Gagal membawa Reni bersama, Fiani minta Arsa buru-buru melajukan kendaraan ke indekos miliknya. Ya, Fiani menyewa satu kamar di daerah tempat Arsa mengontrak rumah. Dia berjanji pada dirinya sendiri, akan bekerja keras, dan menabung supaya bisa segera mengambil hak asuh.Fiani merasa sangat bersalah telah membuat Reni berada di situasi itu. Bocah yang harusnya sudah memasuki sekolah PAUD, bebas bermain dengan teman sebaya, malah dikurung dalam rumah. Sekarang sudah agak mendingan sejak rutin berinteraksi dengan Fiani, banyak kosakata yang Reni kuasai. Namun, setelah ditinggal oleh Fiani, Reni pasti kembali sendiri.Kasihan sekali, beban sudah harus dipikul oleh bocah seusia Reni. Dalam sepi, Fiani merenungkan masa kecilnya sendiri. Dia memang kehilangan orang tua sejak kecil, tetapi tidak kehilangan masa kanak-kanaknya, sedangkan Reni? Cepat-cepat Fiani menggeleng, mengaburkan pikiran buruk. Lalu dia berdoa semoga Tuhan selalu menjaga Reni.Senja berganti
Semakin coba melupakan peristiwa di depan swalayan, Fiani tambah gelisah. Dia berhasil menahan gemuruh di dada selama sebulan. Sempat ingin nekat datangi rumah Verry, tetapi ditahan Arsa.Fiani meluluh dengan janji Arsa – akan segera membawa Reni. Dari surat-surat yang memang sudah diajukan ke pengadilan, Fiani agak lega. Namun, pagi itu perasaannya tidak karuan. Nuraninya sebagai ibu menjerit. Apalah arti ibu jika dia diam melihat kejanggalan. Pengadilan boleh menentukan, tetapi hati seorang ibu sulit untuk menunggu.Pagi-pagi sekali usai mengepel lantai swalayan, dia menemui manager di sana. Izin bekerja setengah hari saja dengan alasan memiliki kepentingan.Pekerjaannya memang beda. Libur di akhir pekan tidak berlaku bagi karyawan swalayan. Tanggal merah pun tetap jalan. Kecuali, hari raya Aidil Fitri – swalayan akan memberikan libur pada seluruh karyawan selama dua hari. Fiani sendiri belum pernah merasai, sebab dia baru sebulan bekerja.“Aduh, maaf-maaf.” Fiani memunguti belanjaa
Brak!“Angkat tangan!” Seorang polisi menodongkan senjata api, tangan kirinya mengibas-ngibas. Kode agar tidak ada yang mengikuti masuk.Verry mengangkat kedua tangan. Cepat-cepat Fiani benahi pakaian dalam, dan mengenakan kembali kaosnya. Selesai Fiani berbenah, polisi mengizinkan kawanannya masuk – menangkap Verry di sana.“Brengsek!” Tangan Arsa yang hendak meninju ditahan oleh polisi.“Jangan menggunakan kekerasan, biarkan hukum yang berjalan, Mas,” kata seorang polisi.Arsa abaikan itu, dia berlari mendekati Fiani yang terisak di kamar. Badannya terasa dingin dan bergetar. Namun, Fiani terdiam dengan air mata terus mengalir. Pandangannya mendadak kosong.“Fi ... kamu nggak kenapa-kenapa, ‘kan? Fi ... jawab.” Arsa menepuk pipi Fiani.Beberapa detik kemudian, Fiani ambruk di pelukan Arsa.**Arsa membaringkan Fiani di kamar. Dia meletakkan bantal di kaki Fiani, agar aliran darahnya bisa kembali lanca
Tertangkapnya Verry menjadi satu harapan besar bagi Fiani. Setidaknya dia bukan seorang penguasa, ataupun orang yang memiliki pengaruh besar pada negara. Gampangnya dia tidak kebal hukum. Verry pasti akan tunduk pada jeratan pasal-pasal yang akan ditimpakan padanya.Fiani terus menyunggingkan senyum, bayangan wajah polos nan menggemaskan muncul di kepala. Dia ingin sekali menjawil dan menciumi pipi gembil Reni. Pagi-pagi, Fiani sudah menelepon sang menejer swalayan – izin sehari karena ada perlu mendesak. Beruntung beliau adalah rekan Arsa, sehingga tidak banyak bertanya A I U E O.Tin! Tin! Tin ... !Klakson panjang dari kendaraan di depan indekos, bikin dia geram. Namun, seketika ingat bahwa Ali akan datang menjemput dan menemani ke kantor polisi sebagai kuasa hukumnya.Cepat-cepat Fiani menyambar tas, dia berlari ke depan agar Ali menghentikan tindakan memalukan tersebut. Fiani tersenyum dengan menganggukkan kepala pada penghuni indekos lain. Pagi-pagi sudah bikin kebisingan di ar
Bahu Fiani bergetar, dia menyeka ujung mata. Meskipun hatinya terluka, dia masih punya malu untuk menangisi keadaan di dalam angkutan umum.Pikiran buntu bikin Fiani tidak bisa berpikir jernih. Kedatangannya ke rumah Darmi, bukan mendapat informasi, malah dapat luka lebam di sudut bibir kiri. Dia lupa siapa Tono dan Darmi.“Mbak ... Mbak ... Mbak ... hapenya bunyi dari tadi.” Seseorang yang duduk di sebelahnya sampai menepuk tangan Fiani.Fokusnya terganggu, sampai suara-suara berisik di angkot tidak menusuk rungunya. Pada panggilan ketiga, dia baru kembali di dunia nyata – kehidupan penuh halang rintang.“Ha ... kenapa, Bu?” tanya Fiani melongo. Semua penumpang menggeleng dengan senyum remeh. Mereka pikir, Fiani agak lola. Memang kepahitan hidup bisa mengguncang mental dan otak manusia. Oleh sebab itu, dukungan orang terdekat sangat diperlukan dalam melewati lika-liku hidup.“Itu, hapenya bunyi terus.”“Oh, iya, Bu, iya. Terima kasih ya, Bu.” Fiani mengangguk sedikit, lalu dia merogo
Sudah sepuluh hari berlalu, tetapi kasus hilangnya Reni belum terpecahkan. Polisi memang sempat memberikan informasi bahwa Reni diadopsi pasangan suami-istri. Namun, pemberitahuan tersebut mandek di sana. Setiap sore, Fiani ditemani Arsa dan Ali berkeliling. Dari bertanya dari satu orang ke yang lain, sampai menempel pamflet anak hilang – di dinding-dinding toko.Kamis sore itu, Fiani bersiap meninggalkan swalayan. Tugasnya sebagai karyawan tidak pernah diabaikan. Dia harus hidup dalam kenyataan. Meskipun patah hati kehilangan Reni, tetapi dia juga butuh uang untuk mencari dan menjalani kehidupan. Sebab, hidupnya adalah tanggungjawabnya sendiri.Rencana sudah disusun, dia akan kembali menemui Verry. Memohon atau jika perlu dia akan bersujud agar Verry mau buka mulut.Ting! Satu pesan masuk.Arsa [Sama Ali dulu ya, Fi. Aku nyusul telat. Soalnya tadi ada pekerjaan tambahan.]“Huf. Kalo ... aja punya keluarga.” Di saat-saat seperti itulah dadanya nyeri mengingat dirinya sebatang kara.Fi
“Tina? Kenapa sama dia, Pak? Apakah kondisinya semakin buruk?” Air muka Fiani berubah menjadi cemas.Memang ada marah dan benci pada perempuan itu. Namun, menyaksikan kondisinya buruk, Fiani prihatin.Terlebih keluarga Jeni sama sekali tidak menjenguk. Pihak kepolisian sudah menghubungi, tetapi mereka justru mengatakan kalau Jeni bukan anggota keluarganya.Fiani paham. Mungkin orang tua Jeni masih merasakan sakit hati. Anak dirawat dengan penuh kasih sayang. Dibesarkan, dan di sekolahkan mati-matian, agar bisa menjadi orang berguna. Bukannya membalas jasa, ibaratnya Jeni malah melempari kotoran ke muka orang tua. Sayang sekali. Fiani yang sudah kehilangan orang tua saja menyesal karena belum bisa menjadi kebanggaan. Jeni malah menyia-nyiakan kesempatan.“Ibu Tina ingin bertemu dengan Bu Fiani. Bukankah yang beliau maksud adalah Ibu?”“Betul, Pak. Kalo begitu saya akan ke rumah sakit.”“Tidak perlu, Bu. Beliau sudah di sini. Mari, ikut saya.”Fiani bingung, dia menoleh ke Ali. Namun, A
Hari berikutnya, Fiani mengurus berkas-berkas pembebasan Jeni. Dia melakukan semua sendiri. Di lembar terakhir, dia membubuhkan materai tempel 6000 Rupiah.Pukul sebelas, Fiani sudah izin pulang cepat. Dia berjanji dalam hati, tidak akan izin-izin lagi setelah urusan dengan Jeni selesai.Fiani naik ojek agar lebih cepat sampai. Semalaman dia sudah memikirkan langkahnya menangani Jeni. Meskipun awalnya agak sendu melihat perubahan sikap pada Jeni, tetapi Arsa kembali menyadarkan bahwa Jeni memang pernah berbuat salah.Dengan yakin, Fiani melangkah – masuk ke ruang kunjung. Fiani duduk di kursi kayu tanpa sandaran. Dia meletakkan map di meja. Beberapa detik kemudian, Jeni tiba.Wajahnya tampak berseri dengan senyum penuh arti. Rambutnya terurai di atas bahu. Lingkar hitam di matanya terlihat berkurang. Fiani ikut senang. Setidaknya jika hati Jeni bahagia, dia akan lebih mudah untuk dimintai keterangan.“Mbak Fia ke sini mau bebasin aku, ‘kan? Iya kan, Mbak?” Jeni menyalami Fiani, hendak
