Suara adzan terdengar dari benda pipih yang ada diatas meja samping ranjang. Membangunkan Meizura dari alam mimpi. Perlahan wanita berkulit putih itu membuka matanya, digapainya benda pipih itu segera dimatikannya alarm yang sengaja dipasang supaya tidak terlambat untuk melaksanakan kewajibannya. Masih dengan mata sedikit tertutup ia beranjak bangun hendak turun dari ranjang namun gerakannya seketika berhenti mana kala retina matanya menangkap sesosok tubuh yang sangat dikenalnya sedang berdiri membelakangi dirinya. 'Mas Fagan? Sedang apa dia?' batinnya dengan mata yang menyipit. "Allahuakbar..." Suara berat itu terdengar sangat khusu'. Suaranya melantun dengan sangat pas dengan gerakan sholatnya sampai membuat Meizura terkagum. Mata wanita berambut panjang itu seolah tersihir dengan pandangan di depannya. Hatinya berbisik penuh tanya, sejak kapan suaminya itu jadi rajin sholat? Bacaan dalam sholatnya pun terdengar sangat fasih dan khusu'.Entah kejadian apa yang sudah merubah pri
"Aku juga belum sarapan," ujar Fagan dengan raut memelas, menatap Meizura yang sedang fokus memakan sarapannya. Meizura mengerutkan dahinya. 'Kenapa masih disini kalau belum sarapan? Aku tidak memintanya untuk menunggui aku makan.' omel Meizura dalam hati. "Tidak bisakah aku mendapatkan satu suapan saja? Rasanya perutku bertambah lapar karena melihatmu makan." Sebenarnya tadi Fagan ingin menyuapi Meizura namun wanita itu menolak. Tak ingin memaksa akhirnya Fagan pun menurut dan menyerahkan sendok dan piring yang berisi nasi lengkap dengan lauk buatan Sarah. "Pasti enak udang asam manis buatan Bunda itu?" Wajah Fagan dibuat-buat seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu. "Ck...." tanpa sadar Meizura berdecak kesal. Matanya melirik tak suka. Segera diserahkannya piring yang dipegangnya pada Fagan. Sebuah senyum muncul di bibir tipis Fagan, akhirnya istrinya itu memberi respon sikapnya. Meski hanya decakan kesal namun itu sangat berarti bagi Fagan. Setidaknya usahanya sedikit me
Apa?" sahut Fagan cepat. "Yang pertama jangan membiarkan sendirian. Jangan biarkan keheningan membuatnya nyaman. Kedua terapi mandiri, buat di merasa sedih, marah dan bahagia bergantian setiap harinya." Fagan mengerutkan dahinya, "Bagaimana kalau dia mengamuk? Membanting barang atau melukai dirinya sendiri, misalnya?" "Kalau menurut penjelasan Dokter Rehan pelampiasan dengan menangis atau berteriak itu bisa membuat pasien lebih lega. Tak jarang pasien dengan gangguan mental dihipnotis supaya bisa melampiaskan apa yang ada dihatinya. Banyak dari mereka menangis sambil berteriak meluapkan emosinya dan setelah sadar mereka lebih tenang." "Oh," Sarah dan Zahra kompak menganggukkan kepalanya. "Saya sudah berkonsultasi dengan dokter Rehan. Satu-satunya cara untuk Zura adalah dengan terapi mandiri. Sehari buat Zura senang, mungkin dengan mengajaknya melakukan hal yang dulu sangat disukainya. Lalu besoknya buat dia merasa terharu, sedih atau marah begitu seterusnya untuk menghidupkan lagi
Pov Fagan. Hampir 20 menit aku memeluknya, membiarkannya meluapkan segala rasa yang mungkin selama ini menyesakkan dada istriku. Tangisnya sedikit mereda, dan tubuhnya terasa sedikit berat menyandar padaku. Mungkin dia tertidur? Seperti kebanyakan wanita akan tertidur setelah menangis lama. Kuputuskan untuk mengangkat tubuh ramping ini dan membaringkannya di atas ranjang. Ku lihat matanya terpejam namun tangannya masih erat memegang kaos yang kupakai. Tanpa sadar senyum tipis terukir di bibirku, "Mas, gak akan kemana-mana." Aku pun ikut serta berbaring sambil mendekapnya. Ah.... rasanya begitu nyaman dan lega. Sudah lama sekali aku tidak bisa mendekap tubuh yang selalu membuatku candu dengan aroma lilinya. Serasa beban berat yang selama ini menindih jantungku terangkat. "I love you.." bisikku pelan lalu mengecup lama pucuk kepalanya. "Maafin Mas ya sayang.... Mas Janji akan memperbaikinya semuanya." lanjutku tak kalah lirih. Kuelus pelan rambut panjangnya yang tadi pagi membuatku
Keputusan Furqon cukup membuat Firdaus dan Kinanti kecewa. Ternyata meski sudah dua tahun berlalu nyatanya tak membuat ayah kandung Meizura itu sedikit luluh. Hati pria itu tetap mengeras bak karang di lautan. Firdaus menghela nafas, meski bisa memahami perasaan sang sahabat namun rada kecewa itu tetap ada. Persahabatan yang sudah terbina sejak menempuh bangku kuliah sampai mereka menuju usia senja ternyata tak berarti apa-apa dihadapan kemarahan seorang ayah. Memang patut Furqon marah tapi tidak bisakah sedikit saja memandang persahabatan mereka selama ini. Padahal suami Kinanti itu sudah mentolerir tindakan Furqon yang sempat memenjarakan putra sulung dan mempermalukan nama besar keluarganya. "Baiklah, aku terima keputusanmu," ucapnya berusaha memahami keputusan dang sahabat.Bagaimanapun sebagai seorang ayah Firdaus pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti Furqon. Dirinya pun tak akan memaafkan jika ada orang-orang yang menyakiti anak-anaknya. "Tidak bisakah....." Kinanti
Pov Meizura. "Hah?" reflek aku ternganga dengan mata melebar tak percaya.Sebaliknya, dengan wajah sok polos Mas Fagan mengukir senyum manis setelah benda pipih itu beralih tempat di atas nakas. Seolah tak melihat ekspresi protes yang aku tampakkan. "Biar Mas, berkemas. Kamu istirahat saja. Tahu beres," ujarnya pongah. 'Nggak! Aku gak mau.' Aku menolak dengan tegas namun hanya dalam hati. Huhh..... Ya, aku masih sangat enggan untuk membuka mulutku meski hanya untuk berkata satu kata, 'Tidak.'Dan akhirnya aku hanya diam dan menghela kasar untuk menunjukkan ketidaksetujuanku. "Kenapa?" tanyanya mungkin dia mendengar helaan nafasku. "Kamu gak suka ke Bali? Mau ke luar negeri, Paris, Roma atau italia?" Astaga..... Kuputar bola mataku jengah. Tanpa banyak bicara aku beranjak bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Semakin lama aku mungkin akan semakin kesal dengan sikap pria menyebalkan ini. ****Sejak pagi Mas Fagan sudah sibuk sendiri, mulai dari menyiapkan pakaian dan semua kebu
Pov Fagan"Siapa yang kamu cintai sebenarnya Mas?" Sontak aku menoleh, wanita cantik yang duduk di sebelahku menatapku dengan pandangan yang sulit aku mengerti. Saat ini kami sudah duduk di dalam pesawat. Aku sengaja membeli tiket beberapa kursi VIP yang ada di depan, belakang dan samping kami agar membuatnya sedikit nyaman meski tidak sepenuhnya kosong. "A-apa kamu mengatakan sesuatu?" tanyaku setengah tak percaya dengan pendengaranku sendiri.Bukannya menjawab, Zura malah membuang muka. Tatapannya keluar jendela pesawat. Kurasa awan putih lebih disukainya ketimbang menjawab pertanyaanku.Kutatik nafas, mengingat kembali kalimat yang baru beberapa detik lalu singgah di gendang telingaku. "Yang aku cintai adalah Zenia Meizura Humaira, anak kedua dari keluarga Arrasyid," kataku mencoba menjawab pertanyaan yang tadi sempat terlontar dari bibir tipis istriku ini. "Meizura yang mana?" Tak kusangka dia pun bereaksi atas jawabanku. Tatapan matanya sedikit membuatku takut dan ragu untu
Pov Meizura. Selama liburan aku sangat dimanjakan oleh Mas Fagan. Pria itu benar-benar sabar menghadapi sikapku yang terkadang masih dingin dan ketus padanya. Tak sekalipun dia marah atau menampilkan ekspresi kesal setiap kali aku menolak ajakannya atau tak mau merespon pertanyaannya. Dia akan langsung menjawab sendiri setiap kali aku tak menjawab pertanyaannya. Dia akan bersikap. seolah-olah memberi pilihan. Dengan senyum manis Mas Fagan akan berkata, "Kamu mau yang lain? Mau ini? Ini apa yang itu? Maaf ya Mas Lupa apa yang kamu suka," ucapnya dengan sabar dan suara lembut. Lama kelamaan aku pun sesekali menjawab pertanyaannya. Ingat ya! Hanya sesekali saja tidka semua pertanyaannya aku jawab.eski begitu wajahnya Mas Fagan langsung nampak sumringah ketika aku membuka mulutku meski hanya untuk berkata 'Tidak. "Sayang.... Kok melamun di sini?" Suara Mas Fagan dari dalam kamar. Pria itu berjalan mendatangiku yang duduk di pinggir kolam renang yang ada di halaman samping kamar.Hote
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka