Pov Meizura. "Hah?" reflek aku ternganga dengan mata melebar tak percaya.Sebaliknya, dengan wajah sok polos Mas Fagan mengukir senyum manis setelah benda pipih itu beralih tempat di atas nakas. Seolah tak melihat ekspresi protes yang aku tampakkan. "Biar Mas, berkemas. Kamu istirahat saja. Tahu beres," ujarnya pongah. 'Nggak! Aku gak mau.' Aku menolak dengan tegas namun hanya dalam hati. Huhh..... Ya, aku masih sangat enggan untuk membuka mulutku meski hanya untuk berkata satu kata, 'Tidak.'Dan akhirnya aku hanya diam dan menghela kasar untuk menunjukkan ketidaksetujuanku. "Kenapa?" tanyanya mungkin dia mendengar helaan nafasku. "Kamu gak suka ke Bali? Mau ke luar negeri, Paris, Roma atau italia?" Astaga..... Kuputar bola mataku jengah. Tanpa banyak bicara aku beranjak bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Semakin lama aku mungkin akan semakin kesal dengan sikap pria menyebalkan ini. ****Sejak pagi Mas Fagan sudah sibuk sendiri, mulai dari menyiapkan pakaian dan semua kebu
Pov Fagan"Siapa yang kamu cintai sebenarnya Mas?" Sontak aku menoleh, wanita cantik yang duduk di sebelahku menatapku dengan pandangan yang sulit aku mengerti. Saat ini kami sudah duduk di dalam pesawat. Aku sengaja membeli tiket beberapa kursi VIP yang ada di depan, belakang dan samping kami agar membuatnya sedikit nyaman meski tidak sepenuhnya kosong. "A-apa kamu mengatakan sesuatu?" tanyaku setengah tak percaya dengan pendengaranku sendiri.Bukannya menjawab, Zura malah membuang muka. Tatapannya keluar jendela pesawat. Kurasa awan putih lebih disukainya ketimbang menjawab pertanyaanku.Kutatik nafas, mengingat kembali kalimat yang baru beberapa detik lalu singgah di gendang telingaku. "Yang aku cintai adalah Zenia Meizura Humaira, anak kedua dari keluarga Arrasyid," kataku mencoba menjawab pertanyaan yang tadi sempat terlontar dari bibir tipis istriku ini. "Meizura yang mana?" Tak kusangka dia pun bereaksi atas jawabanku. Tatapan matanya sedikit membuatku takut dan ragu untu
Pov Meizura. Selama liburan aku sangat dimanjakan oleh Mas Fagan. Pria itu benar-benar sabar menghadapi sikapku yang terkadang masih dingin dan ketus padanya. Tak sekalipun dia marah atau menampilkan ekspresi kesal setiap kali aku menolak ajakannya atau tak mau merespon pertanyaannya. Dia akan langsung menjawab sendiri setiap kali aku tak menjawab pertanyaannya. Dia akan bersikap. seolah-olah memberi pilihan. Dengan senyum manis Mas Fagan akan berkata, "Kamu mau yang lain? Mau ini? Ini apa yang itu? Maaf ya Mas Lupa apa yang kamu suka," ucapnya dengan sabar dan suara lembut. Lama kelamaan aku pun sesekali menjawab pertanyaannya. Ingat ya! Hanya sesekali saja tidka semua pertanyaannya aku jawab.eski begitu wajahnya Mas Fagan langsung nampak sumringah ketika aku membuka mulutku meski hanya untuk berkata 'Tidak. "Sayang.... Kok melamun di sini?" Suara Mas Fagan dari dalam kamar. Pria itu berjalan mendatangiku yang duduk di pinggir kolam renang yang ada di halaman samping kamar.Hote
Pov Meizura.Nikah lagi? Dahi berkerut dengan mata yang menyipit. Apa pria ini hendak.... "Maksudnya kita memperbarui Akad nikah kita sayang.... Bukannya Mas mau nikah lagi," jelasnya tanpa kuminta. Mas Fagan tersenyum lebar, lalu menjawil hidungku gemas. "Gak ada wanita yang bisa menggantikan posisi kamu di hati Mas, Zura." Blus..... Mendadak wajahku terasa panas, segera aku menunduk agar Mas Fagan tak melihat wajahku yang pasti sekarang sudah memerah. Astaga, apa ini? Seperti ada yang menarik ujung bibirku, membuatku ingin tersenyum. "Jangan ditahan kalau mau senyum! Kamu makin cantik kalau tersenyum," ujarnya dengan tangan terulur menarik daguku dan membuatku mendongak. Cup..... Mas Fagan mencium bibirku. Degh..... Aku tertegun, otakku seperti dipause beberapa saat. Aku hanya bisa menatap wajah tampan yang ada di depanku ini sedang tersenyum manis lalu kembali mendekat. Cup... Astaga... Mas Fagan mencium kembali bibirku di depan umum. Aku segera memundurkan kepalaku begit
Pov Meizura. Sepanjang perjalanan Mas Fagan hanya diam saja, tak lagi banyak bicara seperti sebelumnya. Seharusnya aku senang bahkan lega karena aku tak perlu meresponnya lagi dan suasana pun jadi hening seperti yang selalu aku inginkan. Namun anehnya aku merasa ada yang hilang, entah itu apa? Dan ketika aku teringat raut kecewa yang tersirat di wajah Mas Fagan hatiku terasa nyeri. Meski Mas Fagan tak mengatakan apapun namun dari tatapannya aku tahu pria itu kecewa dan sepertinya kesal karena aku menghubungi suster Erina. Tanpa sadar kuhela nafas panjang, entah mengapa keheningan ini yang biasanya membuatku nyaman kini membuat sedikit merasa menyesal. Tak terasa sepeda sudah memasuki gerbang hotel. Dua orang satpam yang berjaga menganggukkan kepalanya sopan. Setelahnya salah satu dari dua orang itu segera mendekat dan mengambil alih sepeda dari tangan Mas Fagan begitu kami turun. Dari lobi nampak dua orang suruhan Papa menyambut kedatangan kami. "Siang Pak Fagan," sapanya sopan.
"Zura....." panggil Fagan dari luar pintu. "Biarkan saja dulu, pergilah! Aku akan mengurusnya," Suster Erina menarik Fagan menjauh dari kamar Zura. "Aku tidak akan pergi. Sepertinya dia salah faham, aku harus...." "Percuma. Apapun yang akan kamu katakan tidak akan masuk kedalam otaknya. Dia sedang lelah." Suster Erina berusaha menjelaskan kondisi Meizura. Tidak akan ada gunanya untuk saat ini berbicara dengan wanita itu. Fagan menghela nafas, meski terpaksa namun pria itu tetap menuruti perintah suster Erina. Bagaimanapun Suster Erina lebih tahu bagaimana cara menghadapi kejiwaan istrinya yang masih belum stabil. "Dengarkan aku! Kondisi Zura sudah jauh baik, tinggal sedikit lagi dia bisa berbaur dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi ingat... sebaik apapun kondisi mentalnya nanti Zura harus tetap menjalani terapi meski hanya sebulan atau dua bulan sekali." Mendengar penjelasan wanita berpakaian perawat itu membuat hati Fagan sedikit tenang. Setidaknya ada sedikit hasil dari usa
Bertahap hubungan Meizura dan Fagan mulai membaik. Sikap Fagan yang sabar dan terus mengalah membuat wanita berkulit putih dan memiliki wajah imut itu merasa nyaman. Perlahan Meizura sudah mulai berbicara meski tak secerewet dulu, namun bagi Fagan itu sudah lebih dari cukup. Pria bertubuh tinggi itu sudah bertekad untuk meluluhkan kembali hati wanita yang sangat dicintainya itu. Pelan-pelan dia akan membuat wanita yang pernah dirinya kecewakan itu kembali mencintainya. Sudah hampir satu bulan ini Fagan tidak pernah keluar rumah. Waktunya benar-benar ia fokuskan untuk menemani Meizura dan memulihkan kesehatan mental istrinya itu. Bahkan untuk masalah pekerjaan pun kini bukan lagi prioritasnya. Selama masih bisa dikerjakan di rumah maka akan dia kerjakan setelah Meizura tidur. Dan jika ada yang perlu ditandatangani, maka Derry akan datang ke rumah mengantarkan dokumennya. Setiap hari kegiatan Fagan hanya menemani Meizura. Dimulai dari pagi dan berakhir saat istrinya itu tidur. Setia
Pov Meizura. Sepanjang perjalanan pulang suasana menjadi hening. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir tipis pria di sampingku itu. Mungkin dia sedang kesal, terlihat dari wajahnya yang sedikit memerah juga rahangnya yang mengeras. Beberapa kali ku dengar helaan nafas kasarnya, ingin bertanya tapi takut malah membuatnya kesal. Aku sendiri masih bingung apa yang membuatnya jadi seperti itu. Saat keluar dari ruangan dokter pria ini masih baik-baik saja, tak ada raut kesal atau marah. Tapi entah kenapa setelah saat di parkiran raut wajahnya berubah. Apa mungkin karena bertemu Kak Ganendra? Ah.... mana mungkin, dia tidak mengenal seniorku itu. Pikiran yang melayang kemana-mana membuatku tak sadar jika mobil yang kami tumpangi sudah berhenti di depan rumah. Merasa tak nyaman aku pun menoleh ke arah sebelahku. Nampak Mas Fagan menatapku dengan tangan kanan di tumpukan diatas stir mobil. Tatapan matanya menyimpan kilatan amarah yang masih bisa aku tangkap. "Apa yang sedang kamu
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka