"Oh iya. Baik, Prof," jawab para suster. Mereka sedikit gugup karena sedang terkesima dengan sikap Zein.Zein pun langsung berlalu meninggalkan tempat itu."Ya Tuhan, di mana ya nyari suami yangkayak gitu? Perhatiannya itu, lho. So sweet banget," ucap salah seorang suster."Kalau pun ada, dia belum tentu mau sama kamu," ledek yang lain."Iih, kamu mah ngerusak mimpi orang lain aja, deh!""Hehehe, lagian Prof itu terlalu perfect. Mimpinya jangan ketinggian."Sementara itu Zein pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Padahal harusnya hari ini ia ada janji dengan asistennya di kantor ikatan dokter untuk membahas rencana peluncuran buku ba
Merea semua saling memandang kala Zein melintas dengan kondisi rambutnya yang basah itu."Basah, Guys," gumam salah seorang suster."Kok bisa, sih?""Ya bisalah. Rumah sakit punya dia, kok.""Iya, sih. Tapi apa gak takut kegap, ya?""Kalau kegap juga pasti yang masuk tanpa izin yang disalahin.""Iya juga, ya. Tapi istrinya lagi sakit gitu. Kasihan, deh.""Kasihan kenapa? Pasti istrinya seneng juga, lah. Masa ngelayanin suami sendiri dikasihanin? Emangnya dia disiksa?""Ya kan lagi sakit pasti lemas."
Seketika wajah Intan merona. Ia sangat malu ketika diingatkan akan hal yang ia sendiri sulit untuk melupakannya itu."Iih, Mas ngapain nginget yang kayak gitu, sih? Gak penting banget, deh," keluh Intan. Ia langsung memalingkan wajah karena malu.Melihat reaksi Intan, Zein pun senang. Ia berdiri dan mendekat ke arah suaminya. "Gak penting gimana? Justru itu sangat penting dan membuat aku jadi ingin segera menghalalkan kamu," bisik Zein.Tubuh Intan langsung meremang. Sontak ia menoleh ke arah Intan. "Maksudnya?" tanya Intan."Karena kamu sudah membangunkan naga yang sedang tidur. Jadi aku ingin minta pertanggung jawaban dari kamu. Tapi kan gak mungkin aku melakukannya sebelum halal," jelas Zein.
Seperti biasa, mereka berdamai ketika sudah selesai bercinta."Mas kenapa sih selalu begitu?" tanya Intan, manja. Ia sebal karena Zein selalu menyalahkannya setiap kali ada pria yang mendekatinya."Maaf ya, Sayang. Mas terlalu cinta sama kamu jadinya cemburu buta. Mas janji akan berusaha untuk lebih mengontrol emosi," jawab Zein.Sebenarnya ia pun tidak ingin seperti itu. Namun entah mengapa jika sedang cemburu dirinya selalu kehilangan kendali. Sehingga pikirannya negatif terus."Tapi tolong jangan diulangi lagi ya, Mas! Kalau gak, nanti aku kabur beneran," ancam Intan."Iya, maaf. Jangan pernah tinggalin aku, ya? Aku gak sanggup," bisik Zein sambil mendekap istrinya.
"Hah? Serius, Sus?" tanya Intan. Ia tak menyangka pasien itu sudah pulang."Iya, Dok. Tadi pas dokter Intan dan Prof pergi, pasien itu langsung minta pulang," jelas suster tanpa dosa.Intan langsung menutup mulutnya. 'Bagus, sih. Tapi artinya tuduhan Mas Zein emang bener, dong?' batin Intan."Kenapa, Dok?" tanya suster."Euh, gak apa-apa, kok, hehe," sahut Intan, kikuk.'Bodo ah, yang penting dia udah pergi dari sini,' gumam Intan dalam hati. Ia tidak mau memusingkan hal itu.Intan pun melanjutkan pekerjaannya.Sementara itu, di tempat lain, Muh memanggil dokter kelapa yang waktu
"Iya sayang, aku salah. Aku minta maaf. Kita bicarakan baik-baik ya, hem?" pinta Zein."Aku butuh waktu buat sendiri," ucap Intan. Kemudian ia meninggalkan Zein menuju kamar.Zein pun membuntutinya. Ia tidak tenang jika Intan masih marah padanya. "Sayang, jangan begitu, dong! Aku bisa jelaskan semuanya," ucap Zein.Saat mereka sudah ada di kamar, Intan kembali berbalik ke arah Zein. "Sekarang Mas pilih. Aku atau kamu yang tidur di sini?" tanya Intan. Ia sedang tidak ingin satu kamar dengan Zein.Tampang Zein memelas. "Sayang," ucapnya sambil mendekat pada Intan dan ingin memeluknya. Wajahnya pun ia dekatkan ke wajah Intan."Cukup! Gak semua masalah bisa kamu selesaikan dengan cara seperti itu.
Uhuk! Uhuk! Zein langsung tersedak saat mendengar ucapan Intan barusan. Mungkin jika di dalam tayangan kartun, telinga dan hidung Zein sudah mengeluarkan asap karena terlalu kesal. "Kamu kok ngomongnya gitu, sih?" Zein protes pada istrinya. "Kamu tega sama aku?" lanjut Zein. "Kamu sendiri, tega sama aku!" skak Intan. Ia masih bisa makan dengan santai saat suaminya sedang kebakaran jenggot seperti itu. Zein tercekat, ia tidak menyangka istrinya bisa seperti itu jika sedang marah. "Aku kan udah minta maaf, Sayang," lirih Zein. "Ya udah, aku juga tinggal minta maaf. Apa susahnya?" sahut Intan, ketus. Seketika selera makan Zein hilang. Mendengar nama Bian, membuat Zein kesal dan tidak berselera. "Gimana caranya supaya aku bisa nebus kesalahanku?" tanya Zein, memelas. Intan memicingkan matanya ke arah Zein. "Pisah kamar sebulan!" sahut Intan, singkat. Bola mata Zein hampir melompat. "Hah? Sebulan? Yang bener aja! Masa sebulan? Bisa gila aku sebulan pisah kamar sam
Melihat suaminya siuman, Intan pun sangat bahagia. "Mas! Maafin aku," ucap Intan sambil memeluk Zein. Zein tersenyum. Ia senang karena Intan sudah tidak marah padanya. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Mas yang seharusnya minta maaf," sahut Zein. "Tapi kan gara-gara aku, kamu jadi sakit kayak gini," ujar Intan. "Udah, aku gak apa-apa. Ini cuma karena kurang kasih sayang sama belaian kamu aja," ucap Zein. Intan langsung mengerungkan wajahnya. "Mas!" tegurnya. Ia tidak enak hati pada Muh dan Rani. Sementara itu mertua Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. "Sepertinya kamu sudah sembuh," sindir Rani. "Sembuh kalau dirawat istri sendiri, Mah," jawab Zein sambil tersenyum. "Mass! Lagi sakit juga. Sempet-sempetnya bercanda, deh," keluh Intan. "Tapi aku serius, Sayang," ucap Zein sambil menatap istrinya. "Ya udah deh, mamah nyesel tadi udah panik. Sekarang mendingan kita pulang yuk, Pah!" ajak Rani. Ia tahu anaknya itu sedang butuh waktu berdua. Apalagi ia telah diab