Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan.
Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah. Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak. Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan. Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi. Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi. Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil. "Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di layar ponsel. Tetapi, dia segera mengangkatnya tanpa ragu. "Halo, selamat pagi, saya Vena. Ini siapa, ya?" "Selamat pagi, Bu Vena, ini benar nomornya Katering Valeria? Saya dapat nomor ini dari iklan katering Ibu di internet." "Oh—“ Mata Vena berbinar penuh harap. Akhirnya setelah tiga bulan memasang iklan di media sosial, ada yang menghubunginya. Dengan gembira, dia merespon, "iya, Bu. Ini Katering Valeria." "Nama saya Erika, saya tertarik buat order paket makan siang Anak-anak. Ini harga sesuai yang tertera di iklan 'kan?" "Iya, Bu. Semua sesuai." "Apa bisa saya pesan seratus kotak untuk hari Sabtu depan?" Vena agak kaget tahu-tahu mendapat orderan seratus kotak. Tetapi, dia tidak boleh menolak permintaan pertama ini. "Iya, Bu, bisa. Untuk pengirimannya bagaimana?" "Nanti biar orang lain ke sana buat mengambil, tolong disiapkan sebelum jam sepuluh." "Baik, untuk DP—” Penelpon menyela, "saya langsung bayar penuh saja, Bu, tolong kirimkan nomor rekeningnya." "Eh ... baik." Vena sebenarnya agak heran, kok bisa ada orang yang begitu percaya langsung bayar penuh hanya dengan melihat iklan? Tetapi, dia tak terlalu peduli karena uang tabungannya menipis. Daniel meninggalkannya tanpa sepeser uang. Untuk mencari kerja di luaran sana sangat sulit mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun, pengalaman pun kurang. Satu-satunya cara mendapat pemasukan adalah bisnis kecil-kecilan seperti ini. *** Erika selesai mentransfer sejumlah uang ke rekening Vena lewat ponsel. Lalu, dia melapor ke pria yang duduk di sebelahnya. "Sudah terkirim, Pak Mario." Mario masih menengok ke luar jendela mobil. Pandangan mata lurus ke seberang jalan, tepatnya di rumah Vena yang sedang tertutup. "Pak?" Erika heran. Wanita tiga puluh tahunan berpakaian serba formal itu menepuk lengan pria itu. "Pak Mario? Jangan melamun terus, Pak." Mario tersadar masih satu mobil bersama sang sekretaris. Dia merespon, "Saya tadi bilang harusnya tadi kamu pesan seribu kotak nasi, kalau seratus itu untungnya kurang buat Vena." "Kasihan kalau seribu kotak. Ini bisnis rumahan, tolong jangan samakan sama katering langganan Bapak." "Tapi kalau seratus hitungan kasarnya..." Mario tampak berpikir serius. "... Vena cuma dapat dua juta, misalnya per kotak biaya produksi dua belas ribu, dia untung per kotak delapan ribu. Seratus kotak dapat delapan ratus. Kalau saja seribu kotak bisa delapan juta, apalagi kalau lima ribu kotak, untungnya—“ "Pak ..." Erika menghentikan bosnya berpikir terlalu dalam. "Saya takjub, walaupun Bapak sibuk sama urusan pemasaran resort, Bapak masih sempat cari info harga pasaran nasi kotak. Tapi tolong diingat, Pak, tangan Bu Vena cuma dua, nggak ada pegawai lagi, Bapak ini mau menyiksa atau bagaimana?” “Saya nggak tega kalau dia hanya untung delapan ratus ribu. Hidup di kota ini keras, apa-apa butuh uang, sementara dia sendirian ..." kata Mario gundah. Dia kembali menengok ke luar jendela— dan bertepatan dengan itu, Vena baru keluar rumah sambil membawa keranjang belanja. Erika bisa melihat sorot mata Mario yang begitu dalam. "Bapak kenal sama Ibu Vena itu?” "Nggak kenal juga, saya kenalnya sama mendiang Pak Wildan, orang yang dulu pernah bantu promosi salah satu bisnis keluarga saya. Empat bulan yang lalu, saya dapat info kalau bayinya meninggal dunia, niat saya mau melayat— tapi setelah tahu dia sedang proses cerai sama suaminya, saya nggak mungkin dekat-dekat dia." "Terus sekarang Ibu Vena sudah bercerai dan Bapak mau bantu finansialnya lewat cara ini?“ "Iya, saya dapat info suaminya kayak sampah, meninggalkan dia tanpa uang sedikitpun. Sudah sebulan saya lihat nggak ada yang order kateringnya juga. Kurang ajar banget orang-orang. Masa nggak ada yang order? Saya yakin masakannya enak." Tanpa sadar, Mario kesal sendiri karena usaha katering Vena kurang menarik perhatian. Dia berpendapat, "kayaknya saya harus bantu promosi diam-diam." Erika menahan tawa. Dia menggoda bosnya dengan berkata, "ini sebenarnya mau bantu atau usaha pendekatan sih, Pak?" "Jangan sembarangan kamu. Pendekatan apa? Ini murni cuma membantu saja. Wajar 'kan sesama pengusaha saling bantu, apalagi dulu ayahnya pernah bantu keluarga saya." "Oh balas budi ceritanya ..." Erika makin ingin tertawa. Dia betah mengganggu bosnya. "Jadi ini alasan Bapak sebulan belakangan telat mulu kalau ada rapat sama pemegang saham? Lagi stalk calon istri?" "Mending kamu buka laptop, terus ketik ulang poin-poin yang kemarin saya bilang, bentar lagi kita rapat." "Loh, Bapak kok mengalihkan pembicaraan? Nggak usah malu-malu, Pak. Cerita sedikit sama saya. Awal suka sama Ibu Vena itu bagaimana? Niat cuma memantau dari kejauhan, tapi malah jatuh cinta, begitu?” Mendengar omongan jahil Erika makin menjadi-jadi, Mario kian resah. Dia buru-buru menoleh ke sopir yang ada di depan. "Pak, jalan." Sebelum benar-benar pergi, dia kembali menoleh ke luar jendela— senyumnya mengembang di bibir kala melihat Vena, seakan dipenuhi rasa kagum dan kedamaian. ***Vena baru saja membuka pintu, dan dihadapkan dengan orang asing.Seorang pria tiga puluh tahunan yang terbalut jas hitam tertutup nan rapi, tapi bentuk tubuhnya tercetak jelas. Tinggi tegap, bahu lebar, lengan berotot. Ditambah wajah rupawan yang terhias oleh mata hitam tajam serta rahang tegas, daya pikatnya amat luar biasa."Iya, Mas?" Vena sampai menahan napas melihat sosoknya. "A-ada yang bisa saya bantu?""Selamat pagi, saya Mario ..." jawab pria itu sambil tebar senyuman manis. Dia ingin memberikan kesan pertama yang memukau. Sambil menunjukkan kwitansi pembayaran di layar ponsel, dia berkata lagi, "... Saya yang mengambil pesanan atas nama Erika." "Mas Mario? oh iya, tadi Ibu Erika sudah bilang. Pesanan ada di dalam, ini saya angkat ke mana?" "Saya bawa mobil. Kamu nggak usah angkat-angkat, biar sopir saya saja—" sahut Mario saat menengok ke mobil mewah yang ada di depan rumah. Di sebelahnya sudah berdiri seorang pria berseragam hitam. "Pak Hardi, tolong bantuannya."Tanpa m
Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis.Iya, seperti sekarang.Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat."Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena.Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?"Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi.Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!""Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?""Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terim
Daniel dan Bianka masih mematung di tempat. Keduanya tidak percaya dengan perkataan orang asing yang mengatakan kalau Vena adalah istrinya.Masih tidak percaya, Daniel bertanya, "siapa kamu? Datang-datang ikut campur urusan orang. Istri mana yang kamu maksud?"Orang yang diajak bicara berhenti di sebelah Vena. Dia meraih telapak tangan wanita itu, kemudian menjawab, "nama saya Mario, saya suami dari Vena."Nada bicaranya dipenuhi perasaan geram. Dia sudah tahu sebagian kelakuan busuk Daniel dan Bianka terhadap sang istri di masa lalu.Ia melanjutkan, "jadi, ada urusan apa kalian sama istri saya? Berani-beraninya kalian bicara kasar sama dia di tempat umum begini? Apa salahnya?"Tak hanya Daniel, Bianka pun tidak percaya kalau Vena bukan janda lagi, padahal baru berpisah beberapa bulan. Dia menyindir Vena, "baru juga jadi janda, sudah nikah lagi?""Apa urusannya sama kamu aku sudah nikah atau belum? Aku sama Dani juga sudah resmi cerai," sergah Vena cepat."Nggak apa-apa, tapi itu suda
Daniel tetap percaya diri. Dia masih mengira kalau memang Vena terobsesi padanya sehingga mengikuti kemana-mana. Dia melirik Mario sambil tersenyum, lalu menyindir halus, "sudah, Ma, nggak usah ngomong apa-apa lagi, kasihan loh suaminya— sekarang jadi tahu kalau istri yang baru dinikahi belum bisa move on dari mantan suami."Vena menggeleng. Dia membantah, "kamu keterlaluan, Dani! Tolong jangan terlalu narsis! Siapa yang belum move on sama tukang selingkuh kayak kamu?""Tukang selingkuh kamu bilang? Kamu masih berani playing victim? Nggak sadar kamu itu nggak bisa ngasih keturunan, lagian kata Bianka juga pasti benar, pria ini—“ Daniel menuding wajah Mario dengan perasaan jengkel. Dia lanjut menghina, ”pasti selingkuhan kamu 'kan? Pantas dulu kamu sering keluyuran, lupa sama pekerjaan rumah.""Aku nggak keluyuran tanpa alasan, aku sibuk mengurus pemakaman anakku!"Ibu Rita ikut bicara, "benar kata Dani. Pokoknya, mulai sekarang stop muncul di kehidupan anak saya, awas kalau kamu masi
Mario terlanjur kesal dengan apa yang terjadi di hotel sehingga dia membawa istrinya untuk pulang. Kediaman Winata adalah berdiri di daerah perumahan elite. Bangunan tiga lantai tersebut termasuk salah satu yang paling megah di sana. Sejak menikah, Vena sudah menjadi sang nyonya rumah itu. Dia tinggal bersama Mario serta lima orang asisten rumah tangga. Orangtua Mario sudah lama meninggal dunia, jadi dia tak memiliki mertua. Meski demikian, ada bibi yang selalu tiba-tiba ada di rumah untuk memantau keadaan mereka. "Akhirnya pulang juga kamu, Mario!" sambutnya begitu melihat Mario masuk rumah. Wanita empat puluh tahunan itu lantas memluknya seraya berkata lagi, "tante sudah capek nunggu kamu pulang dari jam sepuluh." "Maaf, Tante Ruth, tadi di hotel ada masalah sedikit," sahut Mario letih. "Iya tante tahu, barusan dikabari sama Pak Henry, gara-gara istri baru kamu ini buat keributan di hotel, kan?" "Nggak, gara-gara keluarga narsis yang cari keributan di restoran hotel." "Kel
Mario mendekati sang istri dengan pandangan cemas. Ketika sadar wajah wanita itu murung, dia jadi ikutan sedih."Sayang ..." pria itu meraih telapak tangan Vena, "kamu nggak apa-apa?""Enggak apa-apa, kok.""Tolong jangan diambil hati omongan Tante barusan. Walau suka ngomel, Tante sebenarnya baik. Tante agak sensitif ke orang baru soalnya pernah ketipu. Kita belum lama kenal terus langsung memutuskan menikah, jadinya curiga mulu ke kamu."”Tapi, Tante Ruth benar, nikah sama janda itu bawa banyak masalah buat kamu.""Kita sudah nikah, masalah kamu itu masalahku juga. Terserah orang-orang mau ngomong apa, yang menjalani hidup rumah tangga ini 'kan kita."Rasa tenang nan haru menyelimuti diri Vena. Dia menatap kedua mata Mario dalam-dalam. Setelah menguatkan diri, dia berani bertanya, ”kamu kenapa mau nikah sama aku? Karena ayah? Apa ini balas budi? Kamu kasihan soalnya sekarang aku nggak punya siapa-siapa?""Kamu dengar i
"Mas! Kamu ini apa-apaan sih? Ngapain ngundang mantan istri kamu!" Omelan Bianka tak berhenti semenjak Daniel menutup sambungan telepon.Raut wajah Daniel masih tegang. Tangannya tampak meremas ponsel. Emosi naik usai mendengar suara suami baru Vena yang menjawab.Bukannya merespon omelan istrinya, dia malah menggerutu, "kurang ajar, berani banget dia mutus telponku begitu saja. Dia pikir dia itu siapa? Hanya karena dia owner hotel bintang lima, dia bisa menginjakku, hah?"Sudah terlihat jelas, dia merasa tersaingi dan terluka. Sejak pulang dari hotel karena diusir, kebanggaannya seolah tercabik-cabik.Bianka makin kesal karena diabaikan. Dia menyambar lengan sang suami, lalu berkata lebih keras, "Mas Dani, jangan diam saja! Kamu kenapa ngundang wanita itu ke acara syukuran kita? Aku nggak mau! Aku sudah menahan malu tadi diusir dari hotel, nggak sudi ketemu wanita udik itu lagi!""Kamu ini bisa diam dulu nggak?! Dari tadi ngomel terus! A
"Sudah siap, Nyonya Sayang?"Suara Mario mengaburkan lamunan Vena yang tengah bercermin di depan meja rias. Sedari tadi, dia hanyut dalam pemikirannya sendiri. Beberapa bulan silam, dia tak ada waktu untuk merawat diri sendiri. Kini, sejak menikahi Mario, dia tak perlu melakukan pekerjaan rumah, tak perlu mengurus apapun dengan tangan sendiri. Bahkan, dia dimanjakan oleh suami baru dengan spa pribadi yang langsung datang ke rumah.Alhasil, dia melihat dirinya seperti orang yang berbeda. Dalam balutan baju kasual tapi bermerek mahal, dalam riasan natural tapi begitu elegan— dia benar-benar seorang 'Nyonya'.Karena tidak dibalas, Mario mendekatinya, berdiri tepat di belakang wanita itu. Dia tersenyum melihat pantulan sang istri melalui cermin."Cantik dan elegan," pujinya."Makasih." Vena tersipu. Meski mendengar itu hampir setiap hari, tapi rasanya masih malu. Dia melempar senyuman manis ke sang suami. "Kamu juga sudah ganteng.""Masa, sih?""Iya." Vena berdiri, lalu berbalik badan d