Sejak memutuskan untuk menjatuhkan talak pada Filza, Mas Albi jadi pendiam, suamiku menjelma tidak bersemangat dan jadi sering termenung. Aku kerap memergoki dia sedang terlihat murung di teras belakang. Saat kutegur, dia mengulas senyum, tapi senyumnya tidak bisa menutupi kegelisahan hatinya.*"Kau tidak pergi bekerja?" Tanyaku suatu hari saat menemukan Dia sedang termenung seperti biasa."Sepertinya ... nanti saja.""Posisimu sangat penting dan kau tidak mau kan jika jabatanmu diambil orang lain?""Tentu saja tidak mau, tapi aku lesu," jawabnya."Apakah kau memikirkan Filza?""Bukan dia!""Gibran?""Iya, mertuaku tidak mengizinkanku untuk menemui Gibran selama aku belum merujuk anak mereka."Astaghfirullah, keadaannya jadi serumit ini."Tapi, sebagai ayahnya harusnya kau tegas, meski tidak bersama lagi, kau berhak menemui anakmu, dia hakmu!""Sudahlah, jangan ceramahi aku! Cukup bantu aku untuk biarkan diri ini tenang. Aku butuh waktu untuk banyak berpikir!" bentaknya yang tiba ti
*"Apa yang kau bicarakan dengan orang tua Filza?" tanya Mas Albi saat kuberitahu bahwa pasangan paruh baya itu mendatangiku."Mereka ingin agar kau membiarkanmu kembali padanya, mereka juga ingin agar kau bisa menjeguk putramu," jawabku."Mereka melarang, tapi, mereka juga yang ingin aku bertemu anakku ... bagaimana itu...?""Entahlah, darimu bagaimana? Apakah kau akan pergi menemui Gibran?""Aku akan pergi jika kau biarkan.""Tidak ada alasan atau hak bagiku melarang kamu menjumpai anakmu, Bi. Temui saja," jawabku datar."Terima kasih atas izinmu, aku sangat bahagia," jawabnya sambil menghampiri dan memelukku.Aku tahu, izin yang baru saja kuberikan seperti hadiah besar untuknya karena berhari hari ia terlihat murung dan sedih. Aku tahu, dia rindu anaknya, terlebih wanita yang terpaksa ia talak sepertinya, melihat Mas Albi begitu mengidamkan Filza, hati ini sedikit terpatik iri dan cemburu. Timbul pertanyaan dalam benakku, haruskah aku melepas saja suami dan membiarkan dia pergi dar
Semakin berkata seperti itu semakin saja aku tidak mampu menahan air mataku. Bukan karena takut dia akan pergi lalu aku tidak punya suami lagi. Perasaan ini begitu tersinggung rasanya ada sakit yang berkedip dan syok yang terkejut mendadak di hatiku. Aku tak menyangka bahwa orang yang sangat kucintai dan kuperlakukan layaknya telur di ujung jemariku, kini merendahkan diri ini dengan gaya bicara yang begitu sombong. Seberapakah hebat dia hingga menantangku untuk mencari suami baru, sebegitu pintarkah dia hingga dia yakin bahwa aku tidak akan menemukan orang yang lebih baik darinya? Mengapa ia menantangku sebegitu sengitnya? Apakah dia memang sudah benci dan bosan, memang sudah tidak tahan untuk melepaskanku atau bagaimana?Ingin ku tanyakan semua itu padanya tapi tenggorokanku sudah tercekat lidahku terasa pahit dan keluh untuk berkata-kata. Ah, sungguh sayang, begitu besarnya rasa cinta untuk filsa membuat dia buta akan kesalahan wanita itu."Terima kasih atas tantangan darimu, aku
"Kau memang sulit diajak bicara," desisnya sambil menjauh. Aku tak lagi menjawab karena sudah terlanjur sakitnya hatiku. Dia keluar dari kamar lalu menghantam pintu dengan kencang hingga membuat hati dan mata ini berkelip syok.Kini dia tinggalkan rumah tanpa membawa koper yang sudah kuatur tadi. Secepat kilat Ia nyalakan mobilnya lalu meluncur meninggalkan halaman, meninggalkan diri ini yang menangis tersedu di peraduan.Kuambil ponsel lalu menghubungi orang yang satu-satunya selalu mendengarkan sedih dan memberikan solusi atas masalah yang terjadi dalam hidupku. Dialah Ibuku."Halo, Indira, assalamualaikum.""Ha-halo, ibu.""Apa kabarmu Nak mengapa kau terdengar serak? Apakah kamu sedang menangis?""Mas Albi ingin berpisah dariku, dia sudah mengambil keputusan agar kami berpisah saja karena dia ingin memikirkan masa depan Gibran," ucapku tersedu pilu."Apa? Itu sungguh sesuatu yang tidak mudah Ibu percayai!" Ibu terdengar sangat kaget."Kalau hanya bilang begitu ... Mungkin aku ti
Merasa bahwa Mas Albi akan mengabaikan kata kataku barusan. Maka, kuputuskan untuk menyeret diri sendiri pergi ke garasi untuk menyalakan motor dan meluncur pergi. Aku sadar bahwa kondisiku lemah, aku tahu aku tak akan bisa berbuat banyak andai nanti mereka mengusir atau memperlakukan diri ini dengan kasar, Jadi sebelum mereka mengkonfrontasi aku harus mengkonfrontasi terlebih dahulu. Aku tak takut sedikitpun dengan mereka, yang aku takutkan, khawatir bahwa anak anakku akan diracuni wanita itu. Tidak diracuni secara langsung, tapi boleh jadi pikiran mereka yang akan dipengaruhi untuk membenci ibu mereka sendiri.Meski sudah kupacu motor sedemikian kencang, aku tetap merasa bahwa sampai ke berlian indah begitu lama. Rasanya jarak demi jarak yang telah kulompati masih lamban seperti jalannya kura kura."Aku dipuncak sakit hati sekarang, jika mereka menahan anakku. Aku akan melaporkannya ke polisi."Kubelokkan motor lalu berhenti tepat di depan gerbang rumah Filza. Dengan langkah tertat
"Dengar, tolong pikirkan reputasi kita semua ...." Belum selesai dia melengkapi ucapan yang aku sudah memotong."Reputasi siapa maksudmu? Seingatku reputasiku baik di tengah-tengah masyarakat aku selalu bersosialisasi dan mengikuti kegiatan apapun yang diselenggarakan warga. Begitupun ketika ada tetangga atau saudara kita yang kesusahan maka aku akan menjadi nomor satu untuk membantu mereka, di mata orang lain aku belum merasa punya kekurangan, pun tidak pernah membuat masalah. Jadi, reputasi Siapa yang kau khawatirkan?""Reputasi diriku sebagai suami kalian! aku akan dianggap gagal dan menanggung malu yang besar!""Itu deritamu, bukan urusanku. Sudah kucoba untuk memberikan jalan keluar tapi kau tidak tergerak sedikitpun untuk mendengarkan kata-kataku!""Kau tidak memberikan solusi tapi terkesan egois dan memaksaku untuk memilih pilihan yang sulit!""Bukankah aku juga memilih pilihan yang sulit yakni memilih suamiku dengan membebaskan orang yang ingin menghabisi nyawaku! Tidakkah aku
Senin berikutnya aku dan ibu memutuskan untuk pergi ke pengadilan agama untuk memasukkan gugatan perceraian kami. Sudah panjang pikiran tentang masa depan dan berbagai hal kemungkinan yang akan terjadi. Semuanya sudah aku diskusikan dengan kedua orang tuaku dan kupikir sendiri masak-masak.Sekarang Di sinilah kami berdiri di depan gedung berlantai 3 dengan tulisan pengadilan agama. Kuambil nomor antrian dengan perasaan berdebar, di kursi tunggu ada beberapa wanita yang terlihat juga memegang berkas mereka. Nampaknya bukan aku saja yang akan memasukkan gugatan perceraian hari ini dan rupanya, bukan cuma aku satu-satunya wanita yang tidak bisa bertahan setelah panjangnya perjuangan. Mungkin, ini titik balik yang akan mengubah semuanya atau membawaku kepada jalan cerita yang baru dalam lembaran hidup ini.Tibalah nomor antrianku di mana aku harus duduk dan menghadapi petugas pengadilan agama untuk mengisi gugatan."Namanya siapa Bu?""Aini lestari.""Boleh berikan saya KTP dan buku nikah
Dua hari berikutnya masuk lebih datang ke rumah, tanpa mengucapkan salam dia masuk dan langsung mendorong pintu lalu menemuiku yang saat itu sedang duduk di depan televisi menyaksikan berita. Ketika sedang mengasah kopi Aku kaget dengan kehadiran Mas Aldi yang langsung berdiri di depanku tanpa mengatakan apa-apa.Tatapannya dingin, jemarinya mencengkeram dan wajahnya nampak tegang. Aku tahu, sinyal tubuhnya mengisyaratkan bahaya sehingga aku langsung berdiri dan bersurut dari depannya. "Ada apa?""Kenapa kau kaget dengan kehadiranku.","Aku tidak kaget aku hanya berhati-hati," jawabku menyembunyikan rasa gugup. Terbayang di benakku, bahwa di situasi pagi yang lengang di mana anak anak ke sekolah dan penghuni komplek rata-rata sedang tidak berada di rumah karena masing-masing pergi bekerja dan berkegiatan, Mas Albi akan berbuat nekat untuk memukul atau bahkan, membunuh diri ini. Perlahan bulu kudukku bergidik ngeri, aku terus menjaga jarak darinya.Sering kulihat film bertema thriller
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh