“Bagaimana kabarmu, Daniel? Kau terlihat sehat sepulang dari Indonesia.”dr Richard yang menangani Daniel menyambut kedatangan Daniel dengan ramah tamah. Hari itu Daniel tengah melakukan medical cek up rutin untuk melihat perkembangan kesehatannya.“Seperti yang kaulihat, baik, Dok. Saya merasa lebih baik dan sehat.”Daniel mengambil tempat duduk di depan dr Richard terhalang meja persegi panjang.“Well, sekarang kita lihat jadwal operasi ya?”dr Richard melihat map berisi rekam medis milik Daniel.“Mukjizat! Maaf, sepanjang saya menangani cancer kau adalah anomali. Saat saya melihat rekam medis yang dikirim dokter di Indonesia, saya sempat frustrasi. Saya kira terapi yang kau ikuti hanya mengurangi jumlah sel cancer sedikit.Siapa sangka, sel cancer mu bahkan mulai bisa dikendalikan. Terapi dan obat-obatan yang kau konsumsi nyatanya efektif memusnahkan sel cancer dalam jumlah banyak.”dr Richard begitu antusias membahas progress kesehatan Daniel saat ini.Daniel bersyukur dalam hati,
Sudah hari ke tiga, Violeta merasa di atas angin. Ia berhasil mengerjai Salwa Salsabila bersama panitia lainnya. Ia memanfaatkan posisinya sebagai panitia untuk mengeksploitasi gadis energik itu. Salwa tak kuasa menolak sebab dalam kegiatan tersebut ketika ia berupaya melawan atau menolak sanksi yang diperoleh semakin berat. Salwa pun tak patah arang. Ia menunjukan pada mahasiswa senior bahwa ia maba yang kuat secara mental dan fisik. Tak tanggung-tanggung, Salwa dihukum diminta push up hingga lima puluh kali. Berlari mengelilingi stadion olahraga universitas yang sangat luas sebanyak sepuluh kali. Berdiri menghormati bendera merah putih yang berkibar saat terik matahari membakar kulit. Semua ia lakukan dengan kerelaan sebab ia bersikukuh dengan pendiriannya. Beberapa mahasiswa senior mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan provokatif dan menjatuhkan. Salwa selalu berusaha menjawab dengan logis, realistis dan benar kendati para panitia pula berupaya menghabisinya dengan statement
“Wa, kau kenapa?” Neng Mas mengguncang pelan pundak Salwa yang tengah tidur dengan memunggunginya. Ia tak pernah mengganggu sahabatnya sedang tidur, namun melihat punggung yang berguncang ketika posisinya meringkuk ia menarik kesimpulan. Gadis itu tengah menangis dalam tidurnya. “Apa salah satu panitia menghinamu? Menghina kakakmu?” telisik Neng Mas mengira-ngira. Biasanya jika berkaitan dengan saudarinya, ia akan cepat tersulut emosi. Mengabaikan perkataan sahabatnya, Salwa hanya menggertakan giginya dan meremat selimut yang membungkus tubuhnya. “Wa, apa kau sedang punya masalah dengan Mas Mister mu?” Mendengar Neng Mas menyeru namanya, Salwa langsung menggeram. “Jangan sebut dia!” Sebagai seorang sahabat yang peka, Neng Mas sudah mafhum, rupanya akar permasalahan yang menyebabkannya uring-uringan ialah Daniel Dash. “Cerita dong! Kita ‘kan sahabat. Apa yang membuat kalian aishiteru?” Salwa menyingkirkan selimut dan menatap nyalang Neng Mas. Wajahnya yang lusuh semakin terliha
Siang itu Nuha tengah mengasuh ke tiga anaknya di taman, menggelar karpet dan menaruh beberapa keranjang berisi makanan dan minuman serta mainan anak-anak. Di bawah rindangnya pohon ketapang, dikawani sinar matahari yang masih malu-malu, mereka menikmati semilir angin yang berembus dan pemandangan taman di mana bebungaan tengah bermekaran.Bik Ningsih dan Mutia serta pelayan wanita lain ikut serta bergabung di sana menemani anak-anak bermain. Meskipun posisi mereka ART namun Nuha sebagai majikan mereka tak pernah menganggap mereka pekerja rendahan hanya karena status sosial lebih rendah.Nuha dan Darren memperlakukan mereka dengan baik. Para pekerja di sana diapresiasi dengan baik. Tak segan mereka mendapat bonus gaji atas pengabdian dan pekerjaan mereka yang memuaskan.“Bik, tolong buat roti sandwich untuk Asyraf. Isinya tuna dan sosis. Dikasih saus mayones dan saos tomat!” titah Nuha pada Bik Ningsih.“Siap, Mbak,” jawab Bik Ningsih dengan sigap. Ia langsung membongkar keranjang ro
Para maba sudah berbaris rapi mengantri karena akan mengikuti kegiatan seru yaitu flying fox atau luncur gantung.Semua maba antusias ingin mengikuti aksi yang memacu adrenalin tersebut, terutama maba yang paling aktif di antara yang lain, ialah Salwa Salsabila di mana kehadirannya cukup menarik atensi semua peserta. Mungkin jika tidak ada yang memberitahu sosok gadis itu maka takkan ada satupun menyadari jika ialah adiknya Mariyam Nuha di mana memiliki karakter yang bertolak belakang.Mariyam Nuha yang kalem, anggun tetapi tegas. Sementara itu Salwa Salsabila yang terkesan tomboi, energik dan sedikit temperamen. Mereka memiliki satu kesamaan yakni keberanian yang tinggi dan keras kepala.“Salwa! Salwa!” teriak para maba ketika panitia mengumumkan siapa yang akan menjadi pemain pertama flying fox. Siapakah yang paling berani di antara yang lain.Salwa sedikit meringis mendengar teriakan teman-temannya. Ia sering memanjat pohon yang tinggi namun untuk menaiki flying fox berbeda. Butuh
Dada Violeta bergemuruh hebat. Ia waspada ketika berhadapan langsung dengan gadis yang ia anggap sebagai rival sejatinya.Ia ingin berlari dari situasi menegangkan tersebut namun pasti gadis itu akan mencemoohnya. Namun jika ia tetap memilih berada di dekatnya, kini marabahaya mengancamnya.Ia tak bisa membayangkan jika anak junior akan menghabisinya.“Saya tidak pernah punya urusan denganmu. Apalagi punya masalah denganmu, Violeta! Saya hanya tahu kau temannya Mas Daniel. Senior di kampus.”Malam itu Salwa memilih retorika daripada tenaga. Suatu hal yang sangat konyol ketika ia memutuskan menyerang seorang gadis yang lemah, tak jago bela diri. Ia mawas diri. Satu tendangan saja sudah membuatnya cedera. Apalagi menghajarnya dengan berbagai macam jurus yang ia miliki. Bisa-bisa ia dilarikan ke ruangan instalasi gawat darurat di rumah sakit.Terlihat mimik muka Violeta yang geram dan kesal. Namun Salwa berupaya tenang setenang air. Ia menikmati detik-detik gadis itu yang tertekan.“Kau
Entah berapa detik atau mungkin menit Daniel dan Salwa bertatapan. Masing-masing dari mereka teramat terkejut karena pertemuan tak terduga tersebut.Yang satu selalu ingin bertemu sedangkan yang lain selalu ingin menghindar.Selama ini Salwa berupaya menghindari Daniel, mencari seribu jurus menghilang dari hadapannya. Ia lebih banyak menyibukan diri dengan kegiatan perkuliahan dan pengajian di pondok.Waktunya sangatlah sempit untuk sekedar hang out bersama teman kampusnya ataupun berkunjung ke rumah kakaknya. Ia tak seperti Mariyam Nuha yang memiliki waktu senggang sehingga ia bisa mengikuti berbagai organisasi sewaktu kuliah.Salwa hanya menghabiskan waktu senggangnya dengan bermain basket di kampus dan berkuda di pondok.Namun hari itu entah angin apa yang membisikinya untuk pulang ke rumah kakaknya. Ia tengah libur semester gasal sehingga menyempatkan diri ingin menjenguk keponakannya kemudian pulang ke rumah ibunya.Sayangnya, takdir justru mempertemukan ke dua hati yang terpisah
“Ough, pelan-pelan dong! Jangan grasak-grusuk!”“Ini sudah pelan-pelan. Ya ampun!”“Kasar banget sih!”“Nah, nah, iya gitu, pelan dan lembut. Enak kan? Pake perasaan dong,”Percakapan yang terjadi di antara lelaki dan perempuan itu bisa membuat seseorang yang mendengar salah paham dan ber’traveling ria.Bik Ningsih menertawakan tontonan yang tersaji di hadapannya. Entah mengapa, ia merasa terharu melihat ke dua sejoli itu yang mungkin tak terlihat romantis seperti pasangan pada umumnya, sebab pertemuan mereka seringkali lebih banyak dibumbui perseteruan. Yang satu suka menggodanya dan yang satu lagi bawaannya serius. Ke dua nya sama-sama temperamen namun sang lelaki senantiasa mengalah. Begitulah ketika seorang mantan playboy menemukan tambatan hatinya. Ia akan melakukan apapun untuk pujaan hatinya.Namun ada kesenangan tersendiri ketika menggodanya.“Ini plester nya Mbak Salwa.”Tangan dengan jari-jari besar pertanda seorang wanita pekerja keras menoel pundak Salwa pelan. Gadis bert
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap