"Ayah ... Nisa pengen jenguk bunda di makam ...," pamitku pada lelaki yang sudah sejak dulu menggunakan kursi roda.
Namaku Annisa Khairani, saat ini usiaku lima belas tahun, baru saja lulus dari sekolah menengah pertama di boarding school. Tragedi maut enam tahun silam membuat keluarga kami hancur berantakan. Bunda dan kakakku tew*s seketika dalam kecelakaan itu. Ayah harus kehilangan dua kakinya yang terjepit body mobil. Dan aku selamat dalam dekapan bunda, hanya luka goresan ringan di kepala. "Iya ... pulangnya hati-hati ya, Nis? Jangan sampai Maghrib. Kamu harus kembali ke boarding school sebelum waktu Isya, kan?" pesan Ayah saat mencium tangannya dan diusap kepalaku. "Nisa!" suara seseorang memanggilku dari arah seberang jalan. Seketika aku menoleh dan sosok lelaki berperawakan tinggi, gagah berseragam SMA melambaikan tangannya. "Kak Aldo?" Aku sedikit terkejut dengan kemunculannya, lagi. Dia menyebrang dengan cepat menghampiriku. Senyumannya manis sekali. Dia kakak dari sahabat masa kecilku. Aldo namanya. "Kamu mau ke makam Bunda lagi?" tanyanya sudah hafal dengan hari kamis soreku pasti ke sini. Hanya mengangguk dan menundukkan pandangan ke arah sepatu. Aku malu dan harus menjaga pandangan, itu pesan ayah. "Aku anterin, ya?" tawarnya menarik pergelangan tangan yang langsung kutepis dengan kasar. "Oh ... maaf!" katanya dengan nada kecewa yang kentara. Selalu saja seperti itu, sebenarnya aku nyaman berada didekatnya. Aku merasa memiliki pelindung dan punya kakak lagi. "Ingat ya, Nis? Kamu satu-satunya harta berharga yang ayah miliki. Jaga diri kamu, jauhi lelaki yang bukan mahram! Ingatlah Bunda dan Kak Rizal menunggu kita di surga, ingat dosa dan larangan agama, ok?" Kalimat ayah yang selalu terngiang sebelum aku terlelap. Bukan buku cerita atau lagu pengantar tidur yang kudengar dari ayah. Selalu nasehat agama dan dalil atau ayat dari kitab suci yang ditanamkan di otakku sejak Bunda tiada. Bosan sekali rasanya. Kalau sudah seperti itu aku hanya akan pura-pura tidur dan ayah berhenti dengan sendirinya lalu keluar sari kamarku. Hidupku di rumah yang tak begitu besar ini terasa sangat monoton. Pagi sampai sore sekolah di lingkungan pesantren sudah banyak sekali pelajaran, eeeh ... di rumah masih harus dengar ceramah lagi dari Ayah? Huft! Aku ingin mencoba suasana dan hal-hal baru di luar sana yang dilakukan remaja pada umumnya! Kenapa sih harus hidup seperti ini? Kenapa dulu nggak mati aja bersama bunda? Ini nggak adil! "Bunda ... Nisa pengen nyusul ke alamnya Bunda aja ... kapan Bunda jemput Nisa? Nisa seperti hidup di dalam penjara, Bunda ..., Ayah selalu melarang apa pun kesenangan Nisa. Tak boleh bebas. Bunda ...." isakku di depan pusara yang sedikit basah karena hujan semalam. Andai setiap minggu tak ada Aldo di sisiku, mungkin setiap minggu aku akan tidur meringkuk di sini. Serasa dipeluk bunda, tak ingin pergi ke dunia nyata yang membosankan bersama Ayah. Tapi lelaki yang terpaut usia dua tahun dariku itu selalu menenangkanku dan mengantar pulang hingga gerbang. Entah apa yang diinginkannya dariku. Dia sangat baik padaku. Tapi selama ini aku tak merespon sikap baiknya dengan balasan serupa. Selalu cuek dan cenderung abai padanya. Tapi dia selalu membuatku ingin didekatnya. Nyaman dan damai rasanya. "Jauhi lelaki itu, Nisa ... berapa kali ayah katakan padamu? Jauhi lelaki yang bukan mahram! Jika ingin berteman, bertemanlah dengan sesama jenismu, perempuan!" kata Ayah saat mendapatiku diantar pulang dibonceng oleh Kak Aldo. Sejak hari itu dia tak pernah lagi mengantar hingga depan rumah. Tapi tetap mengantarku pulang selesai dari makam Bunda meski hanya di depan gang rumahku saja. Sampai sekarang, lulus dari boarding school, aku memutuskan masuk ke sekolah yang sama dengannya. Dan akhirnya membuat hubungan kami semakin dekat. "Maaf, Kak ... Ayahku mengajari sebuah prinsip dalam hidup. Mulai sekarang aku harus menjauh dari semua lelaki bukan mahram ...," ucapku lirih menolak pertemanan kakak kelas tiga, setingkat dengan Kak Aldo. "Busyet dah! Ustazah nyasar nih!" "Buahahaha!" "Kenal darimana lo, Al?" "Diem nggak, lo?" tatapan tajam Kak Aldo pada teman-temannya membuatku mundur perlahan dan menjauh dari perkumpulan mereka. "Nis! Nisa? Tunggu gue!" teriaknya berlari mengejarku. Tapi langkahku terus saja mendekati gerbang sekolah untuk menghentikan angkot yang kebetulan lewat. Dari balik kaca jendela aku bisa melihat wajah kecewa lelaki yang selalu baik padaku itu. Kasihan sekali dia, ini semua karena aku harus mendengarkan semua pesan Ayah. Tak boleh berteman dengan siapapun lelaki selain mahramku. Sekali lagi aku menghembuskan nafas lalu menghirup lagi udara sebanyak-banyaknya dan keluarkan lagi. "Ayah ... aku benci Ayah! Aku benci penjara yang dibuat untuk hidupku! Aku benci aturan-aturan agama yang seperti mengekang wanita! Aku benci!!" Aaarrrgh! Kulemparkan kerudung asal setelah membuka kamar. "Ada apa, Nisa Sayang ..." ayah yang mendengar teriakanku langsung mengetuk pintu. "Ada kecoa, Ayah ...," bohongku memukul kasur dan tengkurap di atasnya sambil menangis. Meratapi nasibku yang tak sama dengan remaja lain. Bebas melakukan apapun tak terkekang oleh peraturan Ayah yang kolot. Mempunyai teman bercerita setidaknya punya seorang ibu seperti mereka. Jika papa atau ayah tak sejalan dengan teman-temanku, ada mamanya yang siap membela. Tapi aku? Sejak usia delapan tahun tak lagi merasakan kasih sayangnya. Apa salahku? Takdir baik apa yang akan kutemui jika terkekang terus seperti ini?"Biasa aja kali ... panggil nama gue? Nggak usah pake embel-embel Kak, berasa tuwir gue!" "Wkwkwk ..." Tawa seluruh siswa di kantin sekolah menggelegar bersamaan dengan wajahku yang memerah dan menahan tangis. "Minggir nggak, lo? Sekali lagi lo berani ganggu Nisa? Lo berurusan sama gue!! Ingat itu!" Tiba-tiba suara Kak Aldo menghentikan gelak tawa kakak kelas dua dan lengannya melingkar di pundakku. Menggiringku ke tempat sepi di belakang sekolah. Dia menghapus air mataku yang berhasil menetes. "Makanya lo jangan jauh dari gue, Nis ... kalo mau ke kantin tunggu gue di kelas, Oke?" bisiknya lembut di telingaku. Aku hanya bergeming menunduk semakin tajam. Rasanya seperti ada desiran aneh yang menjalari hatiku. Apa ini? Aneh tapi nyaman. "Lo gakpapa 'kan, Nis?" tanya Dina menghampiriku di depan kelas. Dia adik Kak Aldo yang kebetulan sekelas denganku. "Gue kan udah bilang sama lo, Na? Jangan biarin Nisa ke kantin sendirian! Lo ke mana tadi?" omel Kak Aldo masih merangkulku ma
Itulah awal mula hancurnya hidupku. Semakin hari semakin terbiasa dengan melakukan dosa kecil. Pakaian yang semula panjang dan tebal dengan kerudung menutup perut sampai pan tat. Mulai terkikis."Emang nggak gerah, ya, Nis? Pakai seragam selebar itu?" tanya Dina yang entah kenapa mulai memakai hijab juga. Walau emang nggak selebar punyaku."Lama-lama terbiasa, kok! Awal-awal emang berasa panas banget. Tapi demi menjaga diri dari yang lebih panas kelak di akhirat. Kenapa nggak bertahan aja, sih? Hidup cuma sebentar ini? Nggak nyampe seratus tahun, kan?"Walau dalam hati ngerasa seperti munafik banget. Gimana enggak?Aku dulu juga ngrasain lebih dari itu. Bahkan sejak usia delapan tahun dipaksa pakai kerudung dan masuk pondok saat lulus SD.Tiga tahun di pesantren, bukannya tambah berilmu dan faham tentang agama. Yang ada malah makin tak terarah. Tak terkendali, seperti 'mblarah' kalau kata orang Jawa. Artinya tak mau diatur, seenaknya sendiri, terlepas tak terkendali.Bayangin aja! Se
Tapi anehnya, hiasan yang diberikan makhluk terlak–nat itu bikin ketagihan. Sampai akhirnya terus terulang dan terjadi berkali-kali. Tak terhitung lagi dengan sepuluh jari. Dua tahun di SMA, sebelum Aldo lulus sekolah hubungan kami berjalan. Banyak alasan yang keluar dari mulutku. Jika rasa candu itu kembali pasti mudah sekali mengatakan kebohongan pada Ayah. Sungguh seseorang tidak akan pernah terjatuh karena batu besar, tapi terpeleset hanya dengan sebuah kerikil yang dianggap remeh. Aku telah berani meremehkan dosa kecil berpacaran. Percaya dengan janji manis seorang yang belum halal. Sampai menjalin keharaman. Semua itu bermula dari hal kecil. Tak bisa menjaga aurat. Menginjak tahun ketiga di SMA adalah tahun paling berat. Kami harus jalanin LDR-an karena Aldo memutuskan kuliah di Singapura. Tapi beruntungnya dia nggak mau juga berjauhan lama-lama. Jadi setiap bulan dia pasti balik ke Indonesia buat melepas rindu. Dan jangan tanyakan apa yang kita lakukan jika sudah berjumpa.
"Nggak bisa, Mas! Ucapkan talak sekarang dan kamu bawa Nisa! Karena Nisa perempuan dan akan mencari ayah kandungnya untuk menikah nanti! Aku sudah nggak mau lagi hidup menderita, Mas!" Bunda berteriak di depan wajah Ayah. Pagi itu, Bunda bertengkar hebat dengan Ayah. Entah apa penyebabnya, aku dan Kak Rizal menangis berpelukan. Menyaksikan pertengkaran dua orang tua kami untuk pertama kalinya. Aku tak tahu apa yang tengah dibicarakan keduanya. Belumlah mengerti, usiaku baru delapan tahun. Dan Kak Rizal sepuluh tahun. Mungkin dia sudah mengerti tapi tetap tak bisa berbuat banyak untuk melerai mereka. "Nisa Sayaaang, Bunda sama Kak Rizal pergi dulu, ya? Nisa sama Ayah baik-baik, turuti perintah Ayah dan selalu dengarkan perkataan Ayah, ya, Sayang? Bunda pasti akan merindukanmu, muach! Muach!" Itulah pertemuan terakhirku dengan Bunda dan Kak Rizal. Kenapa aku baru mengingatnya sekarang? Setelah Bunda pergi bersama Kakak, Ayah mengejar karena aku menangis tak mau ditinggal dengan Ayah.
Waktu kecelakaan bersama Ayah aku tak mengenali diri sendiri. Ayah memberi tahuku bahwa bunda dan kakak meninggal. Karena Ayah takut jika mengatakan yang sebenarnya aku akan lebih banyak bertanya lagi.Pertengkaran sepuluh tahun silam sebelum kecelakaan yang menyebabkan kedua kaki Ayah diamputasi adalah awal hancurnya biduk rumah tangga orang tuaku. Mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Aku ikut Ayah karena perempuan membutuhkan wali untuk pernikahannya kelak. Bunda membawa Kak Rizal yang saat itu baru berusia sepuluh tahun.Aku tak mengingatnya sama sekali apa yang terjadi selama sepuluh tahun hidup berdua dengannya tanpa bunda dan kakak."Apa selama ini Nisa masih berhubungan dekat dengan Kakak, Yah?" Dengan mengangsurkan dompet berisi foto yang kuduga itu kami berdua.'Sepanjang Ayah bercerita, sama sekali tak menyinggung Kak Rizal ataupun Bunda. Tapi kenapa ada potret kebersamaanku dengan kakak di dompet?'Ayah menggeleng dengan menunduk."Bundamu menikah lagi denga
Memasuki kamar, Ayah meninggalkanku setelah mengatakan tak boleh membuka jendela kamar, apapun yang terjadi. Aku mengikuti perintahnya dan duduk di tepi kasur. Mengamati setiap sudut kamarku.Buku tentang agama Islam, akidah, fiqih, tafsir Alhadits, dan tafsir Alquran berderet rapi di rak gantung yang menempel di dinding. Artinya benar kata Ayah bahwa aku selama ini memang perempuan baik-baik. Tak benar jika aku ini selebgram seperti dugaan sopir yang mengantarkan kami tadi.Aku melangkah ke meja belajar yang tertata cantik dengan tempelan berbagai ornamen origami di setiap pojokan. Buku pelajaran sekolah dan beberapa kamus Bahasa tertumpuk memenuhi meja.Sedikit membungkuk berusaha membuka laci bawah. 'Terkunci? Di mana aku biasa meletakkan kuncinya, ya?'Kutuang tempat pensil dari botol bekas yang dihiasi lukisan tangan warna-warni. Segala macam alat tulis berserak dan beberapa kunci ada di sana. Satu per satu
"Ayah ... sekarang, Ayah kerja apa?" Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi darinya."Bekerja di koperasi di Pondok Putra, Nis ..., Besok Ayah berangkat sekalian shalat Subuh di masjid dan pulang setelah Ashar. Apa kamu keberatan, harus ditinggal Ayah selama itu, besok?"Aku menggeleng, "apa Nisa boleh ikut ke Pondok bersama Ayah?" tanyaku lagi membuat Ayah sedikit terkejut.'Apa ini adalah hal baru untuk Ayah? Apa sebelumnya aku tak pernah ke Pondok?'"Tentu saja, Ayah senang kamu mau kembali ke sana lagi setelah sekian lama kamu mengatakan bosan di Pondok. Ah ... maafkan Ayah! Lupakan hal negatif mulai sekarang, sekalian mau berjamaah Subuh, ya?" Ayah menepis angin di depan wajahnya dan tersenyum menyambut baik niatanku.Aku hanya mengangguk dengan tersenyum menjawab ajakan Ayah untuk shalat Subuh berjamaah di masjid Pondok.Usai shalat Maghrib dilanjutkan Isya di kamar yang sengaja dijad
"Nisa!" Seseorang berlari dan tiba-tiba memeluk bahkan sedikit mengangkat tubuhku ke atas."Gue kangen banget sama lo, Sayang ... syukurlah lo nggak kenapa-napa karena kecelakaan itu-" Dia berbisik dan mencium kepalaku.Dengan kuat aku mendorongnya hingga sedikit jauh dan ucapannya tertahan."Siapa kamu? Mulai sekarang, jangan pernah lagi menemuiku! Atau aku akan teriak sekarang?" gertakku memberi ancang-ancang ingin berteriak, membuka mulut sedikit dan menoleh pada kerumunan tukang ojek di seberang jalan.Lelaki yang lebih tinggi dariku itu mundur dan mengangkat tangannya setinggi perut. Seolah mengisyaratkan agar aku tetap tenang dan diam."Nis? Lo nggak ngenalin gue? Lo nggak kangen sama gue?"Aku hanya menggeleng dan tak berani menatap wajahnya lagi. Perlahan mundur dan berbalik ke arah Pondok lagi sedikit berlari. Aku merasa lega dia bergeming di tempatnya dan tak mengejarku.Untuk
Annisa Khairani mengusap wajah basahnya dengan kasar. Mulai berdiri dari duduknya bersandar pintu apartemen. Hampir 15 menit dia membanjiri pipi dengan deras air mata. Merenungi sekaligus mengingat akan dosa yang pernah dilakukan di dalam kondominium hasil dari menjadi endorse media sosialnya dulu.Langkah kakinya tertatih lemah menuju pintu kamar. Memasukinya dengan perasaan yang campur aduk. Membayangkan kembali kehidupan pernikahan yang pernah dirancangnya bersama Aldino atau Kak Al-nya kala itu. Kemudian bergantian siluet dingin dan kakunya suami dadakan yang halal bergelar ustadz.Bagai dua sisi mata uang yang tak bisa disamakan meski berada dalam kepingan yang sama."Sayang ... jika memang takdir kita tak bersama. Maka jangan pernah bandingkan jodohmu kelak dengan aku. Karena jika aku di posisinya, aku juga nggak akan pernah mau dibandingkan. Tapi aku yakin kamulah jodohku sampai nanti aku siap menghalalkanmu." Kalimat panjang Aldo berdengung di kepala perempuan yang sekarang me
Sementara di dalam sebuah kamar seorang pria menggeliatkan tubuhnya saat seruan ayat suci yang diperdengarkan sebelum adzan dikumandangkan membuatnya terjingkat kaget."Astaghfirullah! Sudah hampir Dhuhur? Nisa? Ke mana istriku? Kenapa tak membangunkanku?" gumamnya mengedarkan pandang ke sekeliling yang sepi.Fahdillah baru menyadari apa yang telah terjadi beberapa saat sebelumnya. Pengalaman pertama mengarungi kautan ternikmat di dunia bersama kehalalan. Membuatnya tersenyum tipis lalu turun dengan membawa serta selimut sebagai penutup. Menuju kamar mandi dengan masih mengembangkan senyum. Masih terbayang bagaimana ia akhirnya bisa menyentuh sang istri dengan begitu memuja.Usai menyelesaikan mandi besarnya yang sesuai tuntunan yang telah fasih baginya. Ustadz lulusan salah satu Universitas di Kairo itu keluar dengan handuk terkalung di lehernya."Ninis? Saya langsung ke masjid, ya? Cepat ba–" Matanya membelalak nyaris keluar saat membuka selimut di samping tempat dia terlelap tadi.
