Ramon tetap tenang meskipun dikepung oleh enam orang. Ketenangannya berubah menjadi kelegaan saat melihat Radin turun dari mobil dengan mengajak asisten pribadinya yang cantik. Radin tampak menyuruh asistennya itu merekam apa yang sedang terjadi.
“Aku bisa mengatasinya, kok,” kata Ramon pada Radin yang dengan santai melewati orang-orang yang mengelilingi Ramon.
“Hm, ya. Bisa sih, tapi mungkin babak belur dulu,” sahut Radin sambil mengambil posisi di sisi Ramon.
Ramon meringis. Dia tahu, kalau tidak ada Radin, dia pasti sudah diseret ke tempat sepi dan dipukuli. Bagaimanapun, orang-orang yang diperintahkan untuk mengepungnya tersebut, merasa segan pada Radin.
“Aku kira hubunganmu dengan iparmu sudah membaik. Ternyata masih seperti yang dulu, ya. Penuh drama,” sindir Radin.
Ramon mengangkat bahu. Dia juga tidak menyangka, undangan ke restoran kel
Asisten Radin melongo melihat perdebatan dua orang pria di depannya. Ia berusaha menahan tawanya. Mungkin geli melihat tingkah mereka.Radin hanya mendelik pada sang asisten, namun tak melarang perbuatannya itu. CEO tiga perusahaan itu mengusap rambutnya, lalu membuang muka. Tampaknya ia sudah malas berurusan dengan Ramon.Namun, bagi Ramon, masalah belum usai. Tanpa malu, ia kembali minta diantar ke suatu tempat.“Mau ke mana, sih?” tukas Radin gusar.“Ke restoran suki favorit kita. Aku lapar, belum makan siang,” jawab Ramon dengan wajah polos.Radin melotot dan nyaris mencekik Ramon. Sementara asistennya tidak lagi menahan tawa saat melihat kelakuan dua orang pria tersebut. Keadaan di mobil pun menjadi riuh pada siang menjelang sore itu.***Barangkali karena terlalu tegang dan marah, Radin menjadi lapar sehingga
Radin membuka matanya dengan wajah horor. Peluh membasahi tubuhnya, padahal pendingin udara di kamarnya berfungsi dengan baik.Dengan wajah pucat dan tubuh agak bergetar, Radin menyalakan lampu. Ia mengambil air di mini bar, lalu meneguknya hingga habis.“Syukurlah, hanya mimpi,” gumamnya lega.Radin memang baru saja bermimpi buruk. Bukan sekadar bunga tidur, melainkan ia memimpikan kejadian mengerikan yang pernah ia alami bertahun-tahun silam. Radin jelas tak ingin mengalaminya lagi. Namun hingga kini, peristiwa lampau itu menghantuinya melalui mimpi.Mimpi tentang dirinya yang melakukan kesalahan besar hingga harus menerima konsekuensinya dan kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya. Sudah belasan tahun kejadian itu berlalu, namun Radin tak kunjung dapat melepaskan diri dari akibatnya. Bahkan pada saat ia sudah menerima takdirnya.Saat masih bergulat dengan kenangan b
Rania berangkat ke apartemen Radin dengan perasaan berkecamuk. Pagi-pagi sekali, pengurus kos-kosan memberi pengumuman bahwa tempat itu sudah dijual ke pihak lain. Para penghuninya diberi waktu untuk pindah dalam waktu seminggu.Memang, ada biaya pindah dan ganti rugi lainnya. Namun Rania tidak yakin bahwa ia akan menemukan tempat yang baru dalam waktu sesingkat itu. Terlalu tiba-tiba.Dalam lift yang akan membawanya ke tempat Radin, Rania teringat pada kata-kata Reza kemarin sore. Perihal Radin yang meminta Rania agar pindah ke apartemen.Rania tersentak. Seperti mendapatkan ilham, ia merasa apa yang terjadi adalah serba kebetulan. Pada saat ia diminta pindah, tiba-tiba saja ia harus terusir dari kontrakannya. Seperti ada yang mengaturnya agar terjadi seperti itu. Apakah ini rencana Radin? Mau apa dia setelah memeras Rania agar tetap bekerja padanya?Pintu lift terbuka, membawa Rania meninggalkan la
Derap langkah kuda yang tengah dipacu, membelah kesunyian lembah. Rinto mengarahkan agar Halilintar—demikian nama kuda cokelat miliknya, menyusuri lembah sekali lagi.Sudah setengah jam Rinto berkuda. Seperti itulah caranya melepaskan kepenatan dalam hidupnya. Terlebih setelah perceraiannya dengan Rania beberapa bulan lalu.Rinto membiarkan semilir angin membelai lembut pipinya. Kemudian, dengan tumitnya, ia menepuk-nepuk kedua sisi tubuh Halilintar untuk memerintahkannya berlari lebih cepat. Hewan yang diciptakan untuk berlari kencang tersebut menurut. Hingga membuat rambut Rinto berkibar, menyingkap seluruh wajahnya yang ditiup angin.Setelah puas menghabiskan waktu dengan hewan peliharaan yang paling ia sayangi tersebut, Rinto kembali ke peternakan. Ia turun dan menyerahkannya pada salah seorang pengurus kuda di istal. Kemudian, ia meninggalkan area peternakan dengan menumpangi sebuah mobil yang dikemudikan oleh
Rania terperangah. Bukan hanya karena diberi perintah mendadak yang menyita waktunya lebih banyak, melainkan juga karena ia menyadari bahwa Radin ternyata seseorang yang penuh perhatian dan berpikir jauh ke depan. Buktinya, ia sampai terpikir untuk menjemput Rona agar Rania bisa bekerja dengan tenang. Yah, meskipun dengan kemungkinan bahwa penjemputan itu akan mengganggu waktu istirahat Rona.***Rinto menggosok-gosokkan wajahnya ke pipi Raffa dengan gemas. Putranya yang masih bayi itu tertawa, pertanda ia menyukai perbuatan ayahnya. Rinto terus mengulanginya dengan gemas. Ia sangat bahagia karena sudah memiliki seorang putra yang didambakan sejak lama.Tiba-tiba ponsel Rinto berbunyi, membuat Rinto harus menghentikan kegiatan bercengkerama dengan sang putra. Ia menyerahkan Raffa pada babysitter, lalu beranjak meninggalkan kamar bayinya. Ternyata dari orang yang ia utus untuk menjemput Rona di kosan Rania.
Di lift, Rania berusaha mengambil Rona dari gendongan Radin. Namun tiba-tiba Rona menggeliat gelisah. Khawatir putrinya terbangun, Rania akhirnya membiarkan Radin menggendongnya.“Saya mau bicara dengan Bapak setelah kita sampai di unit itu,” bisik Rania agar tidak membangunkan anaknya.Radin hanya mengangguk tanpa menatap Rania. Entah apa yang ia pikirkan saat seenaknya menggendong anak orang dan memaksa ibunya menginap di tempatnya.Mereka akhirnya tiba di lantai yang dituju. Rania mengikuti Radin melalui selasar dan tiba di depan sebuah pintu yang agak lebar. Di balik pintu itu, terdapat unit yang akan ditempati oleh Rania dan Rona malam ini.Unit tersebut tentu saja lebih sederhana daripada tempat tinggal Radin. Namun, bila dibandingkan dengan kos tempat tinggal Rania, unit apartemen tersebut tentu saja lebih layak.Radin membuka pintu unit dengan dua kamar tidur
“Hanya mereka berdua? Wow, Radin ternyata normal!” seru Ramon takjub. Setelah mengenal Radin selama sepuluh tahun, baru kali ini Ramon melihat begitu menggebu-gebu untuk mendekati seorang wanita.“Ada anak Mbak Rania juga,” sahut Rea pelan.Ketakjuban Ramon segera memudar dan ia bergumam, “mau bikin anak kok malah bawa-bawa anak, sih?”***“Kamu percaya tidak, kalau saya bilang bahwa saya… ingin menyela—ah, bukan. Apa yang saya inginkan adalah memastikan kamu dan Rona baik-baik saja. Saya tidak ingin menjadi pahlawan, tapi dengan memaksa… maaf, maksud saya, meminta kalian tinggal di sini, saya lebih dapat memastikan keselamatan kalian,” tutur Radin panjang lebar.Rania terperangah. Ia merasa bingung. Iya, kebingungan menghadapi pria di hadapannya itu. Rania baru muncul dalam kehidupannya selama tiga hari, namun R
Sepuluh tahun yang lalu.Rasyid mengamati gerak-gerik pemuda yang sedang menyapu sel yang ia tempati. Kalau tidak salah namanya adalah Radin, seorang pemuda yang dihukum karena kasus perampokan. Ia ditugaskan membantu Rasyid dan seorang narapidana lain yang sudah uzur untuk mengerjakan tugas harian seperti mencuci pakaian dan piring.“Berapa lama?” tanya Rasyid pada Radin yang tengah menyimpan sapu di sudut ruangan.Radin mengerti maksud Rasyid. Ia berhenti menyapu sejenak dan menjawab dengan sama singkatnya, “tiga tahun, Pak.”“Sudah berapa lama?” tanya Rasyid lagi, menanyakan masa hukuman yang sudah dijalani oleh Radin.“Dua tahun.”“Berarti tinggal setahun lagi, ya. Hukuman saya juga tidak lama, hanya setahun. Mungkin kita akan bebas bersama-sama,” kata Rasyid lagi.“Iya, Pak,” jawab Radin kaku.Rasyid tersenyum. P
Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd
Terdengar bunyi meja kayu yang dipukul. Rania tahu, Rinto pasti sudah murka. Kamera ponsel yang kini kembali menyorot wajahnya, menunjukkan betapa pria itu hampir tak dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai memburu. Peluh mulai membasahi wajahnya. Rania bisa melihat dendam pada sorot matanya.“Saya hanya ingin berunding. Bukan membicarakan masa lalu atau pernikahan saya!”“Masalahnya, arah perundingan ini bergantung pada Rania. Jika dia meminta saya untuk mengampuni Anda, maka saya akan melepaskan Anda. Tapi jika dia tidak mau memaafkan Anda, maka kita akan bertarung di pengadilan, di luar sana, atau … di tempat ini. Tergantung situasi, pertarungan mana yang lebih cepat mendatangkan hasil.”Baik Rinto mau pun Rania, terkesiap mendengar kata-kata Radin. Rania ingin melihat wajah Radin saat mengatakannya, namun kamera ponsel masih menunjukkan sosok mantan s
Radin menyunggingkan senyuman saat melihat Rinto yang muncul dengan wajah memerah. Ia menyilakan saingannya dalam bisnis dan asmara itu duduk di kursi yang tersedia di sana. Sebuah meja kayu membatasi mereka berdua.“Mana pengkhianat itu?” tanya Rinto geram. Matanya liar mencari-cari ke penjuru ruangan.Ruangan yang mereka gunakan adalah salah satu toko yang telah tutup namun sebagian perabotan di dalamnya masih ada. Di tempat yang telah ditinggalkan itu, Radin, Ramon dan Ryan berhadapan dengan Rinto yang ditemani oleh empat orang pria yang tampaknya bukan karyawan biasa.Radin terkekeh mendengar pertanyaan musuhnya itu. Ia tersenyum mengejek hingga membuat Rinto tersentak dan makin geram.“Pengkhianat bagi Anda, tapi bukan bagi saya. Justru, dia sangat setia pada saya,” balas Radin. “Saya kira saya sudah menjelaskan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ke
Rona yang sedang berada di dalam mobil, tampak ceria. Tidak ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Seolah ada sesuatu yang telah menenangkannya. Sebaliknya, Rania yang menjadi semakin panik.“Kenapa, Sayang? Kok tidak sekolah? Om supir sakit jadi tidak bisa mengantar?”“Tidak, Ma. Kata Kakek Rasyid, aku boleh main dulu di rumah Kakek Rasyid yang besar itu. Aku boleh main air sepuasnya, Ma!”Rania membelalak. Ia tidak mengerti. Apa-apaan, mengapa Rasyid seenaknya mengatur anaknya? Bahkan membawa Rona pergi ke kediamannya tanpa seizin Rania selaku ibunya.Rania hendak beranjak menuju ke kamar Radin untuk melanjutkan upayanya menggugat ulah Radin, namun urung karena langkahnya tertahan. Radin ternyata sudah berdiri menghalanginya.“Aku yang meminta tolong ayahku untuk melindungi Rona sementara kita menemui mantan suamimu,” kata R