Satu, dua, tiga, empat, lima dan enam. Radin menghitung tubuh-tubuh yang terkapar di ruangan seluas setengah lapangan voli. Tubuh enam orang preman bayaran yang semuanya tak mampu lagi berdiri karena terlalu banyak mendapatkan luka akibat amukan Radin. Mereka meringis, mengeluh kesakitan. Bahkan salah seorang preman menjerit-jerit sambil memegang pahanya yang tertancap pisaunya sendiri saat mencoba menyerang Radin dari belakang. Berisik.
Ruangan yang pada awalnya adalah sebuah ruang kerja dengan interior bergaya industrial tersebut kini berantakan. Tembok batanya yang tidak diplester, ternoda darah enam orang pria yang dikalahkan oleh Radin. Meja kerja bergaya minimalis dan berwarna putih, teronggok di salah satu sudut dengan posisi terbalik dan dihiasi percikan darah yang tampak alami. Beberapa gawai berserakan di lantai, berbaur dengan pot-pot yang entah berada di mana tanaman yang sebelumnya mengisinya. Kursi-kursi rusak tergeletak di mana-mana, seperti dihambur layaknya kertas yang ringan. Dua buah kabinet besar rubuh, isinya berserakan hingga menutupi sebagian besar permukaan lantai yang berwarna krem. Lampu gantung yang sebelumnya berjumlah enam buah, kini tersisa dua buah yang masih menyala di tempatnya. Selebihnya sudah lenyap, mungkin bohlamnya sudah pecah. Sebuah gambar bergaya ekspresionisme yang sebelumnya menghiasi dinding, kini bolong menembus kepala salah seorang preman. Tampak lucu, namun Radin sama sekali tidak tertawa. Tersisa satu orang lagi, seorang yang paling payah di antara para pengecut yang mengeroyok Radin. Seorang pemuda yang mengira bisa menindas siapa saja dengan uang yang dimilikinya. Pria yang mungkin lebih muda lima tahunan daripada Radin itu gemetar ketakutan, terpojok di salah satu sudut. Celananya basah dan mengeluarkan aroma yang memuakkan. Pengecut, rupanya. Radin terkekeh. Dengan kakinya, dia membalik sebuah kursi, lalu duduk dengan santai. Sedetik kemudian ia menyadari bahwa preman yang pahanya tertancap pisau, ternyata berada dalam jangkauannya. Radin menarik pisau itu dengan santai, tak menghiraukan jeritan preman yang semakin menjadi. Sambil mengamati pisau yang berlumuran darah itu, Radin mengajak bicara pemuda yang sudah membuatnya mengamuk selama seperempat jam. “Maaf, sebelumnya aku tidak dapat menahan diri. Jadi, aku akan menganggap kita impas. Kalian sudah menculikku dan membawaku ke mari dan sebagai balasannya, aku memporak-porandakan tempat ini. Kukira, tidak perlu ada orang lain yang mengetahui hal ini.” Radin tersenyum simpatik. Tubuhnya membungkuk hingga wajahnya mendekati pemuda yang sedang ketakutan tersebut. Ia mengedipkan sebelah matanya, isyarat agar si pemuda menyetujui permintaannya. “Tidak perlu ada orang yang mengetahui insiden ini. Kita akan memegang rahasia masing-masing. Kecuali jika kau ingin bernasib seperti tempatmu ini,” lanjut Radin. Senyumannya membuat sepasang matanya menyipit sehingga sekilas tampak lucu. Tentu saja, pemuda yang diajak bicara oleh Radin, tidak berani tertawa. Ia mengangguk cepat. Dia memang sebaiknya tidak mengatakan apa-apa mengenai rencananya yang gagal jika masih ingin hidup. “Janji?” tanya Radin sambil menunjukkan kelingking kirinya. Ia menggerakkan jari tangan terkecil itu ke atas, pertanda agar pemuda yang ia beri pelajaran tersebut menyambutnya. Kejahilannya sebagai pihak yang berada di atas angin seperti tak ada habisnya. Dengan ragu, pemuda tersebut menautkan kelingkingnya dengan kelingking Radin. Radin menggerakkan tautan kelingking tersebut ke atas dan ke bawah, menunjukkan bahwa ia masih suka mengusili pemuda tersebut. Kemudian Radin tersenyum puas dan berdiri. Ia merapikan jasnya yang acak-acakan, lalu melenggang meninggalkan orang-orang yang sebelumnya telah berbuat jahat padanya. Sebelum keluar dari ruang kerja yang sudah hancur berantakan tersebut, Radin melirik preman yang sebelumnya menyerangnya dengan pisau. Ia bersimpuh di dekat preman tersebut, lalu dengan dingin mengembalikan kembali pisau tersebut ke paha preman payah itu. Akibatnya, preman tersebut kembali menjerit. Jeritannya bahkan lebih keras daripada sebelumnya. Pemuda yang sebelumnya diajak bicara oleh Radin, bergidik ngeri. Sekali lagi, ia membasahi celananya hingga semakin berbau pesing. “Kukembalikan padamu,” kata Radin pada preman tersebut singkat, lalu bangkit dan beranjak pergi. Setelah melalui pintu, Radin tiba di sebuah koridor. Ia mendongak, melihat CCTV yang menyorot, lalu melambai dengan tengil. Menantang siapa pun yang berada di ruang monitor untuk mendatanginya. Setelah itu, Radin berjalan menuju lift. Sambil bersiul, ia menekan tombol menuju ke lantai bawah. Saat pintu lift terbuka, Radin tercengang melihat segerombol pria bertubuh kekar dengan posisi tangan berada di balik jas masing-masing. Mereka sedang bersiap mengeluarkan senjata untuk menyerang. Namun, saat para pria kekar itu melihat Radin, mereka buru-buru menurunkan tangan dan menjadi lebih santai. Seorang pria yang berada di bagian belakang lift hingga tersembunyi di balik para pria kekar tersebut, bergegas menghampiri Radin dengan gembira. “Ah, Bos! Maafkan kami karena terlambat. Kami hendak menyelamatkan Bos. Tapi, sepertinya Bos tidak memerlukan bantuan,” seru pria yang ternyata adalah Reza itu. “Tentu saja tidak perlu. Aku sudah membereskannya sendiri,” sahut Radin cuek. Ia sama sekali tidak gusar atau marah karena lambatnya bala bantuan untuknya. Sebaliknya, ia beranjak memasuki lift dengan langkah cepat. “Sekarang, ayo kita kembali. Aku ingin tidur cepat malam ini. Kuharap tidak ada gangguan lagi sampai aku bisa bertemu dengan Rania besok pagi,” kata Radin dengan nada tak sabar. “Ah, ya. Janda yang sangat cantik itu,” sahut Reza saat mengingat karyawan yang baru diterima sore tadi tersebut. Radin menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Reza dengan tajam. Untunglah sang sekretaris yang tampan segera menyadari kesalahannya. “Maaf, Bos. Saya hanya terlalu gembira karena Bos selamat dan akan mendapatkan wanita yang sangat cantik. Saya tidak bermaksud melecehkan wanita pilihan Bos,” ucap Reza cepat. Meredam kemarahan yang bisa tersulut hanya karena ucapan yang kurang berkenan di hati bosnya. Radin mengibaskan tangan, pertanda membiarkan kesalahan Reza kali ini. Ia menengok ke belakang, memandang pintu ruang kerja yang baru saja menjadi arena pertempuran antara dirinya dengan pemuda hijau yang telah mencoba mengusiknya. Setelah menimbang-nimbang, ia membuat keputusan baru. “Ngomong-ngomong, aku jadi tidak ingin menepati janjiku pada anak ingusan itu. Kalian bereskan saja mereka,” ujar Radin. Setelah itu, ia melenggang memasuki lift dengan diikuti oleh Reza. Saat Radin dan Reza membalikkan badan dan menghadap pintu lift, para anak buah Radin telah bergegas menuju ke ruangan yang ditinggalkan oleh Radin sebelumnya. Tangan mereka kembali terselip di balik jas dalam posisi siaga dan siap bertindak. “Kirim karangan bunga duka cita ke rumah anak ingusan itu,” perintah Radin dengan tenang. “Baik, Bos,” jawab Reza singkat. Ia tidak akan mengatakan apa pun yang dapat memancing kemarahan Radin, kecuali kepatuhan. Pintu lift menutup. Radin pun meninggalkan arena pertarungan yang akan berubah menjadi arena pembantaian itu.Peristiwa penculikan Radin sore itu membuat Rania nyaris tak bisa tidur. Ia merasa takut, karena ternyata kehidupan Radin tampaknya dikelilingi bahaya yang tak terduga. Tak terbayangkan apa jadinya jika Rania mengikuti pria itu ke mana-mana. Bisa jadi, dia juga terdampak bahaya yang mengintai Radin. Haruskan ia mengundurkan diri agar tidak perlu berurusan dengan bahaya yang mengincar atasannya? Lagipula, penunjukan diri Rania sebagai asisten pribadi yang baru terkesan dipaksakan. Rania merasa dirinya untuk pantas curiga. Ada apa gerangan? Reza juga belum memberi kabar, apakah Rania jadi masuk kerja mulai besok atau tidak. Rania memang sudah menerima fasilitas berupa berbagai gawai penunjang pekerjaannya. Namun jika nasib Radin saja belum diketahui, siapa yang akan Rania layani besok? Apakah ia harus menunggu saja di kantor hingga menerima kabar mengenai keberadaan Radin? Rania bangun dari tidurnya dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan Rona, putrinya yang berusia tuju
Tiga belas tahun yang lalu. Rania setengah berlari menyusuri jalan setapak di belakang warung milik keluarganya. Orang tuanya sedang sibuk melayani pembeli siang itu. Jadi gadis delapan belas tahun itu punya kesempatan untuk kabur sejenak demi menemui Rais sekaligus melepas kepergiannya. Ah, Rais. Mengingat wajahnya saja sudah membuat senyuman Rania mengembang. Berpacaran sejak duduk di kelas dua SMA hingga lulus, Rania hanya melihat Rais-nya sebagai laki-laki yang sempurna. Pria yang kelak akan menikahinya, apapun yang terjadi. Setelah belok ke kiri di sebuah pertigaan, Rania akhirnya bisa melihat kekasihnya sedang menunggu di bawah sebuah pohon. Senyuman Rania semakin mengembang. Rais yang juga sudah melihat Rania, menghampiri bekas teman sekolah yang lebih muda satu tahun itu. Rania tertawa, lalu buru-buru mengibaskan tangan, mengusir Rais agar kembali ke tempatnya berteduh. “Panas!” kata Rania ketika ia akhirnya sampai di depan Rais. Rais tersenyum. Dia tidak mengataka
Sudah setahun Rais meninggalkan kampung halamannya. Seperti kisah-kisah klasik, merantau untuk bekerja dan mengumpulkan uang agar dapat menikahi gadis pujaannya. Semua orang di kampung sudah mengetahui apa yang sedang Rais lakukan di kota. Ada yang terharu dan mendukung, namun ada pula yang tak percaya dan bahkan memandang remeh. Bukan hanya terhadap Rais, melainkan juga terhadap Rania, gadis yang hendak dipersunting oleh Rais. Ada yang yakin bahwa Rais dan Rania kelak akan bersatu di pelaminan, namun ada pula yang menampik. Dua tahun adalah waktu yang sebentar untuk mengumpulkan uang dan mempersiapkan pernikahan. Namun, untuk menjaga hati dan perasaan masing-masing, dua tahun akan terasa sangat lama. Di antara golongan orang yang mendukung mau pun yang skeptis itulah, terdapat golongan ketiga yang berada di tengah-tengahnya. Tidak mendukung dan tidak meragukan pula. Mereka adalah keluarga Rania yang hanya memberi waktu dua tahun pada Rais. Selain itu, masih ada Rinto, anak tuan ta
Rania sebenarnya enggan dibonceng oleh Rinto. Namun, untuk mencapai rumah Rustam, cara tercepat adalah dengan naik kendaraan bermotor. Rania bisa menahan teriknya sinar matahari, namun dia kesulitan menahan rasa penasaran untuk bertemu dengan Rustam dan menanyakan kabar Rais. Sudah empat bulan Rais tidak memberi kabar. Ponselnya tidak pernah aktif lagi sejak saat itu. Saat Rania menghubungi ponsel Rustam, malah orang lain yang menjawab. Katanya, dia membeli ponsel itu dan tidak kenal dengan pemilik sebelumnya. Selama empat bulan, Rania kehilangan kabar tentang Rais. Dia tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Mau menyusul ke kota, Rania tidak tahu harus mencari ke mana. Lagipula, orang tuanya pasti tidak akan mengizinkan. Lalu, siang ini, Rania mendapat kabar dari salah seorang pembeli di warung bahwa Rustam sudah pulang ke rumahnya. Sendirian saja, tanpa kehadiran Rais. Merasa penasaran dan cemas, Rania bergegas untuk mencari tahu, apa yang terjadi selama empat bulan terakhir ini
Rania ternganga, namun dengan cepat menguasai dirinya. Ia mengatupkan bibir, lalu tersenyum canggung untuk menutupi rasa terkejutnya. “Sa-saya hanya tamatan SMA, Pak. Saya tidak memiliki pengalaman kerja sebagai sekretaris,” ujar Rania terbata-bata.Ia tidak bisa memercayai hal ini. Melamar kerja sebagai office girl, tapi malah ditawari menjadi sekretaris. “Bukan sekretaris. Jadi asisten pribadi,” ralat pria yang mewawancarainya, Reza. Rania tidak menyembunyikan kebingungannya. Ia tidak bisa membedakan antara sekretaris dengan asisten pribadi. Bahkan, baru kali ini ia mendengar mengenai jabatan asisten pribadi. “Tugas Bu Rania adalah mendampingi Pak Radin, calon atasan Ibu, untuk bekerja. Intinya, Bu Rania akan fokus membantu Pak Radin melakukan pekerjaannya dari pagi hingga selesai. Bu Rania antara lain bertugas mengatur jadwal kerja, menerima telepon atau email untuk Pak Radin, menyediakan dan menyimpan dokumen yang diperlukan oleh Pak Radin, menyiapkan rapat termasuk mengund
Rania sebenarnya enggan dibonceng oleh Rinto. Namun, untuk mencapai rumah Rustam, cara tercepat adalah dengan naik kendaraan bermotor. Rania bisa menahan teriknya sinar matahari, namun dia kesulitan menahan rasa penasaran untuk bertemu dengan Rustam dan menanyakan kabar Rais. Sudah empat bulan Rais tidak memberi kabar. Ponselnya tidak pernah aktif lagi sejak saat itu. Saat Rania menghubungi ponsel Rustam, malah orang lain yang menjawab. Katanya, dia membeli ponsel itu dan tidak kenal dengan pemilik sebelumnya. Selama empat bulan, Rania kehilangan kabar tentang Rais. Dia tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Mau menyusul ke kota, Rania tidak tahu harus mencari ke mana. Lagipula, orang tuanya pasti tidak akan mengizinkan. Lalu, siang ini, Rania mendapat kabar dari salah seorang pembeli di warung bahwa Rustam sudah pulang ke rumahnya. Sendirian saja, tanpa kehadiran Rais. Merasa penasaran dan cemas, Rania bergegas untuk mencari tahu, apa yang terjadi selama empat bulan terakhir ini
Sudah setahun Rais meninggalkan kampung halamannya. Seperti kisah-kisah klasik, merantau untuk bekerja dan mengumpulkan uang agar dapat menikahi gadis pujaannya. Semua orang di kampung sudah mengetahui apa yang sedang Rais lakukan di kota. Ada yang terharu dan mendukung, namun ada pula yang tak percaya dan bahkan memandang remeh. Bukan hanya terhadap Rais, melainkan juga terhadap Rania, gadis yang hendak dipersunting oleh Rais. Ada yang yakin bahwa Rais dan Rania kelak akan bersatu di pelaminan, namun ada pula yang menampik. Dua tahun adalah waktu yang sebentar untuk mengumpulkan uang dan mempersiapkan pernikahan. Namun, untuk menjaga hati dan perasaan masing-masing, dua tahun akan terasa sangat lama. Di antara golongan orang yang mendukung mau pun yang skeptis itulah, terdapat golongan ketiga yang berada di tengah-tengahnya. Tidak mendukung dan tidak meragukan pula. Mereka adalah keluarga Rania yang hanya memberi waktu dua tahun pada Rais. Selain itu, masih ada Rinto, anak tuan ta
Tiga belas tahun yang lalu. Rania setengah berlari menyusuri jalan setapak di belakang warung milik keluarganya. Orang tuanya sedang sibuk melayani pembeli siang itu. Jadi gadis delapan belas tahun itu punya kesempatan untuk kabur sejenak demi menemui Rais sekaligus melepas kepergiannya. Ah, Rais. Mengingat wajahnya saja sudah membuat senyuman Rania mengembang. Berpacaran sejak duduk di kelas dua SMA hingga lulus, Rania hanya melihat Rais-nya sebagai laki-laki yang sempurna. Pria yang kelak akan menikahinya, apapun yang terjadi. Setelah belok ke kiri di sebuah pertigaan, Rania akhirnya bisa melihat kekasihnya sedang menunggu di bawah sebuah pohon. Senyuman Rania semakin mengembang. Rais yang juga sudah melihat Rania, menghampiri bekas teman sekolah yang lebih muda satu tahun itu. Rania tertawa, lalu buru-buru mengibaskan tangan, mengusir Rais agar kembali ke tempatnya berteduh. “Panas!” kata Rania ketika ia akhirnya sampai di depan Rais. Rais tersenyum. Dia tidak mengataka
Peristiwa penculikan Radin sore itu membuat Rania nyaris tak bisa tidur. Ia merasa takut, karena ternyata kehidupan Radin tampaknya dikelilingi bahaya yang tak terduga. Tak terbayangkan apa jadinya jika Rania mengikuti pria itu ke mana-mana. Bisa jadi, dia juga terdampak bahaya yang mengintai Radin. Haruskan ia mengundurkan diri agar tidak perlu berurusan dengan bahaya yang mengincar atasannya? Lagipula, penunjukan diri Rania sebagai asisten pribadi yang baru terkesan dipaksakan. Rania merasa dirinya untuk pantas curiga. Ada apa gerangan? Reza juga belum memberi kabar, apakah Rania jadi masuk kerja mulai besok atau tidak. Rania memang sudah menerima fasilitas berupa berbagai gawai penunjang pekerjaannya. Namun jika nasib Radin saja belum diketahui, siapa yang akan Rania layani besok? Apakah ia harus menunggu saja di kantor hingga menerima kabar mengenai keberadaan Radin? Rania bangun dari tidurnya dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan Rona, putrinya yang berusia tuju
Satu, dua, tiga, empat, lima dan enam. Radin menghitung tubuh-tubuh yang terkapar di ruangan seluas setengah lapangan voli. Tubuh enam orang preman bayaran yang semuanya tak mampu lagi berdiri karena terlalu banyak mendapatkan luka akibat amukan Radin. Mereka meringis, mengeluh kesakitan. Bahkan salah seorang preman menjerit-jerit sambil memegang pahanya yang tertancap pisaunya sendiri saat mencoba menyerang Radin dari belakang. Berisik. Ruangan yang pada awalnya adalah sebuah ruang kerja dengan interior bergaya industrial tersebut kini berantakan. Tembok batanya yang tidak diplester, ternoda darah enam orang pria yang dikalahkan oleh Radin. Meja kerja bergaya minimalis dan berwarna putih, teronggok di salah satu sudut dengan posisi terbalik dan dihiasi percikan darah yang tampak alami. Beberapa gawai berserakan di lantai, berbaur dengan pot-pot yang entah berada di mana tanaman yang sebelumnya mengisinya. Kursi-kursi rusak tergeletak di mana-mana, seperti dihambur layaknya kertas
Rania ternganga, namun dengan cepat menguasai dirinya. Ia mengatupkan bibir, lalu tersenyum canggung untuk menutupi rasa terkejutnya. “Sa-saya hanya tamatan SMA, Pak. Saya tidak memiliki pengalaman kerja sebagai sekretaris,” ujar Rania terbata-bata.Ia tidak bisa memercayai hal ini. Melamar kerja sebagai office girl, tapi malah ditawari menjadi sekretaris. “Bukan sekretaris. Jadi asisten pribadi,” ralat pria yang mewawancarainya, Reza. Rania tidak menyembunyikan kebingungannya. Ia tidak bisa membedakan antara sekretaris dengan asisten pribadi. Bahkan, baru kali ini ia mendengar mengenai jabatan asisten pribadi. “Tugas Bu Rania adalah mendampingi Pak Radin, calon atasan Ibu, untuk bekerja. Intinya, Bu Rania akan fokus membantu Pak Radin melakukan pekerjaannya dari pagi hingga selesai. Bu Rania antara lain bertugas mengatur jadwal kerja, menerima telepon atau email untuk Pak Radin, menyediakan dan menyimpan dokumen yang diperlukan oleh Pak Radin, menyiapkan rapat termasuk mengund