Setelah pergulatan manis selama kurang lebih 1 jam. Fahdillah mulai terdengar dengkuran halusnya. Berbaring di sisi sang istri yang juga telah memejamkan mata dengan berbalut selimut yang sama.Annisa sedikit membuka mata dan bergeser perlahan. Menengok ke samping dan mencoba mengguncang bahu polos suaminya. Tak ada respon, artinya pria yang sudah menghalalkannya setahun lalu itu benar-benar terlelap. Dia beringsut turun dari ranjang dengan menutup aurat menuju kamar mandi."Maaf Kak ...." Tangisnya pecah berjongkok di balik pintu. Dia menyalakan kran air sengaja meredam tangisnya yang kembali tersedu-sedu. Sesegera mungkin dia tuntaskan sekarang juga. Agar di kemudian hari tak lagi ada tangis dalam hidupnya. Annisa hanya ingin bahagia dan mengisi hatinya dengan tenang dalam pertaubatan hingga tua. Setelah puas melampiaskan sesak di dada. Dia mandi besar dan keluar sudah dengan berpakaian lengkap. Tinggal memakai hijab setelah mengeringkan rambutnya.Dengan sangat hati-hati dia kelua
Fahdillah menyadarinya dan mendengar gumaman dari seorang yang sangat dikenal. Sekelebat bayangan berlari menjauh dari teras rumahnya."Jelaskan semuanya pada Ustadzah Lia, sekarang atau tidak sama sekali!" Annisa kembali mendorong suaminya menjauh."Saya tidak akan melangkahkan kaki keluar rumah sebelum semua masalah kita selesai, Nisa. Kita bersihkan kesalahpahaman ini sekarang juga," tegas Fahdilah menahan dua bahu istrinya.Annisa tetap menggeleng kuat dan menunduk. Tak sekali pun berani menatap wajah suaminya secara langsung. Apalagi bertemu tatap dengan dua netra Fahdillah yang selalu saja mampu membuat hatinya goyah."Lihat saya, Nisa!" sentak Fahdillah sedikit keras dengan mengguncang tubuh kecil sang istri.Seketika kaki tertutup gamis panjang itu merosot ke lantai. Memeluk lutut dan tersedu-sedu lagi. Semua beban berat yang selama ini dia sembunyikan seolah tak mampu lagi diatumpu sendirian. Satu tahun lamanya dalam diam nyatanya tak sanggup lagi dipendam.Pria itu meremas s
'Sebodoh inikah seorang lulusan Mesir tentang urusan rumah tangga? Apa yamg dipelajarinya selama di sana?' batin Nisa bergemuruh."Maafkan saya, Nisa." Berulang kali hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Fahdillah. Bahkan hampir setiap hari lelaki 30 tahun itu selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya.Bosan?Mungkin bukan itu yang dirasakan oleh Annisa. Lebih kepada tidak mengerti apa yang menjadi masalah dalam benak suaminya itu. Sudah satu tahun tapi sikap datar dan dingin itu sama sekali tak berubah. Justru semakin parah dengan sekarang pekerjaan ustadz itu tak hanya mengelola koperasi dan managemen pondok. Melainkan merintis usaha pondok yang baru yakni mendirikan jasa travel haji dan umroh."Entahlah Kak ...." Kalimatnya terjeda, "Nisa harus bagaimana lagi untuk menahan semua ini? Nisa pikir, hubungan kita semakin hambar dan hampa. Benar-benar hanya status saja yang berubah. Kak Fahd terasa asing bagi Nisa mungkin begitu juga sebaliknya." Embusan napas berat keluar dari bib
"Maafkan kami, Pak, Bu. Saudari Annisa dan juga Saudara Fahdillah harus kami tahan di sini sementara waktu.""Apa?" Seru semua orang di ruang tunggu kompak berdiri bersamaan."Akan kami jelaskan setelah semua prosedur terpenuhi. Giliran Saudara Fahdillah dan juga Anda berdua. Atas nama Saudara Agung Sanjaya dan Saudari Nastiti. Mari yang saya sebutkan ikut ke ruang pemeriksaan!" terang polisi berpangkat 3 bintang menunjukkan jalan ke sebuah ruangan.Annisa memeluk ibu kandungnya saat Fahdillah memberi isyarat untuk masuk bersama. Perempuan yanh seluruh wajahnya tertutup niqob itu menggeleng kuat masih terisak."Semua akan baik-baik saja, Nisa ...," ucap Fahdillah menenangkan sambil melepaskan Annisa dari ibunya."Bunda juga akan di sini, Sayang. Nggak akan ke mana-mana. Masuklah!" Sambil mengusap kepala sang putri, Nastiti mencoba memberi kekuatan.Keterangan Aldo a.k.a Aldino atau nama kecilnya Rizal Khoiruddin, polisi banyak mendapatkan keterangan. Bahkan bukti kejadian masa lalu ka
"Ustadz, ada tamu dari Kepolisian menunggu di kantor." Seorqng santri yang bertugas menjadi penerima tamu menyampaikan kabar pada Ustadz Fahdillah di kediamannya pagi ini usai sarapan."Kepolisian?" ulang pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan sorbannya itu penuh tanda tanya."Kalau begitu saya permisi, Ustadz. Assalamualaikum!" pamit santri itu meninggalkan rumah Fahdillah."Kak Fahd! Kak Aldo ditangkap polisi! Pak Johan kirim pesan sejak semalam dan panggilan terabaikan baru Nisa buka!" Dengan tergopoh-gopoh panik, Annisa mencegah suaminya melangkahkan kaki dari pintu.Fahdillah menoleh dengan mengernyitkan dahi."Aldo?"Nisa mengangguk cemas dengan wajah yang sudah sangat sendu."Biar saya saja yang menghubungi kembali Pak Johan. Di kantor ada tamu dari kepolisian. Saya pikir itu yang mereka akan kabarkan. Apa kamu akan ikut?" tawar Fahdillah menyongsong tubuh istrinya yang berguncang. Menangis dalam dekapannya, lalu dibawa masuk lagi ke dalam rumah."Apa yang terjad
"Nathan!" Berulang kali Aldo menekan bel kamar apartemen sahabatnya, tapi tak kunjung direspon. Hingga dia menggedor pintu dan berteriak kencang.Meski dia sadar jika itu tak akan ada gunanya. Tapi kesebarannya telah menguap begitu saja setelah semua bayangan mengerikan pasangan lawan jenis di dalam tempat tinggal dengan privasi itu."Shit! Buka pintunya, NATHANAEL!" teriaknya lantang sambil menggedor dan menendang pintu di depannya."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Seorqng sekuriti menghampiri Aldo yang hendak memukulkan tangannya lagi. Sudah terangkat penuh kekuatan namun menggantung mendengar teguran dari arah belakangnya."Istri saya ada bersama sahabat saya di dalam kamar ini, Pak! Tolong beri saya akses keamana untuk bisa memergoki keduanya, Pak!""Maaf, ini privasi customer. Saya tidak bisa memberikam akses apa pun kecuali bisa membuktikan kepemilikan atas unit kamar ini, Pak," balas pria berseragam serba hitam dan memiliki nama d
Sejak dua hari lalu, Fahdillah dan Nisa mulai tinggal di rumah khusus pengurus pondok. Tak banyak yang berubah dari sikap pria berhidung mancung dengan rahang tegas ditumbuhi bulu cambang rapi itu pada sang istri.Seperti biasa kegiatan sehari-harinya hanya seputar mengajar dan memantau kinerja koperasi pondok. Tak banyak berada di rumah meski masih dalam satu komplek pondok. Akan benar-benar di rumah saat makan siang dan malam hari setelah jadwal tugasnya selesai. Saat itu pun tak akan banyak berinteraksi dengan Nisa, sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya."Kak, bisa bantu menyimak hafalan Nisa hari ini? Sedikit susah di ayat yang serupa. Caranya bedakan gimana?"Fahdillah sudah bersiap dengan baju tidur, kaos nyaman dipadu celana pendek longgar. Mulai bersandar di kepala ranjang dan muroja'ah hafalannya sendiri.Annisa membuatnya menoleh dan mengurungkan membaca ta'awudz. Perempuan itu meringis kaku menunjuk mushaf terbuka di hadapan suaminya.