Daniel dan Bianka masih mematung di tempat. Keduanya tidak percaya dengan perkataan orang asing yang mengatakan kalau Vena adalah istrinya.
Masih tidak percaya, Daniel bertanya, "siapa kamu? Datang-datang ikut campur urusan orang. Istri mana yang kamu maksud?" Orang yang diajak bicara berhenti di sebelah Vena. Dia meraih telapak tangan wanita itu, kemudian menjawab, "nama saya Mario, saya suami dari Vena." Nada bicaranya dipenuhi perasaan geram. Dia sudah tahu sebagian kelakuan busuk Daniel dan Bianka terhadap sang istri di masa lalu. Ia melanjutkan, "jadi, ada urusan apa kalian sama istri saya? Berani-beraninya kalian bicara kasar sama dia di tempat umum begini? Apa salahnya?" Tak hanya Daniel, Bianka pun tidak percaya kalau Vena bukan janda lagi, padahal baru berpisah beberapa bulan. Dia menyindir Vena, "baru juga jadi janda, sudah nikah lagi?" "Apa urusannya sama kamu aku sudah nikah atau belum? Aku sama Dani juga sudah resmi cerai," sergah Vena cepat. "Nggak apa-apa, tapi itu sudah jadi bukti." "Bukti apa maksud kamu?" "Kamu dulu selingkuh sama orang ini 'kan? Buktinya belum lama jadi janda, sekarang sudah nikah." "Hei!" sentak Mario yang keburu tersulut emosi. Dia menuding wajah Bianka. Pandangan matanya begitu dingin saat berkata, "jaga bicara kamu, istri saya bukan wanita jahat seperti kamu! Kami nggak selingkuh seperti kalian! Saya kenal sama Vena setelah dia cerai!" "Jangan nuding-nuding istri saya!" sentak Daniel sambil menghalau tangan Mario dari hadapan sang istri. Dia melirik Vena sambil menyindir, "justru kamu yang harusnya suruh istri kamu ini agar stop ganggu hidup saya! Sekali lagi dia mengikuti saya, saya bakalan lapor polisi!" Vena tidak terima. Tapi, belum sempat dia membantah, Mario lebih dahulu menantang Daniel, "jangan narsis jadi orang. Apa hebatnya kamu sampai istri saya mengikuti kamu? Kapan dia mengikuti kamu, hah?!" "Buktinya dia ada di sini, dia pasti selalu ada di sekeliling saya. Dia stalker, masih nggak terima saya cerai." "Alasan bodoh macam apa itu? Hanya karena istri saya kebetulan ketemu kamu sekarang di sini, terus kamu tuduh stalker?" "Kalau kamu memang suaminya sekarang, harusnya kamu tahu kalau Vena ini masih tergila-gila sama saya, mantan suaminya dan—“ "Nggak!" bantah Vena cepat. Dia ingin meledakkan emosi dalam dirinya. Dia menegaskan, "berapa kali aku harus bilang, aku nggak pernah mengikuti kamu! Ini pertama kalinya kita ketemu setelah cerai! Lagian, siapa juga yang masih tergila-gila sama kamu?" "Nyatanya begitu. Kamu berharap rujuk. Kamu terlalu obsesi sama aku, Vena. Dulu saja kamu sampai nggak mau aku cerai." "Karena dulu kita punya anak, bukan berarti aku tergila-gila sama kamu! Setelah anak kita meninggal dunia, kamu tega mengusirku demi wanita ini!” Vena menuding muka Bianka, lalu melanjutkan, “—aku sudah nggak sudi melihat kamu lagi." "Kamu pikir aku percaya?" "Melihat kamu saja aku sudah muak!" "Halah ..." Tak mau kalah, Daniel terus memberikan penghinaan, "kasihan banget ini suami kamu nikah sama janda nggak waras obsesif kayak kamu. Kamu nikah sama dia cuma buat membuang status janda saja 'kan? Dengan begitu, kamu bebas dekati aku tanpa dipandang buruk oleh orang lain." Mario sudah tidak tahan. Baru kali ini, dia ingin menghajar orang. Dia menyambar kerah kemeja pria itu dengan tangan kiri, berniat menghantam mukanya dengan kepalan tangan kanan. Akan tetapi, Vena menarik lengannya. Dia panik melihat sang suami mendadak seperti ini, lalu memohon, "tolong jangan, kamu jangan kayak gini." "Apa? Mau hajar saya?" Daniel terdengar culas. Bibirnya mengembangkan senyuman tipis. Dia menyindir tingkah Mario, "maaf ya, saya bukan orang jalanan yang apa-apa selalu diselesaikan dengan kekerasan. Saya ini bos besar. Kalau kamu mukul saya, saya selesaikan di kantor polisi." Vena masih berusaha menarik lengan sang suami. Dia meminta, "Mas Mario, lepas, nggak usah terpancing omongannya. Dia memang seperti ini dari dulu." Mario mau melepas kerah baju pria itu. Dia memperingatkan, "jangan menghina pernikahan kami!" Belum sempat Mario menjawab, ada dua ibu-ibu datang menghampiri mereka, salah satunya berseru, "hei! Ada apa ini? Kamu siapa bentak-bentak anak saya!" Wanita paruh baya berambut pendek lantas mendorong Mario agar menjauh dari Daniel. Dia melihat Vena ada di sisi Mario, lalu mengomel, "Vena? Ngapain kamu ada di sini? Terus siapa pria ini? Kenapa kalian bentak-bentak Dani!" "Ma—“ Vena tidak mengira mantan mertua ada di hotel ini. "Mama Rita ada di sini juga?" "Saya bukan Mama kamu lagi, jangan seenaknya panggil Mama!" Wanita setengah baya lain yang memiliki tubuh agak gemuk memandangi Vena. Dia bertanya, "oh, jadi ini yang namanya Vena? Mantan istrinya anak Ibu itu?” "Iya, Bu Layla. Saya agak malu harus mengakui ini. Tolong jangan ingatkan saya kalau pernah punya menantu kayak begini. Masa-masa kelam punya menantu miskin mata duitan sudah berlalu." Ingin menambah keributan, Bianka ikut bicara, "Ma, ini yang suka menghina Bianka murahan soalnya dekat sama Mas Dani. Padahal dia nggak sadar diri sudah dicerai." Ibunya melirik Vena sambil meremehkan, "oh kamu? Sudah nggak bisa ngasih keturunan, dicerai nggak terima, masih berani banget menghina putri saya?" “Janda memang kayak gini, Bu Layla, apalagi janda miskin, berharap bisa rujuk sama anak saya, mana bisa dia hidup tanpa bantuan finansial anak saya? Biasanya dulu boros banget, sekarang harus hidup di jalan," sahut Ibu Rita dengan sinis. "Cukup!" sentak Mario cepat. Malah dia yang lebih emosi daripada Vena. Dia tidak mengira ada orang-orang yang sejahat ini. "Jangan menghina Vena! Vena ini sudah nikah sama saya, dia istri saya! Dia nggak bakalan kekurangan apapun sama saya! Jadi stop ngomong miskin, miskin, miskin terus, nggak ada yang miskin di sini!" "Istri?" ulang Ibu Rita kaget, meremehkan Mario dengan berkata, "baru enam bulan dicerai sudah nikah lagi?" "Ibu nggak lihat anak Ibu sendiri yang langsung nikah sama selingkuhannya setelah cerai? Kenapa malah Vena yang disudutkan karena nikah sama saya?" Mario berusaha tidak mengamuk saat bicara dengan ibu-ibu. Dia benar-benar layaknya benteng kokoh Vena. Wajah Ibu Rita kelihatan makin jengkel, tidak terima anaknya disindir. "Mas tahu nggak dia ini siapa? Wataknya kayak apa? Masa tiba-tiba mau nikah sama dia? Dia awalnya jual diri atau gimana?" "Jangan makin sembarangan kalau ngomong! Bisa-bisanya ibu ngomong seperti itu? Ibu ini sama-sama wanita. Tega banget ibu ngomong begitu?" "Ya soalnya saya tahu dia ini gimana! Jangan ketipu sama tampang sok polosnya ini! Dia itu wanita jahat! Dia gila harta—” "Ma!“ Vena menyela, “Vena nggak—” "Saya bukan Mama kamu!" potong Ibu Rita cepat, "kamu ini tuli apa gimana, hah? Berapa kali saya bilang, jangan panggil Mama! Ngerti, nggak?" Vena sebenarnya marah, tapi di tidak mau membuat keributan. Itu hanya akan membuat reputasi tempat ini menjadi buruk. Jadi, dia memohon, "Tante, tolong jangan keras-keras ngomongnya. Ini di tempat umum, malu sama tamu restoran yang lain." "Buat apa malu?!" Bukannya merendahkan suara, Ibu Rita makin ngotot bicara. "Lagian, apa peduli kamu sama orang-orang? Kamu itu loh siapa di sini? Saya ngomong blak-blakan biar suami baru kamu yang sok bucin ini tahu siapa kamu yang sebenarnya! Kamu cuma wanita nggak tahu diri! Sudah miskin, mata duitan, nggak becus pas masih jadi istri Dani, sekarang sudah cerai pun masih berani dekati anak saya?" Mario semakin tidak tahan. Kalau saja orang di depannya bukanlah wanita, pasti sudah dihajar. Dia mengepalkan kedua tangan, berusaha meredam amarah sekuat mungkin. ***Daniel tetap percaya diri. Dia masih mengira kalau memang Vena terobsesi padanya sehingga mengikuti kemana-mana. Dia melirik Mario sambil tersenyum, lalu menyindir halus, "sudah, Ma, nggak usah ngomong apa-apa lagi, kasihan loh suaminya— sekarang jadi tahu kalau istri yang baru dinikahi belum bisa move on dari mantan suami."Vena menggeleng. Dia membantah, "kamu keterlaluan, Dani! Tolong jangan terlalu narsis! Siapa yang belum move on sama tukang selingkuh kayak kamu?""Tukang selingkuh kamu bilang? Kamu masih berani playing victim? Nggak sadar kamu itu nggak bisa ngasih keturunan, lagian kata Bianka juga pasti benar, pria ini—“ Daniel menuding wajah Mario dengan perasaan jengkel. Dia lanjut menghina, ”pasti selingkuhan kamu 'kan? Pantas dulu kamu sering keluyuran, lupa sama pekerjaan rumah.""Aku nggak keluyuran tanpa alasan, aku sibuk mengurus pemakaman anakku!"Ibu Rita ikut bicara, "benar kata Dani. Pokoknya, mulai sekarang stop muncul di kehidupan anak saya, awas kalau kamu masi
Mario terlanjur kesal dengan apa yang terjadi di hotel sehingga dia membawa istrinya untuk pulang. Kediaman Winata adalah berdiri di daerah perumahan elite. Bangunan tiga lantai tersebut termasuk salah satu yang paling megah di sana. Sejak menikah, Vena sudah menjadi sang nyonya rumah itu. Dia tinggal bersama Mario serta lima orang asisten rumah tangga. Orangtua Mario sudah lama meninggal dunia, jadi dia tak memiliki mertua. Meski demikian, ada bibi yang selalu tiba-tiba ada di rumah untuk memantau keadaan mereka. "Akhirnya pulang juga kamu, Mario!" sambutnya begitu melihat Mario masuk rumah. Wanita empat puluh tahunan itu lantas memluknya seraya berkata lagi, "tante sudah capek nunggu kamu pulang dari jam sepuluh." "Maaf, Tante Ruth, tadi di hotel ada masalah sedikit," sahut Mario letih. "Iya tante tahu, barusan dikabari sama Pak Henry, gara-gara istri baru kamu ini buat keributan di hotel, kan?" "Nggak, gara-gara keluarga narsis yang cari keributan di restoran hotel." "Kel
Mario mendekati sang istri dengan pandangan cemas. Ketika sadar wajah wanita itu murung, dia jadi ikutan sedih."Sayang ..." pria itu meraih telapak tangan Vena, "kamu nggak apa-apa?""Enggak apa-apa, kok.""Tolong jangan diambil hati omongan Tante barusan. Walau suka ngomel, Tante sebenarnya baik. Tante agak sensitif ke orang baru soalnya pernah ketipu. Kita belum lama kenal terus langsung memutuskan menikah, jadinya curiga mulu ke kamu."”Tapi, Tante Ruth benar, nikah sama janda itu bawa banyak masalah buat kamu.""Kita sudah nikah, masalah kamu itu masalahku juga. Terserah orang-orang mau ngomong apa, yang menjalani hidup rumah tangga ini 'kan kita."Rasa tenang nan haru menyelimuti diri Vena. Dia menatap kedua mata Mario dalam-dalam. Setelah menguatkan diri, dia berani bertanya, ”kamu kenapa mau nikah sama aku? Karena ayah? Apa ini balas budi? Kamu kasihan soalnya sekarang aku nggak punya siapa-siapa?""Kamu dengar i
"Mas! Kamu ini apa-apaan sih? Ngapain ngundang mantan istri kamu!" Omelan Bianka tak berhenti semenjak Daniel menutup sambungan telepon.Raut wajah Daniel masih tegang. Tangannya tampak meremas ponsel. Emosi naik usai mendengar suara suami baru Vena yang menjawab.Bukannya merespon omelan istrinya, dia malah menggerutu, "kurang ajar, berani banget dia mutus telponku begitu saja. Dia pikir dia itu siapa? Hanya karena dia owner hotel bintang lima, dia bisa menginjakku, hah?"Sudah terlihat jelas, dia merasa tersaingi dan terluka. Sejak pulang dari hotel karena diusir, kebanggaannya seolah tercabik-cabik.Bianka makin kesal karena diabaikan. Dia menyambar lengan sang suami, lalu berkata lebih keras, "Mas Dani, jangan diam saja! Kamu kenapa ngundang wanita itu ke acara syukuran kita? Aku nggak mau! Aku sudah menahan malu tadi diusir dari hotel, nggak sudi ketemu wanita udik itu lagi!""Kamu ini bisa diam dulu nggak?! Dari tadi ngomel terus! A
"Sudah siap, Nyonya Sayang?"Suara Mario mengaburkan lamunan Vena yang tengah bercermin di depan meja rias. Sedari tadi, dia hanyut dalam pemikirannya sendiri. Beberapa bulan silam, dia tak ada waktu untuk merawat diri sendiri. Kini, sejak menikahi Mario, dia tak perlu melakukan pekerjaan rumah, tak perlu mengurus apapun dengan tangan sendiri. Bahkan, dia dimanjakan oleh suami baru dengan spa pribadi yang langsung datang ke rumah.Alhasil, dia melihat dirinya seperti orang yang berbeda. Dalam balutan baju kasual tapi bermerek mahal, dalam riasan natural tapi begitu elegan— dia benar-benar seorang 'Nyonya'.Karena tidak dibalas, Mario mendekatinya, berdiri tepat di belakang wanita itu. Dia tersenyum melihat pantulan sang istri melalui cermin."Cantik dan elegan," pujinya."Makasih." Vena tersipu. Meski mendengar itu hampir setiap hari, tapi rasanya masih malu. Dia melempar senyuman manis ke sang suami. "Kamu juga sudah ganteng.""Masa, sih?""Iya." Vena berdiri, lalu berbalik badan d
Bianka menaikkan sedikit dagu, sikap culasnya mulai kelihatan. Dia memandang rendah Vena."Kenapa kamu diam saja? Sadar diri kalau cantik cuma gara-gara make up?" ucapnya kemudian.Vena menjawab, "buat apa aku mendebat hal yang nggak penting kayak gitu? Tujuanku sama suamiku ke sini cuma untuk membahas hutang itu.""Padahal kamu bisa saja nggak ikut, tapi kamu milih ikut ke sini, pasti cari perhatian ke suamiku 'kan?""Suami kamu sendiri yang ngundang aku. Setelah aku datang, kamu nuduh aku cari perhatian? Sekarang, yang cari perhatian itu siapa?"Bianka kesal dengan keberanian Vena membalas perkataan. Padahal, sebelumnya, wanita itu takkan berani begitu. "Seperti yang aku bilang, kamu bisa saja nggak ikut 'kan? Cukup suami kamu saja yang datang, ngapain kamu ikut segala? Mau pamer wajah sok cantik hasil make up biar dilirik sama suami orang?""Suamiku seharusnya nggak perlu buang-buang waktunya buat ke sini, tapi apa kenyataanya
Mario dan Daniel masih di teras. Tetapi, Mario sudah ingin menyudahi semua perdebatan. Dia berkata, "sebaiknya nggak usah basa-basi lagi, kita selesaikan semua sekarang. Tinggal sebut saja nominalmya, saya transfer. Tapi, di dalam nanti, saya minta kamu sama keluarga kamu jangan menghina Vena lagi." "Oh yang benar saja?" Daniel masih mempertahankan sisi angkuhnya. Dia bertanya, "menurutmu dengan membayar semua kerugian saya menikah sama wanita itu— semua beres begitu saja? Sudah saya bilang tadi, saya nggak cuma rugi secara materi, tapi juga waktu." "Terus apa lagi mau kamu?!" "Kalian buat saya malu di hotel waktu itu, ada orang yang majang pengusiran itu di media sosial, bikin malu saya." "Kamu punya malu? Setelah nuduh istri saya stalker, setelah teriak-teriak seperti orang gila untuk mempermalukan istri saya waktu itu? Sekarang bilang— kamu punya malu?“ "Jangan mentang-mentang kamu owner Jar
Daniel melihat kehadiran Vena. Dia menolak akui kalau tengah terpesona. Inilah sosok Vena yang dinikahi dahulu— begitu cantik dan elegan. Tak sadar telah dikuasai oleh rasa cemburu dan marah, dia melontarkan perkataan pahit kepada Vena. “Kamu datang juga. Kami di sini sedang membahas kenapa saya ceraikan kamu.” Daripada mempedulikan Daniel, perhatian Vena tertuju ke sang suami. "Mas Mario nggak apa-apa? Tolong jangan terlalu lama adu mulut sama orang beginian, Mas." Mario lebih khawatir pada wanita itu. "Nggak apa-apa, kok. Kamu ngapain di sini? Di dalam pasti ada masalah, ya? Mereka ganggu kamu?" "Itu sih jelas, Mas, tapi nggak masalah. Orang-orang ini cuma iri—" Vena sempat melirik ke arah Daniel dengan tatapan muak. Daniel jengkel. Wanita yang dulu pernah memohon-mohon tidak diceraikan demi anak, kini telah benar-benar move on? Berani menatapnya dengan pa