Sepuluh tahun yang lalu.
Rasyid mengamati gerak-gerik pemuda yang sedang menyapu sel yang ia tempati. Kalau tidak salah namanya adalah Radin, seorang pemuda yang dihukum karena kasus perampokan. Ia ditugaskan membantu Rasyid dan seorang narapidana lain yang sudah uzur untuk mengerjakan tugas harian seperti mencuci pakaian dan piring.
“Berapa lama?” tanya Rasyid pada Radin yang tengah menyimpan sapu di sudut ruangan.
Radin mengerti maksud Rasyid. Ia berhenti menyapu sejenak dan menjawab dengan sama singkatnya, “tiga tahun, Pak.”
“Sudah berapa lama?” tanya Rasyid lagi, menanyakan masa hukuman yang sudah dijalani oleh Radin.
“Dua tahun.”
“Berarti tinggal setahun lagi, ya. Hukuman saya juga tidak lama, hanya setahun. Mungkin kita akan bebas bersama-sama,” kata Rasyid lagi.
“Iya, Pak,” jawab Radin kaku.
Rasyid tersenyum. P
“Barangkali kamu pernah mendengar rumor tentang saya yang dipungut di jalan oleh ayah angkat saya, itu hanya sebagian yang benar. Yang pasti, kami bertemu di penjara saat saya menjadi narapidana yang bertugas membantu beliau. Waktu itu saya tidak tahu siapa beliau sebenarnya. Tapi tahu-tahu, setelah kami berdua bebas, beliau mempekerjakan saya. Setahun kemudian, saya diangkat menjadi anaknya,” jelas Radin santai. Ia menenggak habis air minumnya, lalu meremas botol plastik yang telah kosong.“Bapak dipenjarakan karena kasus apa?” tanya Rania lagi. Ia menjadi penasaran setelah mendengar penjelasan Radin.“Perampokan toko emas. Saya bertugas membawa motor. Kami berdua ditangkap setelah saya menabrak pembatas jalan saat sedang kabur.”“Kenapa Pak Radin merampok?”Radin tak langsung menjawab. Ia merenung beberapa saat.“Uang. Saya
Rania terperangah. Pria di depannya ini, benar-benar masih waras, ‘kan? Baru mengenal tiga hari—jika menghitung pula pertemuan mereka sesaat sebelum Radin diculik, namun sudah berani bilang cinta?“Kenapa? Kaget, ya? Saya sudah jatuh cinta lama sekali dengan kamu. Jauh sebelum kamu melamar kerja di perusahaan saya,” tambah Radin. Ia tampak penuh percaya diri, atau dapat juga dikatakan, tidak tahu malu. Atau memang setengah gila?“Sebentar, Pak. Bagaimana bisa Bapak jatuh cinta pada saya, sedangkan saya baru mengenal Bapak?” sergah Rania.“Well, saat kamu masih menjadi istri orang itu, saya sudah memerhatikan kamu dari jauh. Tapi, tentu saja saya tidak akan mengganggu rumah tangga kalian. Saya hanya menunggu dan menunggu sampai kesempatan itu tiba!” jelas Radin dengan penuh semangat.Wajah Radin sampai memerah. Barangkali karena saat ini perasaa
Radin dikaitkan dalam sejumlah kasus penyelundupan yang telah merugikan negara. Statusnya kini adalah anak angkat sebuah keluarga terpandang. Namun di dunia hitam, Radin telah lama dikenal sebagai ‘anjing pemburu’ bagi Rasyid, seorang penyelundup kelas kakap yang memiliki pengaruh di kalangan pejabat negara dan aparat penegak hukum. Konon, tiga perusahaan yang dipegang oleh Radin saat ini merupakan sarana pencucian uang yang didalangi oleh Rasyid.Rinto mengerti, Rania tidak tahu apa-apa saat melamar kerja di perusahaan Radin. Namun, Rinto juga tidak menutup mata saat mengetahui wajah lain Radin. Pikirannya segera tertuju pada Rona, putrinya. Meskipun Rinto kini memiliki Raffa, ia juga tidak ingin anak sulungnya terseret masalah yang ditimbulkan oleh interaksi Rania dengan pria berbahaya itu. Maka, Rinto pun mengambil keputusan untuk mengambil Rona dari sisi Rania.Usaha pertama Rinto untuk merebut Rona, gagal karena Rona ternyat
Rona meletakkan tas terakhir yang dibawanya di lantai, lalu merebahkan diri. Tak peduli jika lantai kamar yang ia masuki belum dibersihkan. Rona terlihat sangat lelah.Rania diam saja melihat tingkah putrinya. Ia tahu, anak gadisnya itu merasa lelah dan kesal karena mereka terpaksa hidup berpindah-pindah.Namun, Rania hanya bisa melarikan diri sekali lagi. Alasannya bukan hanya karena Radin terlalu tiba-tiba menyatakan perasaannya sehingga Rania merasa takut. Melainkan juga karena Rania kini yakin bahwa berada di sekitar Radin berarti mendekatkan diri pada bahaya.Selain kedua alasan tersebut, masih ada alasan ketiga yang membuat Rania harus bersembunyi dengan membawa serta putrinya. Rania tidak peduli lagi dengan ancaman Radin yang akan melaporkannya karena telah membawa lari motor milik Rinto. Jika Radin benar mencintainya, Radin tentunya tidak akan mencelakainya.Rania tidak ingin menyerahkan Rona
“Rea? Bagaimana? Apa kau berhasil?” tanya Ramon tanpa basa-basi.Jawaban dari seberang sana membuat Ramon mengerutkan kening. Ia menoleh pada Radin dengan wajah serius. Lupa bahwa sebelumnya ia sedang saling mengejek dengan Radin.“Kalau kau ngebut, kita bisa sampai di sana dalam waktu lima belas menit,” kata Ramon sambil memasukkan kembali ponsel ke sakunya.“Tunggu apa lagi?” balas Radin, lalu bergegas meninggalkan kediaman keluarga angkatnya.Ramon mengangkat bahu, lalu mengikuti Radin yang sudah melangkah cepat.“Dasar bucin,” gumam Ramon.***Rania terpana melihat sosok Rustam yang berjalan mendekat. Di belakang pria itu, ada dua orang pria lagi yang bertubuh kekar dan tampak terlatih. Secara naluriah, Rania merengkuh Rona dan menyembunyikannya di balik punggung. Tanpa perlu bertanya, i
Ramon berseru kencang saat Radin menarik rem tangan. Perjalanan yang membuatnya berteriak-teriak ketakutan karena kegilaan Radin menyetir, berakhir dengan bahagia.“Syukurlah, Tuhan! Aku selamat!”“Lebay,” cibir Radin.Tanpa memedulikan Ramon yang masih sibuk mengusap wajahnya, ia bergegas turun dari mobil. Radin mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok yang ia dambakan di antara gang berisi kos-kosan sangat sederhana. Dari salah satu arah, ia mendengar teriakan seorang pria yang terdengar marah.“Hei, Nona! Lepaskan orang-orangku!”Radin bergegas menuju ke asal suara tersebut. Sementara Ramon menyusul dengan senyuman lebar di bibirnya.Radin dan Ramon pun tiba di depan sebuah kamar kos dengan sebuah pemandangan langka: seorang wanita—Rea—mengalahkan dua orang pria yang bertubuh lebih besar daripada di
“Saya memilih untuk mengambil tawaran Bapak karena Bapak tidak merebut Rona dari saya. Tapi saya juga tahu diri. Saya akan membayar kebaikan Bapak dengan bekerja pada Bapak seperti biasa, tanpa bayaran. Hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai balasan atas jasa Bapak terhadap saya dan putri saya,” ujar Rania tegas. Ia tidak ingin Radin salah paham. Rania terpaksa ‘memanfaatkan’ Radin karena saat ini, hanya Radin—dengan kekuasaannya—yang bisa melindungi Rania dan Rona dari Rinto.Radin kembali tersenyum. Ia mengangguk tanda mengerti, lalu mempersilakan Rania dan Rona berjalan lebih dulu. Mereka bertiga berjalan menuju ke mobil Radin yang terparkir di mulut gang. Ramon sudah menunggu di sana.“Rea mana?” tanya Radin pada Ramon.“Aku menyuruhnya melakukan sesuatu lagi. Makanya, aku nebeng di mobilmu lagi, ya,” jawab Ramon cengengesan.
Ramon berkali-kali menghapus peluhnya dengan saputangan. Sementara Radin yang duduk di sebelahnya, menahan tawa. Hanya Rania, yang duduk mengapit Radin dengan Ramon, melirik kedua orang pria itu dengan tatapan bingung. Rona yang duduk menempel pada ibunya, menyembunyikan wajah di balik punggung sang ibu. Tampaknya gadis kecil itu merasa takut pada Rasyid yang duduk di hadapan mereka berempat.Rasyid menatap mereka satu per satu. Sudah jelas bahwa Ramon yang lebih tua seperempat abad daripada Rona, merasakan ketakutan yang sama dengan Rona. Apa yang membedakan hanyalah cara mereka menunjukkan ketakutan masing-masing."Ramon," sapa Rasyid."I-iya Om?" balas Ramon gelagapan. Rania sampai kasihan melihatnya."Apa benar kau akan bercerai dengan Rosa?" tanya Rasyid."Sa-saya pikir Om mau menanyakan tentang Mr. Raymond," jawab Ramon agak kecewa."Tentang Taiwan seha
Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd
Terdengar bunyi meja kayu yang dipukul. Rania tahu, Rinto pasti sudah murka. Kamera ponsel yang kini kembali menyorot wajahnya, menunjukkan betapa pria itu hampir tak dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai memburu. Peluh mulai membasahi wajahnya. Rania bisa melihat dendam pada sorot matanya.“Saya hanya ingin berunding. Bukan membicarakan masa lalu atau pernikahan saya!”“Masalahnya, arah perundingan ini bergantung pada Rania. Jika dia meminta saya untuk mengampuni Anda, maka saya akan melepaskan Anda. Tapi jika dia tidak mau memaafkan Anda, maka kita akan bertarung di pengadilan, di luar sana, atau … di tempat ini. Tergantung situasi, pertarungan mana yang lebih cepat mendatangkan hasil.”Baik Rinto mau pun Rania, terkesiap mendengar kata-kata Radin. Rania ingin melihat wajah Radin saat mengatakannya, namun kamera ponsel masih menunjukkan sosok mantan s
Radin menyunggingkan senyuman saat melihat Rinto yang muncul dengan wajah memerah. Ia menyilakan saingannya dalam bisnis dan asmara itu duduk di kursi yang tersedia di sana. Sebuah meja kayu membatasi mereka berdua.“Mana pengkhianat itu?” tanya Rinto geram. Matanya liar mencari-cari ke penjuru ruangan.Ruangan yang mereka gunakan adalah salah satu toko yang telah tutup namun sebagian perabotan di dalamnya masih ada. Di tempat yang telah ditinggalkan itu, Radin, Ramon dan Ryan berhadapan dengan Rinto yang ditemani oleh empat orang pria yang tampaknya bukan karyawan biasa.Radin terkekeh mendengar pertanyaan musuhnya itu. Ia tersenyum mengejek hingga membuat Rinto tersentak dan makin geram.“Pengkhianat bagi Anda, tapi bukan bagi saya. Justru, dia sangat setia pada saya,” balas Radin. “Saya kira saya sudah menjelaskan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ke
Rona yang sedang berada di dalam mobil, tampak ceria. Tidak ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Seolah ada sesuatu yang telah menenangkannya. Sebaliknya, Rania yang menjadi semakin panik.“Kenapa, Sayang? Kok tidak sekolah? Om supir sakit jadi tidak bisa mengantar?”“Tidak, Ma. Kata Kakek Rasyid, aku boleh main dulu di rumah Kakek Rasyid yang besar itu. Aku boleh main air sepuasnya, Ma!”Rania membelalak. Ia tidak mengerti. Apa-apaan, mengapa Rasyid seenaknya mengatur anaknya? Bahkan membawa Rona pergi ke kediamannya tanpa seizin Rania selaku ibunya.Rania hendak beranjak menuju ke kamar Radin untuk melanjutkan upayanya menggugat ulah Radin, namun urung karena langkahnya tertahan. Radin ternyata sudah berdiri menghalanginya.“Aku yang meminta tolong ayahku untuk melindungi Rona sementara kita menemui mantan suamimu,” kata R