Lima bulan lebih berlalu. Fiani mengubah gaya hidupnya dari pemikir jadi cuek bebek. Masalahnya dengan Verry tidak ubahnya seperti lingkaran. Cuma berputar-putar saja dengan topik sama. Fiani mulai mendengarkan nasihat-nasihat temannya, kalau tidak ... mungkin badannya habis tersisa kulit menempel pada tulang.
Tidak! Tentu Fiani berpikir bagaimana caranya dia bisa bangkit. Sore itu, dia pilih menikmati pemandangan indah di taman bunga. Fiani mulai membiasakan diri membaca novel, buku yang dikirim Arsa lewat jasa kirim. Dia beruntung punya sahabat seloyal dan seroyal Arsa. Tidak pernah hitungan kalau memberi sesuatu. Jika mau membandingkan, Arsa jelas lebih segalanya dari Verry.Sedikit demi sedikit, Fiani juga mengetahui masa lalu Verry. Sebenarnya dia tidak pernah mempermasalahkan apa pun dunia hitam yang pernah Verry lalui. Namun, bukan berubah, Verry justru membohongi secara berkala. Tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah terjadi.“Seru juga bacBanyak istri bertahan dalam ikatan pernikahan karena lebih mementingkan imbasnya pada anak. Opini tersebut tidak seratus persen salah. Selain sifat ibu yang perasa, seorang ibu memiliki kedekatan intim dengan anak, maka dari itu banyak istri rela mengorbankan seluruh jiwa raga demi tumbuh kembangnya anak. Ibu tidak ingin anak hidup tanpa dampingan kedua orang tuanya.Mereka para istri sering mengesampingkan mentalnya sendiri. Padahal secara tidak langsung, mental anak bisa terganggu jika dididik dalam keluarga tidak maupun kurang harmonis. Kebersamaan orang tua bukan jaminan anak berkembang baik, kalau setiap harinya disuguhi pertengkaran, ataupun pengkhianatan sang ayah pada ibunya.Semua itu sudah Fiani pikirkan matang. Ketika pulang ke tanah air nanti, dia akan segera mengurus perceraian beserta hak asuh. Namun, dia merasakan ketar-ketir andai nanti Reni menolak ikut dengannya. Pergi selama tiga tahun, cukup membikin bocah seusia Reni melupakan memori emasnya.Saat ditelepon Fiani
Bruk! “Aduh! Sialan kamu, Al! Bisa nyetir nggak, sih?” Arsa spontan mengumpat, bibirnya tambah nyeri setelah es batu di tangannya nyusruk akibat Ali mendadak mengerem kendaraan. Tatapan mata Ali tetap fokus ke jalanan, lalu dia kembali melajukan mobil. “Kamu normal?” tanyanya tanpa melirik ke samping. Arsa melotot, dia langsung membuka jendela kaca, melempar sisa es batu ke tepi jalan, dan menyimpan plastiknya ke kotak sampah di bawah dashboard. “Maksud kamu apa nanya gitu?” Ali mengangkat bahunya sebagai jawaban. Kelakuan Ali masih saja seperti itu, selalu memantik kekesalan Arsa. Makanya Arsa enggan pergi dengan sepupunya itu kalau tidak ada hal penting di luar kendalinya. Arsa mengelap bibir pakai tisu. Ternyata cukup sakit rasanya ditinju oleh Verry. Untung saja saat menelepon Fiani tadi lebamnya belum terlihat jelas. Arsa menggaruk pelipisnya, dia ingat zaman sekolah dulu. Sering sekali dapat tonjokan akibat menghalangi teman lelakinya mendekati Fiani.
Akibat banyak pikiran, Fiani akhirnya jatuh sakit lagi. Tubuh seseorang bisa menjadi ringkih ketika pikiran dan emosinya cenderung tertekan. Perasaan kecewa dan takut terus-menerus menghantui, membikin energi dalam diri Fiani terkuras. Mau tidak dipikir tetap saja kepikiran. Pada kondisi sakit, Fiani masih memaksakan tubuhnya kuat, dan pergi bekerja. Ya, meskipun setiap pulang dari kerja dia akan menggigil hebat.Fiani tertatih-tatih berdiri, dia sedang menyiapkan air jahe untuk menghangatkan tubuhnya. Obat-obatan sudah diminum, tapi belum sembuh juga. Setelah tiga hari demam, dia coba membeli ramuan tradisional di sana. Dia pikir ramuan akan lebih bersahabat dengan tubuh karena terdiri dari bahan-bahan alami.Fiani menyeruput sedikit demi sedikit. Lumayan hangat untuk tubuhnya yang masih meriang. Dia ingat ponselnya, sudah seminggu lebih tidak digunakan sama sekali. Baterainya menipis, dan Fiani langsung mencolokkan pengisi daya. Dia membuka dua puluhan pesan masu
“Aku capek hidup dalam kebohongan terus-menerus, Mas! Kenapa sih, kamu harus bilang sama Mbak Fia kalo kita udah pisah? Udah betul dia tau dan nggak protes, kamu malah bikin ulah lagi! Mau sampe kapan aku diperlakukan seperti ini, Mas?” Jeni berteriak keras sekali, untung saja jarak rumah Verry ke tetangga agak jauh. Dia baru merasakan hidupnya dipermainkan oleh Verry.“Aku nggak pernah minta kamu seperti ini. Kamu sendiri datang menawarkan onderdil ORI milikmu, ya ... sebagai lelaki aku nggak tega menolaknya. Apalagi bocah tengil itu ogah menyentuhmu. Empatiku seolah meronta untuk menolongmu, dan ... memberikan servis terbaik supaya kamu nggak penasaran.”Jeni menarik kaos Verry, dia tidak terima karena Verry seolah tidak pernah menginginkan dirinya. Semua sudah gadis itu berikan pada Verry, bahkan dia sampai rela mahkotanya lecet-lecet demi menuruti kemauan Verry yang tergolong tidak biasa.Kebiasaan Verry meminum jamu kuat menambah keinginannya lebih ta
Bulan-bulan terakhir masa kontrak, Fiani manfaatkan untuk merawat diri. Dia tidak ingin ketika pulang nanti Verry lebih merendahkannya. Hubungannya dengan Verry kini membaik, bukan sekadar terpesona, Verry sepertinya ada maksud terselubung di balik sikap baiknya.“Fi, kalo pengen beli apa-apa, beli aja. Jangan ditahan-tahan, bikin kamu tertekan, sedangkan suamimu aja nggak peduli.”“Iya, Mbak ... aku pikir rugi sendiri memikirkan Mas Verry.”Fiani hanya dengan Ida, mereka berjalan-jalan menikmati akhir pekan yang sejuk. Mengobrol banyak hal, terutama masalah rumah tangga. Ida sempat bertanya, apakah Fiani akan pulang ke rumahnya ketika kembali ke tanah air nanti? Fiani cuma tersenyum tipis. Jika menuruti ego, tentu enggan pulang ke rumah – di mana kediamannya yang nyaman, telah berubah menjadi tempat kumpul kebo.Usai berkeliling, mereka pulang ke indekos milik Fiani, menghabiskan seharian berdua. Fiani senang memiliki teman sebaik Ida, dia sudah seperti kakak bagi Fiani.“Fi, kamu su
“Apa maksud kamu, Li? Jangan sembarangan, dia itu masih istri Verry. Nih, pake lagi jaketmu!” Arsa marah, dia mengambil jaket Ali dari tubuh Fiani. Bisa-bisanya Ali melakukan hal seperti itu.Usai bertukar posisi, Ali melajukan pelan kendaraan. Dia melirik Arsa yang diam. Maksudnya cuma kasihan melihat Fiani tidur tanpa selimut. Ali jadi merasa tidak enak pada Arsa.“Aku nggak ada maksud apa pun, kasihan aja liatnya tidur begitu.”“Kamu cukup bantu dia mengurus surat cerai, jangan pernah melibatkan hatimu.” Setelah mengatakan itu, Arsa membuka ranselnya, dia ambil jaket di sana. Lalu menyelimuti tubuh Fiani.Hening kembali terasa, mereka sama-sama diam dengan pikiran masing-masing.Pukul enam, mereka sudah berada di ujung Jawa Barat. Fiani tampak bergerak, mengucek mata, dan duduk. Dia bertanya sampai mana. Arsa menjawab seperlunya. Hatinya masih kesal gara-gara sikap Ali yang dia anggap kurang sopan.“Kita berhenti makan dulu, ya?”“Iya,” jawab Fiani masih agak mengantuk.Ali berbelo
“Buka! Mas ... buka pintunya!”Dok! Dok! Dok! Fiani terus menggedor pintu rumahnya.Tangis Reni makin nyaring, ditambah lenguhan mengaduh terus-menerus. Fiani tak sampai hati, dia berusaha mendobrak pintu dengan bahunya sendiri.“Mas! Buka sekarang! Kalo nggak, aku akan panggil warga untuk mendobrak pintu ini!” Fiani kesal, di kala genting, Verry tidak kunjung menyudahi aktivitas ranjangnya.Barangkali suara Fiani kalah dengan desahan dari mulut perempuannya.Fiani mengintip dari kaca ruang tamu, dia mengetuk-ngetuk kaca sambil memanggil sang putri.“Sayang ... buka pintunya, ini Ibu, Nak. Reni ... buka, Sayang.”“Ayah ... sakit ... ?”Bruk! Bruk! Bruk! Verry berlari dari kamar tamu yang letaknya di depan. Tatapan matanya langsung bertemu dengan mata Fiani. Dia terkejut, menatap dirinya sendiri hanya menggunakan kain sarung. Fiani tidak pedulikan apa pun, dia ingin cepat melihat keadaan anaknya.“Buka ... !” teriaknya.Verry bimbang, dia maju mundur hendak kembali masuk kamar. Namun,
Malamnya, pukul tujuh lewat, Fiani selesai mengurus masalah administrasi. Dia amat bersyukur dengan kondisi Reni yang membaik – usai diberi satu kantong darah. Pihak rumah sakit meminta Reni opname tiga hari, tetapi dengan berat hati Fiani menolak.Biaya klinik tanpa asuransi kesehatan dari pemerintah, cukup mencekik. Kamar pasien dikenakan biaya per malam. Sebelum memutuskan membawa Reni pulang, Fiani lebih dulu konsultasi pada dokter anak. Bersyukur karena dokter mengizinkan bocah itu meninggalkan klinik.Fiani memasukkan kembali dompet kecil di saku celana. Untunglah dia menyimpan ATM di dompet rahasia, jika tidak ... hanguslah semua hartanya dibawa oleh sang mertua.Dia masuk ke ruang rawat. Tak lupa berterima kasih pada seorang perawat karena sudah menjaga Reni saat Fiani mengurus pembayaran. Fiani menggendong anaknya, dia mengayunkan kaki menuju halaman klinik.Gelap, Fiani menarik napas berat. Sampai malam tiba, tidak seorang keluarga pun m
Reni dibawa kabur oleh seorang perempuan. Fiani panik, dia teriak kencang sambil tangannya merogoh dompet dan menarik selembar uang, kemudian memberikannya ke Mang Es Krim. Ponsel dia masukkan saku celana, lalu berlari mengejar anaknya."Al ... Ali, Reni ... !" Fiani mengguncang lengan Ali, tangan kirinya menunjuk ke arah jalan raya. Lama direspn, Fiani berpaling. Rasanya tidak ada guna mengharap pertolongan Ali. Reni adalah anaknya, dia harus berusaha sendiri untuk dirinya."Tunggu." Fiani ditahan oleh Ali."Aku nggak punya waktu.""Tunggu dulu, ada apa sebenarnya?" Ali bertanya seolah dia tidak melihat kepanikan perempuan di depannya."Reni dibawa seseorang dan kamu malah bertanya ada apa?" Fiani geleng-geleng, dia menghempas tangan Ali yang mencengkeram pergelangannya.Akan tetapi, Ali kembali menangkap pergelangan tangan Fiani dan berkata, "Tenang, bisa jadi kamu salah lihat.""Kamu gila!" Fiani menginjak kaki Ali, dan mendorong tubuh pria tersebut cukup keras. Namun, usahanya ter
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Pagi-pagi sekali, Fiani bangun dari tidur nyamannya. Itu adalah hari pertama menjalani kerja di tempat baru dengan orang lama. Masih bersama Ali, pria kaku dengan segudang rahasia. Itu hanya pandangan Fiani.Sebelum beraktivitas, Fiani berjalan ke ruang tamu – menyibak sedikit vitrase yang menutup jendela kaca. Menatap bangunan berlantai tiga di depan rumah kecil yang dia tinggali sekarang. Rumah mungil dengan ruang tamu ukuran 3x3, kamar + kamar mandi 6x6, dan dapur 3x4. Sangat nyaman bagi Fiani. Rumah itu memang diperuntukkan bagi asisten Ali.Cukup takjub dengan pencapaian Ali saat itu. Di usia muda, Ali sudah bisa membangun usaha sendiri. Namun, kadang terbersit rasa penasaran akan usaha-usaha milik Ali. Tentunya selain bergelut di hukum, Fiani yakin, Ali punya banyak bisnis mengular lainnya. Rasanya jika dipikir, kalau hanya dari satu sumber, tidak masuk akal Ali bisa sekaya itu.“Astaga, apa-apaan sih aku ini. Pagi-pagi udah ngurusin harta orang.” Fiani menutup vitrase. Dia masu
Hubungan yang telah terjalin lama, mendadak harus rusak gara-gara satu pihak menganggap pihak lain sepele. Suatu hubungan tidak akan awet ketika komitmen yang terjalin diabaikan.Komitmen? Fiani mengusap air mata, dia terlalu pusing memikirkan kesalahan fatalnya. Persahabatan yang terjalin dengan Arsa murni tanpa syarat. Bahkan sejauh itu, dia bingung dengan letak kesalahannya. Tamparan kemarin, Fiani rasa sangat pelan. Malah seingatnya dia pernah menampar Arsa lebih kuat.Di dalam mobil, Fiani terus berpikir keras. Sampai dia tidak menyadari mobil yang dikendarai oleh Ali berhenti di sebuah rumah makan.Fiani mendongak, dia agak terkejut ketika seseorang memberikan sapu tangan.“Bersihkan air matamu, setelah itu kita makan dulu.”“Aku nggak laper.”Ali memutar tubuh, dia menghadap Fiani yang tengah membersihkan wajahnya. “Saya tahu, tapi pikirkan kesehatanmu. Katanya mau merawat Reni sendiri.”Fiani semakin terisak. Mendengar nama Reni, dia ingat kebaikan Mama Lina, artinya semua ber
Ali menahan tangan Fiani, dia tidak membiarkan Fiani pergi bersama Arsa. Namun, Arsa murka. Pria berkulit kuning langsat tersebut, khawatir pada nasib Fiani jika harus kembali ke rumah yang berdekatan dengan rumah Verry, mantan suaminya.Sekalipun hanya semalam, Arsa tetap tidak rela. Dia tahu bagaimana Verry. Tabiat Verry sudah dihafal oleh Arsa. Pun dengan Fiani. Terlebih posisi Ali memang bukan siapa-siapa. Masalah hutang Budi, atau Fiani masih memiliki sangkutan dan tanggungan pembayaran jasa pengacara terhadap Ali, dia siap melunasi semua. Asal jangan berbuat semena-mena pada Fiani. Kalau dia bisa menjamin keselamatan Fiani sih, Arsa akan tenang. Namun, kenyataannya Fiani terancam celaka gara-gara Ali.Arsa berbalik, maju dua langkah. Matanya menatap Ali tanpa berkedip beberapa detik. Kemudian, dia mendorong bahunya, sampai Ali terhuyung hampir jatuh. Arsa melangkah lagi, dia mengangkat kepalan tangan, mengayunnya ke udara hendak dihempaskan ke wajah Ali. Akan tetapi, sebelum tin
Bau minyak angin menyeruak di hidung pria berkulit sawo matang tersebut. Aromanya sungguh mengganggu, rasanya sampai di tenggorokan. Memaksa dia untuk membuka matanya.Rupanya cahaya bohlam warna putih, dengan watt besar – mengganggu pandangan. Arsa membuka kelopak mata lamban. Cuma dua detik, dia memejam lagi. Bukan hanya silau, tetapi dia ingat kejadian nahas ketika Verry menghujani dia dengan beragam tinjuan. Dia takut, lampu terang benderang yang baru saja dilihat adalah cahaya surga.“Sa ... bangun!” Fiani menepuk pipi Arsa.Suara Fiani terdengar jelas di telinga Arsa. Namun, pria itu takut semua hanya khayalan.‘Andai aku bisa menghindar, pasti kuhindari. Tapi setiap kematian akan dihadapkan dengan malaikat. Mau nggak mau aku harus menerima kenyataan ini. Ya Allah, ampuni aku.’ Arsa membatin.Kemudian dia berkata pelan. “Kenapa suara Fia yang selalu aku dengar Ya Allah.”“Kamu ngomong, Sa? Astagfirullah, buka matamu, Sa. Terus kamu mau denger suara siapa? Cuma aku sama Ali di si
Sret ... !Plak!Tangan kekar yang dulu pernah menyentuh pipi Fiani lembut, tiba-tiba mencengkeram tangannya kasar. Perempuan berkaus putih itu terkejut bukan main. Bagaimana bisa? Beragam tanya menyelundup ke kepala, sebelum curiga, dan prasangka buruk datang.“Tunggu.”Telinga Fiani mendengar suara Ali. Namun, kesadaran dirinya seakan terbelenggu, sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi. Verry terus menarik Fiani menjauhi rumah Ali.Bugh!Cekalan Verry terlepas setelah Ali melayangkan tinju ke bahu pria berambut gondrong tersebut. Di situlah, Fiani seolah tersadar bahwa dia sedang berada di dunia nyata.“Bajingan! Diam atau tubuhmu hancur di tanganku.” Verry menatap Ali tajam. Wajahnya berubah lebih dari 50%. Wajah yang dulu bersih, sekarang dipenuhi jambang. Padahal jika dihitung, Fiani baru berapa bulan tidak bertemu dengan Verry. Kulit bersihnya sirna, berganti jadi kusam. Tubuh proporsional Verry juga lenyap. Tampak perutnya mengembang nyata di balik kaus biru tua.“Pergi dari s
Rumah sederhana tanpa teras. Bangunan tahun 85’an. Kurang lebih sudah dua puluh tahun berdiri. Namun, masih tampak cantik dengan paduan cat warna biru muda dan putih. Fiani menyisir pandangan ke semua arah. Rumah yang sama ketika dirinya dibawa ke sana beberapa bulan lalu, tetapi catnya sudah berubah.Ada segumpal nyeri ketika mengingat kejadiannya. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat berlebih. Fiani coba menarik napas berkali-kali, mencari ketenangan.“Eh.” Dia terkejut dengan tangan yang tiba-tiba menggenggam, dan menariknya.Rupanya Ali. Fiani terenyak seketika. Rasa takut masih membelenggu jiwa rapuhnya. Sekalipun Reni sudah berada di tempat aman. Mama Lina begitu bahagia saat Reni dibawa ke sana, bahkan tidak boleh diajak Fiani pergi. Fiani bersyukur mempunyai orang-orang baik di sekitarnya.“Loh, Fi ... !”Kaki Fiani terhenti di depan pintu. Kepalanya menoleh, tubuhnya kemudian berbalik. Seutas senyum dia lempar dengan berat hati pada seseorang di tepi jalan. Wanita paruh baya