Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.
Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis. Iya, seperti sekarang. Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat. "Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena. Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?" Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi. Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!" "Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?" "Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terima dicerai 'kan? Belum move on sampai sekarang? Tolong sadar, Mas Dani ini suamiku sekarang!" "Kenapa kamu selalu menuduhku begitu setiap kita ketemu?" "Akui saja kamu masih berharap rujuk. Kamu nggak terima soalnya aku sekarang yang jadi Nyonya Bianka Adinata 'kan?" Vena mengalihkan pandangan ke mantan suami yang tampak acuh tak acuh. "Dani, bilang sama istri baru kamu yang posesif ini buat nggak bikin drama di tempat umum kayak gini." Dengan sinis, Daniel merespon, "sebenarnya Bianka nggak salah, kamu memang mengikuti kami 'kan? Kamu mengikuti kami sampai ke restoran hotel ini. Minggu lalu, aku juga dapat kabar dari satpam rumahku kalau ada wanita gila yang suka keliling dekat pagar. Siapa lagi kalau bukan kamu?" "Hah?!" Vena terkejut dituduh begitu. Dia menggeleng cepat, lalu membantah, "jangan ngawur! Buat apa aku buang-buang waktu buat mengintai kamu? Ini pertemuan pertama kita setelah enam bulan kita pisah." "Jangan berharap apa-apa, Vena, kita sudah cerai, jangan ganggu aku lagi. Jangan jadi stalker." "Aku bukan stalker!" Bianka tertawa mengejek. Dia bicara ke suaminya, "jangan percaya, Mas. Dulu mantan istri kamu ini juga ke kafe tempat kamu biasa datangi, pasti berharap ketemu kamu." "Bisa-bisanya kamu mikir sejauh itu? Apa seluruh kegiatanku harus dikaitkan dengan kalian?“ "Terus ngapain kamu ada di hotel ini kalau bukan mengikuti kami? Gimana ceritanya kamu bisa ada di hotel bintang lima?" "Bukan kalian saja yang bisa ke hotel ini. Kebetulan saja kita ketemu." "Ya dipikir, dong! Janda miskin mana mampu masuk ke hotel bintang lima? Meja kamu saja kosong, berarti nggak pesan makan apa-apa 'kan? Itu jelas, soalnya tujuan kamu cuma buat dekat-dekat sama kami." "Cepat ngaku, Vena— kamu mengikuti kami sendiri atau dapat info dari orang lain kalau kami menginap di hotel ini?" Daniel ikut menyudutkan. Pandangan matanya begitu tajam nan angkuh. "Ayo ngaku!" "Mana mungkin si janda miskin ini ngaku, Mas," sahut Bianka bernada sinis. Vena mengepalkan kedua tangan. Dia terluka, marah, dan sangat ingin mencakar wajah Bianka. "Aku saja nggak tahu kalian ada di sini ... dan, tolong, Bianka, jangan menghinaku janda miskin terus!” Bianka ingin tertawa. "Kenyataan 'kan memang janda? Oh atau jangan-jamgan kamu sudah nikah sama Mas-Mas pedagang asongan kerempeng dekil dulu itu, ya?“ "Diam kamu!” “Aku tahu hidup jadi janda atau istri pria miskin itu sulit, Vena. Makanya kamu mau merebut suamiku, iya 'kan? Kamu nggak bisa hidup tanpa uangnya, tapi jangan jahat begini, sadar diri, dong— Mas Dani sudah nggak mau sama kamu!" Bianka sengaja menaikkan suaranya agar diperhatikan beberapa tamu yang ada di restoran hotel. Dengan begitu, dia bisa mempermalukan Vena habis-habisan. Terbakar emosi, Vena menuding wajah Bianka sambil menegaskan, "aku bukan pelakor nggak waras kayak kamu. Aku punya harga diri, nggak murahan sepertimu!" "Hei!" Daniel menepis tangan Vena dari wajah Bianka. Otot-otot wajahnya menegang, pertanda mulai marah. Dia balik menuding wajah Vena. "Jangan seenaknya menghina Bianka. Dia ini istriku sekarang, istri Daniel Adinata! Jangan seenaknya menghina!" "Dia duluan yang menghinaku!" Bianka bersikap manja dengan melingkarkan tangan di lengan suaminya. Dia pura-pura ketakutan saat menghasut, "aku takut banget, Sayang. Apa kubilang— mantan istri kamu obsesi sama kamu. Dia mengikuti kita terus. Aku takut dia melukaiku nanti. Mending suruh satpam buat usir dia dari hotel ini." Daniel masih memandang rendah Vena. "Kamu dengar 'kan istriku ngomong apa? Kamu mau pergi sendiri atau aku panggil satpam buat ngusir kamu?" "Seenaknya saja kamu ngusir aku! Kamu nggak bisa ngusir aku begitu saja! Ini juga bukan hotel milik kamu. Kamu bukan siapa-siapa!" "Justru aku yang harusnya bilang kalau kamu itu bukan siapa-siapa, Vena. Kalau aku suruh satpam ngusir kamu, jelas kamu diusir. Aku berhak ngusir stalker yang buat aku nggak nyaman." Usai berkata demikian, tiba-tiba ada suara dari belakang mereka yang berseru, "siapa kalian berani ngusir istri saya dari sini?" Daniel dan Bianka kompak menoleh, langsung dibuat penasaran dengan sosok pria tampan yang berpenampilan begitu parlente. Ekspresi wajah pria itu kian dingin, sorot mata pun menajam kepada Daniel. Dengan suara angkuh, dia menantang lagi, "jangan malah diam saja, ayo bicara! Apa hak kalian berani ngusir istri saya dari sini?" ***Daniel dan Bianka masih mematung di tempat. Keduanya tidak percaya dengan perkataan orang asing yang mengatakan kalau Vena adalah istrinya.Masih tidak percaya, Daniel bertanya, "siapa kamu? Datang-datang ikut campur urusan orang. Istri mana yang kamu maksud?"Orang yang diajak bicara berhenti di sebelah Vena. Dia meraih telapak tangan wanita itu, kemudian menjawab, "nama saya Mario, saya suami dari Vena."Nada bicaranya dipenuhi perasaan geram. Dia sudah tahu sebagian kelakuan busuk Daniel dan Bianka terhadap sang istri di masa lalu.Ia melanjutkan, "jadi, ada urusan apa kalian sama istri saya? Berani-beraninya kalian bicara kasar sama dia di tempat umum begini? Apa salahnya?"Tak hanya Daniel, Bianka pun tidak percaya kalau Vena bukan janda lagi, padahal baru berpisah beberapa bulan. Dia menyindir Vena, "baru juga jadi janda, sudah nikah lagi?""Apa urusannya sama kamu aku sudah nikah atau belum? Aku sama Dani juga sudah resmi cerai," sergah Vena cepat."Nggak apa-apa, tapi itu suda
Daniel tetap percaya diri. Dia masih mengira kalau memang Vena terobsesi padanya sehingga mengikuti kemana-mana. Dia melirik Mario sambil tersenyum, lalu menyindir halus, "sudah, Ma, nggak usah ngomong apa-apa lagi, kasihan loh suaminya— sekarang jadi tahu kalau istri yang baru dinikahi belum bisa move on dari mantan suami."Vena menggeleng. Dia membantah, "kamu keterlaluan, Dani! Tolong jangan terlalu narsis! Siapa yang belum move on sama tukang selingkuh kayak kamu?""Tukang selingkuh kamu bilang? Kamu masih berani playing victim? Nggak sadar kamu itu nggak bisa ngasih keturunan, lagian kata Bianka juga pasti benar, pria ini—“ Daniel menuding wajah Mario dengan perasaan jengkel. Dia lanjut menghina, ”pasti selingkuhan kamu 'kan? Pantas dulu kamu sering keluyuran, lupa sama pekerjaan rumah.""Aku nggak keluyuran tanpa alasan, aku sibuk mengurus pemakaman anakku!"Ibu Rita ikut bicara, "benar kata Dani. Pokoknya, mulai sekarang stop muncul di kehidupan anak saya, awas kalau kamu masi
Mario terlanjur kesal dengan apa yang terjadi di hotel sehingga dia membawa istrinya untuk pulang. Kediaman Winata adalah berdiri di daerah perumahan elite. Bangunan tiga lantai tersebut termasuk salah satu yang paling megah di sana. Sejak menikah, Vena sudah menjadi sang nyonya rumah itu. Dia tinggal bersama Mario serta lima orang asisten rumah tangga. Orangtua Mario sudah lama meninggal dunia, jadi dia tak memiliki mertua. Meski demikian, ada bibi yang selalu tiba-tiba ada di rumah untuk memantau keadaan mereka. "Akhirnya pulang juga kamu, Mario!" sambutnya begitu melihat Mario masuk rumah. Wanita empat puluh tahunan itu lantas memluknya seraya berkata lagi, "tante sudah capek nunggu kamu pulang dari jam sepuluh." "Maaf, Tante Ruth, tadi di hotel ada masalah sedikit," sahut Mario letih. "Iya tante tahu, barusan dikabari sama Pak Henry, gara-gara istri baru kamu ini buat keributan di hotel, kan?" "Nggak, gara-gara keluarga narsis yang cari keributan di restoran hotel." "Kel
Mario mendekati sang istri dengan pandangan cemas. Ketika sadar wajah wanita itu murung, dia jadi ikutan sedih."Sayang ..." pria itu meraih telapak tangan Vena, "kamu nggak apa-apa?""Enggak apa-apa, kok.""Tolong jangan diambil hati omongan Tante barusan. Walau suka ngomel, Tante sebenarnya baik. Tante agak sensitif ke orang baru soalnya pernah ketipu. Kita belum lama kenal terus langsung memutuskan menikah, jadinya curiga mulu ke kamu."”Tapi, Tante Ruth benar, nikah sama janda itu bawa banyak masalah buat kamu.""Kita sudah nikah, masalah kamu itu masalahku juga. Terserah orang-orang mau ngomong apa, yang menjalani hidup rumah tangga ini 'kan kita."Rasa tenang nan haru menyelimuti diri Vena. Dia menatap kedua mata Mario dalam-dalam. Setelah menguatkan diri, dia berani bertanya, ”kamu kenapa mau nikah sama aku? Karena ayah? Apa ini balas budi? Kamu kasihan soalnya sekarang aku nggak punya siapa-siapa?""Kamu dengar i
"Mas! Kamu ini apa-apaan sih? Ngapain ngundang mantan istri kamu!" Omelan Bianka tak berhenti semenjak Daniel menutup sambungan telepon.Raut wajah Daniel masih tegang. Tangannya tampak meremas ponsel. Emosi naik usai mendengar suara suami baru Vena yang menjawab.Bukannya merespon omelan istrinya, dia malah menggerutu, "kurang ajar, berani banget dia mutus telponku begitu saja. Dia pikir dia itu siapa? Hanya karena dia owner hotel bintang lima, dia bisa menginjakku, hah?"Sudah terlihat jelas, dia merasa tersaingi dan terluka. Sejak pulang dari hotel karena diusir, kebanggaannya seolah tercabik-cabik.Bianka makin kesal karena diabaikan. Dia menyambar lengan sang suami, lalu berkata lebih keras, "Mas Dani, jangan diam saja! Kamu kenapa ngundang wanita itu ke acara syukuran kita? Aku nggak mau! Aku sudah menahan malu tadi diusir dari hotel, nggak sudi ketemu wanita udik itu lagi!""Kamu ini bisa diam dulu nggak?! Dari tadi ngomel terus! A
"Sudah siap, Nyonya Sayang?"Suara Mario mengaburkan lamunan Vena yang tengah bercermin di depan meja rias. Sedari tadi, dia hanyut dalam pemikirannya sendiri. Beberapa bulan silam, dia tak ada waktu untuk merawat diri sendiri. Kini, sejak menikahi Mario, dia tak perlu melakukan pekerjaan rumah, tak perlu mengurus apapun dengan tangan sendiri. Bahkan, dia dimanjakan oleh suami baru dengan spa pribadi yang langsung datang ke rumah.Alhasil, dia melihat dirinya seperti orang yang berbeda. Dalam balutan baju kasual tapi bermerek mahal, dalam riasan natural tapi begitu elegan— dia benar-benar seorang 'Nyonya'.Karena tidak dibalas, Mario mendekatinya, berdiri tepat di belakang wanita itu. Dia tersenyum melihat pantulan sang istri melalui cermin."Cantik dan elegan," pujinya."Makasih." Vena tersipu. Meski mendengar itu hampir setiap hari, tapi rasanya masih malu. Dia melempar senyuman manis ke sang suami. "Kamu juga sudah ganteng.""Masa, sih?""Iya." Vena berdiri, lalu berbalik badan d
Bianka menaikkan sedikit dagu, sikap culasnya mulai kelihatan. Dia memandang rendah Vena."Kenapa kamu diam saja? Sadar diri kalau cantik cuma gara-gara make up?" ucapnya kemudian.Vena menjawab, "buat apa aku mendebat hal yang nggak penting kayak gitu? Tujuanku sama suamiku ke sini cuma untuk membahas hutang itu.""Padahal kamu bisa saja nggak ikut, tapi kamu milih ikut ke sini, pasti cari perhatian ke suamiku 'kan?""Suami kamu sendiri yang ngundang aku. Setelah aku datang, kamu nuduh aku cari perhatian? Sekarang, yang cari perhatian itu siapa?"Bianka kesal dengan keberanian Vena membalas perkataan. Padahal, sebelumnya, wanita itu takkan berani begitu. "Seperti yang aku bilang, kamu bisa saja nggak ikut 'kan? Cukup suami kamu saja yang datang, ngapain kamu ikut segala? Mau pamer wajah sok cantik hasil make up biar dilirik sama suami orang?""Suamiku seharusnya nggak perlu buang-buang waktunya buat ke sini, tapi apa kenyataanya
Mario dan Daniel masih di teras. Tetapi, Mario sudah ingin menyudahi semua perdebatan. Dia berkata, "sebaiknya nggak usah basa-basi lagi, kita selesaikan semua sekarang. Tinggal sebut saja nominalmya, saya transfer. Tapi, di dalam nanti, saya minta kamu sama keluarga kamu jangan menghina Vena lagi." "Oh yang benar saja?" Daniel masih mempertahankan sisi angkuhnya. Dia bertanya, "menurutmu dengan membayar semua kerugian saya menikah sama wanita itu— semua beres begitu saja? Sudah saya bilang tadi, saya nggak cuma rugi secara materi, tapi juga waktu." "Terus apa lagi mau kamu?!" "Kalian buat saya malu di hotel waktu itu, ada orang yang majang pengusiran itu di media sosial, bikin malu saya." "Kamu punya malu? Setelah nuduh istri saya stalker, setelah teriak-teriak seperti orang gila untuk mempermalukan istri saya waktu itu? Sekarang bilang— kamu punya malu?“ "Jangan mentang-mentang kamu owner Jar
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i