Reni dibawa kabur oleh seorang perempuan. Fiani panik, dia teriak kencang sambil tangannya merogoh dompet dan menarik selembar uang, kemudian memberikannya ke Mang Es Krim. Ponsel dia masukkan saku celana, lalu berlari mengejar anaknya."Al ... Ali, Reni ... !" Fiani mengguncang lengan Ali, tangan kirinya menunjuk ke arah jalan raya. Lama direspn, Fiani berpaling. Rasanya tidak ada guna mengharap pertolongan Ali. Reni adalah anaknya, dia harus berusaha sendiri untuk dirinya."Tunggu." Fiani ditahan oleh Ali."Aku nggak punya waktu.""Tunggu dulu, ada apa sebenarnya?" Ali bertanya seolah dia tidak melihat kepanikan perempuan di depannya."Reni dibawa seseorang dan kamu malah bertanya ada apa?" Fiani geleng-geleng, dia menghempas tangan Ali yang mencengkeram pergelangannya.Akan tetapi, Ali kembali menangkap pergelangan tangan Fiani dan berkata, "Tenang, bisa jadi kamu salah lihat.""Kamu gila!" Fiani menginjak kaki Ali, dan mendorong tubuh pria tersebut cukup keras. Namun, usahanya ter
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Pagi-pagi sekali, Fiani bangun dari tidur nyamannya. Itu adalah hari pertama menjalani kerja di tempat baru dengan orang lama. Masih bersama Ali, pria kaku dengan segudang rahasia. Itu hanya pandangan Fiani.Sebelum beraktivitas, Fiani berjalan ke ruang tamu – menyibak sedikit vitrase yang menutup jendela kaca. Menatap bangunan berlantai tiga di depan rumah kecil yang dia tinggali sekarang. Rumah mungil dengan ruang tamu ukuran 3x3, kamar + kamar mandi 6x6, dan dapur 3x4. Sangat nyaman bagi Fiani. Rumah itu memang diperuntukkan bagi asisten Ali.Cukup takjub dengan pencapaian Ali saat itu. Di usia muda, Ali sudah bisa membangun usaha sendiri. Namun, kadang terbersit rasa penasaran akan usaha-usaha milik Ali. Tentunya selain bergelut di hukum, Fiani yakin, Ali punya banyak bisnis mengular lainnya. Rasanya jika dipikir, kalau hanya dari satu sumber, tidak masuk akal Ali bisa sekaya itu.“Astaga, apa-apaan sih aku ini. Pagi-pagi udah ngurusin harta orang.” Fiani menutup vitrase. Dia masu
Hubungan yang telah terjalin lama, mendadak harus rusak gara-gara satu pihak menganggap pihak lain sepele. Suatu hubungan tidak akan awet ketika komitmen yang terjalin diabaikan.Komitmen? Fiani mengusap air mata, dia terlalu pusing memikirkan kesalahan fatalnya. Persahabatan yang terjalin dengan Arsa murni tanpa syarat. Bahkan sejauh itu, dia bingung dengan letak kesalahannya. Tamparan kemarin, Fiani rasa sangat pelan. Malah seingatnya dia pernah menampar Arsa lebih kuat.Di dalam mobil, Fiani terus berpikir keras. Sampai dia tidak menyadari mobil yang dikendarai oleh Ali berhenti di sebuah rumah makan.Fiani mendongak, dia agak terkejut ketika seseorang memberikan sapu tangan.“Bersihkan air matamu, setelah itu kita makan dulu.”“Aku nggak laper.”Ali memutar tubuh, dia menghadap Fiani yang tengah membersihkan wajahnya. “Saya tahu, tapi pikirkan kesehatanmu. Katanya mau merawat Reni sendiri.”Fiani semakin terisak. Mendengar nama Reni, dia ingat kebaikan Mama Lina, artinya semua ber
