Assalamualaikum, dear reader, mohon maaf sebelumnya akhir-akhir ini Thor sibuk di dunia nyata. Insyaallah ke depannya mudah-mudahan normal lagi, upload naskahnya teratur. Makasih pengertiannya dan supportnya untuk buku ini.
“Ummi datang gak ngasih kabar dulu? Untung aku belum berangkat. Rencananya kami akan menginap di rumah Papa Naufal.”Nuha menghampiri Aruni yang baru saja memasuki rumahnya. Nuha langsung menghujani ciuman pada ibunya dan memeluknya.Aruni mendesah pelan lalu memberikan secarik surat dengan kop surat pondok pesantren Babussalam.Nuha langsung meraih kertas itu dan membacanya. Ke dua bola mata Nuha bergerak-gerak dan memperlihatkan wajah panik detik berikutnya.“Salwa dikeluarkan dari pondok? Kenapa? Salwa buat kesalahan apa?” ucap Nuha terlihat syok dengan tangan yang gemetar masih memegangi surat itu.“Belum dikeluarkan! Masih dikasih waktu skorsing, dua minggu. Makanya Ummi bawa anak itu kemari. Aduh, benar-benar Ummi pusing sekali menghadapi adikmu itu. Dia benar-benar susah diatur.”Aruni memijit pangkal hidungnya, merasa sakit kepala tiba-tiba menyerangnya.“Ummi, kesalahan apa sampai Salwa diskorsing? Aku baru dengar ada hukuman pondok yang menerapkan skorsing pada santrinya.”
Setiba di rumah Nuha, Salwa tidak keluar kamar. Ia memilih mengurung diri di sana. Ia masih merasa kesal pada situasi yang ia alami. Ia tak terima dengan hukuman yang diberikan pihak pesantren padanya. Ia marah pada Ustaz Baihaqi.Mariyam Nuha sudah memahami kondisi adiknya. Ia akan membiarkan adiknya waktu. Namun ia tetap membujuk adiknya karena ia akan pergi ke rumah Naufal malam itu. Ia tak tega jika meninggalkan adiknya.“Wa, kita ke rumah Papa Naufal. Sekarang ulang tahun Papa Naufal. Aku kira cuma acara makan malam biasa. Ternyata ulang tahun Papa. Kalau gak dateng gak enak, Wa. Teh Kania udah tau kau menginap di sini. Dia juga mengundangmu,”Nuha berbicara di bibir pintu. Yang bisa masuk ke kamarnya hanyalah Farah. Farah juga sudah membujuknya namun nihil. Salwa memang karakternya keras kepala.Karena bosan membujuk tantenya, Farah pergi keluar rumah, tak sabar ingin bertemu dengan kakek dan neneknya. Farah, Asyraf dan Farrel bahkan melakukan video call dengan mereka. Naufal me
Sekitar pukul dua siang, usai pekerjaannya rampung, Daniel Dash meminta Riko untuk berbelanja ke mall. Ia hanya menunggunya di tempat parkiran mobil dengan ongkang-ongkang kaki dan memainkan game pertempuran.Daniel Dash hanya memberikan list, daftar belanja. Namun siapa sangka, ternyata list belanja itu banyak sekali. Dalam waktu satu jam Riko kembali dibantu oleh seorang karyawan market mendorong dua troli besar.“Banyak juga ya?” ucap Daniel saat melihat Riko dengan wajah masamnya. Riko kini bukan sekedar orang suruhannya, bodyguardnya, namun ia juga seolah berperan sebagai tangan kanannya.“Mas, masukin ke bagasi!” titah Riko pada karyawan itu yang diikuti anggukan.“Rik, beli es krim di Bogor saja!” ucap Daniel teringat es krim yang tak masuk ke dalam daftar belanjaan.Riko hanya mendengus kasar.“Jadi belanjaan ini mau dibawa kemana Mas?” tanya Riko setelah selesai menyusun kantong-kantong belanjaan ke dalam bagasi mobil. Pasalnya tak biasanya Daniel berurusan dengan kebutuhan p
“Rain, dirusak orang! Lihatlah!!”Salwa menunjukan boneka beruang yang dipeluknya.Daniel menghela nafas. Ia mengira Rain itu manusia. Seketika tawa pecah di bibirnya.“Ya ampun, Sally! Kau ini mirip anak kecil! Hanya karena sebuah boneka sampai menangis. Sudah jangan nangis! Mas belikan boneka yang baru. Sini boneka itu Mas buang!”Daniel merampas boneka itu dengan agak kasar. Di mata Daniel, Rain itu terlihat kumal dan robek. Padahal lebih parah dari itu. Ia tidak tahu jika kondisi boneka itu tidak lagi utuh bagian kepala dan tubuhnya, nyaris terpisah, hingga ketika ditarik kepalanya jatuh menggelinding tepat ke dalam kolam termasuk isian boneka-dacron terburai berjatuhan.Melihat sikap Daniel, Salwa menatap nyalang dirinya dengan penuh kilatan emosi. Berbeda dengan gadis itu, Daniel mengira jika boneka itu hanyalah boneka di mata Salwa. Semua boneka itu sama, bukan?Nyatanya, jauh lebih dari itu, gadis itu terlihat muntab menatap nanar kepala Rain yang tercebur kolam. Baginya, bone
Semalam Salwa mengalami demam tinggi setelah sempat mengalami hipotermia ringan. Di atas ranjang, Ia berguling ke kanan dan ke kiri karena merasa tak nyaman dengan tubuhnya. Kepalanya berdenyut sakit karena terlalu lama menangis. Ia pun memutuskan mencari obat di kotak P3K. Ia langsung menelan obat pereda demam dan pain killer. Ia tak ingin berlama-lama berada di tempat tidur. Setelah merasa baikan, ia pun memutuskan tidur dan terbangun saat menjelang subuh sekitar pukul setengah empat. Ia melaksanakan sholat malam. Setelahnya ia berdzikir dan mendaras alquran sembari menunggu adzan subuh. Tubuhnya mulai terasa pulih meskipun kepalanya masih berdenyut sakit bagai dihantam palu godam. Ia pun mengambil obat pain killer kembali untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Masih memakai mukenanya, Salwa berjalan menuju meja rias. Ia berkaca dan langsung terkesiap melihat wajahnya yang menyedihkan. Matanya sembab dan hanya tampak segaris. “Ya Allah, mataku ini kenapa?” Tangannya mengus
Daniel Dash fokus pada pekerjaannya, menandatangani dokumen penting. Namun sebelumnya ia memeriksa berkas itu dengan begitu teliti. Matanya yang tajam bergerak-gerak dengan lincah mengamati satu per satu lembaran itu. Satu kata yang mewakilinya, perfeksionis!Dalam urusan pekerjaan, Daniel Dash melakukannya dengan all out. Ia fokus pada pekerjaan yang diembannya.Di sela-sela kegiatannya menandatangani berkas penting, teleponnya berdering kembali. Rupanya si kembar meneleponnya.Semua yang dilakukan Daniel tak luput dari perhatian sang sekretaris.[Halo, apa Cantik?] Kali ini suara Daniel terdengar lembut, berbeda saat ia berbincang dengan seseorang sebelumnya.‘Cantik? Pasti pacarnya,’ batin sang sekretaris.[Uncle, aku kangen. Kapan Uncle pulang? Aku kepengen ajak Uncle bernyanyi! Studio karaoke sudah jadi dibuat Ayah. Tapi, hanya aku yang menggunakannya. Ayah dan Ibu tak pandai bernyanyi.]Di balik suara yang lucu dan imut itu Farah terlihat menggemaskan, sehingga membuat Daniel t
Yusuf cukup tersentak melihat respon Darren. Namun anak kecil itu menjawab dengan cerdas. “Maaf, Om, aku tidak bermaksud berbuat tidak sopan. Aku hanya mengajak Farah bermain. Lagian kami masih kecil Om. Kami belum baligh dan kami masih bisa bermain bersama.”Yusuf menjawab dengan penuh percaya diri.‘Pintar sekali anak ini!’ batin Darren.“Tak boleh! Kau tak boleh main dengan Farah. Kalau mau main, kau main dengan Asyraf dan Farrel! Anak lelaki bermain dengan anak lelaki!” peringat Darren Dash pada putranya Attar.Darren secara tidak langsung menunjukan ketidaksukaannya pada anak itu. Ia begitu takut jika Yusuf mendekati Farah hingga mereka tumbuh dewasa. Darren tak rela putrinya berdekatan dengan anak mantan istrinya! Ia harus menjauhkan mereka sejak dini. Mungkin, Darren terdengar berlebihan.“Ayah, jangan marah pada Yusuf! Yusuf anak yang baik, dia memberiku boneka barbie! Lihatlah!”Farah menunjukan barbie itu ke muka Darren.Darren langsung menyambar boneka itu dan memberikannya
Sore itu sekitar pukul lima sore, Daniel dan Salwa tengah berada di depan gerbang rumah kontrakan Irene. Mereka berada di sana karena berniat akan menjemput Irene dan Inez untuk pergi ke pasar malam.“Sal,” seru Daniel lembut pada Salwa. Ia tengah merangkai kata agar tidak salah dalam menyampaikan pesan-pesan kawannya yang membatalkan pergi ke pasar malam hari itu. Bukan tanpa alasan, suasana hati Salwa saat ini mirip roller coaster. Ia tengah mengalami mood swing. Daniel seperti sedang menghadapi gadis itu yang tengah mengalami masa siklus period nya.Salwa hanya menatap jendela, melihat pemandangan gedung-gedung dan pertokoan yang berada di pinggir jalan dan tak banyak bicara. Biasanya gadis itu banyak bicara, apa saja ia ceritakan. Ketika Daniel memanggilnya, gadis berjilbab biru tua itu langsung memutar lehernya dan menelengkan pandangannya pada Daniel.“Ap-pa?” “Sally,” ucap Daniel terjeda, ia pasti mengira jika Salwa akan membatalkan kepergian mereka ke pasar malam karena yan