Menyadari raut wajah Meizura menegang segera Fagan melembutkan suaranya, "Maaf.... Maaf sudah membuatmu kaget." Fagan mendekat, tangannya terulur ke depan Meizura. "Aku salah... aku berdosa, kamu boleh menghukumku apapun tapi aku mohon jangan tinggalkan aku....." mohon Fagan dengan suara Fagan bergetar, matanya merah dengan genangan air yang sebentar lagi akan tumpah. Pria gagah itupun meluruh ke tanah, masih dengan mengulurkan tangan yang tak kunjung disambut oleh Meizura. Pria itu kembali meminta pengampunan, kali ini dengan berurai air mata. "Aku manusia kejam, aku manusia lebih buruk dari iblis yang tak patut untuk diampuni..... Aku tak memintamu memaafkan aku tapi hukum aku sesukamu. Kamu boleh mencaci-maki aku setiap hari, memukulku setiap detik, bahkan kamu boleh menyayat tubuhku untuk melampiaskan kebencianmu."Meizura memicingkan matanya, tatapannya dingin namun tak sedingin dulu. Ada kilatan kesedihan di tatapan dinginnya. "Sungguh aku rela Zura,,, akan aku lakukan apapun
Pov Fagan. Seperti apa yang di katakan suster Erina, pagi ini aku sudah di depan rumah almarhum Eyang Farida. Rencananya hari ini aku akan menjelaskan kejadian sebelum akhirnya Eyang Farida meninggal. Aku sangat menyesal kenapa tidak sekaligus menjelaskan hal itu pada Zenia. Meizura dan Zenia memang dua orang yang sama, akan tetapi Zenia memeiliki kelembutan hati yang tidak dimiliki dalam hidup Meizura. Ya, Zenia terbangun dalam keadaan dicintai oleh Papa dan semua keluarganya sedangkan Meizura tumbuh dalam dikte Eyang Farida dan sikap keras papanya. Tidak bisa disalahkan jika Meizura tumbuh menjadi wanita yang keras dan dingin karena hidupnya dipenuhi dengan hasutan dan kebencian yang ditanamkan oleh orang yang sangat disayanginya. Entah apa yang mendasari Eyang Farida sehingga menjadikan Meizura yang notabennya cucunya sendiri sebagai senjata untuk merusak kebahagiaan Papa Furqon dan Bunda Sarah. Jika dipikir-pikir Bunda Sarah bukan ibu tiri yang jahat, bahkan bisa dikatakan san
Falsback Fagan. "Awasi terus! Jangan sampai kalian kehilangan jejaknya. Terus awasi dari jauh dan laporkan setiap pergerakan dan perkembangannya." Printahku melalui sambungan telpon kepada salah satu detektif yang aku sewa. Pagi ini saat aku hendak berangkat kerja, ponselku berdering. Menampilkan nomor salah satu orang yang aku sewa untuk mencari keberadaan istriku yang sudah hampir 3 bulan pergi dari rumah. Aku sudah hampir gila sejak kepergiannya. Hampir setiap hari Eyang mertuaku menelpon dan menanyakan kenapa cucu kesayangannya belum juga bisa dihubungi? Kapan dia akan pulang dari liburannya? Kenapa liburannya bmsangat lama dan tidak bisa menerima telpon? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang Wanita 70 tahun itu tanyakan. Rasanya sudah seperti sedang diteror menghadapi nenek dari istriku itu. Tentu aku tidak bisa setta merta menyalahkannya, ini juga salahku karena sudah membuat istriku kabur dari rumah. Seandainya aku bisa bersikap lebih lembut dan mengalah seperti biasanya mu
"Bibi memintaku menyusul ke ruang sakit setelah satu jam supaya keluargamu tidka menaruh curiga padaku." tutup Fagan mengakhiri ceritanya. "Kamu menurutinya," sahut Meizura dengan ekspresi yang sulit untuk difahami oleh Fagan. Tatapannya tajam tapi suara dan raut wajahnya datar. "Maaf... aku sangat menyesal sudah lari dari tanggung jawab. Saat itu yang aku pikiran hanya cara untuk mempertahankan pernikahan kita. Aku takut jika sampai keluargamu salah faham maka mereka akan mendukungmu untuk meminta cerai." Panjang lebar Fagan menjelaskan. "Tapi kamu membiarkan semua orang menyalahkan aku atas kematian Eyang." Suara Meizura terdengar bergetar namun wajahnya masih terlihat tenang dan datar. "Maaf..." hanya kata itu yang mampu Fagan ucapkan sebagai bentuk penyesalannya atas semua yang terjadi. Sungguh jika bisa memutar waktu Fagan pasti akan memperbaiki semua sikapnya sehingga istrinya itu tak sampai kabur. Terdengar helaan nafas panjang dari wanita yang kini sudah duduk bersebelahan
Pov Meizura. Seperti biasa selesai sarapan aku memilih untuk menuju halaman depan. Menghabiskan waktu dengan menikmati indahnya tanaman-tanaman hias di taman depan. Tanaman-tanaman yang menjadi salah satu peninggalan hobi Eyang. Huhhh...... masih ada rasa sesak yang menjalar di dadaku setiap kali teringat dengan satu-satunya manusia yang begitu berarti untukku. Meski sudah mengetahui kebenaran tentang Bunda dan Papa tapi untuk menganggap mereka bagian dari hidupku rada masih begitu sulit. Itu kenapa aku memilih kembali tinggal di rumah ini. Angin sejuk menerpa wajahku begitu aku membuka pintu depan. Sedikit ada rasa lega begitu aku menghirup nikmat Tuhan yang kadang sering lupa kita syukuri ini. "Alhamdulillah..... Terima kasih masih di beri kesempatan menghirup udara segar hari ini," ucapku lirih. Dengan langkah pelan aku menuruni tangga menuju ayunan seperti biasanya. Ayunan ini adalah bukti cinta Eyang padaku dan Mama. Menurut Eyang, dulu saat hamil besar Mama meminta dibuatkan
Suara deru mobil di halaman rumah menarik perhatian Meizura yang sedang melipat mukena. Meski begitu tak ada niatan untuk sekedar siapa yang datang. Namun pergerakan tangannya Seketika terhenti ketika pintu kamar diketuk dan terbuka dari luar. "Mbak, ada Tuan Furqon dan Nyonya Sarah di ruang tengah. Mbak diminta turun untuk makan malam bersama," beritahu Wati, asisten rumah tangga yang baru satu bulan ini bekerja di rumahnya. Sejak kembali di rumah Eyangnya ini tidak hanya ada Bik Mirah, Papanya menambah satu asisten lagi yang yang umurnya sedikit lebih muda supaya bisa menjaga Meizura dengan baik. "Mbak Zura mau turun kan? Soalnya sudah di tunggu di meja makan," ulang perempuan berumur 38 tahun itu masih dengan berdiri ditengah pintuNampak Meizura menghela nafas, rasanya enggan namun jika ia tidak turun pasti Sarah akan naik dan membujuknya dengan berurai air mata. Dan itu sungguh sangat menyiksanya.Sudah dua kali wanita berwajah teduh itu datang, setiap kali datang pasti akan me
"Kamu mau kan maafin aku?" mohon Fagan memberanikan diri memegang tangan Meizura. Perlahan tangannya mengusap pelan pipi wanita cantik itu.Hatinya seperti tercabik-cabik melihat air mata kembali membasahi pipi mulus sang istri. Serasa ada batu besar yang menindih jantungnya sampai membuat pria itu menghela nafas panjang berulangkali. "Aku salah, aku berdosa tapi aku masih suamimu. Apapun keputusanmu aku tetap akan bertahan disisimu. Kamu boleh mencaciku, memukulku atau mendiamkanku tapi, demi Alloh aku tak akan menceraikanmu." Meizura menutup matanya, tak sanggup melawan tatapan intens Fagan. Takut hatinya akan luluh dan terlarut dalam buaian cinta yang Fagan gaungkan. "Buka matamu, tatap kedalam mataku. Lihatlah kejujuran dan kegigihanku." Kembali Fagan berbicara dengan nada sedikit naik dan genggamannya semakin mengerat. Kali ini Fagan bertekad untuk tidak lagi menyerah seperti seminggu yang lalu. Ya, setelah menemui Meizura seminggu yang lalu pria gagah itu menyerah dan kembal
"Apa kamu takut tidur satu kamar denganku?" tanya laki-laki gagah di depanku ini. Tubuh pria yang masih bergelar suami ini masih tetap kekar seperti dulu meski nampak sedikit kurus dengan adanya jambang tipis yang menyelimuti rahang dan janggutnya. Padahal dulu sudah sering aku katakan jika aku tidak menyukainya berjambang. Tunggu, kenapa dia harus peduli dengan ketidaksukaanku? Dia kan tidak mencintaiku jadi pasti dia tidak mengingat ucapanku. "Hei kok ngelamun." Dia mengibaskan telapak tangannya kedepan wajahku. Spontan aku mundur satu langkah, dia pun menghela nafas panjang. "Aku akan tidur di sofa jadi kamu tidak perlu takut." Sambungnya lagi. Tak ingin menjawab aku pun mengambil ponselku yang ada di atas meja samping ranjang lalu berjalan menuju pintu. "Mau kemana?" Mas Fagan menghalangi jalanku. "Kamu benar-benar takut?" tanyanya lagi. Takut? Cih.... kenapa aku harus takut padanya? Apa dia sudah lupa kejadian sebelum aku kehilangan ingatanku. Aku hampir membunuhnya yang s
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka