Malam itu terasa hening. Rumah bergaya arsitektur Timur Tengah itu terlihat sepi seperti tak berpenghuni jika terlihat dari luar. Hanya jarum denting raksasa yang menggema di sudut ruang tamu setiap satu jam sekali.Penghuni rumah mewah itu ternyata tengah menikmati obrolan hangat di ruang keluarga dengan suara yang pelan. Mereka tengah menikmati momen hangat sebagai pasutri yang telah melewati usia pernikahan yang cukup lama.“Papa, maafin Mama ya punya banyak salah sama Papa. Mama belum bisa menjadi istri solehah.”Sahila berkata pada Naufal-suami tercinta ketika ia menekurkan kepalanya di atas paha suaminya. Saat ini mereka tengah duduk di atas sofa panjang. Mereka tengah menikmati waktu berdua malam itu usai berbagi kehangatan.Naufal tertegun sejenak mendengar perkataan istrinya tersebut. Tak biasanya istrinya meminta maaf. Sekalipun ia berbuat salah, Sahila teramat sulit untuk meminta maaf mengingat tabiatnya yang temperamen dan memiliki ego yang tinggi.“Tentu saja, Sayang. Maa
Kania hanya bisa meneteskan air mata yang terus menerus mengalir deras di balik jendela kaca karena tidak bisa masuk ke dalam ruangan di mana Sahila dirawat. Ada banyak alat medis yang menopang tubuhnya. Sahila masih berada dalam kondisi kritis. Melihat kondisi Kania yang terpuruk, Aruni menghampirinya dan memeluknya. Ia berupaya memberikan dukungan moril padanya. Seperti halnya yang dilakukan Naufal saat Salwa mengalami fase yang sama-koma. Naufal berada di sisinya mendukungnya. “Sayang, makan malam dulu yuk! Dari pagi kau tak makan. Nanti kau malah ikut sakit.” Aruni tak henti-hentinya membujuk Kania. Sejak kedatangannya pulang dari luar kota gadis itu tidak makan ataupun minum seteguk saja. Ia terlihat menyedihkan. Wajah yang sembab dengan pakaian yang sudah lusuh. Ia hanya menghabiskan waktu di depan ruang ICU dengan menangis dan membaca ayat-ayat mushaf alquran. Sedari tadi Nuha juga ikut membujuknya namun ia tetap mengabaikannya. Ia begitu terpukul melihat kondisi ke dua oran
Dengan tenang, Aruni melepas cengkraman tangan Naufal. Naufal memegang tangannya karena membutuhkan bantuannya. Ia mendadak menggigil. Aruni pun menyematkan selimut untuknya.Wanita itu juga langsung menyuruh perawat untuk mempersiapkan bed lain untuk Kania karena gadis itu ingin dirawat bersama sang ayah.“Makasih, Ummi,” seru Kania ketika Aruni sudah menyiapkan seprai dan bantal yang dibawa dari rumah Kania, dibawa oleh seorang ART.“Iya, Sayang! Cepat sembuh ya! Biar bisa ajari Ummi berkuda.”Aruni membujuk Kania dengan lembut. Ia dengan ikhlas mengurus Kania. Ia tidak lupa akan jasa dan kebaikan Naufal dan Sahila saat Salwa mengalami koma.Naufal hanya tersenyum mendengar percakapan mereka. Ia sempat kaget akan kedatangan Kania ditemani seorang perawat dan Ustaz Baihaqi. Rupanya putrinya turut sakit dan harus dirawat di sana.“Papa, sepertinya aku harus pulang. Besok aku kemari insyaallah,” imbuh Ustaz Baihaqi yang sedari tadi menemani Kania. Kehadirannya membuat Kania lebih tegar
Jika Salwa tidak segera keluar dari mobil itu, maka ia pasti terjebak di dalam dan mobil akan dibakar seperti mobil lainnya. Awalnya para pelaku kerusuhan itu merusak mobil namun kemudian mereka tak segan membakarnya. Mereka telah terprovokasi hingga membuat kekisruhan yang tak tanggung-tanggung. Tak peduli nyawa melayang atau barang hancur sekalipun. Yang terpenting mereka bisa menghabisi lawan. Tak habis pikir, apa yang mereka perebutkan? Salwa terjebak di dalam mobil cukup lama. Ia memilih berjongkok di bangku paling belakang dengan menutup ke dua telinganya. Ia mulai gelisah ketika mendengar suara gaduh di sekitarnya. Guncangan dalam mobil membuatnya berpikir ulang. Ia harus segera keluar dan pergi dari sana. Dalam artian ia harus menyelamatkan diri dari dalam mobil sebelum mereka semakin brutal. Mengerahkan seluruh keberaniannya, Salwa bersiap-siap keluar. Ia tarik gamisnya hingga selutut dan mengikatnya. Ia tutupi wajahnya dengan masker agar tak dikenali. Kemudian Salwa k
Akhirnya Salwa bersedia diantar oleh Raja menuju halte bus. Salwa memang bersikeras ingin menaiki kendaraan umum saja untuk pulang.Soal mobil Daniel, dengan begitu percaya Salwa meminta Raja untuk mengurusnya. Raja berjanji akan menghubungi Riko untuk mengurus mobil Daniel.Salwa pun menaiki mobil milik Raja. Namun saat baru beberapa meter mobil melaju, Salwa merasa mengantuk tiba-tiba.Beberapa kali kepalanya terantuk kaca jendela. Ia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya. Tak terhitung ia menguap. Sesuatu yang tak beres telah terjadi pada tubuhnya. Namun ia tidak tahu mengapa rasa kantuk yang berat menyerangnya begitu saja. Seingatnya semalam ia tidak bergadang. Merasa ada yang salah dengan tubuhnya, Salwa meminta Raja untuk mampir ke sebuah kedai kopi atau warung kopi. Ia butuh kopi untuk menetralisir rasa kantuknya.“Kak Raja, mampir dulu ke warung kopi! Aku tak tahan kantuk. Aku ingin beli kopi.”Salwa meminta Raja penuh harap. Matanya terlihat sayu dan tubuhnya terlihat lesu.
“Kalian bersama Salwa? Ya ampun. Saya sudah mencarinya kemana-mana. Tadi dia kejebak tawuran. Di mana Salwa sekarang?” cecar Daniel langsung menanyakan keberadaan tunangannya pada dua wanita muda-yang berwajah pucat pasi.Di counter kasir Daniel lupa akan mengisi top up e toll di sana. Konsentrasinya pecah, langsung mengingat wanitanya.“Um, iya,” sahut Inez.“Nggak,” sahut Irene.Ke dua wanita tadi menjawab dengan tidak sinkron, semakin membuat Daniel curiga. Apalagi mereka terlihat panik dan berbicara dengan tergeragap.“Di mana Salwa? Tadi aku dengar kalian mengatakan Salwa bersama kalian.”Daniel bertanya kembali karena merasa sangsi akan jawaban mereka.Irene dan Inez saling lirik penuh arti. Beberapa detik mereka termangu karena tak mampu berdusta. ‘Tunggu, Salwa terjebak tawuran. Tapi dia dibawa oleh Kak Raja ke apartemennya. Kak Raja telah memberinya minuman. Dia ingin menjebak Salwa.’Irene mengumpulkan informasi yang memberinya ide cemerlang. Ide yang bisa menyelamatkan mer
“Ampun, Mom!” Daniel memekik tatkala Kinan menjewer telinganya seperti pada anak kecil. Bukan tanpa alasan Kinan marah. Ia mengira jika Daniel telah membawa seorang wanita ke kamarnya. Ia begitu saja terbawa emosi setelah mendengar para ART menggunjingnya.Daniel berusaha melepas cengkraman tangan Kinan yang cukup kuat. Kinan memang masih meragukan perubahan sikap Daniel. Hingga detik itu ia masih merasa sangsi jika Daniel benar-benar telah berubah. Dengan pertimbangan bahwa Daniel itu sosok yang addicted terhadap sesuatu. Secara dulu ia pernah kecanduan obat terlarang dan wanita.“Kenapa kau bawa perempuan sembarangan ke rumah? Dasar anak kurang ajar!” omel Kinan semakin mengencangkan cengkraman tangannya. Telinga Daniel yang putih bersih sampai memerah.Mendengar Kinan mengatakan hal itu, seketika tawa pecah di bibir Daniel.“Apa? Wanita sembarangan?” Daniel tertawa lepas. Barulah setelah melihat Daniel tertawa, Kinan melepas jewerannya.“Maksudmu?” tanya Kinan mengerutkan hidung
“Dokter! Hey, Dokter!”Daniel memanggil Salwa dengan sebutan dokter. Sengaja, ia hanya ingin gadis itu menoleh dan menunggunya. Salwa berjalan begitu cepat mendahuluinya.Saat ini mereka sedang berada di lorong rumah sakit pergi untuk membesuk Naufal dan Sahila. Daniel mengantar Salwa dengan senang hati ke sana. “Um,” gumam Salwa menghentikan langkah kakinya dengan memberengut kesal. Pasalnya, Daniel menjadi pusat atensi karena terkesan sedang mengejar dirinya.Bisakah berjalan bersisian bersama? Daniel menginginkan hal sederhana itu. Mereka berjalan bersisian dan menikmati momen berdua. Bukan tanpa alasan, mereka tidak pernah sengaja memiliki waktu bersama setelah bertunangan, berbeda saat masih mereka sebagai ipar, justru mereka sering memiliki waktu bersama. “Jalannya cepet amat sih, Dok! Mau ke mana emang? Mau ke hatiku?” imbuh Daniel menatap lekat kekasih hati dengan tatapan hangat sehangat terik mentari saat musim semi. Daniel menyematkan senyum yang manis pada gadis itu-yang
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap