Itulah awal mula hancurnya hidupku. Semakin hari semakin terbiasa dengan melakukan dosa kecil. Pakaian yang semula panjang dan tebal dengan kerudung menutup perut sampai pan tat. Mulai terkikis.
"Emang nggak gerah, ya, Nis? Pakai seragam selebar itu?" tanya Dina yang entah kenapa mulai memakai hijab juga. Walau emang nggak selebar punyaku. "Lama-lama terbiasa, kok! Awal-awal emang berasa panas banget. Tapi demi menjaga diri dari yang lebih panas kelak di akhirat. Kenapa nggak bertahan aja, sih? Hidup cuma sebentar ini? Nggak nyampe seratus tahun, kan?" Walau dalam hati ngerasa seperti munafik banget. Gimana enggak? Aku dulu juga ngrasain lebih dari itu. Bahkan sejak usia delapan tahun dipaksa pakai kerudung dan masuk pondok saat lulus SD. Tiga tahun di pesantren, bukannya tambah berilmu dan faham tentang agama. Yang ada malah makin tak terarah. Tak terkendali, seperti 'mblarah' kalau kata orang Jawa. Artinya tak mau diatur, seenaknya sendiri, terlepas tak terkendali. Bayangin aja! Seperti burung yang habitatnya terbang bebas di langit lepas. Dengan teganya dipaksa dan dikurung dalam sangkar. Bener sih, niatnya baik. Biar nggak mati sia-sia di alam bebas dengan diburu manusia atau hewan lain. Dirawat, dikasih makan, sampai dikasih vitamin. Bahkan ada yang sampai dijadikan juara dan dapat sertifikat. Dapet duit karena keindahannya, suaranya, dan berbagai kompetisi lainnya. Sama seperti aku, dari kecil udah dimasukkan sangkar emas di penjara suci bernama pondok pesantren berbasis boarding school. Kadang tuh, ya? Aku merasa seperti burung dalam sangkar. Terlihat cantik bulunya. Merdu suaranya. Terjaga kehormatannya dan punya nilai plus di mata orang luar. Tapi asal kalian semua tahu, nih. Hati dan petunjuk dari Allah itu nggak bisa dipaksakan! Semua itu murni dari Tuhan, hak prerogatif yang nggak bisa diganggu gugat. Dan hanya yang dikehendaki Allah saja yang mendapatkan hidayah itu. Contoh nih, aku! Kurang apa coba, cara Ayah ngedidik? Tapi tetep aja tuh dengan kesombongan dan keras hatiku, hancur karena pergaulan? "Nis ... lo sayang kan ma gue?" Aldo genggam tanganku di atas pangkuannya. Waktu pertama kali masih malu-malu dan sedikit rasa sesal di hati setelah melakukannya. Emang mungkin remeh aja cuma pegangan tangan, 'kan? Aku ingat tentang salah satu hadits yang kurang lebih isinya. 'Masih lebih baik ditusuk dengan tombak dari api neraka yang membara, dari ubun-ubun sampai tembus ke ma lu an, daripada bersentuhan dengan yang bukan mahram.' Riwayat apa aku lupa. Yang jelas setelah pulang ke rumah, aku masih sempat shalat dua rekaat, shalat taubat. Banyak berdzikir dan minta ampunan. "Seneng banget anak ayah? Ada kabar baik apa, Sayang?" tanya ayah saat melihatku mesam-mesem sendirian di sofa ruang tamu. Membayangkan getaran tersengat aliran listrik saat pertama kali merasakan sentuhan lembut jemari Aldo. Dia menggenggam, memainkan kuku jari, hingga menautkannya. Mengecup punggung dan telapak tanganku. "Nggak nyangka gue bisa dapetin bidadari surga selembut dan secantik, lo, Nis ...," bisiknya lembut kembali mengecup tanganku. "Cie ... cie ... yang baru jadian!" "Si Boss mah, sekarang jadi alim, pacaran sama calon Ustazah, kita-kita mah remahan siap buang aja, ya nggak, sih?" "Lo aja kali remahan! Gue best of the best dari yang ter-the best lah ...," Teman-teman Aldo ngecengin di belakang aku dan Aldo. Tiba-tiba ngagetin muncul rame-rame dan bersiul. Reflek kutarik lagi tangan ini masuk ke dalam kerudung panjang di depan perut. Temen-temen geng Aldo dan Dina nyorakin kita yang mojok di kursi taman sekolah. Nggak berani menatap wajah mereka, cuma bisa menunduk malu. Aku merasa telah dihina dengan dibilang calon ustazah. Hati ini rasanya sakit. Sakit banget seperti ditusuk duri ribuan batang. Karena sejatinya aku masih jauh dari kata seorang yang dipedomani, apalagi seorang guru–ustazah. Nggak tau kenapa sesakit ini mengingat satu ayat yang sering dibacakan Ayah sebelum tidur. Yang kurang lebih artinya seperti ini. "Janganlah kalian dekat-dekat dengan zi na, karena sesungguhnya zi na itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan." (Q.S. Al-Isra':32) "Kak ... aku, maksudnya ... gue ... ke kelas dulu, ya Kak? Eh, Al?" Gugup bukan main rasanya. Belajar mengubah kata ganti aku-kamu jadi gue-elo yang pada akhirnya malah jadi kebiasaan sampai sekarang. Ingat dosa pegangan tangan. Ingat ayat larangan mendekati zi na. Sungguh rasanya hati ini gerimis. Apalagi mengingat pasti nggak bakal bisa ketemu Bunda kelak di surga jika aku terus melakukan dosa. Dikit dikit lama-lama jadi setinggi bukit. "Kenapa, Nis? Lo malu ketahuan, kita pegangan tangan doang 'kan?" Aldo kembali menahanku dengan mencengkram pergelangan tangan. "Setdah! Gitu banget idup lo, Nis! Dah kek di penjara aja? Semuanya dilarang, semuanya melanggar aturan? Trus buat apa idup lo di dunia yang indah ini? Kalo nggak lo nikmati?" Tawa salah satu dari mereka membuat yang lain juga ikut menertawakan aku. "Boleh kok, Nis ... asal kita sama-sama saling ridho, ya kan? Lo ridho, kan? Jangan nangis, ya?" Aldo berusaha membujuk biar aku nggak mengambil hati atas ucapan teman-temannya. Padahal pelupuk mata udah berasa mau tumpah aja tuh. Sudah berat, akhirnya jatuh deh tuh air mata tiada henti. Sampai-sampai Aldo memeneri pelukan, nepuk-nepuk bahu dan menyeka air mata di pipi. Yang lain semakin bersorak, tepuk tangan di belakang kita. Dari situ hubunganku makin intens. Berangkat pulang sekolah bareng. Aldo jaga aku banget. Dia tahu kalo bersentuhan aja dosa makanya antar jemput ganti pake mobil. Kalo aku bilang nggak mau, dia nurut. Jadi pacaranku sama sia bisa dibilang pacaran sehat, nggak ada hubungan fisik sama sekali. Bahkan dia juga mulai ikutan kajian-kajian. Nyampein ke aku apa yang barusan didapet dari sang penceramah. Dari situ aku semakin terlena dan percaya bahwa dia sayang sama aku. Bakalan jagain luar dan dalam. Maksudnya agama dan juga tingkah laku yang terlihat oleh orang lain. Tapi ternyata yang namanya iblis, setan laknat jahannam itu semakin gencar nyesatin anak turun Adam hingga keimanan lepas dari dalam hati. Setelah saling genggam tangan hal selanjutnya adalah Aldo kepengin lihat mahkota yang selama ini telah terjaga. Bukan mahkota dalam arti khusus tapi mahkota perempuan yang sebenarnya, rambut. "Nis ... kita cuma berdua di sini, lo udah percaya sama gue, kalo gue nggak bakal ninggalin lo dan nggak bakal buat lo rusak? Gue bakal jagain lo, selamanya ...," "Iya, makasih udah buat gue bisa terbang bebas, melepaskan gue dari sangkar yang dibuat ayah ke gue. Lo jadi penuntun dan pahlawan buat kebebasan gue," "Sama-sama, Sayaaang!" Mendengar kata sayang darinya, berasa jantung ini berhenti berdetak. Tatapan saling beradu, dua tangannya sudah pegang bahuku. Dia masukkan anak-anak rambut yang keluar dari kerudung yang sedikit tersingkap. "Boleh lihat pesona kemilau mahkota lo lagi, Nis?" Perlahan tapi pasti, aku melepas peniti di pangkal dagu. Tanpa mengalihkan tatapan mata ke mata Aldo yang berbinar. Dia elus perlahan, lembut dan sedikit menarik ikatannya. Geraian rambut yang selama ini tak pernah terlihat lelaki selain ayah, dalam hitungan menit tergerai di punggung. Begitu seterusnya setiap kali bertemu. Mulai dari saling menggenggam, menautkan jari. Makin dekat dengan merangkul, lama-lama pelukan. Sampai pada suatu sore, hujan deras dan kebetulan aku ditinggalin sama Dina di apartemen Aldo. Menghindari papa mama mereka yang sedang di Indonesia. Biasanya keliling Eropa dan Asia ngurusin bisnis. Pulang nggak tentu sebulan sekali kadang malah setahun cuma tiga kali, kata Dina. Hingga malam panas itu pertama kalinya dicium Aldo, mulanya di pipi. Merambat turun ke bibir. Hingga tak sadar, blazer yang kupake terlepas. Tubuh Aldo mendadak polos tanpa kaos. Entah siapa yang memulai dan tangan siapa yang melepas kain penutup di tubuh kami. Adegan panas yang harusnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan halal terjadi malam itu. "Apa yang lo lakuin ke gue, Al? Gimana kalo gue sampe hamil? Hiks ..." Kupukul dada polos Aldo dengan menangis histeris. "Lo sendiri yang mau, kan, tadi? Gue pake pengaman, Nis ... santai dong ..., lagian ini 'kan belum larut banget? Masih jam sepuluh? Sana gih beberes, biar gue anterin! Ntar kita pikir di jalan alasan buat bokap, lo!" jawabnya enteng dengan beringsut turun dari ranjang. Penyesalan hanyalah penyesalan yang tak akan pernah bisa memperbaiki kehormatanku ... Hidupku hancur!Tapi anehnya, hiasan yang diberikan makhluk terlak–nat itu bikin ketagihan. Sampai akhirnya terus terulang dan terjadi berkali-kali. Tak terhitung lagi dengan sepuluh jari. Dua tahun di SMA, sebelum Aldo lulus sekolah hubungan kami berjalan. Banyak alasan yang keluar dari mulutku. Jika rasa candu itu kembali pasti mudah sekali mengatakan kebohongan pada Ayah. Sungguh seseorang tidak akan pernah terjatuh karena batu besar, tapi terpeleset hanya dengan sebuah kerikil yang dianggap remeh. Aku telah berani meremehkan dosa kecil berpacaran. Percaya dengan janji manis seorang yang belum halal. Sampai menjalin keharaman. Semua itu bermula dari hal kecil. Tak bisa menjaga aurat. Menginjak tahun ketiga di SMA adalah tahun paling berat. Kami harus jalanin LDR-an karena Aldo memutuskan kuliah di Singapura. Tapi beruntungnya dia nggak mau juga berjauhan lama-lama. Jadi setiap bulan dia pasti balik ke Indonesia buat melepas rindu. Dan jangan tanyakan apa yang kita lakukan jika sudah berjumpa.
"Nggak bisa, Mas! Ucapkan talak sekarang dan kamu bawa Nisa! Karena Nisa perempuan dan akan mencari ayah kandungnya untuk menikah nanti! Aku sudah nggak mau lagi hidup menderita, Mas!" Bunda berteriak di depan wajah Ayah. Pagi itu, Bunda bertengkar hebat dengan Ayah. Entah apa penyebabnya, aku dan Kak Rizal menangis berpelukan. Menyaksikan pertengkaran dua orang tua kami untuk pertama kalinya. Aku tak tahu apa yang tengah dibicarakan keduanya. Belumlah mengerti, usiaku baru delapan tahun. Dan Kak Rizal sepuluh tahun. Mungkin dia sudah mengerti tapi tetap tak bisa berbuat banyak untuk melerai mereka. "Nisa Sayaaang, Bunda sama Kak Rizal pergi dulu, ya? Nisa sama Ayah baik-baik, turuti perintah Ayah dan selalu dengarkan perkataan Ayah, ya, Sayang? Bunda pasti akan merindukanmu, muach! Muach!" Itulah pertemuan terakhirku dengan Bunda dan Kak Rizal. Kenapa aku baru mengingatnya sekarang? Setelah Bunda pergi bersama Kakak, Ayah mengejar karena aku menangis tak mau ditinggal dengan Ayah.
Waktu kecelakaan bersama Ayah aku tak mengenali diri sendiri. Ayah memberi tahuku bahwa bunda dan kakak meninggal. Karena Ayah takut jika mengatakan yang sebenarnya aku akan lebih banyak bertanya lagi.Pertengkaran sepuluh tahun silam sebelum kecelakaan yang menyebabkan kedua kaki Ayah diamputasi adalah awal hancurnya biduk rumah tangga orang tuaku. Mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Aku ikut Ayah karena perempuan membutuhkan wali untuk pernikahannya kelak. Bunda membawa Kak Rizal yang saat itu baru berusia sepuluh tahun.Aku tak mengingatnya sama sekali apa yang terjadi selama sepuluh tahun hidup berdua dengannya tanpa bunda dan kakak."Apa selama ini Nisa masih berhubungan dekat dengan Kakak, Yah?" Dengan mengangsurkan dompet berisi foto yang kuduga itu kami berdua.'Sepanjang Ayah bercerita, sama sekali tak menyinggung Kak Rizal ataupun Bunda. Tapi kenapa ada potret kebersamaanku dengan kakak di dompet?'Ayah menggeleng dengan menunduk."Bundamu menikah lagi denga
Memasuki kamar, Ayah meninggalkanku setelah mengatakan tak boleh membuka jendela kamar, apapun yang terjadi. Aku mengikuti perintahnya dan duduk di tepi kasur. Mengamati setiap sudut kamarku.Buku tentang agama Islam, akidah, fiqih, tafsir Alhadits, dan tafsir Alquran berderet rapi di rak gantung yang menempel di dinding. Artinya benar kata Ayah bahwa aku selama ini memang perempuan baik-baik. Tak benar jika aku ini selebgram seperti dugaan sopir yang mengantarkan kami tadi.Aku melangkah ke meja belajar yang tertata cantik dengan tempelan berbagai ornamen origami di setiap pojokan. Buku pelajaran sekolah dan beberapa kamus Bahasa tertumpuk memenuhi meja.Sedikit membungkuk berusaha membuka laci bawah. 'Terkunci? Di mana aku biasa meletakkan kuncinya, ya?'Kutuang tempat pensil dari botol bekas yang dihiasi lukisan tangan warna-warni. Segala macam alat tulis berserak dan beberapa kunci ada di sana. Satu per satu
"Ayah ... sekarang, Ayah kerja apa?" Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi darinya."Bekerja di koperasi di Pondok Putra, Nis ..., Besok Ayah berangkat sekalian shalat Subuh di masjid dan pulang setelah Ashar. Apa kamu keberatan, harus ditinggal Ayah selama itu, besok?"Aku menggeleng, "apa Nisa boleh ikut ke Pondok bersama Ayah?" tanyaku lagi membuat Ayah sedikit terkejut.'Apa ini adalah hal baru untuk Ayah? Apa sebelumnya aku tak pernah ke Pondok?'"Tentu saja, Ayah senang kamu mau kembali ke sana lagi setelah sekian lama kamu mengatakan bosan di Pondok. Ah ... maafkan Ayah! Lupakan hal negatif mulai sekarang, sekalian mau berjamaah Subuh, ya?" Ayah menepis angin di depan wajahnya dan tersenyum menyambut baik niatanku.Aku hanya mengangguk dengan tersenyum menjawab ajakan Ayah untuk shalat Subuh berjamaah di masjid Pondok.Usai shalat Maghrib dilanjutkan Isya di kamar yang sengaja dijad
"Nisa!" Seseorang berlari dan tiba-tiba memeluk bahkan sedikit mengangkat tubuhku ke atas."Gue kangen banget sama lo, Sayang ... syukurlah lo nggak kenapa-napa karena kecelakaan itu-" Dia berbisik dan mencium kepalaku.Dengan kuat aku mendorongnya hingga sedikit jauh dan ucapannya tertahan."Siapa kamu? Mulai sekarang, jangan pernah lagi menemuiku! Atau aku akan teriak sekarang?" gertakku memberi ancang-ancang ingin berteriak, membuka mulut sedikit dan menoleh pada kerumunan tukang ojek di seberang jalan.Lelaki yang lebih tinggi dariku itu mundur dan mengangkat tangannya setinggi perut. Seolah mengisyaratkan agar aku tetap tenang dan diam."Nis? Lo nggak ngenalin gue? Lo nggak kangen sama gue?"Aku hanya menggeleng dan tak berani menatap wajahnya lagi. Perlahan mundur dan berbalik ke arah Pondok lagi sedikit berlari. Aku merasa lega dia bergeming di tempatnya dan tak mengejarku.Untuk
"Nisa! Alhamdulillah ... ternyata lo selamat dan masih hidup!" Seorang perempuan memelukku sambil menangis saat pintu terbuka.'Siapa lagi dia? Aku tak ingat!'"Kamu siapa? Maaf, aku nggak ingat sama sekali," ucapku melepaskan pelukannya.Aku memindai sosok di ambang pintu dari atas hingga bawah. Perempuan cantik berhijab tipis dan ujungnya diikat ke belakang tengkuk. Menampilkan lekuk dadanya yang tertutup kaos. Memakai celana yang menempel lekat di dua kaki jenjangnya. Tas selempang yang memperjelas belahan miliknya tak tertutup hijab.'Astagfirullah! Inikah yang dikatakan golongan Al-mutabarrijat itu? Berpakaian tapi te lan jang?'"Oh Em Ji!! Lo amnesia, Nis? Jadi lo nggak inget siapa gue?" pekiknya terkejut menutup mulut yang menganga lebar, dengan mata melotot menahan dua bahuku.Aku hanya meresponnya dengan gelengan. Ayah mempersilakan dia masuk dan duduk di kursi tamu. Dia bercerita tentang te
Aku meletakkan buku harian di atas meja dan mendongak berdiri di bawah rak yang menggantung. Kuambil salah satu judul tentang fiqih perempuan. Dari sela-sela barisan depan ternyata ada beberapa baris di belakangnya. Aku menutupi buku berjudul ....Nafasku tercekat melihat cover yang baru saja kutarik dari balik tafsir Alhadits. Sebuah novel dengan model wanita dan pria dewasa sedang, ah ... rasanya aku tak berani menatapnya. Novel berbahasa Inggris, kubuka sampulnya dan tertulis dari seseorang bernama Nathan, sahabat Aldo Sanjaya.Kuturunkan semua buku tentang ilmu agama dari rak, lalu mengeluarkan semua novel, buku, majalah bahkan kaset video compact disk dari baris belakang. Semuanya kuserakkan di lantai kamar. Lalu menata kembali jendela dunia bermanfaat ilmu bekal di akhirat kembali ke tempat semula.Menatap berbagai macam alat yang merusak diriku selama bertahun- tahun lalu, berhamburan di lantai. Aku hanya bisa menggeleng. Kucoba berjo
Annisa Khairani mengusap wajah basahnya dengan kasar. Mulai berdiri dari duduknya bersandar pintu apartemen. Hampir 15 menit dia membanjiri pipi dengan deras air mata. Merenungi sekaligus mengingat akan dosa yang pernah dilakukan di dalam kondominium hasil dari menjadi endorse media sosialnya dulu.Langkah kakinya tertatih lemah menuju pintu kamar. Memasukinya dengan perasaan yang campur aduk. Membayangkan kembali kehidupan pernikahan yang pernah dirancangnya bersama Aldino atau Kak Al-nya kala itu. Kemudian bergantian siluet dingin dan kakunya suami dadakan yang halal bergelar ustadz.Bagai dua sisi mata uang yang tak bisa disamakan meski berada dalam kepingan yang sama."Sayang ... jika memang takdir kita tak bersama. Maka jangan pernah bandingkan jodohmu kelak dengan aku. Karena jika aku di posisinya, aku juga nggak akan pernah mau dibandingkan. Tapi aku yakin kamulah jodohku sampai nanti aku siap menghalalkanmu." Kalimat panjang Aldo berdengung di kepala perempuan yang sekarang me
Sementara di dalam sebuah kamar seorang pria menggeliatkan tubuhnya saat seruan ayat suci yang diperdengarkan sebelum adzan dikumandangkan membuatnya terjingkat kaget."Astaghfirullah! Sudah hampir Dhuhur? Nisa? Ke mana istriku? Kenapa tak membangunkanku?" gumamnya mengedarkan pandang ke sekeliling yang sepi.Fahdillah baru menyadari apa yang telah terjadi beberapa saat sebelumnya. Pengalaman pertama mengarungi kautan ternikmat di dunia bersama kehalalan. Membuatnya tersenyum tipis lalu turun dengan membawa serta selimut sebagai penutup. Menuju kamar mandi dengan masih mengembangkan senyum. Masih terbayang bagaimana ia akhirnya bisa menyentuh sang istri dengan begitu memuja.Usai menyelesaikan mandi besarnya yang sesuai tuntunan yang telah fasih baginya. Ustadz lulusan salah satu Universitas di Kairo itu keluar dengan handuk terkalung di lehernya."Ninis? Saya langsung ke masjid, ya? Cepat ba–" Matanya membelalak nyaris keluar saat membuka selimut di samping tempat dia terlelap tadi.
Setelah pergulatan manis selama kurang lebih 1 jam. Fahdillah mulai terdengar dengkuran halusnya. Berbaring di sisi sang istri yang juga telah memejamkan mata dengan berbalut selimut yang sama.Annisa sedikit membuka mata dan bergeser perlahan. Menengok ke samping dan mencoba mengguncang bahu polos suaminya. Tak ada respon, artinya pria yang sudah menghalalkannya setahun lalu itu benar-benar terlelap. Dia beringsut turun dari ranjang dengan menutup aurat menuju kamar mandi."Maaf Kak ...." Tangisnya pecah berjongkok di balik pintu. Dia menyalakan kran air sengaja meredam tangisnya yang kembali tersedu-sedu. Sesegera mungkin dia tuntaskan sekarang juga. Agar di kemudian hari tak lagi ada tangis dalam hidupnya. Annisa hanya ingin bahagia dan mengisi hatinya dengan tenang dalam pertaubatan hingga tua. Setelah puas melampiaskan sesak di dada. Dia mandi besar dan keluar sudah dengan berpakaian lengkap. Tinggal memakai hijab setelah mengeringkan rambutnya.Dengan sangat hati-hati dia kelua
Fahdillah menyadarinya dan mendengar gumaman dari seorang yang sangat dikenal. Sekelebat bayangan berlari menjauh dari teras rumahnya."Jelaskan semuanya pada Ustadzah Lia, sekarang atau tidak sama sekali!" Annisa kembali mendorong suaminya menjauh."Saya tidak akan melangkahkan kaki keluar rumah sebelum semua masalah kita selesai, Nisa. Kita bersihkan kesalahpahaman ini sekarang juga," tegas Fahdilah menahan dua bahu istrinya.Annisa tetap menggeleng kuat dan menunduk. Tak sekali pun berani menatap wajah suaminya secara langsung. Apalagi bertemu tatap dengan dua netra Fahdillah yang selalu saja mampu membuat hatinya goyah."Lihat saya, Nisa!" sentak Fahdillah sedikit keras dengan mengguncang tubuh kecil sang istri.Seketika kaki tertutup gamis panjang itu merosot ke lantai. Memeluk lutut dan tersedu-sedu lagi. Semua beban berat yang selama ini dia sembunyikan seolah tak mampu lagi diatumpu sendirian. Satu tahun lamanya dalam diam nyatanya tak sanggup lagi dipendam.Pria itu meremas s
'Sebodoh inikah seorang lulusan Mesir tentang urusan rumah tangga? Apa yamg dipelajarinya selama di sana?' batin Nisa bergemuruh."Maafkan saya, Nisa." Berulang kali hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Fahdillah. Bahkan hampir setiap hari lelaki 30 tahun itu selalu mengucapkan hal yang sama pada istrinya.Bosan?Mungkin bukan itu yang dirasakan oleh Annisa. Lebih kepada tidak mengerti apa yang menjadi masalah dalam benak suaminya itu. Sudah satu tahun tapi sikap datar dan dingin itu sama sekali tak berubah. Justru semakin parah dengan sekarang pekerjaan ustadz itu tak hanya mengelola koperasi dan managemen pondok. Melainkan merintis usaha pondok yang baru yakni mendirikan jasa travel haji dan umroh."Entahlah Kak ...." Kalimatnya terjeda, "Nisa harus bagaimana lagi untuk menahan semua ini? Nisa pikir, hubungan kita semakin hambar dan hampa. Benar-benar hanya status saja yang berubah. Kak Fahd terasa asing bagi Nisa mungkin begitu juga sebaliknya." Embusan napas berat keluar dari bib
"Maafkan kami, Pak, Bu. Saudari Annisa dan juga Saudara Fahdillah harus kami tahan di sini sementara waktu.""Apa?" Seru semua orang di ruang tunggu kompak berdiri bersamaan."Akan kami jelaskan setelah semua prosedur terpenuhi. Giliran Saudara Fahdillah dan juga Anda berdua. Atas nama Saudara Agung Sanjaya dan Saudari Nastiti. Mari yang saya sebutkan ikut ke ruang pemeriksaan!" terang polisi berpangkat 3 bintang menunjukkan jalan ke sebuah ruangan.Annisa memeluk ibu kandungnya saat Fahdillah memberi isyarat untuk masuk bersama. Perempuan yanh seluruh wajahnya tertutup niqob itu menggeleng kuat masih terisak."Semua akan baik-baik saja, Nisa ...," ucap Fahdillah menenangkan sambil melepaskan Annisa dari ibunya."Bunda juga akan di sini, Sayang. Nggak akan ke mana-mana. Masuklah!" Sambil mengusap kepala sang putri, Nastiti mencoba memberi kekuatan.Keterangan Aldo a.k.a Aldino atau nama kecilnya Rizal Khoiruddin, polisi banyak mendapatkan keterangan. Bahkan bukti kejadian masa lalu ka
"Ustadz, ada tamu dari Kepolisian menunggu di kantor." Seorqng santri yang bertugas menjadi penerima tamu menyampaikan kabar pada Ustadz Fahdillah di kediamannya pagi ini usai sarapan."Kepolisian?" ulang pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan sorbannya itu penuh tanda tanya."Kalau begitu saya permisi, Ustadz. Assalamualaikum!" pamit santri itu meninggalkan rumah Fahdillah."Kak Fahd! Kak Aldo ditangkap polisi! Pak Johan kirim pesan sejak semalam dan panggilan terabaikan baru Nisa buka!" Dengan tergopoh-gopoh panik, Annisa mencegah suaminya melangkahkan kaki dari pintu.Fahdillah menoleh dengan mengernyitkan dahi."Aldo?"Nisa mengangguk cemas dengan wajah yang sudah sangat sendu."Biar saya saja yang menghubungi kembali Pak Johan. Di kantor ada tamu dari kepolisian. Saya pikir itu yang mereka akan kabarkan. Apa kamu akan ikut?" tawar Fahdillah menyongsong tubuh istrinya yang berguncang. Menangis dalam dekapannya, lalu dibawa masuk lagi ke dalam rumah."Apa yang terjad
"Nathan!" Berulang kali Aldo menekan bel kamar apartemen sahabatnya, tapi tak kunjung direspon. Hingga dia menggedor pintu dan berteriak kencang.Meski dia sadar jika itu tak akan ada gunanya. Tapi kesebarannya telah menguap begitu saja setelah semua bayangan mengerikan pasangan lawan jenis di dalam tempat tinggal dengan privasi itu."Shit! Buka pintunya, NATHANAEL!" teriaknya lantang sambil menggedor dan menendang pintu di depannya."Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Seorqng sekuriti menghampiri Aldo yang hendak memukulkan tangannya lagi. Sudah terangkat penuh kekuatan namun menggantung mendengar teguran dari arah belakangnya."Istri saya ada bersama sahabat saya di dalam kamar ini, Pak! Tolong beri saya akses keamana untuk bisa memergoki keduanya, Pak!""Maaf, ini privasi customer. Saya tidak bisa memberikam akses apa pun kecuali bisa membuktikan kepemilikan atas unit kamar ini, Pak," balas pria berseragam serba hitam dan memiliki nama d
Sejak dua hari lalu, Fahdillah dan Nisa mulai tinggal di rumah khusus pengurus pondok. Tak banyak yang berubah dari sikap pria berhidung mancung dengan rahang tegas ditumbuhi bulu cambang rapi itu pada sang istri.Seperti biasa kegiatan sehari-harinya hanya seputar mengajar dan memantau kinerja koperasi pondok. Tak banyak berada di rumah meski masih dalam satu komplek pondok. Akan benar-benar di rumah saat makan siang dan malam hari setelah jadwal tugasnya selesai. Saat itu pun tak akan banyak berinteraksi dengan Nisa, sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya."Kak, bisa bantu menyimak hafalan Nisa hari ini? Sedikit susah di ayat yang serupa. Caranya bedakan gimana?"Fahdillah sudah bersiap dengan baju tidur, kaos nyaman dipadu celana pendek longgar. Mulai bersandar di kepala ranjang dan muroja'ah hafalannya sendiri.Annisa membuatnya menoleh dan mengurungkan membaca ta'awudz. Perempuan itu meringis kaku menunjuk mushaf terbuka di hadapan suaminya.