“Sudahkah kamu memutuskan mau memakai apa?” tanya Firdaus pada Stella.“Ya. Bagaimana keadaan Kakek?” tanya Stella sembari mengulurkan tangan, memeriksa suhu Firdaus. Dia merasakan stresnya, terutama dengan adanya sepupu mereka. Dia menunggu Firdaus memperkenalkannya sebelum berurusan dengan orang-orang yang dia curigai ada hubungannya dengan hilangnya Lutfi.“Aku baik-baik saja, jangan dipikirkan. Kamu harus tunjukkan kalau kamu tangguh,” saran Firdaus.Stella tersenyum kecil pada Firdaus. “Aku berjanji akan membiarkanmu memimpin keputusan hidupku mulai sekarang.”Firdaus balas tersenyum, merasa bangga dengan ketangguhan Stella. Dia menjadi tegar sejak semuanya berjalan lancar, dan dia bahkan mungkin berhutang budi kepada pria yang menghamilinya.“Kakek, jika memungkinkan, aku ingin Zion dirahasiakan dari publik,” ucap Stella.Firdaus mengerti. Dia juga tidak ingin tersiar kabar tentang cicitnya, terutama karena dia seorang laki-laki. Zion tinggal di tempat Stella dibesarkan, dan mere
Diana menatap tajam pada wanita yang turut melihat ke arahnya. Ketika pandangan mereka bertemu, keterkejutan memenuhi ekspresinya. “Stella?!”Stella tidak heran Diana kaget melihatnya. Lagipula, Diana tidak mengetahui identitas asli Stella, jadi bisa dimengerti kenapa dia bingung melihatnya di lantai itu.Stella hendak melangkah mendekati Diana ketika pria yang diajak bicaranya berbalik menghadapnya. Jika Diana kaget melihatnya, kini Stella-lah yang kaget saat mengenali pria itu.Charles mengerutkan kening ketika dia mengenali wanita yang ingin dia lihat. Tadinya dia mengira salah dengar nama yang disebutkan Diana. Dia tidak pernah membayangkan akan melihat mantan istrinya yang telah lama hilang di perusahaan ini."Astaga, itu kamu, Stella!" Diana berseru dramatis dan segera mendekatinya. "Apa yang kamu lakukan disini? Maksudku, kapan kamu menjadi karyawan di perusahaan kami?"Stella ingin memutar matanya tetapi menahannya. Dia pun menahan tawa saat Diana mengklaim perusahaan itu sebag
“Pak, rapatnya sudah mau dimulai,”Charles menoleh ke sekretarisnya, menyadari dia mengikutinya. Dia menghela nafas, lalu kembali ke ruang meeting.Stella, sementara itu, sudah kehilangan minat untuk pergi ke ruang rapat. Sakit kepala yang tiba-tiba membuatnya memutuskan untuk pergi.Alex dengan cepat mendekatinya, menawarkan uluran tangan saat mereka berjalan menuju lift.Charles mengepalkan tangannya saat dia melihat pria bersama Stella. Jadi, itu adalah orang yang sama di foto itu. Dia merasakan hubungan antara pria ini dan perusahaan, yang memperjelas kehadiran mereka. Saat pintu lift tertutup, Stella dan Charles bertukar tatapan sedingin es."Apakah kamu baik-baik saja?" Alex bertanya, prihatin.“Ayo langsung menuju Zion,” gumamnya, suaranya tegang.Alex tidak mendesak untuk memberikan rincian lebih lanjut dan mematuhi arahannya.Sesampainya di mansion, Firdaus semakin tidak sabar menunggu telepon dari asistennya. Dua puluh menit berlalu sebelum telepon akhirnya berdering.“Pak, s
“Inikah teman yang kamu sebut sebelumnya, Diana?” tanya Fajar sambil mengamati pria itu."Ya!" Dia tersenyum, menempel di lengannya. “Dialah orangnya, jadi tolong jangan menyulitkannya di sini.Mikhail menggaruk kepalanya, menyadari dia tidak bisa menolak ajakan Diana sekarang. Dia mengenal Fajar dengan baik—ia merupakan salah satu calon CEO perusahaan tersebut.Fajar menoleh ke arah Mikhail sambil tersenyum ramah. "Senang bertemu denganmu lagi. Maaf atas semua pertanyaan tadi di ruang meeting."Diana cemberut dan menarik pelan lengan Fajar, menandakan ketidaksetujuannya terhadap kelakuan Fajar sebelumnya."Tidak apa-apa. Bisnis adalah bisnis. Jika aku berada di posisimu, aku akan melakukan hal yang sama. Terima kasih sudah bersikap profesional, dan tolong perlakukan aku seperti orang lain, meskipun aku berteman dengan Diana.""Mikhail, jangan khawatir. Fajar bicara seperti ini karena kita sedang tidak ada pekerjaan. Biasakan saja, dia memperlakukan semua orang di dekatku dengan cara y
“Bu, saya akan menyiapkan sarapan kesukaan Anda,” ucap Siti cepat sebelum berjalan menjauh dari Stella.Stella ingin menghentikannya, tapi Siti sudah pergi. Kembali ke Charles, dia merasakan emosi aneh di matanya. Meskipun dia tidak percaya, sepertinya ada sentuhan kerinduan dalam tatapannya.Charles, yang terpaut sebentar, mengerjap, mendapatkan kembali fokusnya. Dia tidak bisa memahami emosinya sebelumnya. “Senang melihatmu belum sepenuhnya melupakan Kakek,” komentarnya.Kemarahan Stella berkobar mendengar kata-katanya. Dia meragukan matanya sendiri dari sebelumnya. Charles tetap sombong seperti biasanya, tidak menunjukkan kebaikan padanya. Dia masih melihatnya hanya sebagai wanita materialistis dan palsu.Dia menjawab, "Aku di sini bukan untuk mencari masalah. Aku tidak datang untuk ngobrol denganmu."Charles terdiam, terkejut dengan nada dingin Stella. Dia menatap matanya, tapi tidak menunjukkan emosi. Dia sadar bahwa dia telah berubah. Dia merindukan kehangatan dan memohon dalam t
“Stella, kumohon sabarlah dengan Charles. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku karena sudah ada suster yang mengurusku. Aku hanya bahagia melihatmu sekarang, dan aku tenang mengetahui kamu terlihat bahagia dengan hidupmu sekarang,” ujar Ramon.Stella tersenyum dan mengangguk padanya sebelum menatap Charles. “Aku menikah dengan seseorang yang kaya, jadi aku tidak perlu bekerja keras lagi.”Charles menggertakkan rahangnya, jelas kesal. Dia tidak tahan Stella tidak membutuhkannya sekarang karena pasangan barunya lebih kaya."Tapi jangan khawatir, aku akan tetap mengunjungi Kakek Ramon dan menjaganya selagi aku bisa. Aku diterima di sini kapan saja, ‘kan? Lagipula, ini adalah rumahku.""Tentu saja, tapi tolong izinkan Kakek tinggal di sini. Dia suka tinggal di sini," jawab Charles kaku.Stella menggelengkan kepalanya saat dia menatapnya. Sepertinya dia memanjangkan rambutnya hanya untuk membuatnya kesal.'Jangan terlalu percaya diri. Dia tidak memanjangkan rambutnya karena kamu,' pikirnya. '
“Apakah kamu yakin dia mengambil uang yang kamu sebutkan sebagai ganti kebebasannya?” tanya Ramon, mendesak Charles. Charles hanya tahu bahwa Stella menerima uang itu dan pergi."Dan kamu yakin dia punya pria lain?" Ramon kembali menekan Charles."Kakek, Kakek sudah mendengarnya tadi. Katanya dia sudah menikah sekarang," jawab Charles enggan.Ramon menggelengkan kepalanya tak percaya. “Kuharap Sophie tidak bodoh dalam memilih pasangannya. Dan kuharap dia tidak buta terhadap kebenaran, seperti kamu.”Charles menghela nafas pelan, memilih untuk tidak berdebat dengan Ramon.Kalau terserah Ramon, dia pasti sudah mengusir Magda dari kehidupan cucu-cucunya setelah Ayah mereka meninggal. Namun Sophie mencintai Magda karena dia tumbuh dengan mengenalnya sebagai ibunya. Ramon terdiam, jadi Charles kembali mengerjakan pekerjaannya."Makanannya sudah siap! Ayolah, aku tahu kamu rindu masakanku." Stella mendekati Ramon dengan riang.Charles secara naluriah berdiri dan mengikuti Stella, yang mendor
“Stella, mengapa kamu ada di kamar Kakek? Apa maumu, dan mengapa kamu kembali?” Sophie menghujami Stella dengan pertanyaan saat dia berjalan mendekat pada Ramon.Stella mendecakkan lidahnya, merasa tersinggung oleh nada Sophie yang seolah menuduh."Sophie, kenapa bertanya seperti itu? Ini rumah Stella, jadi kamu tidak perlu menginterogasinya," sela Ramon.Sophie memutar matanya ke arah Stella, frustrasi karena Ramon masih memihaknya. "Dia tidak menandatangani dokumen sebelumnya, jadi dia tidak punya hak atas rumah milik Charles ini!" Serunya.Magda membeku di tempat ketika mendengar kata-kata Sophie. Dia merasa gugup karena informasi ini mungkin sampai ke Charles."Apa katamu?" Ramon bertanya sambil menyipitkan matanya. "Maksudmu kamu tahu dia tidak menerima tawaran Charles, tapi kamu tidak memberitahunya?"Sophie menjadi pucat, jantungnya berdebar kencang. Sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katanya, yang diucapkan di saat cemburu dan marah. "Kakek, ini bukan salahku. Stella te
“Tidak peduli kamu suka atau tidak, kamu akan menikah denganku lagi. Kamu tidak akan memiliki suami selain aku,” ujar Charles dengan nada dingin dan raut wajah datar.“Jika kamu merencanakan hal kotor untuk menghindari ini, jangan harap!” Seru Stella.“Siapa yang peduli? Apa yang penting bagiku adalah kamu menjadi istriku dan mengurus perusahaan keluargamu,” sahutnya dengan arogan.Stella kesulitan menyembunyikan kekecewaannya. Kemarahannya naik dua kali lipat, mengetahui bahwa yang dipedulikan Charles adalah reputasi dan kekayaan.“Mulai hari ini, kamu harus menjawab teleponku. Aku harus tahu kamu ke mana, kapanpun kamu pergi sendiri.”“Bajingan, kamu pikir siapa diriku? Wanita yang bisa kamu kendalikan seperti Elizabeth?” Ujarnya ketus, giginya digertakkan dan bibirnya terkatup rapat.“Terserah kamu mau berpikir apa. Aku tahu kamu marah, tapi ini cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkanmu kembali,” jawabnya dengan nada dingin.“Bermimpilah!” Stella dengan cepat memakai pakaiannya
“Ahh, sial! Lebih cepat lagi, sayang!” Charles menggeram sambil meremas pantat Stella.Alih-alih merasakan sakit dari apa yang dilakukannya, nafsu Stella malah semakin menjadi. Stella melepaskan desahannya dan menggerakkan pinggangnya di atas Charles.Namun, Charles tidak puas dengan posisi mereka. Dia dengan cepat berdiri dan menggendongnya, membalikkan badannya dan melakukannya dari belakang.“Aaahhh …” Stella mendesah panjang, melengkungkan punggungnya. Dia mencengkram sofa dengan erat untuk mencegahnya terjatuh.Segalanya terasa bergetar dari intensitas dan kecepatan dorongan Charles. Stella ada di ujung kesadarannya dari kenikmatan saat gerakan Charles dipercepat. Terdengar dari geramannya, jelas sekali dia menikmatinya, sama seperti Stella, hal ini membuat semakin berat baginya.Setelah beberapa dorongan kuat, Charles belum mengeluarkan kejantanannya darinya. Dia memiringkan kepalanya dan mengeratkan cengkraman di pinggang Stella, lalu menenggelamkan kejantanannya lebih lagi di l
“Sial, aku sangat merindukanmu!” Ucap Charles sambil merobek atasan lengan panjangnya. Kancing-kancingnya bertebangan dan memperlihatkan buah dadanya. Meskipun ditutupi oleh kain merah kecil, dia mulai menciuminya.“Uhmmm …. Sial, Charles! Kenapa kamu merobek bajuku?” Dia memarahi Charles dan jantungnya berdegup.Charles mengangkat dalamannya dan menghisap putingnya layaknya seorang anak kecil.“Maafkan aku, akan kubelikan yang baru,” bisiknya sambil terus menghisap putingnya.Stella merasa kewalahan akan sensasi asing yang menjalari tubuhnya saat Charles bergantian memberi perhatian pada kedua buah dadanya. Dia melepas kaitan dalamannya, seolah takut jika dia akan kehabisan susu jika melihat caranya menghisap buah dada Stella. Tangannya menggerayang secara liar, bahkan tidak repot-repot melepas celananya. Dia menyelipkan tangannya ke dalam celana dalam Stella, dan si wanita merasa seperti tersengat listrik saat jarinya bermain dengan klitorisnya.“Charles, ahhh sialan! Apa yang kamu l
Ketika Stella kembali ke rumah yang pernah ditinggalinya bersama Charles, lingkungan rumah itu sangat sepi. Siti tidak terlihat di mana pun, membuatnya kebingungan. Ramon ada di ruang tengah, tampak seperti dia sudah menunggu cukup lama.“Kenapa kamu ada di ruang tengah, Kakek? Apakah Kakek sudah makan malam?” tanya Stella.“Sudah, tapi Charles belum,” jawab Ramon.Stella menoleh pada Ria dengan tatapan penuh tanya.“Pak Tjandra sedang minum sejak beberapa waktu yang lalu dan tidak ingin diganggu,” jelas Ria.Stella mengerutkan dahinya, bertanya-tanya kenapa Charles tiba-tiba memutuskan untuk minum-minum. Dia lalu mengingat Elizabeth dan mendecakkan lidahnya. “Mungkin dia sakit hati karena putus dengan Elizabeth, jadi dia minum-minum.”Ramon dengan cepat menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan asumsi Stella. “Kurasa bukan begitu, Stella. Aku akan memeriksanya. Dia mungkin sudah minum terlalu banyak.”Stella dengan cepat menghentikan kursi rodanya. “Aku yang akan pergi, Kakek. Isti
“Stella, nak, benar ini kamu?” Ramon dengan lemah memanggil Stella, saat dia membuka matanya dia melihat Stella duduk di tepi ranjang ranjangnya. Stella segera menghampirinya. “Kakek, bagaimana perasaan Kakek?”Ramon, dengan mata berkaca-kaca, menggenggam tangan Stella dengan gemetaran. “Stella, Kakek tidak tahu berapa lama lagi akan bertahan.”Stella menggigit bibirnya untuk menahan isakannya. Dia menarik napas panjang sebelum berbisik, “Kakek, aku minta maaf aku menyimpan rahasia ini begitu lama. Aku minta maaf tidak memperkenalkannya ke keluarga kita. Aku hanya tidak ingin anakku diketahui, apalagi aku hamil dia di waktu yang sulit.” Mata Ramon memancarkan kebahagiaan. Dia mengerti meski belum tahu penjelasan lengkapnya. “Aku mengerti, Stella! Terima kasih sudah melahirkan cicit pertamaku! Aku pasti tidak akan pernah memaafkan Charles kalau saat itu ada hal buruk yang terjadi denganmu.” Ramon menghela napas. Dia tidak bisa menyalahkan Stella karena menyembunyikan keberadaan anak
Sophie dengan cepat menghampiri Elizabeth dan memeluknya. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghiburnya karena dia merasa tersakiti oleh Charles. Namun, dia juga tidak menyukai perkataan yang keluar dari mulut Elizabeth sebelumnya yang membuat Charles sangat marah.“Sekarang aku mengerti kenapa Kakek tidak menyukaimu,” kata Charles, kekecewaan tampak jelas di wajahnya.“Sayang, maafkan aku! Aku hanya marah dan cemburu, karena itu aku mengatakan hal-hal itu. Aku sangat mencintaimu dan aku akan melakukan apa pun untuk cinta kita!” Elizabeth mulai terisak dan memohon, takut Charles tidak akan mencintainya lagi.“Kita sudah berakhir, Elizabeth,” balasnya dengan dingin.Sophie dan Elizabeth tertegun. Elizabeth merasa seperti dia menjadi tuli karena apa yang baru saja dia dengar dan berdiri membeku di tempatnya.“Maaf, tapi aku sudah menyadari bahwa cintaku padamu sudah hilang sejak lama,” ungkap Charles.Elizabeth dengan cepat melepaskan dirinya dari pelukan Sophie dan berlari ke arah
Ria Halim, perawat Ramon, tersenyum saat dia melihat wanita yang baru saja dia biarkan masuk. Dia segera mengenalinya. Tidak hanya dia sudah melihatnya di kunjungan pertamanya, tapi Ramon sering bercerita tentangnya, mantan cucu menantunya. “Terima kasih sudah mengunjungi Pak Ramon lagi.”Stella tersenyum pada Ria sebelum menatap ke ranjang. Ramon tertidur dengan selang oksigen di hidungnya.“Bagaimana kabarnya? Kenapa dia diberi selang oksigen?” tanyanya dengan khawatir.“Cucunya, Nona Sophie, tadi datang dan dia membawa seorang temannya,” jelas Ria.Stella menghela nafas. Ramon pastilah kecewa dan menyebabkan tekanan darahnya meninggi.“Beliau sudah baik-baik saja. Saya baru memasangkan selang oksigen untuk memastikan beliau lebih nyaman. Dokter juga sudah memeriksanya.”“Kenapa kamu tidak memberitahuku jika ada masalah?” tanya Charles dengan marah sebab dia mencuri dengar perkataan terakhir Ria.Ria menundukkan kepalanya ketakutan ketika melihat Charles. “Maafkan saya, Pak Tjandra,
Charles menghela nafas saat dia melihat Stella bergegas memasuki rumah dengan terlihat ketakutan. Dia perlahan keluar dari mobil dan mengikutinya.Siti terkejut saat pintu terbuka, dan melihat wanita yang tidak pernah diharapkannya untuk dilihatnya kembali. Dia dengan cepat menurunkan kakinya dari meja kaca kecil dan membersihkan kekacauan yang diperbuat olehnya.Stella menatap pelayan itu, menyadari perilakunya tidak berubah ketika Charles tidak ada.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Siti dengan kesal.“Pertanyaan macam apa itu?” tanya Charles balik dengan marah.Wajah Siti memucat saat mendengar suara Charles. Dia tidak menyadari bahwa Charles ada di belakang Stella. “M … Maaf, Pak! Saya terkejut melihat beliau masuk tanpa mengetuk.”Charles mengernyitkan dahinya dan dia memberi tatapan tajam pada Siti. “Inikah caramu memperlakukan Stella selama ini?”Siti merasa jantungnya berpindah ke lambungnya dan dia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Dia menatap pada Stella, mencari ba
Stella dengan enggan memasuki mobil Charles. Charles tidak membiarkannya mengendarai kendaraan lain. Setelah duduk, dia menyilangkan lengannya dan tetap tidak bergerak. Charles mendekat, dan tersenyum padanya. Stella terkesiap tapi tidak bisa bergerak menjauh. Dia perlahan mendekatkan wajahnya, dan Stella merasakan jantungnya berdegup kencang dengan ketakutan dan kepanikan. Dia pikir Charles akan mengecupnya.“Sudah,” ujarnya sambil memasangkan sabuk pengaman Stella.Stella merasa malu karena menyangka Charles akan melakukan hal lain dan memalingkan pandangannya untuk menyembunyikan rona di pipinya.Sebelum dia bisa bergerak, Charles menangkup dagunya dan mendekatkan wajahnya dengan wajahnya sendiri.“Apa yang kamu ...” Perkataannya terhenti oleh ciuman Charles. Tangannya segera mendorong bahunya, tapi hal itu tidak memengaruhi Charles.Ciuman mereka kian mendalam dan Charles menyapukan lidahnya agar dia membuka mulutnya. Bagi Charles, dia seakan menemukan air di padang gurun setelah