Setelah diberikan tindakan aku dibiarkan istirahat sejenak di sebuah ranjang yang masih berada di unit gawat darurat Rumah sakit tersebut. Seorang polisi datang lalu menanyaiku kronologi kejadian sementara aku menjawabnya seperti yang ku tahu dan kuingat."Kira-kira Ibu ingat mereka menggunakan motor apa?""Seperti R15 tapi warnanya hitam.""Apa Ibu tahu ciri-ciri orang yang mendorong ibu?""Saya tidak tahu detailnya Pak karena mereka pakai helm dan kejadiannya begitu cepat. Yang pasti mereka ada dua orang laki-laki.""Akan sulit sekali kami mendeteksi pelakunya jika Anda tidak mengenalnya tapi kami akan coba cara lain dengan memeriksa CCTV yang terpasang di jalan semoga kameranya menangkap wajah si pelaku.""Amin, semoga aja Pak, Saya bukannya dendam ingin mereka masuk penjara tapi saya ingin tahu apa keinginan dan motivasi mereka.""Iya, kami pun mau tahu," jawab polisi itu."Terima kasih sebelumnya atas bantuan bapak," ujarku tulus."Sama sama, semoga ibu segera sembuh.""Terima ka
Hari telah beranjak sore dengan matahari yang sudah menguning ketika keluarga mertua dan ipar iparku pulang. Mereka berkomentar dan menyelamiku mencium pipi kiri dan kanan lalu melambaikan tangan."Istirahatlah dengan tenang dan jaga dirimu Kau pasti bisa melewati semua ini," ucap Kak sara, kakak ipar tertuaku."Iya, Kak, terima kasih.""Filsa akan mengurus rumahmu Jadi kau tidak perlu khawatir, tidak usah sungkan juga dengannya karena dia datang ke sini atas kemauannya sendiri. Kupikir kau harus memberinya kesempatan Jika dia ingin berbuat baik.""Semoga saja begitu, aku akan menyerahkan padanya dan pasrah kepada Tuhan sisanya.""Aku pergi dulu.""Iya, Kak. Terima kasih.""Tidak masalah."*Kini tinggallah kami bertiga, ada anak anak juga dan mereka sedang di ruang bermain, sebenarnya kedua Anakku sangat bahagia ketika adik mereka satu-satunya laki-laki datang ke rumah. Mereka bermain dengan akrab dan terlihat saling mencintai. Aku bahagia melihat kerukunan yang tercipta meski anak a
"Fatimah, kembalilah ke kamarmu Bunda ingin bicara dengan tante Filza!" Suruhku pada Fatimah, putriku mengangguk dan beranjak keluar."Bicara apa?" tanya Filza penasaran."Ini penting.""Baiklah, katakan," ucapnya sambil melipat tangan di dada."Ehm, begini Filza. Aku ingin kau jujur, sebenarnya apa kau tahu sesuatu tentang hal yang terjadi padaku?""Apa maksud Mbak?""Sudahlah lupakan saja, kalau memang kau tidak tahu apa apa. Aku hanya penasaran Siapa yang tega melakukan ini padaku padahal selama hidupku aku tidak pernah punya musuh. Aku bersumpah siapapun yang sudah melakukannya ... jika aku sampai tahu maka aku akan membuatnya sangat menderita," ucapku geram. Filsa yang terlihat merasa tersinggung hanya tertawa gugup sambil kembali mengangsurkan nampan makanan ke arahku."Makanlah karena kau harus minum obat," ujarnya."Aku tak akan minum obat selain pemberian Mas Albi.""Tapi apa bedanya, ini kan obatmu, ini dari dokter," ucapnya lagi."Kau benar, aku hanya harus berhati hati sa
"A-apa maksud Mbak?""Mengaku saja bahwa kecelakaan ini kaulah penyebabnya, berapa kau membayar orang untuk melakukan ini padaku!""Aku tidak melakukannya!" Tegasnya mengelak."Sebentar lagi polisi akan menemukan pelakunya dan memaksa mereka untuk mengakui Siapa yang menyuruh mereka. Mungkin dengan pengakuanmu kita bisa menyelesaikan ini secara damai dan aku bisa mencabut laporanku tapi jika kau berbelit-belit maka itu akan menyulitkan dirimu sendiri!," Ucapku tegas."Tolong jangan menggiring opini, jika orang-orang mendengarnya maka mereka akan menilai bahwa akulah pelakunya menimbang karena statusku adalah adik madumu. Aku sungguh tidak tahu apa apa.""Lalu, siapa orang yang kau hubungi kemarin, mengapa kau marah karena mereka tidak berhasil membunuhmu?""Aku tidak merasa menelpon siapapun!""Fatimah anakku mendengarnya dan dia memberitahuku!" Seharusnya aku menahan diri dan menunggu waktu yang tepat untuk menyelidiki wanita itu tapi tapi karena dia membuatku semakin tidak sabar m
"Jadi benar istrimu adalah pelakunya?""Dia mengaku khilaf dan kebutaan hati serta kekeliruannya yang membawa dia seperti itu. Dia benar-benar takut dan gemetar juga minta ampun dan berharap kau mau memaafkannya."Mendengar ucapan Mas Albi Aku hanya bisa menarik nafas dalam lalu mengucapkan istighfar. Kucoba untuk menenangkan diri dan mencari solusinya sembari terus berdoa apa yang terbaik."Begini saja, bawa dia kemari kalau dia memang ingin minta maaf."Mas Albi langsung diam mendengar ucapanku."Kalau tidak mau, maka aku tetap akan menuntut janjimu!""Aku hanya khawatir bukannya akan saling memaafkan kalian malah akan bertengkar," jawab Mas Albi."Bawa saja dia kemari, sisanya biar aku yang tentukan. Bukankah orang bersalah harus dihukum?""Tolonglah, Aini dia masih terlalu mudah untuk memahami aturan dan konsep hidup kita ....""Tidak Mas, umurnya sudah dua puluh tiga, masak dia tidak paham adab dan norma, mana yang baik dan mana yang buruk? Aku malah lama lama berpikir bahwa kamu
Aku tahu, Mas Albi tak akan tahan dengan pilihan sulit seperti ini. Pilih aku atau Filza. Bela Filza dan wanita itu masuk penjara, atau aku mengampuninya dan mereka berpisah. Itu benar benar dilema, kenyataan pahit yang jadi imbas pernikahan poligami yang dia lakukan. Kupikir, suamiku akan konsisten bersikap adil, tapi lama kelamaan rasa cinta begitu besar membutakan perasaan dan hatinya. Dia selalu membela dan mementingkan Filza. Sejujurnya, kalau membahas tentang uang, suamiku memang adil, dia membagi jatah kami dengan baik, namun sayang, perhatian dan kasih sayang masih belum maksimal. Bagaimana pula akan maksimal jika hati condong pada satu orang.*Semua orang masih terdiam, mereka membisu sambil menunggu reaksiku dan reaksi Mas Albi."Albi, apakah kamu berjanji seperti itu?""I-iya Bu. Karena begitu besarnya keyakinan bahwa Filza tidak bersalah," jawabnya."Kini kau menyesalinya kan?""Iya, aku tak menyangka," jawabnya sedih."Seorang pria seharusnya tidak mengucapkan sumpah ma
melihat wanita jahat itu digotong ke atas mobil, Aku sama sekali tidak tergerak untuk membantu atau ikut sibuk seperti orang lain. Aku putuskan untuk berdiri saja dan melihat Apa yang terjadi.Sebelum mobil berjalan wanita itu sempat sadar laku berteriak histeris memanggil nama Mas Albi. Suaminya itu memeluknya, sementara dia terus mengucapkan kata minta maaf dan tidak mau diceraikan. Sayang nasi sudah menjadi bubur, suami yang dulu sangat dicintainya dalam beberapa detik telah menjadi mantan suami."Jangan ceraikan aku Mas.""Iya, kita akan lihat nanti perkembangannya, untuk sekarang pulanglah.""Tidak Mas ...." wanita itu tiba tiba muntah di halaman rumah lalu jatuh pingsan lagi, untung saja Mas Albi sigap menangkap tubuhnya sehingga ia bisa digotong ke mobil lagi. Aku yang penasaran hanya melihat dari jauh apa yang terjadi, wajah Filza pucat, jilbabnya terlepas menunjukka rambutnya yang jatuh tergerai. Wanita itu masuk ke mobil dan langsung dibawa oleh Mas Albi meluncur pergi.S
Bersama dengan Mas Albi, aku beriringan menuju ruang tamu dan memeriksa siapa yang datang. Ternyata itu adalah ibunda Filza bersama ayahnya.Aku punya perasaan yang tidak menyenangkan tentang hal itu, namun, aku berusaha tenang dan menyambut mereka dengan sopan."Ada masalah apa Bu?""Sungguh, kami datang kemari untuk minta maaf, kami datang untuk mengganti rugi dan memberimu kompensasi.""Apa maksudnya?""Tolong maafkan Filza, dia tidak sengaja melakukannya," ucap ibu mertua Mas Albi."Bagaimana tidak sengaja, Jika dia telah menyusun rencana dengan matang lalu membayar seseorang untuk menabrak saya Bukankah itu adalah kesengajaan yang nyata?""Tolonglah, saya tahu uang ini tidak akan membeli kesalahan filsa padamu, tapi setidaknya, tolong beri kesempatan putriku untuk memperbaiki diri dan berubah. Tolong jangan pisahkan Albi darinya, dia benar benar drop dan syok." Mendengar omongan ibunda Filza aku hanya bisa terdiam, aku paham betul gejolak perasaan yang dia rasakan, dia ingin a
Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men
Di sinilah aku sekarang, di rumah sakit, duduk di bawah pohon angsana yang rindang sambil berhadapan dengan ibunda filsa saya yang mentari di jam 08.00 pagi sangat menghangatkan dan juga menyebarkan pikiran, jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk bicara.Sepanjang malam aku sudah memikirkan apa yang dikatakan anakku, kurasa di merawat Gibran adalah tanggung jawab yang benar-benar memberatkan untukku karena jika terjadi apa-apa tentu diri ini yang pertama disalahkan."Jadi tolong sampaikan, apa yang ingin kau katakan?""Aku ingin kembalikan Gibran kepada ibu," ucapku."Tapi, kau lihat sendiri situasi kami sekarang.""Aku yakin Ibu punya anggota keluarga yang Ibu percayai, Aku ingin kembalikan tanggung jawab itu kepada Ibu karena aku tidak ingin disalahkan jika terjadi apa-apa.""Justru di rumahmu dan di dalam pelukanmu tempat teraman bagi anak itu.""Kenapa Ibu mempercayaiku? Aku hanya ibu tiri untuk Gibran.""Aku tahu hatimu sangat tulus dan luas untuk menerima dan memaafkan kesalahan
"Ah, tidak, aku hanya lalai. Pikiran tidak akan mengganggu fokusku mengendara. Saat itu ada lubang besar, aku tidak memperhatikannya saat karena saat itu sedang melihat ponsel. Aku berusaha untuk menghindari lubang itu Tapi secara cepat sebuah mobil datang dari arah berlawanan hingga aku pun membanting setir dan menabrak pembatas jalan. Mobilku terbalik dan masuk ke ceruk jalanan. Aku bersyukur masih bisa selamat, karena Andai mobil itu meledak tentu aku tidak akan bisa bertemu istriku sekarang.""Oh begitu ya, tapi kamu harusnya lebih hati-hati. Masih banyak loh orang-orang yang membutuhkan kamu di sekelilingnya," ucap Lena dengan berdecak kecil. Nampaknya dari gestur, wanita itu ingin menunjukkan perhatian dan tertarik pada suamiku."Makasih perhatiannya, aku akan lebih berhati hati.""Lihat kan, kamu hampir patah kaki, tanpa kamu situasi di kantor kacau dan tidak terkendali. Ada beberapa hal yang tidak bisa kami handle kecuali atas pengaturanmu.""Aku berjanji aku akan segera kemba
(Apakah Filza mendatangi kalian?) Pesan itu datang dari ibunda filsa saat aku baru saja menyelimuti suamiku yang kembali tertidur.(Tadi sempat datang, tapi sudah pergi beberapa waktu yang lalu saya yakin dia sudah kembali ke sana.) Aku segera menjawab pesannya.(Tapi sampai saat ini anakku belum kembali juga, di mana dia ya.)(Kalau dia tidak kembali, kira-kira dia ke mana?) Mau tidak mau aku pun penasaran dan merasa sedikit panik. Apakah dia pergi ke suatu tempat untuk melakukan tindakan nekat atau hanya sekedar jalan-jalan untuk menghibur diri. Ah, meresahkan sekali. (Ibu kurang tahu. Tolong bantu ibu untuk menemukan filsa, dia tidak menjawab telepon Ibu.)(Aduh, bagaimana ya ....) Aku jadi bingung untuk melakukan apa. (Tolong minta Abi untuk menghubungi filsa hanya Albi yang bisa membuat filsafat menurut.)(Tapi dia baru saja tertidur dan tidak bisa diganggu lagi, suami saya sedang sakit kepala dan merasa lemah, badannya sakit semua.)(Tolong lakukan sesuatu demi Ibu ...)Aduh