POV Author
"Lo, adik Gue Na! Nggak bisa seperti ini! Lo nggak boleh ngulang kisah gue sama Nisa, Na ...." seorang lelaki mendorong bahu perempuan yang hanya mengenakan bathrobe di tubuhnya."Tapi, Al ... Gue nggak bisa kendalikan perasaan ini! Gue nggak mau kehilangan Lo, Al!" Perempuan berambut sebahu itu terus mendekat ke arah lelaki yang mundur ke arah balkon."Dina?! Apa yang merasuki Lo? Stop it!" Lelaki itu berteriak keras saat perempuan yang dia panggil Dina itu melepaskan ikatan penutup handuk panjang di pinggangnya."Gue gila karna lo, Al!" balasnya berteriak tak kalah keras.Lelaki bernama kecil Rizal Khoiruddin itu terus berjalan mundur hingga kedua kakinya menyentuh pagar pembatas di sebuah apartemen di lantai lima.'Dia Kak Aldo, kakak yang akan selalu jaga Dina saat Papa harus kerja, ya Sayang? Aldo, dia Dina, adik kamu! Ingat, ya? Jangan berantem dan sayangi Dina seperti kamu sayang Mama, mSementara itu di belahan bumi yang lain, sepasang suami istri sedang saling mengenal karakter satu sama lain. Perempuan yang terbilang masih belia belum genap berusia dua puluh tahun. Sedangkan suaminya sudah sangat dewasa dengan jarak usia hampir sepuluh tahun.Adalah Annisa dan Fahdillah yang sedang duduk saling berhadapan di ruang makan rumah sederhana peninggalan almarhum Dimas Aji."Apa Ayah pernah mengatakan perasaannya tentang Nisa pada Kak Fahd? Pasti Ayah sangat kecewa dan benci dengan perubahan sikap Nisa, ya, Kak?" tanyanya dengan mata berembun."Tak ada orang tua yang membenci anaknya, Nisa ... jangan berpikir hal yang sudah tak akan pernah terulang lagi. Itu namanya meratap. Dan Allah tak menyukai yang demikian. Berdoalah untuk Ayah, ingat kebaikannya dan mintalah ampunan pada Allah. Sesungguhnya yang akan ditanya bukanlah anak, melainkan orang tua yang diberi amanah." jelas Fahdillah–Seorang tahfidz lulusan Madinah itu.
Satu bulan berlalu tanpa kabar dari dua anaknya, membuat Agung Sanjaya menghubungi putra sambungnya. "Maaf, Pa ... Al dan Dina sedang sibuk- sibuknya di sini. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan baru bisa intens lagi kasih kabar ke Mama Papa seperti biasa. Maaf Pa, Ma ...," ucapnya menunduk di depan layar yang menampilkan dua orang tuanya. "Di mana Dina? Malam begini, belum pulang?" tanya sang mama keheranan tak melihat putri dari suaminya tak terlihat di layar. "Em ... dari sore dia tidur, Ma ... kecapekan mungkin," balas Aldo dengan kebohongan. Menutupi keadaan Aldina yang menjalani rehabilitasi. "Coba kamu bangunin, kamu nggak sedang bohongin Papa Mama, 'kan? Kenapa perasaan Papa nggak enak, sejak kalian tinggal di sana?" tanya si Papa yang menatap tajam ke layar. "Enggak, Pa ... Al juga lagi capek banget, ini tadi jam enam baru buka pintu. Dan Dina langsung masuk kamarnya. Al nggak berani ketuk pintunya, kadang dia marah kalo Al ganggu istirahatnya, Pa ... maaf," "Bai
Nafasnya terengah, jantungnya berpacu cepat dan seluruh tubuhnya memanas. Seperti gunung berapi yang siap memuntahkan lava pijar. Bergemuruh dan bergetar hebat dirasakannya di persendian tulang.'Allah ... istriku sangat agresif,' gumamnya melipat bibir."Sudahlah!" Perempuan iti memberi jarak, "Kak Fahd ajari hukumnya setelah dari rumah Umma, sekarang ayo kita berangkat!"ajaknya antusias, "Oh, ya! Niqabku!" Nisa mendorong tubuh kekar suaminya dengan melompat girang menuju kamarnya sambil berceloteh sendiri."Astaghfirullah atau Alhamdulillah? Yaa Rabb! Kenapa aku merasa bersalah padahal dia halal untukku?" gumam Fahdillah mengusap wajahnya dan mengatur napas yang sedari tadi serasa terhenti.Dia adalah sosok lelaki taat yang hanya akan menyentuh dan mengagumi yang halal baginya. Hal-hal yang sekarang dianggap kewajaran dan biasa dilakukan lawan jenis di mana pun menjadi sesuatu yang baru baginya. Perempuan yang dikenalnya hanyalah Umma