Ali menahan tangan Fiani, dia tidak membiarkan Fiani pergi bersama Arsa. Namun, Arsa murka. Pria berkulit kuning langsat tersebut, khawatir pada nasib Fiani jika harus kembali ke rumah yang berdekatan dengan rumah Verry, mantan suaminya.Sekalipun hanya semalam, Arsa tetap tidak rela. Dia tahu bagaimana Verry. Tabiat Verry sudah dihafal oleh Arsa. Pun dengan Fiani. Terlebih posisi Ali memang bukan siapa-siapa. Masalah hutang Budi, atau Fiani masih memiliki sangkutan dan tanggungan pembayaran jasa pengacara terhadap Ali, dia siap melunasi semua. Asal jangan berbuat semena-mena pada Fiani. Kalau dia bisa menjamin keselamatan Fiani sih, Arsa akan tenang. Namun, kenyataannya Fiani terancam celaka gara-gara Ali.Arsa berbalik, maju dua langkah. Matanya menatap Ali tanpa berkedip beberapa detik. Kemudian, dia mendorong bahunya, sampai Ali terhuyung hampir jatuh. Arsa melangkah lagi, dia mengangkat kepalan tangan, mengayunnya ke udara hendak dihempaskan ke wajah Ali. Akan tetapi, sebelum tin
Bau minyak angin menyeruak di hidung pria berkulit sawo matang tersebut. Aromanya sungguh mengganggu, rasanya sampai di tenggorokan. Memaksa dia untuk membuka matanya.Rupanya cahaya bohlam warna putih, dengan watt besar – mengganggu pandangan. Arsa membuka kelopak mata lamban. Cuma dua detik, dia memejam lagi. Bukan hanya silau, tetapi dia ingat kejadian nahas ketika Verry menghujani dia dengan beragam tinjuan. Dia takut, lampu terang benderang yang baru saja dilihat adalah cahaya surga.“Sa ... bangun!” Fiani menepuk pipi Arsa.Suara Fiani terdengar jelas di telinga Arsa. Namun, pria itu takut semua hanya khayalan.‘Andai aku bisa menghindar, pasti kuhindari. Tapi setiap kematian akan dihadapkan dengan malaikat. Mau nggak mau aku harus menerima kenyataan ini. Ya Allah, ampuni aku.’ Arsa membatin.Kemudian dia berkata pelan. “Kenapa suara Fia yang selalu aku dengar Ya Allah.”“Kamu ngomong, Sa? Astagfirullah, buka matamu, Sa. Terus kamu mau denger suara siapa? Cuma aku sama Ali di si
Sret ... !Plak!Tangan kekar yang dulu pernah menyentuh pipi Fiani lembut, tiba-tiba mencengkeram tangannya kasar. Perempuan berkaus putih itu terkejut bukan main. Bagaimana bisa? Beragam tanya menyelundup ke kepala, sebelum curiga, dan prasangka buruk datang.“Tunggu.”Telinga Fiani mendengar suara Ali. Namun, kesadaran dirinya seakan terbelenggu, sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi. Verry terus menarik Fiani menjauhi rumah Ali.Bugh!Cekalan Verry terlepas setelah Ali melayangkan tinju ke bahu pria berambut gondrong tersebut. Di situlah, Fiani seolah tersadar bahwa dia sedang berada di dunia nyata.“Bajingan! Diam atau tubuhmu hancur di tanganku.” Verry menatap Ali tajam. Wajahnya berubah lebih dari 50%. Wajah yang dulu bersih, sekarang dipenuhi jambang. Padahal jika dihitung, Fiani baru berapa bulan tidak bertemu dengan Verry. Kulit bersihnya sirna, berganti jadi kusam. Tubuh proporsional Verry juga lenyap. Tampak perutnya mengembang nyata di balik kaus biru tua.“Pergi dari s
Rumah sederhana tanpa teras. Bangunan tahun 85’an. Kurang lebih sudah dua puluh tahun berdiri. Namun, masih tampak cantik dengan paduan cat warna biru muda dan putih. Fiani menyisir pandangan ke semua arah. Rumah yang sama ketika dirinya dibawa ke sana beberapa bulan lalu, tetapi catnya sudah berubah.Ada segumpal nyeri ketika mengingat kejadiannya. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat berlebih. Fiani coba menarik napas berkali-kali, mencari ketenangan.“Eh.” Dia terkejut dengan tangan yang tiba-tiba menggenggam, dan menariknya.Rupanya Ali. Fiani terenyak seketika. Rasa takut masih membelenggu jiwa rapuhnya. Sekalipun Reni sudah berada di tempat aman. Mama Lina begitu bahagia saat Reni dibawa ke sana, bahkan tidak boleh diajak Fiani pergi. Fiani bersyukur mempunyai orang-orang baik di sekitarnya.“Loh, Fi ... !”Kaki Fiani terhenti di depan pintu. Kepalanya menoleh, tubuhnya kemudian berbalik. Seutas senyum dia lempar dengan berat hati pada seseorang di tepi jalan. Wanita paruh baya