Share

02. Perceraian

Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan.

Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah.

Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak.

Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan.

Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi.

Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi.

Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil.

"Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di layar ponsel. Tetapi, dia segera mengangkatnya tanpa ragu. "Halo, selamat pagi, saya Vena. Ini siapa, ya?"

"Selamat pagi, Bu Vena, ini benar nomornya Katering Valeria? Saya dapat nomor ini dari iklan katering Ibu di internet."

"Oh—“ Mata Vena berbinar penuh harap. Akhirnya setelah tiga bulan memasang iklan di media sosial, ada yang menghubunginya. Dengan gembira, dia merespon, "iya, Bu. Ini Katering Valeria."

"Nama saya Erika, saya tertarik buat order paket makan siang Anak-anak. Ini harga sesuai yang tertera di iklan 'kan?"

"Iya, Bu. Semua sesuai."

"Apa bisa saya pesan seratus kotak untuk hari Sabtu depan?"

Vena agak kaget tahu-tahu mendapat orderan seratus kotak. Tetapi, dia tidak boleh menolak permintaan pertama ini. "Iya, Bu, bisa. Untuk pengirimannya bagaimana?"

"Nanti biar orang lain ke sana buat mengambil, tolong disiapkan sebelum jam sepuluh."

"Baik, untuk DP—”

Penelpon menyela, "saya langsung bayar penuh saja, Bu, tolong kirimkan nomor rekeningnya."

"Eh ... baik." Vena sebenarnya agak heran, kok bisa ada orang yang begitu percaya langsung bayar penuh hanya dengan melihat iklan?

Tetapi, dia tak terlalu peduli karena uang tabungannya menipis. Daniel meninggalkannya tanpa sepeser uang.

Untuk mencari kerja di luaran sana sangat sulit mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun, pengalaman pun kurang. Satu-satunya cara mendapat pemasukan adalah bisnis kecil-kecilan seperti ini.

***

Erika selesai mentransfer sejumlah uang ke rekening Vena lewat ponsel. Lalu, dia melapor ke pria yang duduk di sebelahnya. "Sudah terkirim, Pak Mario."

Mario masih menengok ke luar jendela mobil. Pandangan mata lurus ke seberang jalan, tepatnya di rumah Vena yang sedang tertutup.

"Pak?" Erika heran. Wanita tiga puluh tahunan berpakaian serba formal itu menepuk lengan pria itu. "Pak Mario? Jangan melamun terus, Pak."

Mario tersadar masih satu mobil bersama sang sekretaris. Dia merespon, "Saya tadi bilang harusnya tadi kamu pesan seribu kotak nasi, kalau seratus itu untungnya kurang buat Vena."

"Kasihan kalau seribu kotak. Ini bisnis rumahan, tolong jangan samakan sama katering langganan Bapak."

"Tapi kalau seratus hitungan kasarnya..." Mario tampak berpikir serius. "... Vena cuma dapat dua juta, misalnya per kotak biaya produksi dua belas ribu, dia untung per kotak delapan ribu. Seratus kotak dapat delapan ratus. Kalau saja seribu kotak bisa delapan juta, apalagi kalau lima ribu kotak, untungnya—“

"Pak ..." Erika menghentikan bosnya berpikir terlalu dalam. "Saya takjub, walaupun Bapak sibuk sama urusan pemasaran resort, Bapak masih sempat cari info harga pasaran nasi kotak. Tapi tolong diingat, Pak, tangan Bu Vena cuma dua, nggak ada pegawai lagi, Bapak ini mau menyiksa atau bagaimana?”

“Saya nggak tega kalau dia hanya untung delapan ratus ribu. Hidup di kota ini keras, apa-apa butuh uang, sementara dia sendirian ..." kata Mario gundah.

Dia kembali menengok ke luar jendela— dan bertepatan dengan itu, Vena baru keluar rumah sambil membawa keranjang belanja.

Erika bisa melihat sorot mata Mario yang begitu dalam. "Bapak kenal sama Ibu Vena itu?”

"Nggak kenal juga, saya kenalnya sama mendiang Pak Wildan, orang yang dulu pernah bantu promosi salah satu bisnis keluarga saya. Empat bulan yang lalu, saya dapat info kalau bayinya meninggal dunia, niat saya mau melayat— tapi setelah tahu dia sedang proses cerai sama suaminya, saya nggak mungkin dekat-dekat dia."

"Terus sekarang Ibu Vena sudah bercerai dan Bapak mau bantu finansialnya lewat cara ini?“

"Iya, saya dapat info suaminya kayak sampah, meninggalkan dia tanpa uang sedikitpun. Sudah sebulan saya lihat nggak ada yang order kateringnya juga. Kurang ajar banget orang-orang. Masa nggak ada yang order? Saya yakin masakannya enak." Tanpa sadar, Mario kesal sendiri karena usaha katering Vena kurang menarik perhatian. Dia berpendapat, "kayaknya saya harus bantu promosi diam-diam."

Erika menahan tawa. Dia menggoda bosnya dengan berkata, "ini sebenarnya mau bantu atau usaha pendekatan sih, Pak?"

"Jangan sembarangan kamu. Pendekatan apa? Ini murni cuma membantu saja. Wajar 'kan sesama pengusaha saling bantu, apalagi dulu ayahnya pernah bantu keluarga saya."

"Oh balas budi ceritanya ..." Erika makin ingin tertawa. Dia betah mengganggu bosnya. "Jadi ini alasan Bapak sebulan belakangan telat mulu kalau ada rapat sama pemegang saham? Lagi stalk calon istri?"

"Mending kamu buka laptop, terus ketik ulang poin-poin yang kemarin saya bilang, bentar lagi kita rapat."

"Loh, Bapak kok mengalihkan pembicaraan? Nggak usah malu-malu, Pak. Cerita sedikit sama saya. Awal suka sama Ibu Vena itu bagaimana? Niat cuma memantau dari kejauhan, tapi malah jatuh cinta, begitu?”

Mendengar omongan jahil Erika makin menjadi-jadi, Mario kian resah. Dia buru-buru menoleh ke sopir yang ada di depan. "Pak, jalan."

Sebelum benar-benar pergi, dia kembali menoleh ke luar jendela— senyumnya mengembang di bibir kala melihat Vena, seakan dipenuhi rasa kagum dan kedamaian.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status