"Jadi benar, Tiara memiliki anak dari Ziyan," tanya Wisnu pelan.
"Apa anda tidak mengetahui itu?" Thomas justru balik bertanya.Wisnu menggelang kepala, walaupun sebenarnya percuma ia lakukan itu, karena Thomas juga tidak melihatnya."Bapak baru menyadari itu sekarang, maafkan atas kelalaian bapak ini, nak" ujarnya penuh sesal."Hah! sudahlah pak, semuanya sudah terjadi. Saya hanya berharap, sekarang bapak bisa bersikap baik pada Tiara maupun Nana," balas Thomas."Itu pasti akan bapak lakukan, Nak," jawab Wisnu, "Lalu, bagaimana dengan Bram? Apa dia bisa menerima anak Tiara?""Iya, karena anak itu begitu menggemaskan. Anda tenang saja, karena secepatnya aku pasti membawa Nana berkunjung ke rumah anda.""Benarkah!" sela Wisnu yang seketika berubah sumringah.Keharuan tidak bisa lagi pria paruh bayah itu sembunyikan, ia bahkan tersenyum sambil meneteskan air mata"Mau kemana kamu?" tanya Thomas.Ia yang saat itu sedang duduk di kursi dekat kolam, memperhatikan ikan-ikan peliharaannya, seketika menegakkan tubuh begitu mendapati Sari hendak lewat di sampingnya"Kamu nanyak, kamu bertanya-tanya," jawab gadis itu.Thomas berdecit melihat Sari justru memajukan bibir.'Sial! bibirnya bikin otakku langsung traveling,' geramnya dalam hati."Gitu amat jawabnya Sar, tanya baik-baik loh ini," ujar Thomas."Iya mas Tom-Tom, aku mau bantu-bantu mbak di dapur siapin makan siang, mumpung Nana lagi belajar melukis di kamar," jawab Sari dengan suara dibuat sehalus mungkin dan disertai senyum kaku."Nah, gitu kan enak di lihat. Buatin kopi dong, terus, anter ke ruang kerjaku ya," pinta Thomas."Iya, mas Tom-Tom," sambung Sari masih bersikap terpaksa baik pada Thomas.'Ck, kalau saja kamu bukan adiknya tuan Bram, mungkin sudah aku nikah
Sari merutuki diri, merasa lancang karena sudah berani menanyakan urusan pribadi Thomas. Terlepas dari apa yang pernah dilakukan pria itu padanya, tapi Sari menganggap jika pertanyaannya barusan sudah berlebihan."Maaf mas, kalau aku sudah lancang bertanya." Sari spontan menarik kedua tangannya, lalu terjingkat bangun."Kamu mau kemana, sini biar aku obati dulu," terang Thomas seraya mendongak."Enggak apa-apa mas, ini hanya luka kecil, aku bisa obati sendiri dibelakang kok."Sejujurnya, Sari merasa kikuk bisa sedekat itu dengan Thomas, walaupun mereka sering bertemu selama dirinya tinggal di paviliun, tapi dengan jarak sedekat itu, baru pertama kali terjadi. Dan lagi, Sari juga cukup sadar diri siapa dirinya."Sudahlah, jangan membantahku. Duduk lagi, aku obati lukamu. Ini juga karena aku kedua tanganmu bisa merah begini," ucap Thomas."Ta-tapi–""Sudah, duduk saja," sela Thomas.
"Kau sudah pulang kak," tanya Thomas yang kebetulan berpasangan dengan Bram saat berada di tangga."Ada apa dengan wajahmu? apa kau baik-baik saja?" Begitulah Bram, di balik wajah datar dan sikap pendiamnya, sebenarnya pria itu memiliki kepedulian tinggi pada orang-orang terdekatnya."Apa kamu sudah melihat berita hari ini?" Thomas justru balik tertanya."Tidak, aku belum sempat membuka berita apapun hari ini.""Ck, memang begitu, kalau sudah berurusan dengan ranjang, tidak ada hal lain lagi yang ingin dilakukan," sindir Thomas.Tidak ingin menanggapi sindiran Thomas, Bram langsung merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Dan dalam hitungan menit, pria itu-pun langsung membuka berita trending hari itu."Cih, sudah aku katakan, dia bukan wanita yang pantas bersanding denganmu, dan sekarang. Dia sendiri yang membuktikan siapa dia sebenarnya," cibir Bram.Pria itu seringai,
Tangan mungil Nana terus menggenggam erat jari telunjuk Bram. Keduanya berjalan beriringan saat memasuki pusat perbelanjaan. Ternyata, Bram memutuskan mengajak Nana ke tempat itu, daripada ke taman bermain seperti yang ia ucapkan sore tadi. Setelah makan malam, Bram langsung mengajar Nana keluar, agar gadis itu tidak lagi murung mengingat ibunya."Wah .. tempat ini besar sekali, paman. Apa kita nanti akan naik kesana?" tanya Nana seraya menunjuk eskalator."Iya, kita kesana sekarang."Mengenakan pakaian santai lengkap dengan kacamata hitam, Bram berjalan penuh percaya diri. Seolah, genggaman erat Nana di jarinya tidak membuat pria tiga puluh satu tahun itu risih sedikitpun. Bahkan, tatapan kagum para kaum hawa yang menyebutnya 'hot daddy' tidak Bram pedulikan. Pria itu tetap acuh, saat sesekali membenahi poni Nana yang menghalangi matanya.Sungguh, pemandangan manis layaknya seorang ayah dan anak perempuan pada umumnya. Walaupun sebenarnya, mamang itu-lah ikatan yang terjadi diantara
Begitu mobil berhenti, Bram keluar lebih dulu, lalu kembali membuka pintu depan, samping kemudi untuk menggendong Nana yang tertidur. Terlalu semangat bermain, bocah itu sampai kelelahan, dan akhirnya tertidur ketika mobil Bram baru beberapa meter meninggalkan pusat perbelanjaan.Bram, tampak begitu hati-hati saat mengeluarkan Nana dari dalam mobilnya. Seolah khawatir, bocah itu akan terbentur pintu ataupun yang lain."Biar saya saja, tuan," ucap Sari yang sigap mendekat begitu mendengar mobil Bram kembali."Tidak usah, biar aku saja," jawab Bram tanpa suara."Buka saja bagasi, ada beberapa mainannya di sana," jelas Bram yang kini bersuara pelan."Baik tuan."Tanpa menoleh kebelakang lagi, Bram langsung bergegas memasuki rumah melewati pintu penghubung yang terdapat di garansi."Ya ampun, aku lupa bertanya, bagaimana buka bagasinya," gumam Sari kebingungan.Gadis itu sibuk
"Iya," jawab Bram singkat."Sebegitunya kau menyukai anak tirimu itu, kak?" Bram acuh melihat Thomas menahan senyum, sebelum akhirnya ia menjawab, "Kau tahu jawabannya, kenapa masih bertanya""Iya, dan aku hanya ingin memberimu saran, lebih baik kau siapkan kamar sendiri untuk Nana. Agar, saat kamu memasuki kamarnya tidak ada wanita lain," cetus Thomas.Itulah alasannya, kenapa Bram membawa Nana ke kamarnya, karena di paviliun Nana masih tidur bersama Sari. Sementara Bram, setelah apa yang ia lakukan dengan Tiara dan juga Mawar dulu. Membuatnya merasa tidak nyaman berada di kamar wanita dewasa, meskipun hal itu mustahil terjadi, tapi Bram tetap tidak bisa melakukannya."Akan aku pikirkan nanti," jawab Bram, "Pergilah, aku juga ingin istirahat sekarang," sambungnya."Baiklah, selamat malam," ucap Thomas yang langsung berbalik badan dan melenggang pergi.Melihat Thomas sudah berlalu, Bram menutup pintu dengan pelan, khawatir akan mengusik tidur Nana. Setelah berada di kamarnya, Bram mem
Akhirnya, Bram mengakui kekalahannya, ia tidak bisa lagi melawan, pengaruh alkohol telah berhasil melemahkan sebagian besar fungsi saraf dalam tubuhnya. Bahkan, Bram nyaris kehilangan kesadaran. Namun, ia masih coba tahan dengan sedikit tenaga yang tersisa.Sebenarnya, Bram bukan seorang peminum handal, ia juga jarang mengunjungi klub malam jika bukan karena mendapat undangan dari rekan bisnis, maupun sahabatnya yang sedang mengadakan pesta. Sama halnya malam itu. Bram sengaja membawa Tiara, karena memang atas permintaan pemilik acara untuk membawa pasangan masing-masing. Dan, karena terlalu bersemangat bisa berkumpul, tanpa sadar Bram dan yang lain telah menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol tinggi. Bahkan Ziyan, sampai di papah beberapa pria saat keluar dari klub, begitu juga yang lain. Hanya Bram yang terlihat benar-benar sadar, mengingat ada Tiara bersamanya. Tapi ternyata, semua itu hanya tampilan luar, karena kenyataannya kini, pria itu ti
"Dia sudah menghianatiku dengan menikahi sahabatmu sendiri," lirih Bram."Maka dari itu, jika kamu tidak bisa mempercayai dia lagi, apa salahnya kamu cari tau sendiri. Kamu memiliki banyak orang kepercayaan yang bisa kamu andalkan, aku rasa hanya untuk mencari tahu kebenaran itu, bukan hal sulit. Dengar Bram, mempertahankan ego tidak akan memperbaiki keadaan, tapi justru sebaliknya."Bram bergeming, bahkan pria itu menatap Daniel tak berkedip sekalipun. Membuat Daniel merasa gemas. Pasalnya, Bram memang sulit menerima saran orang lain, pria itu terlalu teguh dengan keyakinannya sendiri. Dan, sikapnya itu semakin menjadi, ketika Bram merasa dikhianati serta di permainan oleh anak-anak Wisnu.'Aku hanya berharap, kamu tidak akan menyesal dengan sikapmu ini di kemudian hari Bram. Semoga dia benar-benar anakmu,' batin Daniel."Jika kamu ingin melakukan tes DNA, aku membutuhkan sampel darahmu dan juga bocah itu, tapi jika kamu tidak tega melakukannya, cukup bawa rambut atau potongan kukuny
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te