Di kantor, penampilan Raffael tampak kacau. Baru kali ini dirinya dihadapkan dengan dua masalah sekaligus. Bukan tidak percaya akan kinerja orang lain, tetapi ia akan lebih puas jika dirinya sendiri yang ikut langsung dalam menemukan titik masalah. Lembur yang harusnya ia lakukan untuk membenahi beberapa dokumen untuk hotel barunya nanti, justru mengecek dokumen dan mencari data para investor.
"Sayang, aku bawakan kopi untukmu."
"Hmm, simpan saja!"
"Istirahat dulu, jangan terlalu diporsir."
Raffael tidak menggubris apa yang ia dengar. Ia terus fokus dengan dokumen-dokumen di hadapannya.
"Ya, sudah, kau lanjutkan saja kerjanya. Aku di sini akan setia menemanimu dan memberikan layanan ekstra untukmu, Sayang."
Pijatan di pundak Raffael dapatkan.
"Say--" Seorang wanita cantik tidak meneruskan ucapannya. Matanya membulat sempurna dengan kedua tinju yang mengepal. Ya, dialah Revalina. Ia mendapati Amanda sedang memijat pun
Mobil sudah terparkir di halaman kediaman Xie. Revalina bergegas masuk. Hati dan tubuhnya merasa lelah."Sudah pulang?" tanya Hanna yang ternyata sedari tadi duduk di kursi menunggu kepulangan sang menantu."Ya, ampun, Ma. Bikin Rere kaget aja," seloroh Revalina seraya mengelus dada. "Mama kenapa belum tidur?" lanjutnya."Mama jadi ikut cemas memikirkan El. Apa dia baik-baik saja?"Degh!Revalina berusaha bersikap tenang. Ia tidak mau Hanna menaruh curiga dengan gelagatnya."Suamiku baik-baik saja, Ma. Sangat baik. Mama tenang saja, ya? Sudah malam, lebih baik Mama istirahat. Maaf, Rere bikin repot Mama lagi."Hanna beranjak dan mengelus lengan menantunya. "Kamu anak Mama. Mana mungkin Mama merasa direpotkan. Ya, sudah, Mama tid-" Hanna tidak meneruskan ucapannya karena melihat ruam-ruam merah pada kulit Revalina."Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Hanna cemas.
Sudah lima hari, tetapi Revalina belum mendapatkan kabar dari Raffael kapan ia pulang. Meskipun masih kesal, tetapi wanita itu merasa cemas. Ia sangat khawatir dengan keadaan suaminya itu. Tiga hari yang lalu Raffael menghubunginya jika proyek pembangunan hotel benar-benar bermasalah. Di tambah lagi, Revalina sudah bertanya perihal penurunan saham di Xie Company kepada Carlos. Bukan hanya ia yang cemas, Hanna pun ikut merasakan."Re, lebih baik kita susul El ke sana. Mama tidak tenang. Baru kali ini dia menghadapi masalah besar seperti ini," ujar Hanna."Iya, Ma. Sebelum kita menyusul ke sana, pastikan dulu keadaan di Xie Company, atau Rere akan meminta papa untuk menghandle semuanya. Itu juga jika Mama mengizinkan karena untuk meminta izin Raffael tidak mungkin juga. Suamiku susah dihubungi."Hanna setuju dengan pendapat menantunya. Itu adalah solusi terbaik.Setelah mendapatkan izin dari Hanna, Revalina segera menghubungi Carlos.
Tiba di bandara, Revalina memerintahkan kepada sang pilot untuk pergi ke negara kelahiran Cindy. Air matanya tak henti menetes bahkan ia tersedu-sedu.Angelina --seorang pramugari cantik yang tak lain istri dari sang pilot pun menghampiri. Ia duduk di samping anak dari Tuan Besarnya itu."Ada apa, Dek?"Revalina menghambur ke dalam pelukan sang pramugari yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Bukannya bercerita, Revalina menumpahkan segala gundahnya dengan menangis. Lambat laun tangis Revalina kian melemah."Astaga! Dek, bangun, Dek!" Revalina pingsan dalam pelukannya.Angelina memanggil dokter pribadi keluarga Carlos yang memang selalu diikut sertakan dalam penerbangan.Revalina dibawa ke dalam sebuah kamar. Perlahan ia dibaringkan dan dokter itu mulai memeriksa keadaan Revalina.Dokter itu menatap lekat wajah sang pramugari."Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Angelina.
Pukul tujuh pagi, Hanna sudah berkunjung ke kediaman Carlos. Sejujurnya ia sangat malu atas kelakuan putranya. Namun, apa boleh buat, ia harus mengatakan sejujurnya kepada besannya."Ayok, duduklah, Han. Ceritakan apa yang sudah terjadi," pinta Cindy saat Hanna baru saja masuk."Sebelumnya aku meminta maaf pada kalian. Sebenarnya aku pun tidak menerima ini," tutur Hanna yang langsung menangis. "Tapi, percayalah, aku yakin putraku dijebak.""Ya, apa? Tolong katakan langsung Hanna," cecar Cindy.Hanna pun menceritakan semua yang menimpa Raffael. Tentang masalah d perusahaan, pembangunan hotel dan kejadian semalam."Tidak ... tidak mungkin!" seru Cindy tidak terima.Cindy menitikkan air mata. Ia ikut merasakan apa yang Revalina rasa. "Putramu benar melakukannya dengan wanita itu, Han?""Iya, maafkan aku. Melihat dari gelagat Raffael, sepertinya dia terpengaruh obat.""Kurang ajar! Aku menyesal tidak memberinya pe
Revalina tiba di Bandar Udara Internasional San Francisco. Pilot dan tim ia tegaskan untuk kembali. Namun, Angelina menolak. Ia ingin menemani Revalina sampai ke tempat tujuan."Kakak kembali saja. Aku sudah hafal kota ini," ujar Revalina.Angelina tersenyum. "Kakak tahu, Cantik. Tapi bukan itu masalahnya. Kakak ingin memastikan kamu sampai dengan selamat."Revalina terkekeh-kekeh. "Baiklah, anggap saja Kakak, Pak Pilot sama Om Dokter istirahat. Aku ajak kalian semua ke rumah nenek. Gimana?""Siapa takut," jawab mereka serempak."Nona Revalina?" tanya seorang pria bertubuh jangkung nan tampan.Revalina mengernyit."Ah, maaf, nama saya Rian. Saya diperintahkan Nenek Claudia untuk menjemput," ujar pria itu."Jadi ... nenek tau jika aku datang? Hmm ... baiklah," ujarnya. "Ayok, kita naik mobil ini saja," lanjutnya mengajak Angelina dan lainnya.Mobil mewah berwarna hitam melesat men
Sudah empat hari Revalina dirawat di rumah sakit. Setelah kepulangan Angelina, hari-harinya ia lalui dengan kesepian. Hanya dinding berwarna putih dan aroma obat yang setia menemani.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Revalina. Wanita itu menoleh ke arah suara."Pagi, Nona," sapa Rian saat masuk.Revalina tersenyum. "Pagi. Kau sendirian?" tanya Revalina sambil celingukan mencari sosok Claudia.Rian menyimpan keranjang buah kemudian menjawab, "Nenek belum bisa ke sini, Nona. Makanya aku yang menggantikan nenek.""Kalau boleh tau, kau ini siapanya nenek?" tanya Revalina. "Karena yang aku tau, nenekku itu tidak akan menyuruh sembarang orang," lanjutnya.Rian tersenyum kemudian duduk di kursi dekat Revalina. Pria itu mengatakan jika lima tahun yang lalu dirinya dipertemukan dengan Claudia karena sebuah kecelakaan. Saat itu mobil yang dikemudikan Edward mengalami pecah kemudian tergelincir hingga akhirnya menabrak dir
Waktu berputar terasa sangat cepat. Revalina meninggalkan tanah air sudah tiga minggu lamanya. Ia tidak dapat membendung kesedihannya. Bagaimana tidak? Satu minggu lagi menjelang pesta pernikahannya, ia justru menyaksikan berita tentang rencana pernikahan suaminya dengan Maria. Pesta pernikahan yang ia impikan pupus sudah. Rasa kecewa, marah, sakit hati bercampur aduk, pun ia tidak menampik ada rasa rindu terselip di sana.Revalina mematung di depan cermin. Ia mencoba tegar. Senyum, itu yang Revalina lakukan seraya menatap wajahnya sendiri walau air mata tetap jatuh. "Cih! Harapanmu sudah tidak ada lagi, Re. Lupakanlah dia dan mulailah hidup baru," tutur Revalina.Wanita itu mencari secarik kertas dan sebuah bolpoin. Tangannya dengan luwes menari di atas kertas putih itu.Dear Suamiku,Ahhhh, mungkin lebih tepatnya calon mantan suami. Terima kasih atas cinta dan perhatian yang selama ini kau beri dan terima kasih juga atas pengkhia
Malam menjelang.Revalina benar-benar menikmati waktunya bersama dengan Rian. Lelaki dewasa itu mampu membuat Revalina nyaman. Sosok pria dewasa yang benar-benar mampu mengisi hari-hari Revalina dengan senyuman.Mereka tampak akrab. Sikap Revalina yang manja dan periang, ternyata membuat Rian merasa tidak canggung. Sekarang saja, mereka menikmati makan malam di restoran milik Claudia yang ia kelola."Kakak kenapa tidak punya pacar?" tanya Revalina yang membuat Rian mati kutu."Kapok," jawabnya singkat.Revalina mengernyit. "Kenapa?"Rian menghela napas. "Dulu, dulu sekali, Kakak jatuh cinta kepada seorang gadis. Kami satu sekolah bahkan sangat dekat. Akan tetapi, dia mengatakan jika dirinya menerima wajah Kakak yang tampan ini, tetapi tidak menerima keadaan Kakak yang miskin," ungkap Rian sambil tersenyum masam."Sombong sekali wanita itu. Secantik apa, sih?""Yang jelas cantik. Perlahan dirinya me
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald