencanakan hal kotor untuk menghindari ini, jangan harap!” Seru Stella.“Siapa yang peduli? Apa yang penting bagiku adalah kamu menjadi istriku dan mengurus perusahaan keluargamu,” sahutnya dengan arogan.Stella kesulitan menyembunyikan kekecewaannya. Kemarahannya naik dua kali lipat, mengetahui bahwa yang dipedulikan Charles adalah reputasi dan kekayaan.“Mulai hari ini, kamu harus menjawab teleponku. Aku harus tahu kamu ke mana, kapanpun kamu pergi sendiri.”“Bajingan, kamu pikir siapa diriku? Wanita yang bisa kamu kendalikan seperti Elizabeth?” Ujarnya ketus, giginya digertakkan dan bibirnya terkatup rapat.“Terserah kamu mau berpikir apa. Aku tahu kamu marah, tapi ini cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkanmu kembali,” jawabnya dengan nada dingin.“Bermimpilah!” Stella dengan cepat memakai pakaiannya
“Ahh, sial! Lebih cepat lagi, sayang!” Charles menggeram sambil meremas pantat Stella.Alih-alih merasakan sakit dari apa yang dilakukannya, nafsu Stella malah semakin menjadi. Stella melepaskan desahannya dan menggerakkan pinggangnya di atas Charles.Namun, Charles tidak puas dengan posisi mereka. Dia dengan cepat berdiri dan menggendongnya, membalikkan badannya dan melakukannya dari belakang.“Aaahhh …” Stella mendesah panjang, melengkungkan punggungnya. Dia mencengkram sofa dengan erat untuk mencegahnya terjatuh.Segalanya terasa bergetar dari intensitas dan kecepatan dorongan Charles. Stella ada di ujung kesadarannya dari kenikmatan saat gerakan Charles dipercepat. Terdengar dari geramannya, jelas sekali dia menikmatinya, sama seperti Stella, hal ini membuat semakin berat baginya.Setelah beberapa dorongan kuat, Charles belum mengeluarkan kejantanannya darinya. Dia memiringkan kepalanya dan mengeratkan cengkraman di pinggang Stella, lalu menenggelamkan kejantanannya lebih lagi di l
“Sial, aku sangat merindukanmu!” Ucap Charles sambil merobek atasan lengan panjangnya. Kancing-kancingnya bertebangan dan memperlihatkan buah dadanya. Meskipun ditutupi oleh kain merah kecil, dia mulai menciuminya.“Uhmmm …. Sial, Charles! Kenapa kamu merobek bajuku?” Dia memarahi Charles dan jantungnya berdegup.Charles mengangkat dalamannya dan menghisap putingnya layaknya seorang anak kecil.“Maafkan aku, akan kubelikan yang baru,” bisiknya sambil terus menghisap putingnya.Stella merasa kewalahan akan sensasi asing yang menjalari tubuhnya saat Charles bergantian memberi perhatian pada kedua buah dadanya. Dia melepas kaitan dalamannya, seolah takut jika dia akan kehabisan susu jika melihat caranya menghisap buah dada Stella. Tangannya menggerayang secara liar, bahkan tidak repot-repot melepas celananya. Dia menyelipkan tangannya ke dalam celana dalam Stella, dan si wanita merasa seperti tersengat listrik saat jarinya bermain dengan klitorisnya.“Charles, ahhh sialan! Apa yang kamu l
Ketika Stella kembali ke rumah yang pernah ditinggalinya bersama Charles, lingkungan rumah itu sangat sepi. Siti tidak terlihat di mana pun, membuatnya kebingungan. Ramon ada di ruang tengah, tampak seperti dia sudah menunggu cukup lama.“Kenapa kamu ada di ruang tengah, Kakek? Apakah Kakek sudah makan malam?” tanya Stella.“Sudah, tapi Charles belum,” jawab Ramon.Stella menoleh pada Ria dengan tatapan penuh tanya.“Pak Tjandra sedang minum sejak beberapa waktu yang lalu dan tidak ingin diganggu,” jelas Ria.Stella mengerutkan dahinya, bertanya-tanya kenapa Charles tiba-tiba memutuskan untuk minum-minum. Dia lalu mengingat Elizabeth dan mendecakkan lidahnya. “Mungkin dia sakit hati karena putus dengan Elizabeth, jadi dia minum-minum.”Ramon dengan cepat menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan asumsi Stella. “Kurasa bukan begitu, Stella. Aku akan memeriksanya. Dia mungkin sudah minum terlalu banyak.”Stella dengan cepat menghentikan kursi rodanya. “Aku yang akan pergi, Kakek. Isti
“Stella, nak, benar ini kamu?” Ramon dengan lemah memanggil Stella, saat dia membuka matanya dia melihat Stella duduk di tepi ranjang ranjangnya. Stella segera menghampirinya. “Kakek, bagaimana perasaan Kakek?”Ramon, dengan mata berkaca-kaca, menggenggam tangan Stella dengan gemetaran. “Stella, Kakek tidak tahu berapa lama lagi akan bertahan.”Stella menggigit bibirnya untuk menahan isakannya. Dia menarik napas panjang sebelum berbisik, “Kakek, aku minta maaf aku menyimpan rahasia ini begitu lama. Aku minta maaf tidak memperkenalkannya ke keluarga kita. Aku hanya tidak ingin anakku diketahui, apalagi aku hamil dia di waktu yang sulit.” Mata Ramon memancarkan kebahagiaan. Dia mengerti meski belum tahu penjelasan lengkapnya. “Aku mengerti, Stella! Terima kasih sudah melahirkan cicit pertamaku! Aku pasti tidak akan pernah memaafkan Charles kalau saat itu ada hal buruk yang terjadi denganmu.” Ramon menghela napas. Dia tidak bisa menyalahkan Stella karena menyembunyikan keberadaan anak
Sophie dengan cepat menghampiri Elizabeth dan memeluknya. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghiburnya karena dia merasa tersakiti oleh Charles. Namun, dia juga tidak menyukai perkataan yang keluar dari mulut Elizabeth sebelumnya yang membuat Charles sangat marah.“Sekarang aku mengerti kenapa Kakek tidak menyukaimu,” kata Charles, kekecewaan tampak jelas di wajahnya.“Sayang, maafkan aku! Aku hanya marah dan cemburu, karena itu aku mengatakan hal-hal itu. Aku sangat mencintaimu dan aku akan melakukan apa pun untuk cinta kita!” Elizabeth mulai terisak dan memohon, takut Charles tidak akan mencintainya lagi.“Kita sudah berakhir, Elizabeth,” balasnya dengan dingin.Sophie dan Elizabeth tertegun. Elizabeth merasa seperti dia menjadi tuli karena apa yang baru saja dia dengar dan berdiri membeku di tempatnya.“Maaf, tapi aku sudah menyadari bahwa cintaku padamu sudah hilang sejak lama,” ungkap Charles.Elizabeth dengan cepat melepaskan dirinya dari pelukan Sophie dan berlari ke arah
Ria Halim, perawat Ramon, tersenyum saat dia melihat wanita yang baru saja dia biarkan masuk. Dia segera mengenalinya. Tidak hanya dia sudah melihatnya di kunjungan pertamanya, tapi Ramon sering bercerita tentangnya, mantan cucu menantunya. “Terima kasih sudah mengunjungi Pak Ramon lagi.”Stella tersenyum pada Ria sebelum menatap ke ranjang. Ramon tertidur dengan selang oksigen di hidungnya.“Bagaimana kabarnya? Kenapa dia diberi selang oksigen?” tanyanya dengan khawatir.“Cucunya, Nona Sophie, tadi datang dan dia membawa seorang temannya,” jelas Ria.Stella menghela nafas. Ramon pastilah kecewa dan menyebabkan tekanan darahnya meninggi.“Beliau sudah baik-baik saja. Saya baru memasangkan selang oksigen untuk memastikan beliau lebih nyaman. Dokter juga sudah memeriksanya.”“Kenapa kamu tidak memberitahuku jika ada masalah?” tanya Charles dengan marah sebab dia mencuri dengar perkataan terakhir Ria.Ria menundukkan kepalanya ketakutan ketika melihat Charles. “Maafkan saya, Pak Tjandra,
Charles menghela nafas saat dia melihat Stella bergegas memasuki rumah dengan terlihat ketakutan. Dia perlahan keluar dari mobil dan mengikutinya.Siti terkejut saat pintu terbuka, dan melihat wanita yang tidak pernah diharapkannya untuk dilihatnya kembali. Dia dengan cepat menurunkan kakinya dari meja kaca kecil dan membersihkan kekacauan yang diperbuat olehnya.Stella menatap pelayan itu, menyadari perilakunya tidak berubah ketika Charles tidak ada.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Siti dengan kesal.“Pertanyaan macam apa itu?” tanya Charles balik dengan marah.Wajah Siti memucat saat mendengar suara Charles. Dia tidak menyadari bahwa Charles ada di belakang Stella. “M … Maaf, Pak! Saya terkejut melihat beliau masuk tanpa mengetuk.”Charles mengernyitkan dahinya dan dia memberi tatapan tajam pada Siti. “Inikah caramu memperlakukan Stella selama ini?”Siti merasa jantungnya berpindah ke lambungnya dan dia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Dia menatap pada Stella, mencari ba
Stella dengan enggan memasuki mobil Charles. Charles tidak membiarkannya mengendarai kendaraan lain. Setelah duduk, dia menyilangkan lengannya dan tetap tidak bergerak. Charles mendekat, dan tersenyum padanya. Stella terkesiap tapi tidak bisa bergerak menjauh. Dia perlahan mendekatkan wajahnya, dan Stella merasakan jantungnya berdegup kencang dengan ketakutan dan kepanikan. Dia pikir Charles akan mengecupnya.“Sudah,” ujarnya sambil memasangkan sabuk pengaman Stella.Stella merasa malu karena menyangka Charles akan melakukan hal lain dan memalingkan pandangannya untuk menyembunyikan rona di pipinya.Sebelum dia bisa bergerak, Charles menangkup dagunya dan mendekatkan wajahnya dengan wajahnya sendiri.“Apa yang kamu ...” Perkataannya terhenti oleh ciuman Charles. Tangannya segera mendorong bahunya, tapi hal itu tidak memengaruhi Charles.Ciuman mereka kian mendalam dan Charles menyapukan lidahnya agar dia membuka mulutnya. Bagi Charles, dia seakan menemukan air di padang gurun setelah