Malamnya, pukul tujuh lewat, Fiani selesai mengurus masalah administrasi. Dia amat bersyukur dengan kondisi Reni yang membaik – usai diberi satu kantong darah. Pihak rumah sakit meminta Reni opname tiga hari, tetapi dengan berat hati Fiani menolak.Biaya klinik tanpa asuransi kesehatan dari pemerintah, cukup mencekik. Kamar pasien dikenakan biaya per malam. Sebelum memutuskan membawa Reni pulang, Fiani lebih dulu konsultasi pada dokter anak. Bersyukur karena dokter mengizinkan bocah itu meninggalkan klinik.Fiani memasukkan kembali dompet kecil di saku celana. Untunglah dia menyimpan ATM di dompet rahasia, jika tidak ... hanguslah semua hartanya dibawa oleh sang mertua.Dia masuk ke ruang rawat. Tak lupa berterima kasih pada seorang perawat karena sudah menjaga Reni saat Fiani mengurus pembayaran. Fiani menggendong anaknya, dia mengayunkan kaki menuju halaman klinik.Gelap, Fiani menarik napas berat. Sampai malam tiba, tidak seorang keluarga pun m
Buntut dari pertengkaran Jeni dan Verry memanjang. Harapan bebas dari masalah tidak didapatkan, pun dengan terbebas dari status istri masih sulit didapat Fiani dengan baik-baik.Kepalanya terasa berat, Fiani membuat masakan dengan berurai air mata.Sop Ayam masak, Fiani beralih membuka koper dan kardus-kardus miliknya. Semua sudah tidak terbungkus dengan rapi. Baju-baju serta barang berharga di koper pun turut hilang. Mau bertanya Fiani enggan. Mulutnya sudah lelah memohon dengan orang-orang di sana.Dia hanya memilih pakaian untuk Reni. Tiba-tiba, Darmi dan Tono datang. Fiani langsung berdiri, sejak kemarin dia menunggu kedatangan sang ayah mertua.“Wah, lagi buka-buka oleh-oleh, nih? Ada nggak jatah buat Ibu?” Darmi bertanya dengan wajah berseri mengharap diberi sesuatu oleh menantunya.Ceklek!Pintu kamar depan terbuka, berdirilah Jeni di ambang pintunya sambil melihat interaksi Darmi dan Fiani. Dia tersenyum miring.
Genap satu Minggu Fiani tinggal satu atap dengan madu, beserta suaminya. Selama itu tidak ada pemasukan sama sekali. Verry hanya di rumah membantu Fiani beres-beres, kadang keluar setiap azan berkumandang..Bisa ditebak hati Fiani rasanya seperti apa. Dia harus menanggung makan madunya juga. Hampir setiap hari dia menyediakan tempe dan tahu, sayurnya paling daun singkong yang ada di belakang rumah. Kadang beli sayuran lain yang murah, untuk ayam dia sediakan hanya untuk Reni. Bukan cuma irit, tapi juga pelit. Siapa saja pasti tidak rela memiliki madu, lebih-lebih berbaik hati.Mungkin ada seribu satu orang rela hidup seatap dengan madu, tapi itu bukan Fiani. Dia manusia biasa, hatinya bisa terluka, dan benci.Setiap malam Fiani juga tidur dengan Reni, dia ogah bareng suaminya. Mau orang bilang dosa, dia tidak peduli lagi. Suaminya lebih berdosa, dan sejak saat suaminya berkhianat, dia janji tidak akan mau tidur bersama.Tok! Tok! Tok!Pukul sebelas malam, pintu kamar Reni diketuk oleh
Nasib orang mana ada yang tahu. Niat baik juga tidak selalu mendapatkan balasan seperti keinginan. Kenyataannya, manusia selalu diuji kesabarannya dalam hal ekonomi, hubungan, atau terkadang kesehatan. Yang perlu dilakukan cukup menjalani sebaik-baiknya.Fiani sudah menempatkan diri sebagai istri dan ibu yang baik. Namun, Verry tetaplah pria temperamental dan licik. Keikhlasan Fiani, belum mampu meluluhkan hatinya. Fiani merasa cukup lelah menjalani hidup bersama Verry. Dia belum bisa menata hatinya untuk selalu sabar. Memang sulit bersanding dengan pria kejam.Mulianya seorang Asiyah memanglah tidak diragukan, sangat pantas mendapat jaminan surga. Fiani baru diuji rumah tangganya saja sudah menyerah. Dia merasa kekurangan oksigen berada di antara orang-orang munafik itu.Usai membersihkan diri dari sisa-sisa percintaannya dengan Verry, Fiani memandikan Reni.“Ibu nangis? Kenapa, marah sama Eni, ya?” tanya Reni. Sejak tiga hari lalu dia mulai memanggil Fiani dengan sebutan ibu. Bocah
Lebih dari seminggu, Fiani tinggal di rumah Mama Lina. Psikisnya sudah membaik dibanding seminggu lalu. Hari ini juga kali pertama dia bertemu Arsa – yang dari luar kota. Sekarang, Arsa menjemputnya untuk ikut ke kontrakan. Bukan untuk tinggal bersama, tetapi Fiani ingin mencari kerja. Bersedih memang wajar. Namun, meratapi kesedihan tidak dibayar oleh pemerintah. Jika terus terpuruk, bisa-bisa Fiani kehabisan seluruh tabungannya – hanya untuk bertahan hidup. Masih ada harapan di kemudian hari. Bangkit dan tetap kuat adalah jalan terbaik di hidupnya. Fiani menangis di pelukan Mama Lina. Meski bukan orang tua kandung, Mama Lina membikin dia nyaman layaknya keluarga sendiri. Mereka sama-sama menangis ketika Fiani berpamitan. “Maafkan, Mama. Kalo aja Mama tau Jeni perempuan liar, pastilah Mama nggak izinkan anak Mama melamarnya. Mama nyesel banget, gara-gara Mama kasih restu, dia malah ngajak perempuan itu kerja ke tokomu. Jadi begini risikonya.” Mama Lina mengusap bahu Fiani, sambil
Fiani mengernyit, kebun samping rumah yang penuh semak belukar, kini bersih. Tampak juga beberapa pekerja sedang membangun pagar rumah. Secepat itukah berubah? Heran dan bingung bercampur. Dia takut keramaian itu berhubungan dengan anaknya. Cukup lama mengamati kediaman Verry, Fiani berbalik, niatnya ingin meminta Arsa mencari tahu ada apa di sana.“Hua!” Fiani terkejut. Ketika berbalik, wajah Arsa persis di depan matanya. Bibirnya menyungging sampai giginya yang agak berantakan tidak tampak jelas karena terlalu dekat.“Kamu ini, bikin aku kaget aja!” seru Fiani agak kesal.Arsa meringis. “He-he-he. Abisnya aku dicuekin dari tadi. Kamu itu udah kayak pengintai, Fi.”“Kita kan emang lagi mengintai Reni, Sa.”“Iya juga, ya, aku kira kita main petak umpet. He-he-he. Pis! Aku tanya tetanggamu dulu, ya.” Arsa mengangkat dua jari sambil mundur, lalu membuka pintu mobil. Dia celingukan mencari seseorang yang bisa ditanya.Sepi, mungkin karena dia datang di jam tidur siang. Padahal biasanya i
Gagal membawa Reni bersama, Fiani minta Arsa buru-buru melajukan kendaraan ke indekos miliknya. Ya, Fiani menyewa satu kamar di daerah tempat Arsa mengontrak rumah. Dia berjanji pada dirinya sendiri, akan bekerja keras, dan menabung supaya bisa segera mengambil hak asuh.Fiani merasa sangat bersalah telah membuat Reni berada di situasi itu. Bocah yang harusnya sudah memasuki sekolah PAUD, bebas bermain dengan teman sebaya, malah dikurung dalam rumah. Sekarang sudah agak mendingan sejak rutin berinteraksi dengan Fiani, banyak kosakata yang Reni kuasai. Namun, setelah ditinggal oleh Fiani, Reni pasti kembali sendiri.Kasihan sekali, beban sudah harus dipikul oleh bocah seusia Reni. Dalam sepi, Fiani merenungkan masa kecilnya sendiri. Dia memang kehilangan orang tua sejak kecil, tetapi tidak kehilangan masa kanak-kanaknya, sedangkan Reni? Cepat-cepat Fiani menggeleng, mengaburkan pikiran buruk. Lalu dia berdoa semoga Tuhan selalu menjaga Reni.Senja berganti
Semakin coba melupakan peristiwa di depan swalayan, Fiani tambah gelisah. Dia berhasil menahan gemuruh di dada selama sebulan. Sempat ingin nekat datangi rumah Verry, tetapi ditahan Arsa.Fiani meluluh dengan janji Arsa – akan segera membawa Reni. Dari surat-surat yang memang sudah diajukan ke pengadilan, Fiani agak lega. Namun, pagi itu perasaannya tidak karuan. Nuraninya sebagai ibu menjerit. Apalah arti ibu jika dia diam melihat kejanggalan. Pengadilan boleh menentukan, tetapi hati seorang ibu sulit untuk menunggu.Pagi-pagi sekali usai mengepel lantai swalayan, dia menemui manager di sana. Izin bekerja setengah hari saja dengan alasan memiliki kepentingan.Pekerjaannya memang beda. Libur di akhir pekan tidak berlaku bagi karyawan swalayan. Tanggal merah pun tetap jalan. Kecuali, hari raya Aidil Fitri – swalayan akan memberikan libur pada seluruh karyawan selama dua hari. Fiani sendiri belum pernah merasai, sebab dia baru sebulan bekerja.“Aduh, maaf-maaf.” Fiani memunguti belanjaa
Reni dibawa kabur oleh seorang perempuan. Fiani panik, dia teriak kencang sambil tangannya merogoh dompet dan menarik selembar uang, kemudian memberikannya ke Mang Es Krim. Ponsel dia masukkan saku celana, lalu berlari mengejar anaknya."Al ... Ali, Reni ... !" Fiani mengguncang lengan Ali, tangan kirinya menunjuk ke arah jalan raya. Lama direspn, Fiani berpaling. Rasanya tidak ada guna mengharap pertolongan Ali. Reni adalah anaknya, dia harus berusaha sendiri untuk dirinya."Tunggu." Fiani ditahan oleh Ali."Aku nggak punya waktu.""Tunggu dulu, ada apa sebenarnya?" Ali bertanya seolah dia tidak melihat kepanikan perempuan di depannya."Reni dibawa seseorang dan kamu malah bertanya ada apa?" Fiani geleng-geleng, dia menghempas tangan Ali yang mencengkeram pergelangannya.Akan tetapi, Ali kembali menangkap pergelangan tangan Fiani dan berkata, "Tenang, bisa jadi kamu salah lihat.""Kamu gila!" Fiani menginjak kaki Ali, dan mendorong tubuh pria tersebut cukup keras. Namun, usahanya ter
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Pagi-pagi sekali, Fiani bangun dari tidur nyamannya. Itu adalah hari pertama menjalani kerja di tempat baru dengan orang lama. Masih bersama Ali, pria kaku dengan segudang rahasia. Itu hanya pandangan Fiani.Sebelum beraktivitas, Fiani berjalan ke ruang tamu – menyibak sedikit vitrase yang menutup jendela kaca. Menatap bangunan berlantai tiga di depan rumah kecil yang dia tinggali sekarang. Rumah mungil dengan ruang tamu ukuran 3x3, kamar + kamar mandi 6x6, dan dapur 3x4. Sangat nyaman bagi Fiani. Rumah itu memang diperuntukkan bagi asisten Ali.Cukup takjub dengan pencapaian Ali saat itu. Di usia muda, Ali sudah bisa membangun usaha sendiri. Namun, kadang terbersit rasa penasaran akan usaha-usaha milik Ali. Tentunya selain bergelut di hukum, Fiani yakin, Ali punya banyak bisnis mengular lainnya. Rasanya jika dipikir, kalau hanya dari satu sumber, tidak masuk akal Ali bisa sekaya itu.“Astaga, apa-apaan sih aku ini. Pagi-pagi udah ngurusin harta orang.” Fiani menutup vitrase. Dia masu
Hubungan yang telah terjalin lama, mendadak harus rusak gara-gara satu pihak menganggap pihak lain sepele. Suatu hubungan tidak akan awet ketika komitmen yang terjalin diabaikan.Komitmen? Fiani mengusap air mata, dia terlalu pusing memikirkan kesalahan fatalnya. Persahabatan yang terjalin dengan Arsa murni tanpa syarat. Bahkan sejauh itu, dia bingung dengan letak kesalahannya. Tamparan kemarin, Fiani rasa sangat pelan. Malah seingatnya dia pernah menampar Arsa lebih kuat.Di dalam mobil, Fiani terus berpikir keras. Sampai dia tidak menyadari mobil yang dikendarai oleh Ali berhenti di sebuah rumah makan.Fiani mendongak, dia agak terkejut ketika seseorang memberikan sapu tangan.“Bersihkan air matamu, setelah itu kita makan dulu.”“Aku nggak laper.”Ali memutar tubuh, dia menghadap Fiani yang tengah membersihkan wajahnya. “Saya tahu, tapi pikirkan kesehatanmu. Katanya mau merawat Reni sendiri.”Fiani semakin terisak. Mendengar nama Reni, dia ingat kebaikan Mama Lina, artinya semua ber
Ali menahan tangan Fiani, dia tidak membiarkan Fiani pergi bersama Arsa. Namun, Arsa murka. Pria berkulit kuning langsat tersebut, khawatir pada nasib Fiani jika harus kembali ke rumah yang berdekatan dengan rumah Verry, mantan suaminya.Sekalipun hanya semalam, Arsa tetap tidak rela. Dia tahu bagaimana Verry. Tabiat Verry sudah dihafal oleh Arsa. Pun dengan Fiani. Terlebih posisi Ali memang bukan siapa-siapa. Masalah hutang Budi, atau Fiani masih memiliki sangkutan dan tanggungan pembayaran jasa pengacara terhadap Ali, dia siap melunasi semua. Asal jangan berbuat semena-mena pada Fiani. Kalau dia bisa menjamin keselamatan Fiani sih, Arsa akan tenang. Namun, kenyataannya Fiani terancam celaka gara-gara Ali.Arsa berbalik, maju dua langkah. Matanya menatap Ali tanpa berkedip beberapa detik. Kemudian, dia mendorong bahunya, sampai Ali terhuyung hampir jatuh. Arsa melangkah lagi, dia mengangkat kepalan tangan, mengayunnya ke udara hendak dihempaskan ke wajah Ali. Akan tetapi, sebelum tin
Bau minyak angin menyeruak di hidung pria berkulit sawo matang tersebut. Aromanya sungguh mengganggu, rasanya sampai di tenggorokan. Memaksa dia untuk membuka matanya.Rupanya cahaya bohlam warna putih, dengan watt besar – mengganggu pandangan. Arsa membuka kelopak mata lamban. Cuma dua detik, dia memejam lagi. Bukan hanya silau, tetapi dia ingat kejadian nahas ketika Verry menghujani dia dengan beragam tinjuan. Dia takut, lampu terang benderang yang baru saja dilihat adalah cahaya surga.“Sa ... bangun!” Fiani menepuk pipi Arsa.Suara Fiani terdengar jelas di telinga Arsa. Namun, pria itu takut semua hanya khayalan.‘Andai aku bisa menghindar, pasti kuhindari. Tapi setiap kematian akan dihadapkan dengan malaikat. Mau nggak mau aku harus menerima kenyataan ini. Ya Allah, ampuni aku.’ Arsa membatin.Kemudian dia berkata pelan. “Kenapa suara Fia yang selalu aku dengar Ya Allah.”“Kamu ngomong, Sa? Astagfirullah, buka matamu, Sa. Terus kamu mau denger suara siapa? Cuma aku sama Ali di si
Sret ... !Plak!Tangan kekar yang dulu pernah menyentuh pipi Fiani lembut, tiba-tiba mencengkeram tangannya kasar. Perempuan berkaus putih itu terkejut bukan main. Bagaimana bisa? Beragam tanya menyelundup ke kepala, sebelum curiga, dan prasangka buruk datang.“Tunggu.”Telinga Fiani mendengar suara Ali. Namun, kesadaran dirinya seakan terbelenggu, sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi. Verry terus menarik Fiani menjauhi rumah Ali.Bugh!Cekalan Verry terlepas setelah Ali melayangkan tinju ke bahu pria berambut gondrong tersebut. Di situlah, Fiani seolah tersadar bahwa dia sedang berada di dunia nyata.“Bajingan! Diam atau tubuhmu hancur di tanganku.” Verry menatap Ali tajam. Wajahnya berubah lebih dari 50%. Wajah yang dulu bersih, sekarang dipenuhi jambang. Padahal jika dihitung, Fiani baru berapa bulan tidak bertemu dengan Verry. Kulit bersihnya sirna, berganti jadi kusam. Tubuh proporsional Verry juga lenyap. Tampak perutnya mengembang nyata di balik kaus biru tua.“Pergi dari s
Rumah sederhana tanpa teras. Bangunan tahun 85’an. Kurang lebih sudah dua puluh tahun berdiri. Namun, masih tampak cantik dengan paduan cat warna biru muda dan putih. Fiani menyisir pandangan ke semua arah. Rumah yang sama ketika dirinya dibawa ke sana beberapa bulan lalu, tetapi catnya sudah berubah.Ada segumpal nyeri ketika mengingat kejadiannya. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat berlebih. Fiani coba menarik napas berkali-kali, mencari ketenangan.“Eh.” Dia terkejut dengan tangan yang tiba-tiba menggenggam, dan menariknya.Rupanya Ali. Fiani terenyak seketika. Rasa takut masih membelenggu jiwa rapuhnya. Sekalipun Reni sudah berada di tempat aman. Mama Lina begitu bahagia saat Reni dibawa ke sana, bahkan tidak boleh diajak Fiani pergi. Fiani bersyukur mempunyai orang-orang baik di sekitarnya.“Loh, Fi ... !”Kaki Fiani terhenti di depan pintu. Kepalanya menoleh, tubuhnya kemudian berbalik. Seutas senyum dia lempar dengan berat hati pada seseorang di tepi jalan. Wanita paruh baya