"Mas please deh aku mau ke pesta ulang tahun, bukan mau kondangan! Bisa-bisanya Mas nyuruh aku masuk ke tempat itu pakai baju batik ini, yang bener aja!" Aku sampai gak bisa berkata-kata lagi saat ini. Udah nelan ludah berkali-kali karena ulahnya yang di luar nalar.
"Kenapa? Bagus kok. Nih ya, tiga baju yang kamu tunjukkan tadi gak ada yang cocok, saya gak mau kamu pakai baju yang kelihatan aurat dada sama pahanya.""Tapi pikir-pikir aja kali Mas, aku juga harus menyesuaikan baju dengan tempat yang aku kunjungi. Ini sih gak wajar."Aku tetap stay kalem dan sekuat diri nahan tinju aku supaya gak melayang ke wajahnya."Rey aku mohon yah, jangan nambahin dosa saya. Karena yang nanggung dosa kamu di akhirat adalah saya. Ini saya sudah biarkan kamu tanpa jilbab. Tapi masa kamu masih meminta yang lebih berat untuk saya?"Apa dia bilang? Kemarin-kemarin sok khawatir tangan saya luka, sekarang bawa-bawa dosa dan akhirat."Mas, aku udah pernah bilang apa sa"Enggak, kalian berdua aja. Please, gue bener-bener berasa lagi mati tau lah. Happy birthday aja buat lo Nad, semoga hidup lo gak apes kayak gue!" ucapku pada Nadine. Btw, doa itu beneran gue ucapin tulus buat dia. Karena kalau itu Nadine yang ada di posisi aku, pasti dia udah gila dan paling parah kabur alam lain."Terus lo ke sini sama siapa?""Siapa lagi kalau bukan sama suami gue, dah lah! Kalian happy-happy aja. Lupakan gue!" kataku dengan melas.Reza yang ada di sampingku juga gak kalah ikut termenung karena nasib pacarnya yang memang mengenaskan sekali. Dia lihat bahwa aku udah gak bisa merasakan kebahagian sama sekali. Terbukti dari raut wajah aku yang cemberut dan cenderung terdiam di saat yang lain menyanyikan lagu ucapan selamat ulang tahun."Pulangnya aku antar ya Rey, kita nikmati dulu udara malam berdua supaya kamu gak stress seperti ini," ujar Reza mengelus rambutku."Aku ucapin terima kasih karena kamu perhatian, tapi maaf aku gak bisa. Aku lagi g
"Duh, kepala gue." Aku langsung reflek memijit kepala yang kesakitan ini. "Di mana nih?" Aku pun memusatkan perhatian ke seluruh tempat yang gelap itu, dan ketemu lah Husein yang duduk di samping aku, sedang menatapku dengan tajam.Aduh, berarti dia tahu kalau aku habis mabuk? Dah lah, siap-siap dipasung aja entar.Aku menggeliat sedikit."Sekarang jawab, kenapa kamu minum? Kamu sudah janji sama saya Rey, kamu sudah memegang kepercayaan saya bahwa kamu gak akan minum arak. Tapi kenyataannya, kamu buat saya kecewa sekali. Kamu tahu Rey, minuman keras itu induk dari hal-hal yang buruk, siapa yang meminumnya maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari, jika ia meninggal sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliyyah. Hadis ini sangat shohih diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani. Kamu tahu, bagaimana putus asa dan merasa gagalnya aku sebagai seorang suami melihat istrinya melakukan maksiat
"Apa jangan-jangan Husein?" Aku langsung terperanjat begitu sepintas membayangkan laki-laki itu membuka bajuku dan melihat semuanya. Aku mau protes kalau iya.Tapi belum saja aku beranjak, Husein ternyata sedang berdiri di samping lemari dan memperhatikan aku dengan tatapan lasernya, sedang tangannya menyilang di dada."Kenapa, masih pusing?" tanyanya setengah mengolok."Udah tahu kenapa pakek nanya?" Aku jawab dengan nada yang ketus juga. "Oh iya, Mas yah yang ganti baju aku? Kok Mas lancang sih buka-bukaan gitu. Pasti kesempatan kan buat nyentuh tubuh aku?" "Kenapa memang? Bukannya tubuh kamu sudah sah jadi milik saya.""Hah apa? Jadi sekarang sudah lupa sama janjinya?" tanyaku mencecarnya."Tidak! Saya tidak akan pernah lupa dengan janji yang saya ucap atas nama Allah. Dan janji itu saya sebut di dua tempat. Satu, ketika kamu hendak bunuh diri, dan satu lagi ketika saya memegang tangan ayah kamu di waktu ijab qobul.
Iya, maksudnya diambil Husein secara paksa kan sama aja dirampok? Gak salah-salah amat loh?? Cuma konteks jawaban aku gak sinkron dengan keadaan pondok pesantren yang notabene harus aman dari pencurian."Astaghfirullah Mba." Bodohnya, aku gak mikirin konsekuensi dari jawaban aku, alhasil Retno pun heboh sambil menyebut istighfar. Seluruh kelas yang tadinya khidmat, menjadi tegang seketika."Ada apa Retno?" tanya Husein di depan."Ini ustadz, kasihan Mba Rey. Dia habis kecopetan, handphonenya hilang!" seru gadis itu. Sedangkan aku tepuk jidat."Wah, di pondok kita udah ada maling nih? Oke, musti saya perketat keamanannya," ujar salah satu santriwati yang ku fikir dia ada dalam badan organisasi keamanan pondok.Husein menunduk pasrah setelah mata kami sempat bertemu.Suasana kelas langsung heboh sendiri, membuat para santri jadi berasumsi macam-macam."Sudah, sudah! Bahas malingnya nanti saja ya. Sekarang masih dalam jam mata
"Sstt Mba, Mba Rey?"Aku denger sebuah bisikan kecil yang berasal dari suara remaja wanita. Setelah ku putar pandangan, ternyata aku menemukan Retno yang ada di balik dinding rumahku. "Hey, sini. Ada apa?" tanyaku dan ku taruh sapu yang lagi aku pakai barusan. "Mba, kita mau ke air terjun Cimajur, kalau naik angkot sekitar 20 menit dari sini. Mba mau ikut gak?"Aku gak salah denger nih? Kenapa mereka tiba-tiba ngajakin aku yah? "Kayaknya gak bisa deh, Mba belum izin sama ustadz Husein," jawabku memelas."Yah, padahal air terjunnya bagus banget loh Mba. Kita sudah dapat izin dari pengurus, tadinya ngajakin Mba karena kita tahu pasti Mba lama ada di pondok ini rasanya pasti membosankan. Tapi kalau Mba gak bisa ya sudah ya. Kita pergi dulu yah."Benar apa yang diucapkan Retno, aku memang merasa sangat membosankan, apalagi sekarang karena gak pegang handphone sama sekali. Husein juga posisinya sekarang lagi ngisi sebuah ceramah di balai kota
Sumpah, apa yang Retno bilang bahwa air terjunnya bagus sekali ternyata itu benar 100%. Tumpahan air dari atas gunung dengan ketinggian beratus-ratus meter itu, bener-bener sukses memanjakan semua mata yang menatapnya.Kalau dari lokasi pondok, kita perlu waktu sekitar 15 menit dengan angkutan umum, lalu dari poros jalan harus berjalan kaki lagi, menaiki gunung untuk sampai di lokasi air terjun Cimajur. Walaupun capek, tapi semua terbayar lunas saat lihat pemandangan luar biasa ini. Airnya bener-bener sejuk dan memakan semua energi lelah yang kita rasa selama ini.Adik-adik yang mengajakku tadi, pada langsung melempar tas gendongnya, saling berlarian untuk melompat dan terjun ke sungai yang menjadi landasan air terjun itu.Mereka bersenang-senang, sambil menyipratkan air kepadaku yang masih berdiri di bibir sungai."Cepetan Mba, lompat ke sini. Airnya sejuk, gak nyesel deh.""Ayok Mba, sini!" Mereka saling berteriak memanggil namaku. Rasa
"Mulai dari aku ya, nama aku Wulan. Umur aku 19 tahun. Aku punya cita-cita pengen jadi dokter. Supaya, orang yang gak mampu kayak aku bisa berobat dengan tenang. Soalnya, bapak aku meninggal dunia pas lagi berobat terkait biaya hehe," paparnya dengan kesedihan yang dibalut senyuman. Hebat, dia bisa menyerang luka itu dengan motivasi."Wulan, aku baru tahu deh cita-cita kamu yang ini. Sekarang giliran aku!"Retno menyahut dan menjadi yang kedua untuk memperkenalkan dirinya. "Aku Retno, aku umur 19 tahun. Habis lulus SMA, aku dimasukkan ke dalam pondok. Karena kalau di pondok gak menghabiskan banyak biaya untuk jenjang pendidikan. Ibu dan bapak cerai, mereka udah hidup masing-masing sama keluarga barunya. Sedangkan aku tinggal sama nenek yang kerjanya sebagai guru SD. Padahal aku suka traveling, mimpiku pengen jadi traveler yang berkunjung ke banyak tempat wisata, tapi sayangnya mimpi itu sampai kapanpun cuma jadi sebatas mimpi."Cerita kedua dari anak santri itu
Karena sudah adzan magrib, kita semua berlarian begitu sudah sampai di poros jalan menuju ke gerbang pondok. Bagi aku sih gak masalah, tapi bagi mereka, tidak boleh sampai kehabisan waktu sholat magrib, karena pasti bakal jadi sebuah hukuman besar nantinya.Akhirnya kita semua berpisah saat di depan aula utama, mereka berlari ke arah gedung kamar wanita sedangkan aku mempercepat jalan untuk sampai ke rumah Husein.Duh mudah-mudahan Husein belum pulang yah, soalnya aku lagi gak mood ribut malam ini!Melihat keadaan dua rumah yang terang benderang, aku udah yakin kalau mereka sudah pada tiba di rumah, tapi kalau hati kecil masih berharap bahwa Husein belum pulang. Aku sedikit berjalan mengendap-endap masuk ke dalam ruang depan sambil memperhatikan lagi semua yang ada sekitarnya. Ternyata Husein belum ada, syukurlah. Lalu aku melangkah lagi ke dalam kamar, dan begitu membuka pintu, aku melihat lampunya yang masih padam. "Syukurlah dia beneran belum pulang," batinku bersorak.Aku menc