Sepanjang perjalanan pulang, Zein terus melamun. Ia tidak menyangka ternyata Intan mengalami nasib seberat itu. Obrolannya dengan ibu Intan tadi telah membuka mata hatinya."Bagaimana mungkin gadis dengan beban hidup seberat dia masih tetap bisa beraktifitas seperti orang normal?" gumam Zein.Ia masih tidak percaya bahwa Intan jauh dari apa yang ia pikirkan. "Berarti selama ini aku telah mendzaliminya? Astaghfirullah ...." Zein sangat menyesal karena telah mempersulit Intan.Ia selalu menganggap Intan pemalas. Hal itu pula yang membuatnya memberi pekerjaan berat pada Intan."Seandainya aku tahu bahwa dia sedang kesulitan, mana mungkin aku menambah bebannya seperti itu?" Rasanya Zein ingin memutar waktu. Sehingga ia bisa merubah sikapnya terhadap Intan. Namun sayang, nasi telah menjadi bubur. Intan sudah terlanjur ia siksa sampai pingsan seperti itu.Meski tidak secara langsung. Namun ia ingat betul tadi Intan belum selesai makan saat dirinya memaksa Intan pergi ke ruang operasi. “Bera
Sepanjang jalan intan melamun. Ia bingung mengapa Zein selalu membuatnya kesal. Seolah ia tidak memiliki hati nurani sedikit pun. "Dia tuh kenapa, sih? Apa coba salahnya aku? Bahkan aku lagi sakit pun bela-belain datang ke rumah sakit biar dia gak marah dan ngatain aku pemalas. Tapi kenapa dia malah ngusir aku seenaknya? Dia pikir aku gak butuh usaha buat datang dari rumah ke rumah sakit?" Intan menggerutu sepanjang jalan. Ia sangat kesal karena Zein tidak memiliki perasaan. "Ya Tuhan, gimana bisa aku harus hidup sama pria menyebalkan seperti dia? Lagian dia kenapa gak nolak aja waktu dijodohin? Ini benar-benar mimpi buruk buatku," keluh Intan. Membayangkan harus hidup bersama pria yang paling ia benci itu rasanya membuat Intan gemas. Sebab, dari sikap Zein ia yakin bahwa pria itu tidak menyukainya. Namun mengapa ia tidak menolak ketika dijodohkan oleh orang tuanya. Tiba di rumah, Fatma heran karena Intan sudah pulang. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia pergi. "Kam
"Saya mau minum ini. Nanti kan mau operasi, jadi butuh yang segar-segar supaya gak ngantuk," jelas Zein, kikuk. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya datang ke sana untuk menemani Intan makan."Ooh," sahut Intan, heran. Baginya penjelasan Zein sangat tidak masuk akal. Namun ia sedang tidak ingin berdebat."Ya sudah, tolong cepat! Waktu kita tinggal lima menit," ucap Zein, santai.Intan tidak menjawabnya. Ia pun buru-buru menghabiskan makanannya. Beruntung ia hanya memesan sandwich. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.'Aku pikir dia berubah jadi malaikat. Tapi ternyata sama aja. Gila, apa? Masa aku cuma dikasih waktu lima menit buat ngabisin ini?' batin Intan, kesal.Zein
"Euh, enggak, Prof. Maaf," jawab Intan, gugup.'Gimana aku mau semangat kalau dia marah-marah terus kayak gitu? Ya ampun, sampai sekarang aku masih gak nyangka orang kayak dia bakalan jadi suamiku. Semoga perjodohannya dibatalkan,' batin Intan."Kamu itu masih muda. Tolong lebih semangat lagi dalam bertugas!" pinta Zein. Kemudian ia kembali fokus ke pekerjaannya."Baik, Prof," jawab Intan.Setelah itu poli pun dimulai. Intan memerhatikan Zein serta keluhan pasien sesuai arahan dari konsulennya itu. Ia juga menjadi asisten Zein selama proses praktek berlangsung.Hingga datang seorang pasien paruh baya, ditemani oleh cucunya yang begitu cantik.
Intan langsung menoleh ke belakang. "Eh, Prof," ucapnya, salah tingkah. Ia malu karena tadi sedang menggumam.'Tadi aku ngomong apa, ya?' batin Intan. Ia mengingat-ingat apa yang telah ia ucapkan. Khawatir dirinya sudah menjelekkan Zein lagi."Kalau capek, lebih baik kamu pulang!" ucap Zein tanpa menoleh.Intan melirik sekilas. Ia merasa ucapan Zein itu sarkas. Sehingga Intan merasa sedang disindir. Padahal Zein serius memperhatikannya."Enggak kok, Prof. Ini cuma pegel biasa aja. Kurang olah raga," sahut Intan, kikuk."Oya? Kalau begitu kamu harus rajin olah raga. Jangan malas!" sahut Zein. Lagi-lagi perhatian yang Zein berikan membuat Intan salah paham.
Uhuk! Uhuk!Intan langsung tersedak setelah mendengar ucapan Zein. Mereka memang sudah dijodohkan. Namun, jangankan pernikahan, pertunangan saja belum dibahas."Lho, kenapa, Tan? Hati-hati makannya!" ucap Dimas, tanpa dosa. Ia belum tahu bahwa Intan adalah calon istri Zein.Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya saat melihat reaksi Intan setelah mendengar ucapannya barusan.Ia senang menggoda Intan seperti itu. ‘Pasti kamu senang karena pernikahan kita akan segera terlaksana, kan?’ batin Zein. Ia selalu over percaya diri.Intan pun segera mengambil air mineral dan meneguknya. "Gak apa-apa, Dok," jawab Intan setelah tenggorokkannya kembali netral.Namun wajahnya terlihat merah padam.
Deg!Tubuh Intan membeku kala Zein mengukungnya dari belakang. Apalagi saat ini tangannya sedang digenggam oleh Zein.Bukan hanya Intan. Seluruh orang yang ada di ruangan tersebut pun sangat terkejut. Ini kali pertama mereka melihat Zein seperti itu. Bahkan selama ini Zein seolah tak pernah ingin disentuh oleh orang lain."Lemaskan tangannya! Jangan kaku," ucap Zein di telinga Intan.Intan bahkan dapat merasakan embusan napas hangat profesor itu.Napas Intan pun tercekat dibuatnya. Aroma tubuh Zein menguar hingga ke hidungnya. Membuat Intan semakin tidak fokus. Ia pun hanya menjawab ucapan Zein dengan anggukkan.Akhirnya Intan berusaha melemaskan tangannya. Meskipun sebenarnya saat ini ya
Intan terkesiap saat mendengar Zein mengatakan bahwapria ituakan membahas pernikahan dengannya. Ia sangat ingin protes. Namun Intan tidak berani melakukan hal itu.Sebab, tinggal beberapa hari lagi ia selesai koas. Intan khawatir jika dirinya terlalu menentang Zein, maka pria itu akan mempersulitnya atau mungkin memberikan nilai buruk padanya.Akan tetapi, ia tidak tenang jika hanya diam. Sebab, menurutnya ada yang salah jika mereka benar-benar menikah dalam waktu dekat.‘Pernikahan apaan, sih? Lamaran aja belum. Tiba-tiba bahas pernikahan. Helo … emang siapa yang mau nikah sama situ?’ batin Intan, kesal."M-maaf, Prof. Maksudnya mau bahas pernikahan siapa, ya?" tanya Intan.Sebenarnya pertanyaan itu merupakan sind
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?