"Hentikan!" Teriakan Nisa menghentikan semua gerakan gue.Bahkan semua yang ada di ruangan itu seperti tersihir dengan suara keras dari mulut yang tertutup cadar itu."Dia! Aldo Sanjaya adalah kakak kandungku! Sepuluh tahun silam Bunda membawa seorang anak lelaki bernama Rizal Khoiruddin bersamanya," Nisa buka suara disambut dengan berbagai pertanyaan awak media."Dan ..." Dia bersuara lagi tapi dipotong cepat oleh Si Ustadz.Kurang ajar sekali sih dia? Mentang- mentang mendapat amanat dari Ayah dan gue juga udah ngerelain Ninis nikah sama dia? Seenaknya aja motong ucapan seorang yang udah lebih dulu dikenal khalayak daripada dia!?Gue mengepalkan tangan kuat dengan gigi bergemeletuk nahan emosi yang udah di ujung tanduk."Dia melindungi adiknya dari segala fitnah dan godaan lelaki yang bukan mahramnya. Agar adiknya selalu terjaga di tengah gemerlap dunia selebritas, maka mengaku sebagai kekasihnya sekali
POV Author"Lo, adik Gue Na! Nggak bisa seperti ini! Lo nggak boleh ngulang kisah gue sama Nisa, Na ...." seorang lelaki mendorong bahu perempuan yang hanya mengenakan bathrobe di tubuhnya."Tapi, Al ... Gue nggak bisa kendalikan perasaan ini! Gue nggak mau kehilangan Lo, Al!" Perempuan berambut sebahu itu terus mendekat ke arah lelaki yang mundur ke arah balkon."Dina?! Apa yang merasuki Lo? Stop it!" Lelaki itu berteriak keras saat perempuan yang dia panggil Dina itu melepaskan ikatan penutup handuk panjang di pinggangnya."Gue gila karna lo, Al!" balasnya berteriak tak kalah keras.Lelaki bernama kecil Rizal Khoiruddin itu terus berjalan mundur hingga kedua kakinya menyentuh pagar pembatas di sebuah apartemen di lantai lima.'Dia Kak Aldo, kakak yang akan selalu jaga Dina saat Papa harus kerja, ya Sayang? Aldo, dia Dina, adik kamu! Ingat, ya? Jangan berantem dan sayangi Dina seperti kamu sayang Mama, m
Sementara itu di belahan bumi yang lain, sepasang suami istri sedang saling mengenal karakter satu sama lain. Perempuan yang terbilang masih belia belum genap berusia dua puluh tahun. Sedangkan suaminya sudah sangat dewasa dengan jarak usia hampir sepuluh tahun.Adalah Annisa dan Fahdillah yang sedang duduk saling berhadapan di ruang makan rumah sederhana peninggalan almarhum Dimas Aji."Apa Ayah pernah mengatakan perasaannya tentang Nisa pada Kak Fahd? Pasti Ayah sangat kecewa dan benci dengan perubahan sikap Nisa, ya, Kak?" tanyanya dengan mata berembun."Tak ada orang tua yang membenci anaknya, Nisa ... jangan berpikir hal yang sudah tak akan pernah terulang lagi. Itu namanya meratap. Dan Allah tak menyukai yang demikian. Berdoalah untuk Ayah, ingat kebaikannya dan mintalah ampunan pada Allah. Sesungguhnya yang akan ditanya bukanlah anak, melainkan orang tua yang diberi amanah." jelas Fahdillah–Seorang tahfidz lulusan Madinah itu.
Satu bulan berlalu tanpa kabar dari dua anaknya, membuat Agung Sanjaya menghubungi putra sambungnya. "Maaf, Pa ... Al dan Dina sedang sibuk- sibuknya di sini. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan baru bisa intens lagi kasih kabar ke Mama Papa seperti biasa. Maaf Pa, Ma ...," ucapnya menunduk di depan layar yang menampilkan dua orang tuanya. "Di mana Dina? Malam begini, belum pulang?" tanya sang mama keheranan tak melihat putri dari suaminya tak terlihat di layar. "Em ... dari sore dia tidur, Ma ... kecapekan mungkin," balas Aldo dengan kebohongan. Menutupi keadaan Aldina yang menjalani rehabilitasi. "Coba kamu bangunin, kamu nggak sedang bohongin Papa Mama, 'kan? Kenapa perasaan Papa nggak enak, sejak kalian tinggal di sana?" tanya si Papa yang menatap tajam ke layar. "Enggak, Pa ... Al juga lagi capek banget, ini tadi jam enam baru buka pintu. Dan Dina langsung masuk kamarnya. Al nggak berani ketuk pintunya, kadang dia marah kalo Al ganggu istirahatnya, Pa ... maaf," "Bai
Nafasnya terengah, jantungnya berpacu cepat dan seluruh tubuhnya memanas. Seperti gunung berapi yang siap memuntahkan lava pijar. Bergemuruh dan bergetar hebat dirasakannya di persendian tulang.'Allah ... istriku sangat agresif,' gumamnya melipat bibir."Sudahlah!" Perempuan iti memberi jarak, "Kak Fahd ajari hukumnya setelah dari rumah Umma, sekarang ayo kita berangkat!"ajaknya antusias, "Oh, ya! Niqabku!" Nisa mendorong tubuh kekar suaminya dengan melompat girang menuju kamarnya sambil berceloteh sendiri."Astaghfirullah atau Alhamdulillah? Yaa Rabb! Kenapa aku merasa bersalah padahal dia halal untukku?" gumam Fahdillah mengusap wajahnya dan mengatur napas yang sedari tadi serasa terhenti.Dia adalah sosok lelaki taat yang hanya akan menyentuh dan mengagumi yang halal baginya. Hal-hal yang sekarang dianggap kewajaran dan biasa dilakukan lawan jenis di mana pun menjadi sesuatu yang baru baginya. Perempuan yang dikenalnya hanyalah Umma
"Mas! Apa ini? Aku menemukan ini di salah satu laci meja kerja kamu! Siapa perempuan ini???" teriak Nastiti pada suaminya."Hhh ... aku lupa menceritakan padamu selama ini? Maafkan aku, Sayaaang!" Lelaki berjas rapi itu melepas ikatan dasi di lehernya."Dia kakak perempuanku yang entah di mana sekarang. Ayah mengusirnya saat tahu bayi yang ada dalam kandungannya berjenis kelamin lelaki, Kakek tidak menginginkan penerus bisnis dari jalur anak perempuan. Lagipula, Nandini memilih suami dari kalangan bawah, seorang marbot masjid yang dibangun Ayah kala itu," jelasnya pada sang istri yang tampak masih belum percaya dengan jawaban Agung Sanjaya."Kamu jangan bohong, Mas! Hal sebesar ini kamu sembunyikan selama bertahun-tahun dan kamu bilang lupa cerita? Selama ini kamu anggap aku apa, Mas?!" teriak ibu kandung Aldo dan Nisa itu marah."Nastiti Sayaaang, aku punya buktinya! Bahkan rekaman tiga puluh tahun silam saat Nandini dius
"Mungkin kita sepupuan, Kak! Papanya Dina nggak mungkin punya dua istri selain almarhumah Mamanya, kan?" isak Nisa saat Fahd menjelaskan bagaimana hukum pernikahannya jika mereka adalah saudara."Tapi bisa jadi Agung Sanjaya adalah duda ketika menikahi Mamanya Dina. Dan aku anak hasil hubungan gelap, karena itu dibuang." balas lelaki yang mengepalkan tangannya dan menarik napas dalam sambil perlahan melemahkan kepalan."Kak ... bukankah semuanya pasti akan ada hikmah dan tujuannya kenapa Allah membuat kisah seperti ini untuk kita?" Nisa berusaha menghibur suaminya meski dia merasa sakit dan tersindir dengan kalimat Fahd tentang hubungan gelap."Maafkan saya, Nisa ...." Tangan itu mengusap pipi basah istrinya lalu membawa dalam dekapan.Hanya anggukan disertai isakan halus dari Nisa yang semakin menenggelamkan kepala di dada Fahdillah."Kak Fahd yakin meneruskan pernikahan kita tanpa mencari kejelasan identitas ora
'Perempuan tanpa identitas ditemukan meninggal dunia di kolong jembatan dengan bersimbah darah. Tidak ditemukan tanda kekerasan di tubuhnya. Diduga seorang tuna wisma yang kehilangan mengalami pendarahan usai melahirkan. Namun di mana janin yang dilahirkannya tidak ditemukan di sekitar lokasi. Kemungkinan sudah diambil atau diserahkan pada seseorang, karena tidak ditemukan bukti dari pantauan CCTV sama sekali.'Sebuah paragraf koran tiga puluh tahun silam, tepatnya tanggal saat ditemukannya bayi kecil di sebuah gerobak sampah milik pondok pesantren. Ustadz Fahdillah memejamkan mata saat menemukan satu bukti di perpustakaan Pondok pada kliping koran lama di tangannya."Belum tentu itu Mama Nandini, Kak! Coba cari berita lain? Em ... mungkin terekam jejak digital waktu itu?" Annisa yang mendampingi sang suami mencoba mengalihkan kesedihannya."Tiga puluh tahun lalu belum banyak berita online seperti sekarang Nisa .... Sudahlah, setid
Annisa Khairani mengusap wajah basahnya dengan kasar. Mulai berdiri dari duduknya bersandar pintu apartemen. Hampir 15 menit dia membanjiri pipi dengan deras air mata. Merenungi sekaligus mengingat akan dosa yang pernah dilakukan di dalam kondominium hasil dari menjadi endorse media sosialnya dulu.Langkah kakinya tertatih lemah menuju pintu kamar. Memasukinya dengan perasaan yang campur aduk. Membayangkan kembali kehidupan pernikahan yang pernah dirancangnya bersama Aldino atau Kak Al-nya kala itu. Kemudian bergantian siluet dingin dan kakunya suami dadakan yang halal bergelar ustadz.Bagai dua sisi mata uang yang tak bisa disamakan meski berada dalam kepingan yang sama."Sayang ... jika memang takdir kita tak bersama. Maka jangan pernah bandingkan jodohmu kelak dengan aku. Karena jika aku di posisinya, aku juga nggak akan pernah mau dibandingkan. Tapi aku yakin kamulah jodohku sampai nanti aku siap menghalalkanmu." Kalimat panjang Aldo berdengung di kepala perempuan yang sekarang me
Sementara di dalam sebuah kamar seorang pria menggeliatkan tubuhnya saat seruan ayat suci yang diperdengarkan sebelum adzan dikumandangkan membuatnya terjingkat kaget."Astaghfirullah! Sudah hampir Dhuhur? Nisa? Ke mana istriku? Kenapa tak membangunkanku?" gumamnya mengedarkan pandang ke sekeliling yang sepi.Fahdillah baru menyadari apa yang telah terjadi beberapa saat sebelumnya. Pengalaman pertama mengarungi kautan ternikmat di dunia bersama kehalalan. Membuatnya tersenyum tipis lalu turun dengan membawa serta selimut sebagai penutup. Menuju kamar mandi dengan masih mengembangkan senyum. Masih terbayang bagaimana ia akhirnya bisa menyentuh sang istri dengan begitu memuja.Usai menyelesaikan mandi besarnya yang sesuai tuntunan yang telah fasih baginya. Ustadz lulusan salah satu Universitas di Kairo itu keluar dengan handuk terkalung di lehernya."Ninis? Saya langsung ke masjid, ya? Cepat ba–" Matanya membelalak nyaris keluar saat membuka selimut di samping tempat dia terlelap tadi.
Setelah pergulatan manis selama kurang lebih 1 jam. Fahdillah mulai terdengar dengkuran halusnya. Berbaring di sisi sang istri yang juga telah memejamkan mata dengan berbalut selimut yang sama.Annisa sedikit membuka mata dan bergeser perlahan. Menengok ke samping dan mencoba mengguncang bahu polos suaminya. Tak ada respon, artinya pria yang sudah menghalalkannya setahun lalu itu benar-benar terlelap. Dia beringsut turun dari ranjang dengan menutup aurat menuju kamar mandi."Maaf Kak ...." Tangisnya pecah berjongkok di balik pintu. Dia menyalakan kran air sengaja meredam tangisnya yang kembali tersedu-sedu. Sesegera mungkin dia tuntaskan sekarang juga. Agar di kemudian hari tak lagi ada tangis dalam hidupnya. Annisa hanya ingin bahagia dan mengisi hatinya dengan tenang dalam pertaubatan hingga tua. Setelah puas melampiaskan sesak di dada. Dia mandi besar dan keluar sudah dengan berpakaian lengkap. Tinggal memakai hijab setelah mengeringkan rambutnya.Dengan sangat hati-hati dia kelua
Fahdillah menyadarinya dan mendengar gumaman dari seorang yang sangat dikenal. Sekelebat bayangan berlari menjauh dari teras rumahnya."Jelaskan semuanya pada Ustadzah Lia, sekarang atau tidak sama sekali!" Annisa kembali mendorong suaminya menjauh."Saya tidak akan melangkahkan kaki keluar rumah sebelum semua masalah kita selesai, Nisa. Kita bersihkan kesalahpahaman ini sekarang juga," tegas Fahdilah menahan dua bahu istrinya.Annisa tetap menggeleng kuat dan menunduk. Tak sekali pun berani menatap wajah suaminya secara langsung. Apalagi bertemu tatap dengan dua netra Fahdillah yang selalu saja mampu membuat hatinya goyah."Lihat saya, Nisa!" sentak Fahdillah sedikit keras dengan mengguncang tubuh kecil sang istri.Seketika kaki tertutup gamis panjang itu merosot ke lantai. Memeluk lutut dan tersedu-sedu lagi. Semua beban berat yang selama ini dia sembunyikan seolah tak mampu lagi diatumpu sendirian. Satu tahun lamanya dalam diam nyatanya tak sanggup lagi dipendam.Pria itu meremas s
'Sebodoh inikah seorang lulusan Mesir tentang urusan rumah tangga? Apa yamg dipelajarinya selama di sana?' batin Nisa bergemuruh."Maafkan saya, Nisa." Berulang kali hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Fahdillah. Bahkan hampir setiap hari lelaki 30 tahun itu selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya.Bosan?Mungkin bukan itu yang dirasakan oleh Annisa. Lebih kepada tidak mengerti apa yang menjadi masalah dalam benak suaminya itu. Sudah satu tahun tapi sikap datar dan dingin itu sama sekali tak berubah. Justru semakin parah dengan sekarang pekerjaan ustadz itu tak hanya mengelola koperasi dan managemen pondok. Melainkan merintis usaha pondok yang baru yakni mendirikan jasa travel haji dan umroh."Entahlah Kak ...." Kalimatnya terjeda, "Nisa harus bagaimana lagi untuk menahan semua ini? Nisa pikir, hubungan kita semakin hambar dan hampa. Benar-benar hanya status saja yang berubah. Kak Fahd terasa asing bagi Nisa mungkin begitu juga sebaliknya." Embusan napas berat keluar dari bib
"Maafkan kami, Pak, Bu. Saudari Annisa dan juga Saudara Fahdillah harus kami tahan di sini sementara waktu.""Apa?" Seru semua orang di ruang tunggu kompak berdiri bersamaan."Akan kami jelaskan setelah semua prosedur terpenuhi. Giliran Saudara Fahdillah dan juga Anda berdua. Atas nama Saudara Agung Sanjaya dan Saudari Nastiti. Mari yang saya sebutkan ikut ke ruang pemeriksaan!" terang polisi berpangkat 3 bintang menunjukkan jalan ke sebuah ruangan.Annisa memeluk ibu kandungnya saat Fahdillah memberi isyarat untuk masuk bersama. Perempuan yanh seluruh wajahnya tertutup niqob itu menggeleng kuat masih terisak."Semua akan baik-baik saja, Nisa ...," ucap Fahdillah menenangkan sambil melepaskan Annisa dari ibunya."Bunda juga akan di sini, Sayang. Nggak akan ke mana-mana. Masuklah!" Sambil mengusap kepala sang putri, Nastiti mencoba memberi kekuatan.Keterangan Aldo a.k.a Aldino atau nama kecilnya Rizal Khoiruddin, polisi banyak mendapatkan keterangan. Bahkan bukti kejadian masa lalu ka
"Ustadz, ada tamu dari Kepolisian menunggu di kantor." Seorqng santri yang bertugas menjadi penerima tamu menyampaikan kabar pada Ustadz Fahdillah di kediamannya pagi ini usai sarapan."Kepolisian?" ulang pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan sorbannya itu penuh tanda tanya."Kalau begitu saya permisi, Ustadz. Assalamualaikum!" pamit santri itu meninggalkan rumah Fahdillah."Kak Fahd! Kak Aldo ditangkap polisi! Pak Johan kirim pesan sejak semalam dan panggilan terabaikan baru Nisa buka!" Dengan tergopoh-gopoh panik, Annisa mencegah suaminya melangkahkan kaki dari pintu.Fahdillah menoleh dengan mengernyitkan dahi."Aldo?"Nisa mengangguk cemas dengan wajah yang sudah sangat sendu."Biar saya saja yang menghubungi kembali Pak Johan. Di kantor ada tamu dari kepolisian. Saya pikir itu yang mereka akan kabarkan. Apa kamu akan ikut?" tawar Fahdillah menyongsong tubuh istrinya yang berguncang. Menangis dalam dekapannya, lalu dibawa masuk lagi ke dalam rumah."Apa yang terjad
"Nathan!" Berulang kali Aldo menekan bel kamar apartemen sahabatnya, tapi tak kunjung direspon. Hingga dia menggedor pintu dan berteriak kencang.Meski dia sadar jika itu tak akan ada gunanya. Tapi kesebarannya telah menguap begitu saja setelah semua bayangan mengerikan pasangan lawan jenis di dalam tempat tinggal dengan privasi itu."Shit! Buka pintunya, NATHANAEL!" teriaknya lantang sambil menggedor dan menendang pintu di depannya."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Seorqng sekuriti menghampiri Aldo yang hendak memukulkan tangannya lagi. Sudah terangkat penuh kekuatan namun menggantung mendengar teguran dari arah belakangnya."Istri saya ada bersama sahabat saya di dalam kamar ini, Pak! Tolong beri saya akses keamana untuk bisa memergoki keduanya, Pak!""Maaf, ini privasi customer. Saya tidak bisa memberikam akses apa pun kecuali bisa membuktikan kepemilikan atas unit kamar ini, Pak," balas pria berseragam serba hitam dan memiliki nama d
Sejak dua hari lalu, Fahdillah dan Nisa mulai tinggal di rumah khusus pengurus pondok. Tak banyak yang berubah dari sikap pria berhidung mancung dengan rahang tegas ditumbuhi bulu cambang rapi itu pada sang istri.Seperti biasa kegiatan sehari-harinya hanya seputar mengajar dan memantau kinerja koperasi pondok. Tak banyak berada di rumah meski masih dalam satu komplek pondok. Akan benar-benar di rumah saat makan siang dan malam hari setelah jadwal tugasnya selesai. Saat itu pun tak akan banyak berinteraksi dengan Nisa, sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya."Kak, bisa bantu menyimak hafalan Nisa hari ini? Sedikit susah di ayat yang serupa. Caranya bedakan gimana?"Fahdillah sudah bersiap dengan baju tidur, kaos nyaman dipadu celana pendek longgar. Mulai bersandar di kepala ranjang dan muroja'ah hafalannya sendiri.Annisa membuatnya menoleh dan mengurungkan membaca ta'awudz. Perempuan itu meringis kaku menunjuk mushaf terbuka di hadapan suaminya.