"Mas! Apa ini? Aku menemukan ini di salah satu laci meja kerja kamu! Siapa perempuan ini???" teriak Nastiti pada suaminya."Hhh ... aku lupa menceritakan padamu selama ini? Maafkan aku, Sayaaang!" Lelaki berjas rapi itu melepas ikatan dasi di lehernya."Dia kakak perempuanku yang entah di mana sekarang. Ayah mengusirnya saat tahu bayi yang ada dalam kandungannya berjenis kelamin lelaki, Kakek tidak menginginkan penerus bisnis dari jalur anak perempuan. Lagipula, Nandini memilih suami dari kalangan bawah, seorang marbot masjid yang dibangun Ayah kala itu," jelasnya pada sang istri yang tampak masih belum percaya dengan jawaban Agung Sanjaya."Kamu jangan bohong, Mas! Hal sebesar ini kamu sembunyikan selama bertahun-tahun dan kamu bilang lupa cerita? Selama ini kamu anggap aku apa, Mas?!" teriak ibu kandung Aldo dan Nisa itu marah."Nastiti Sayaaang, aku punya buktinya! Bahkan rekaman tiga puluh tahun silam saat Nandini dius
"Mungkin kita sepupuan, Kak! Papanya Dina nggak mungkin punya dua istri selain almarhumah Mamanya, kan?" isak Nisa saat Fahd menjelaskan bagaimana hukum pernikahannya jika mereka adalah saudara."Tapi bisa jadi Agung Sanjaya adalah duda ketika menikahi Mamanya Dina. Dan aku anak hasil hubungan gelap, karena itu dibuang." balas lelaki yang mengepalkan tangannya dan menarik napas dalam sambil perlahan melemahkan kepalan."Kak ... bukankah semuanya pasti akan ada hikmah dan tujuannya kenapa Allah membuat kisah seperti ini untuk kita?" Nisa berusaha menghibur suaminya meski dia merasa sakit dan tersindir dengan kalimat Fahd tentang hubungan gelap."Maafkan saya, Nisa ...." Tangan itu mengusap pipi basah istrinya lalu membawa dalam dekapan.Hanya anggukan disertai isakan halus dari Nisa yang semakin menenggelamkan kepala di dada Fahdillah."Kak Fahd yakin meneruskan pernikahan kita tanpa mencari kejelasan identitas ora
'Perempuan tanpa identitas ditemukan meninggal dunia di kolong jembatan dengan bersimbah darah. Tidak ditemukan tanda kekerasan di tubuhnya. Diduga seorang tuna wisma yang kehilangan mengalami pendarahan usai melahirkan. Namun di mana janin yang dilahirkannya tidak ditemukan di sekitar lokasi. Kemungkinan sudah diambil atau diserahkan pada seseorang, karena tidak ditemukan bukti dari pantauan CCTV sama sekali.'Sebuah paragraf koran tiga puluh tahun silam, tepatnya tanggal saat ditemukannya bayi kecil di sebuah gerobak sampah milik pondok pesantren. Ustadz Fahdillah memejamkan mata saat menemukan satu bukti di perpustakaan Pondok pada kliping koran lama di tangannya."Belum tentu itu Mama Nandini, Kak! Coba cari berita lain? Em ... mungkin terekam jejak digital waktu itu?" Annisa yang mendampingi sang suami mencoba mengalihkan kesedihannya."Tiga puluh tahun lalu belum banyak berita online seperti sekarang Nisa .... Sudahlah, setid
"Kamu sudah menemukan suami dari Mbak Andin, Mas?" tanya Nastiti pada suaminya setelah amarahnya mereda beberapa saat lalu."Entahlah ... biarkan saja, toh mereka lebih memilih jalan hidup susah ketimbang tetap di keluarga Sanjaya. Ayah sudah nggak peduli lagi, dan memang itu yang diharapkan agar aku menjadi pewaris tunggal Sanjaya." kekeh Agung memeluk istrinya di pembaringan."Trus kenapa meninggalkan aku dan menikahi Nafa waktu itu?" ketusnya melengos saat akan dicium suaminya."Sayaaaang, kamu kan tahu Ayah bangkrut setelah kebakaran hebat yang melahap habis perusahaan miliknya? Dan jalan satu-satunya agar kembali kaya adalah menikahi Nafa dan mewarisi perusahaannya, terbukti, kan? Itu demi kamu, Sayangku!" Agung meraup habis bibir sang istri tanpa ampun.Keduanya kembali tenggelam dalam lautan asmara. Setelah satu jam sebelumnya baru saja berlabuh dan berhasil meredakan amarah Nastiti. Karena sempat salah faham menemukan s
"Papa, hentikan, Pa! Hentikan dan dengarkan Na, Pa!" teriak Aldina keras memegang lengan ayahnya yang sudah terangkat siap memukul Aldo."Papa juga tidak akan mendapatkan sepeser pun dari harta Mama Nafa! Na sudah mengambil alih semuanya tanpa sepengetahuan Papa! Jadi hentikan semua ini!" lanjutnya menatap tajam mata sang Papa yang mengerutkan dahi."Apa maksud kamu, Sayang?" tanya Agung berubah lembut pada putrinya. "Nisa, Kak Ustadz! Silakan masuk dulu! Al, bantu Mama masuk! Bi, jamu mereka seperti tamu istimewa kita!" Aldina memerintah semua orang di sekitarnya satu per satu seolah dialah ratu di istana Prameswari.Dia masuk terakhir kali dan langsung melakukan panggilan melalui telepon rumah. Tak ada yang tahu siapa yang dihubunginya. Semua orang telah berkumpul di ruang keluarga tanpa percakapan satu sama lain. Hanya terdiam menyelami pikiran mereka masing-masing. "Kak, em ... lebih tepatnya, Om Ustadz