Satu, dua, tiga, empat, lima dan enam. Radin menghitung tubuh-tubuh yang terkapar di ruangan seluas setengah lapangan voli. Tubuh enam orang preman bayaran yang semuanya tak mampu lagi berdiri karena terlalu banyak mendapatkan luka akibat amukan Radin. Mereka meringis, mengeluh kesakitan. Bahkan salah seorang preman menjerit-jerit sambil memegang pahanya yang tertancap pisaunya sendiri saat mencoba menyerang Radin dari belakang. Berisik.
Ruangan yang pada awalnya adalah sebuah ruang kerja dengan interior bergaya industrial tersebut kini berantakan. Tembok batanya yang tidak diplester, ternoda darah enam orang pria yang dikalahkan oleh Radin. Meja kerja bergaya minimalis dan berwarna putih, teronggok di salah satu sudut dengan posisi terbalik dan dihiasi percikan darah yang tampak alami. Beberapa gawai berserakan di lantai, berbaur dengan pot-pot yang entah berada di mana tanaman yang sebelumnya mengisinya. Kursi-kursi rusak tergeletak di mana-mana, seperti dihambur layaknya kertas yang ringan. Dua buah kabinet besar rubuh, isinya berserakan hingga menutupi sebagian besar permukaan lantai yang berwarna krem. Lampu gantung yang sebelumnya berjumlah enam buah, kini tersisa dua buah yang masih menyala di tempatnya. Selebihnya sudah lenyap, mungkin bohlamnya sudah pecah. Sebuah gambar bergaya ekspresionisme yang sebelumnya menghiasi dinding, kini bolong menembus kepala salah seorang preman. Tampak lucu, namun Radin sama sekali tidak tertawa. Tersisa satu orang lagi, seorang yang paling payah di antara para pengecut yang mengeroyok Radin. Seorang pemuda yang mengira bisa menindas siapa saja dengan uang yang dimilikinya. Pria yang mungkin lebih muda lima tahunan daripada Radin itu gemetar ketakutan, terpojok di salah satu sudut. Celananya basah dan mengeluarkan aroma yang memuakkan. Pengecut, rupanya. Radin terkekeh. Dengan kakinya, dia membalik sebuah kursi, lalu duduk dengan santai. Sedetik kemudian ia menyadari bahwa preman yang pahanya tertancap pisau, ternyata berada dalam jangkauannya. Radin menarik pisau itu dengan santai, tak menghiraukan jeritan preman yang semakin menjadi. Sambil mengamati pisau yang berlumuran darah itu, Radin mengajak bicara pemuda yang sudah membuatnya mengamuk selama seperempat jam. “Maaf, sebelumnya aku tidak dapat menahan diri. Jadi, aku akan menganggap kita impas. Kalian sudah menculikku dan membawaku ke mari dan sebagai balasannya, aku memporak-porandakan tempat ini. Kukira, tidak perlu ada orang lain yang mengetahui hal ini.” Radin tersenyum simpatik. Tubuhnya membungkuk hingga wajahnya mendekati pemuda yang sedang ketakutan tersebut. Ia mengedipkan sebelah matanya, isyarat agar si pemuda menyetujui permintaannya. “Tidak perlu ada orang yang mengetahui insiden ini. Kita akan memegang rahasia masing-masing. Kecuali jika kau ingin bernasib seperti tempatmu ini,” lanjut Radin. Senyumannya membuat sepasang matanya menyipit sehingga sekilas tampak lucu. Tentu saja, pemuda yang diajak bicara oleh Radin, tidak berani tertawa. Ia mengangguk cepat. Dia memang sebaiknya tidak mengatakan apa-apa mengenai rencananya yang gagal jika masih ingin hidup. “Janji?” tanya Radin sambil menunjukkan kelingking kirinya. Ia menggerakkan jari tangan terkecil itu ke atas, pertanda agar pemuda yang ia beri pelajaran tersebut menyambutnya. Kejahilannya sebagai pihak yang berada di atas angin seperti tak ada habisnya. Dengan ragu, pemuda tersebut menautkan kelingkingnya dengan kelingking Radin. Radin menggerakkan tautan kelingking tersebut ke atas dan ke bawah, menunjukkan bahwa ia masih suka mengusili pemuda tersebut. Kemudian Radin tersenyum puas dan berdiri. Ia merapikan jasnya yang acak-acakan, lalu melenggang meninggalkan orang-orang yang sebelumnya telah berbuat jahat padanya. Sebelum keluar dari ruang kerja yang sudah hancur berantakan tersebut, Radin melirik preman yang sebelumnya menyerangnya dengan pisau. Ia bersimpuh di dekat preman tersebut, lalu dengan dingin mengembalikan kembali pisau tersebut ke paha preman payah itu. Akibatnya, preman tersebut kembali menjerit. Jeritannya bahkan lebih keras daripada sebelumnya. Pemuda yang sebelumnya diajak bicara oleh Radin, bergidik ngeri. Sekali lagi, ia membasahi celananya hingga semakin berbau pesing. “Kukembalikan padamu,” kata Radin pada preman tersebut singkat, lalu bangkit dan beranjak pergi. Setelah melalui pintu, Radin tiba di sebuah koridor. Ia mendongak, melihat CCTV yang menyorot, lalu melambai dengan tengil. Menantang siapa pun yang berada di ruang monitor untuk mendatanginya. Setelah itu, Radin berjalan menuju lift. Sambil bersiul, ia menekan tombol menuju ke lantai bawah. Saat pintu lift terbuka, Radin tercengang melihat segerombol pria bertubuh kekar dengan posisi tangan berada di balik jas masing-masing. Mereka sedang bersiap mengeluarkan senjata untuk menyerang. Namun, saat para pria kekar itu melihat Radin, mereka buru-buru menurunkan tangan dan menjadi lebih santai. Seorang pria yang berada di bagian belakang lift hingga tersembunyi di balik para pria kekar tersebut, bergegas menghampiri Radin dengan gembira. “Ah, Bos! Maafkan kami karena terlambat. Kami hendak menyelamatkan Bos. Tapi, sepertinya Bos tidak memerlukan bantuan,” seru pria yang ternyata adalah Reza itu. “Tentu saja tidak perlu. Aku sudah membereskannya sendiri,” sahut Radin cuek. Ia sama sekali tidak gusar atau marah karena lambatnya bala bantuan untuknya. Sebaliknya, ia beranjak memasuki lift dengan langkah cepat. “Sekarang, ayo kita kembali. Aku ingin tidur cepat malam ini. Kuharap tidak ada gangguan lagi sampai aku bisa bertemu dengan Rania besok pagi,” kata Radin dengan nada tak sabar. “Ah, ya. Janda yang sangat cantik itu,” sahut Reza saat mengingat karyawan yang baru diterima sore tadi tersebut. Radin menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Reza dengan tajam. Untunglah sang sekretaris yang tampan segera menyadari kesalahannya. “Maaf, Bos. Saya hanya terlalu gembira karena Bos selamat dan akan mendapatkan wanita yang sangat cantik. Saya tidak bermaksud melecehkan wanita pilihan Bos,” ucap Reza cepat. Meredam kemarahan yang bisa tersulut hanya karena ucapan yang kurang berkenan di hati bosnya. Radin mengibaskan tangan, pertanda membiarkan kesalahan Reza kali ini. Ia menengok ke belakang, memandang pintu ruang kerja yang baru saja menjadi arena pertempuran antara dirinya dengan pemuda hijau yang telah mencoba mengusiknya. Setelah menimbang-nimbang, ia membuat keputusan baru. “Ngomong-ngomong, aku jadi tidak ingin menepati janjiku pada anak ingusan itu. Kalian bereskan saja mereka,” ujar Radin. Setelah itu, ia melenggang memasuki lift dengan diikuti oleh Reza. Saat Radin dan Reza membalikkan badan dan menghadap pintu lift, para anak buah Radin telah bergegas menuju ke ruangan yang ditinggalkan oleh Radin sebelumnya. Tangan mereka kembali terselip di balik jas dalam posisi siaga dan siap bertindak. “Kirim karangan bunga duka cita ke rumah anak ingusan itu,” perintah Radin dengan tenang. “Baik, Bos,” jawab Reza singkat. Ia tidak akan mengatakan apa pun yang dapat memancing kemarahan Radin, kecuali kepatuhan. Pintu lift menutup. Radin pun meninggalkan arena pertarungan yang akan berubah menjadi arena pembantaian itu.Peristiwa penculikan Radin sore itu membuat Rania nyaris tak bisa tidur. Ia merasa takut, karena ternyata kehidupan Radin tampaknya dikelilingi bahaya yang tak terduga. Tak terbayangkan apa jadinya jika Rania mengikuti pria itu ke mana-mana. Bisa jadi, dia juga terdampak bahaya yang mengintai Radin. Haruskan ia mengundurkan diri agar tidak perlu berurusan dengan bahaya yang mengincar atasannya? Lagipula, penunjukan diri Rania sebagai asisten pribadi yang baru terkesan dipaksakan. Rania merasa dirinya untuk pantas curiga. Ada apa gerangan? Reza juga belum memberi kabar, apakah Rania jadi masuk kerja mulai besok atau tidak. Rania memang sudah menerima fasilitas berupa berbagai gawai penunjang pekerjaannya. Namun jika nasib Radin saja belum diketahui, siapa yang akan Rania layani besok? Apakah ia harus menunggu saja di kantor hingga menerima kabar mengenai keberadaan Radin? Rania bangun dari tidurnya dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan Rona, putrinya yang berusia tuju
Tiga belas tahun yang lalu. Rania setengah berlari menyusuri jalan setapak di belakang warung milik keluarganya. Orang tuanya sedang sibuk melayani pembeli siang itu. Jadi gadis delapan belas tahun itu punya kesempatan untuk kabur sejenak demi menemui Rais sekaligus melepas kepergiannya. Ah, Rais. Mengingat wajahnya saja sudah membuat senyuman Rania mengembang. Berpacaran sejak duduk di kelas dua SMA hingga lulus, Rania hanya melihat Rais-nya sebagai laki-laki yang sempurna. Pria yang kelak akan menikahinya, apapun yang terjadi. Setelah belok ke kiri di sebuah pertigaan, Rania akhirnya bisa melihat kekasihnya sedang menunggu di bawah sebuah pohon. Senyuman Rania semakin mengembang. Rais yang juga sudah melihat Rania, menghampiri bekas teman sekolah yang lebih muda satu tahun itu. Rania tertawa, lalu buru-buru mengibaskan tangan, mengusir Rais agar kembali ke tempatnya berteduh. “Panas!” kata Rania ketika ia akhirnya sampai di depan Rais. Rais tersenyum. Dia tidak mengataka
Sudah setahun Rais meninggalkan kampung halamannya. Seperti kisah-kisah klasik, merantau untuk bekerja dan mengumpulkan uang agar dapat menikahi gadis pujaannya. Semua orang di kampung sudah mengetahui apa yang sedang Rais lakukan di kota. Ada yang terharu dan mendukung, namun ada pula yang tak percaya dan bahkan memandang remeh. Bukan hanya terhadap Rais, melainkan juga terhadap Rania, gadis yang hendak dipersunting oleh Rais. Ada yang yakin bahwa Rais dan Rania kelak akan bersatu di pelaminan, namun ada pula yang menampik. Dua tahun adalah waktu yang sebentar untuk mengumpulkan uang dan mempersiapkan pernikahan. Namun, untuk menjaga hati dan perasaan masing-masing, dua tahun akan terasa sangat lama. Di antara golongan orang yang mendukung mau pun yang skeptis itulah, terdapat golongan ketiga yang berada di tengah-tengahnya. Tidak mendukung dan tidak meragukan pula. Mereka adalah keluarga Rania yang hanya memberi waktu dua tahun pada Rais. Selain itu, masih ada Rinto, anak tuan ta
Rania sebenarnya enggan dibonceng oleh Rinto. Namun, untuk mencapai rumah Rustam, cara tercepat adalah dengan naik kendaraan bermotor. Rania bisa menahan teriknya sinar matahari, namun dia kesulitan menahan rasa penasaran untuk bertemu dengan Rustam dan menanyakan kabar Rais. Sudah empat bulan Rais tidak memberi kabar. Ponselnya tidak pernah aktif lagi sejak saat itu. Saat Rania menghubungi ponsel Rustam, malah orang lain yang menjawab. Katanya, dia membeli ponsel itu dan tidak kenal dengan pemilik sebelumnya. Selama empat bulan, Rania kehilangan kabar tentang Rais. Dia tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Mau menyusul ke kota, Rania tidak tahu harus mencari ke mana. Lagipula, orang tuanya pasti tidak akan mengizinkan. Lalu, siang ini, Rania mendapat kabar dari salah seorang pembeli di warung bahwa Rustam sudah pulang ke rumahnya. Sendirian saja, tanpa kehadiran Rais. Merasa penasaran dan cemas, Rania bergegas untuk mencari tahu, apa yang terjadi selama empat bulan terakhir ini
Sambil menunggu Radin mandi dan berpakaian, Rania duduk di ruang keluarga atau ruang bersantai dan memeriksa kembali jadwal atasannya itu. Sejenak ia teringat saat ia membantu Rinto mengembangkan usaha keluarganya.Selama sepuluh tahun, Rania terlibat dalam bisnis yang kian hari kian membesar itu. Kini, sebagai seorang asisten pribadi, ia mengulang lagi apa yang sudah ia kerjakan dalam mendukung usaha suaminya. Perbedaannya kali ini ada dua: orang yang Rania bantu kali ini adalah pria yang asing baginya dan… Rania dibayar dengan baik untuk pekerjaannya ini.Saat sedang menyiapkan agenda hari itu, Rania sesekali mengangkat kepala untuk berpikir. Mula-mula ia tidak memerhatikan suasana di sekelilingnya. Namun, belakangan, dirinya mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di ruang bagian tengah apartemen tersebut.Rania menatap sebuah lemari kaca yang menyimpan benda-benda yang tidak lazim ditemukan di ruang
Rania tersentak. Padahal dia sudah melupakan kejadian tersebut. Sebenarnya, tidak melupakan sepenuhnya. Hanya memilih untuk tidak mengetahui lebih lanjut.“Saya pikir Bapak kini dalam keadaan sehat. Jadi, sepertinya masalahnya sudah selesai atau ditangani dengan baik.”Radin tercengang, barangkali tidak mengira bahwa Rania akan menjawab demikian. Ia terkekeh pelan, lalu mengunyah lagi.Sementara Rania mengutuk dirinya dalam hati. Dirinya pasti tampak tidak sopan atau tidak mau tahu keadaan atasannya. Padahal, sesungguhnya Rania sendiri segan untuk menanyakan.Namun, rasa bersalah Rania tak berlangsung lama. Radin yang cerewet justru menjelaskan tanpa diminta.“Hanya anak ingusan yang sedang cemburu. Pacarnya dulu adalah asistenku sebelum kamu. Anak ingusan itu mengira saya meniduri pacarnya. Padahal, perempuan itu hamil karena orang lain.”
Radin dan Rania tiba di gedung kantor dalam setengah jam. Mereka langsung naik ke lantai sebelas, lokasi di mana ruang kerja Radin berada.Selain lantai sebelas, perusahaan-perusahaan yang dikendalikan oleh Radin tersebut juga menyewa lantai sembilan dan sepuluh gedung tersebut. Dari gedung tersebut Radin mengendalikan bisnis ritel tiga buah perusahaan yang bergerak dalam bidang baking: bakery, baking supply dan baking course.Radin sendiri mewarisi kepemimpinan di tiga perusahaan itu dari ayah angkatnya, seorang pria eksentrik yang konon tidak suka tampil di publik. Banyak rumor yang beredar mengenai ayah dan anak tersebut. Misalnya, cerita bahwa sang ayah angkat memungut Radin di jalan belasan tahun silam dan menjadikannya sebagai penerus. Atau, gosip yang santer beredar bahwa sesungguhnya Radin adalah anak di luar nikah dari sang ayah angkat.Apa pun rumor yang beredar mengenai Radin, nyatan
Rania merasa lega karena perwakilan perusahaan yang dihubunginya, menyanggupi penangguhan tersebut. Namun perasaan itu tak berlangsung lama. Sebab, sesuatu terjadi hingga membuat jantungnya nyaris copot.PRANGG!Bunyi kaca pecah dari dalam ruang kerja Radin membuat Rania terlonjak hingga gawai yang ia pegang jatuh ke lantai.Empat orang satpam yang berjaga segera menyerbu masuk untuk melihat apa yang terjadi dan mengatasinya. Rania buru-buru mengambil gawainya, lalu ikut melihat ke dalam ruangan yang pintunya kini terbuka lebar.“Anda sudah melihat rekaman CCTV, ‘kan? Saya membela diri dan anak buah saya menyelesaikan apa yang sudah saya lakukan. Sekarang, Anda mau menyerang saya di tempat saya sendiri? Tolong berpikir dengan jernih sebelum menantang saya.”Radin berdiri dengan tangan diletakkan di pinggang dan tatapan yang tetap tajam namun jelas meremehkan di
Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd
Terdengar bunyi meja kayu yang dipukul. Rania tahu, Rinto pasti sudah murka. Kamera ponsel yang kini kembali menyorot wajahnya, menunjukkan betapa pria itu hampir tak dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai memburu. Peluh mulai membasahi wajahnya. Rania bisa melihat dendam pada sorot matanya.“Saya hanya ingin berunding. Bukan membicarakan masa lalu atau pernikahan saya!”“Masalahnya, arah perundingan ini bergantung pada Rania. Jika dia meminta saya untuk mengampuni Anda, maka saya akan melepaskan Anda. Tapi jika dia tidak mau memaafkan Anda, maka kita akan bertarung di pengadilan, di luar sana, atau … di tempat ini. Tergantung situasi, pertarungan mana yang lebih cepat mendatangkan hasil.”Baik Rinto mau pun Rania, terkesiap mendengar kata-kata Radin. Rania ingin melihat wajah Radin saat mengatakannya, namun kamera ponsel masih menunjukkan sosok mantan s
Radin menyunggingkan senyuman saat melihat Rinto yang muncul dengan wajah memerah. Ia menyilakan saingannya dalam bisnis dan asmara itu duduk di kursi yang tersedia di sana. Sebuah meja kayu membatasi mereka berdua.“Mana pengkhianat itu?” tanya Rinto geram. Matanya liar mencari-cari ke penjuru ruangan.Ruangan yang mereka gunakan adalah salah satu toko yang telah tutup namun sebagian perabotan di dalamnya masih ada. Di tempat yang telah ditinggalkan itu, Radin, Ramon dan Ryan berhadapan dengan Rinto yang ditemani oleh empat orang pria yang tampaknya bukan karyawan biasa.Radin terkekeh mendengar pertanyaan musuhnya itu. Ia tersenyum mengejek hingga membuat Rinto tersentak dan makin geram.“Pengkhianat bagi Anda, tapi bukan bagi saya. Justru, dia sangat setia pada saya,” balas Radin. “Saya kira saya sudah menjelaskan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ke
Rona yang sedang berada di dalam mobil, tampak ceria. Tidak ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Seolah ada sesuatu yang telah menenangkannya. Sebaliknya, Rania yang menjadi semakin panik.“Kenapa, Sayang? Kok tidak sekolah? Om supir sakit jadi tidak bisa mengantar?”“Tidak, Ma. Kata Kakek Rasyid, aku boleh main dulu di rumah Kakek Rasyid yang besar itu. Aku boleh main air sepuasnya, Ma!”Rania membelalak. Ia tidak mengerti. Apa-apaan, mengapa Rasyid seenaknya mengatur anaknya? Bahkan membawa Rona pergi ke kediamannya tanpa seizin Rania selaku ibunya.Rania hendak beranjak menuju ke kamar Radin untuk melanjutkan upayanya menggugat ulah Radin, namun urung karena langkahnya tertahan. Radin ternyata sudah berdiri menghalanginya.“Aku yang meminta tolong ayahku untuk melindungi Rona sementara kita menemui mantan suamimu,” kata R