Pagi ini Meizura sedang menemani Azqiara mengerjakan tugas sekolahnya di kamar gadis kecil itu. Sesekali Azqiara bertanya karena merasakan bingung soal yang sedang di kerjaannya. "Sini, coba Kak Zenia lihat. Emmm.... Oh kayaknya seperti ini deh.." Meizura menuliskan angka-angka, mengali dan membagi sesuai dengan rumus yang entah didapatnya dari mana. "Wah.... persis yang di ajari Guru adek lo Kak. Kak Zenia memang pintar, sayang lupa ingatan." Azqiara berkomentar. Tanpa sengaja kemntar itu didengar oleh Safha yang tak sedang melewati depan kamar Azqiara setelah merapikan kamar Meizura dan Zahra. Ya wanita yang menjadi istri kedua Furqon itu memang ingin dirinya sendiri yang mengurusi semua kebutuhan ketiga putrinya itu. Dengan langkah lebar Sarah memasuki kamar, "Azqiara," tegurnya dengan mata melotot. "Bunda bilang apa?" Azqiara yang sadar telah mengucapkan kalimat larangan yang sudah berulangkali ibunya itu katakan langsung menutup mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangann
Sudah dua hari ini Anggada rutin mengunjungi kediaman Arrasyid untuk bertemu dengan sang pujaan hati, wanita yang telah melukuhkan hatinya. Zenia atau yang dulu di panggil Meizura itu pun tak menutup diri dengan kedatangan pria yang dulu pernah dikiranya sosok laki-laki dari masa lalunya. Sore ini Anggada datang ketika Meziura berjalan-jalan santai dengan Azqiara. "Kami hendak ke taman depan, mau cari mie ayam gerobakan," jawab Zenia saat Angada bertanya arah tujuan yang hendak dituju wanita cantik itu. "Boleh ikut? Aku juga belum makan sejak tadi siangsiang," pinta Angada.Laki-laki yang masih memakai kemeja kerja itu mencari alasan untuk bisa menghabiskan waktu dengan wanita yang sudah mencuri ketenangannya. "Boleh," Azqiara menyahut. "Ayuk berangkat sekarang, sudah laper banget nih Kak," ujar gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu. Azqiara tipe anak yang ramah. Meski baru mengenal sosok Anggada namun gadis yang wajahnya mirip Sarah itu langsung bisa akrab dengan Ang
Pagi ini dengan penuh semangat Fagan berangkat menuju rumah kediaman keluarga Arrasyid. Hari ini hati minggu, kantornya libur dan lagi semua pekerjaan yang harus diselesaikannya sebelum pembukaan usaha barunya sudah selesai. Sekitar pukul tujuh pagi pria dengan balutan busana casual itu sampai di pelataran rumah mertuanya. Dengan langkah lebar Fagan berjalan menuju teras setelah sebelumnya menyapa security yang bertugas sesaat setelah turun dari mobil mewahnya. "Assalamu'alaikum," sapa Fagan sambil mengetuk pintu ruang tamu rumah besar itu. "Wa'alaikum salam." Tak lama sebuah jawaban terdengar bersamaan dengan pintu terbuka dari dalam. "Fagan?" Dahi Zahra berkerut melihat kehadiran pria yang masih berstatus adik iparnya itu. "Pagi Zah," sapa Fagan ramah. "Sedang apa kamu pagi-pagi datang kesini? Nganter sarapan buat Zenia?" tanya Zahra sambil menelisik pria dihadapannya. Fagan spontan mengangkat tangannya, menunjukkan jika kedatangannya bukan untuk membawakan sarapan untuk istrin
"Semua orang berpikir aku sengaja membuatmu keguguran karena ingin memaksa Ardiaz pergi..... Begitu juga dengan kamu,...kamu lebih percaya dengan ucapan wanita itu." Ucapan Fagan tadi siang terus membayang di pikiran Zenia. Setiap kali menutup mata selalu nampak raut kesedihan diwajah Fagan. Seolah bisa merasakan rasa perih di hati Fagan, dadanya begitu sesak tatkala teringat wajah terluka pria itu. "Astaga....." Gumam Zenia sembari mengelus dadanya. Ada rasa sesak menjalar di rongga-rongga dadanyanya, meski begitu tak sedikitpun ingatan tentang masa lalunya muncul. Bahkan mimpi-mimpi buruknya pun tak lagi pernah ia alami. "Jangan mencari tahu apa yang sudah Alloh tutup, karena itu hanya akan melukaimu. Ikhlas adalah jalan satu-satunya untuk mendapat ketenangan." Zenia bergumam, mensugesti dirinya sendiri dengan salah satu kalimat yang sering di ucapakan salah satu ustadz di sebuah chanel YouTube. Sewaktu masih di rawat suster Erina, hampir setiap hari Zenia diminta untuk menonton
"Ya Alloh, kamu kenapa Zenia?" Sarah sudah nampak pucat dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Wanita berkulit kuning langsat itu mengikuti Furqon yang sedang membopong tubuh Zenia masuk kedalam kamar mereka yang ada di lantai satu. "Dimana suster Erina? Panggil dia?" perintah Furqon setelah merebahkan tubuh putrinya itu diatas ranjang. "Papah ini gimana sih, suster Erina kan sudah Papa pecat." Karena panik Furqon sampai lupa jika orang yang selama ini mengawasi dan menjaga Zenia sudah dipecatnya. "Astaghfirullah...." Pria yang masih menggunakan kkemeja kerja itu meraup wajahnya kasar. "Telpon Dokter Darma saja, suruh datang kesini!"Bukannya menuruti perintah suaminya, Sarah melah mencari kontak telpon Fagan. [Fagan.... cepat datang kesini! Zenia pingsan,] ucapnya saat sambungan telpon terhubung. Furqon yang duduk di pinggir ranjang langsung melotot tajam kearah istri keduanya itu. "Aku menyuruhmu menghubungi dokter Damar," ujarnya dengan suara pelan tapi tegas. "Zenia
"Alhamdulillah....." ujar seorang wanita berseragam perawat, ditangkupkannya kedua tangan penuh syukur. "Tetima kasih Zenia......Akhirnya kamu membuka matamu." Sambungnya sambil mendekat ku ujung rajang lalu menekan tombol untuk memanggil dokter. "Sus...." ucap Zenia tanpa suara dengan lelehan bening merembes dari sudut matanya. "Iya, ini suster Erina. Maaf terlalu lama meninggalkan kamu." Wanita berkulit sawo matang itu membelai wajah Zenia yang sudah hampir satu bulan tidak di lihatnya. "Tunggu sampai dokter datang, nanti kita bicara lagi." Tambah suster Erina saat Zenia hendak kembali bicara. Setelah satu minggu akhirnya do'anya terkabul, Zenia sadar dari komanya. Erina baru kembali saat Fagan meminta menyusul ke rumah sakit karena Zenia tiba-tiba pingsan. Dan sesampainya di rumah sakit ia tak kalah terkejut saat Dokter memutuskan untuk mengambil tindakan operasi setelah melihat kondisi Zenia yang mengalami pendarahan otak.Tidak hanya Erina semua keluarga Zenia sangat terpukul
"Mendekatlah...." Kembali wanita yang sedang setengah terbaring itu mengulangi ucapannya. Namun kali ini tatapannya sedikit hangat dan tidak sedingin saat Sarah baru masuk. Perlahan tangannya terulur ke arah Sarah.Tak jauh dari ranjang suster Erina menganggukkan kepalanya memberi isyarat agar Sarah mendekat.Masih dengan ragu-ragu istri Furqon itu pun berjalan mendekat dan menggapai uluran tangan anak tirinya itu. "Tolong maafkan semua kesalahan Eyang, aku mewakili Eyang meminta keikhlasan Bunda untuk memberinya pengampunan atas segala kesalahan dan dosa yang telah beliau perbuat terhadap Bunda dan Azqiara." Dengan mata berkaca-kaca Sarah hanya mampu terdiam. Ia tak pernah menyangka jika Zura yang dulu sangat membencinya bisa mengucapkan kata maaf dengan setulus ini. "Aku juga minta maaf sudah membenci Bunda dan menyakiti perasaan...." "Nggak sayang... Bunda gak pernah marah atau benci sama kamu. Jadi kamu tidak perlu minta maaf.' Sarah mendekat dan menggenggam erat kedua tangan Z
Sudah hampir satu bulan Meizura tinggal di rumah almarhumah Eyangnya yang ada di pinggiran kota. Setiap pagi wanita berambut panjang itu menghabiskan hari-harinya dengan duduk di ayunan yang ada di bawah pohon mangga depan rumah bercat putih itu. Tak banyak yang dilakukannya, hanya menatap deretan tanaman hias yang di tata rapi berjajar dengan pagar putih yang mengelilingi halaman rumah. Sesekali ia menghela nafas ketika ingatannya mulai menerawang dimana ia dan Eyangnya menanam tanaman-tanaman yang sedang dipandanginya. "Ini bunga apa sih Eyang, kok gak ada bunganya?" tanya Meizura saat dua wanita bera generasi itu berkutat dengan tanaman-tanaman hias di suatu pagi. "Ini nama tanaman gelombang cinta," jawab Eyang Farida masih dengan berkutat pada tanaman yang sedang diberinya pupuk. "Mana cintanya? Gak ada bentuk love love nya?" gumam Meizura dengan dahi yang berkerut. Tangannya menyusuri lekukan daun tanaman yang jadi objek pembicaraan mereka itu. Eyang Farida pun tersenyum, "T
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka