“Pengkhianat!”
“Pembunuh!”
“Monster!”
“Penyihir!”
Ejekan dan umpatan yang menghujani sosok Amanda White di atas panggung kematiannya. Gadis itu masih tersenyum di dalam penutup hitamnya.
Illarion Black terbangun dengan napas yang memburu, seluruh tubuhnya basah oleh keringat, pandangan matanya nanar. Ia sedikit terbatuk saat sadar, dan berusaha untuk bangkit dari tidurnya, tapi badannya masih terasa limbung.
“Pangeran!” seru seorang wanita dan pria di samping Illarion berbarengan.
Pangeran Hitam yang sekarang sedang duduk tanpa sengaja bersandar di dada wanita itu karena tubuh Illarion masih terasa lemas. “Amanda?” lirihnya samb
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
Sekarang hanya terdengar bunyi gemerincing rantai baja yang beradu dengan ranjang besi. Illarion masih berusaha melepaskan diri. Ratu Zaina beranjak keluar dari kamar pribadi Pangeran Hitam. Ia keluar dengan mata berkaca-kaca tak menyangka dengan pemandangan yang baru saja ia lihat. Pangeran Hitam menitikkan air mata. 'Kenapa ia terlihat sangat lemah? Apa ia benar-benar mencintai Amanda? Ini bukan Pangeran Hitam yang aku kenal selama ini!' Perasaan Ratu Zaina berkecamuk. Entah karena tidak terima dengan sosok Pangeran Hitam yang terlihat tak berdaya, atau karena Illarion Black sudah memiliki seseorang yang sangat berarti di hatinya, orang yang bahkan menurut penguasa Eden itu sangat tidak sebanding dengannya. Yurigov pe
Illarion baru saja mengunjungi kediaman Duke Alantoin yang terbengkalai semenjak seluruh keluarga kakak kandung Ratu Minerva itu dibuang ke pengasingan. “Anda berniat balik sekarang, Baginda Raja?” tanya ajudan Illarion Black setelah semua urusan mereka di tempat itu selesai. “Tidak, kurasa aku akan singgah ke suatu tempat dulu,” ujar Illarion setelah berpikir beberapa saat menjawab pertanyaan Kazim, pengawalnya. “Ke Sulli, aku ingin menemui seseorang di sana.” Raut muka Kazim menunjukkan tanda tanya, tapi pria itu hanya mengangguk patuh. “Cuma kita berdua saja, tak perlu membawa pasukan,” perintah Illarion lebih lanjut. Dua jam dari bekas kediaman Duke Alantoin, Kazim dan Illarion Black sudah sampai di
Brenda tak dapat menyembunyikan senyumnya dibalik tangis kehilangan palsunya. Sedangkan Ben Broke tampak tercekat di kursinya. “Baginda Raja-.” Suara Ben Broke menghilang dibalik isak tangisnya. ‘Bahkan sampai akhir pun kau tetap menjadi anak yang berbakti ya Amanda.’ Tangisan Ben Broke semakin kuat membentuk bunyi dengung yang sangat aneh. Brenda bahkan mengernyitkan hidungnya. ‘Sejak kapan ia pintar berakting?’ Tapi itu bukan akting, perasaan bersalah yang teramat sangat bagai palu godam menghantam dada Ben Broke. “Hamba tidak pantas atas kepercayaan itu,” tolak Ben Broke di sela-sela tangisannya yang hampir reda.
Illarion yang tak dapat tidur malam itu, berjalan-jalan sejenak di puri kecil milik Amanda, hanya ada tiga ruangan di sana, ruang tengah dengan perapian, tempat Illarion pernah melihat lukisan keluarga Amanda, dapur, dan terakhir kamar tidur yang dilengkapi kamar mandi dalam. ‘Bahkan kamar mandi ini tak memiliki bathtub, hanya ember dan pancuran air dingin. Apa Amanda tak menyukai air hangat?’ Illarion berpikir sejenak, kemudian menggeleng. ‘Ia bahkan mandi lama sekali dengan berendam di air hangat.’ Suara kecipak air saat Amanda mandi yang terdengar sampai kamar Illarion Black kala itu mampu membuat pikirannya membayangkan sesuatu yang menggoda hasratnya. Illarion membersihkan debu meja nakas di samping ranjang Amanda, sembar
“Ceritakan aku tentang kakakmu, maka kau akan kuberikan kesenangan yang lebih dari ini,” ujar Illarion sambil mengedipkan matanya dan tersenyum miring. Gisella dengan napas memburu sekarang duduk terikat di atas ranjang. “Apa yang… ingin… Anda ketahui, Tuan?” desah adik tiri Amanda itu. “Kenapa... kita... tak langsung ke inti permainan saja... apa gadis penyakitan itu penting sekarang?” desak Gisella yang tubuhnya sudah haus akan sentuhan. Illarion menggeleng. “Bisakah kau sabar dan memberikan apa yang aku pinta tanpa membantah?” tanya Illarion sambil menarik tangan gadis dihadapannya, seolah ingin memberikan sentuhan mesra dengan memainkan jari-jarinya. “Aku bukan pria yang sabar, walau sekarang aku menyuruhmu sabar,” ucap Illarion sambil tersenyum seraya memuntir jari telunjuk Gisella hingga menyebabkan bunyi ‘krak’.
Kedua pasang mantan mertua Illarion Black itu berdiri terpaku di tempat mereka masing-masing mendapati pria itu tengah mengancingkan kemejanya dan keluar dengan santai. “T-tuan.” Ben Broke membuka suara. “Kirim orang-orang ini ke pertambangan, kurasa mereka butuh budak baru di tambang,” perintah Illarion pada Kazim yang ternyata sudah ada di belakang suami istri Broke. “Ma-maksudnya apa Baginda Raja?!” tanya Brenda panik. “Ba-baginda Raja, maafkan kami jika ada salah,” mohon Ben seraya sedikit membungkuk. Illarion menghentikan langkahnya. “Kau tak keberatan kan jika kehilangan seorang putri lagi?” tanya Illarion sambil menatap Ben Broke dengan ekor matanya, hanya sesaat, merasa pria tua itu tak pantas mendapat atensinya.
Hera kemudian menatap mata Illarion. “Lihat bahkan kantung matamu semakin hitam saja.” Illarion berdecak tak senang mendengar kecerewetan wanita yang sekarang sedang berkacak pinggang di hadapannya. “Izinkan aku berperang dan aku akan tidur nyenyak!” Hera menggeleng. “Tidak! Para petinggi kerajaan selalu was-was begitu kau pergi perang, begitupun aku. Kau belum memiliki penerus Illarion! Tidurilah salah satu wanita itu, buat mereka hamil dan kau boleh berperang kemana pun kau mau,” perintah wanita cantik dengan baju seronok itu. “Terkadang aku menyesal membawamu kembali ke Anarka,” ucap Illarion. Hera tersenyum. “Kau tidak impoten kan?” tanyanya jenaka tapi dibalas dengan mata melotot oleh Illarion.
Esok harinya Illarion beserta Putri Hera menggunakan kereta kecil ke desa terpencil itu. Kembali kilasan nostalgia yang nyaris membuat Illarion gila memasuki benaknya. ‘Betapa aku sangat rindu denganmu Amanda.’ Sosok tinggi besar yang penuh kesedihan di hatinya itu masih tak bisa melupakan sosok Amanda. Selama ini Illarion Black berusaha menguasai seluruh Benua Selatan karena satu alasan, ia ingin mati di medan perang, berharap dengan begitu ia bisa menemui Amanda yang sudah tenang di alam sana. Tapi sepertinya malaikat maut masih enggan menyapa pria bersurai gelap itu, sampai sekarang ia masih sehat, karena itulah Illarion Black akan terus berperang, bukan untuk menguasai, tapi lebih karena ia ingin segera mati di medan perang, dengan terhormat.