"Jangan bandel Ran." Atisha merebut kembali sushinya dari jepitan sumpit sahabatnya. Membuat Rani mencebik kesal. Keduanya tengah duduk salah-satu sudut restoran Jepang langganan mereka. "Satu aja Tisha, gue ngiler banget pengen makan sushi." Rani berenggut kesal, sementara Atisha mendelik. "Ikan mentah nggak baik untuk kesehatan ibu hamil kayak kamu." Rani berenggut menatap sup jangung di depannya tanpa minat. Perempuan itu tengah berbadan dua setelah satu tahun lebih pernikahannya. Waktu tanpa terasa begitu cepat berlalu, keduanya menikah dengan perbedaan rentang waktu yang hanya berselang beberapa hari. Melihat bagaimana sahabat begitu menikmati masa-masa indah menjadi calon Ibu, membuat Atisha merasakan keinginan seperti apa yang dialami sahabatnya. Namun, ia cukup sadar diri bahwa pernikahannya tidak seperti pernikahan pada umumnya, bahkan menjelang tahun kedua pernikahan mereka. Raffan terlihat sama sekali tidak memiliki minat padanya, sementara Atisha sendiri? Entah jenis pera
"Mama ... kangen banget!" Atisha berucap lembut. Antusias saat cipika-cipiki dengan mertuanya. "Maaf ya Ma, kemarin Atisha nggak bisa ikut sama Mas Raf buat jemput Mama di bandara," ucap Atisha sambil meringis, keduanya melewati ruang tamu, lalu berhenti di ruang keluarga. "Nggak papa, oh iyya suami kamu dimana?" Raisa dan Atisha duduk di sofa depan tv. "Tadi sih lagi mandi Ma, sebentar ya Ma, Atisha bikin minum dulu. Sekalian memanggil mas Raffan." Raisha mengangguk sambil menatap punggung menantunya, sedikit kecewa saat perut menantunya masih datar, padahal selama beberapa bulan di luar negeri, ia berharap bisa menggendong cucu setelah kembali ke tanah air. "Kok nggak bilang mau kesini? Raffan bisa jemput mama tadi sepulang kerja kalau tau mama mau kesini." Pria itu mencium punggung tangan Raisa lalu duduk di sampingnya. "Mama cuma mampir kok, ini mau langsung ke Bandung ke rumah tante kamu. Pernikahan Narendra Selasa mendatang, kamu datang kan?" "Iya, lusa deh Raffan sama Atis
"Tuhan tau, seberapa besar aku sayang sama kamu Atisha, bagaimana hidup aku tanpa kamu." "Artisha juga sayang banget sama mas Raf." Keduanya terdiam, menyelami perasaan mereka yang begitu besarnya untuk satu sama lain. Tanpa menyadari, beberapa saat lalu seorang pemuda berdiri diambang ruangan itu, menatap jengah kearah mereka."Kalian mau berpelukan sampai kapan sih? Get a room. I don't want to see this!" Kesal Rayyan, berhasil membuat keduanya salah tingkah. Namun Raffan tak melepas rengkuhan, karena istrinya sedang tak memakai cadarnya, setidaknya ia lega karena posisi Atisha membelakangi adiknya."Kamu nggak bisa ketuk pintu atau mengucapkan salam dulu sebelum masuk rumah orang?!" Geram Raffan menatap tajam kearah Rayyan. "Gue udah mencet bel dari tadi, dan kalian sibuk bermesraan disini. Untung pintunya tidak terkunci," jawab Rayyan tak kalah kesal."Aku nggak suka kamu masuk seenaknya di rumah ini, tanpa mengabari terlebih dulu." Raffan berdecak melihat tingkah pemuda itu."Ya
Raffan berdiri dengan gelisah sesaat setelah tirai ditutup. Pria itu tengah berada lama ruangan yang ada di salah-satu klinik fertilitas terbesar Bali, liburan mereka hanya dalih untuk menepi dari kesibukan pekerjaan sekaligus melakukan program inseminasi buatan tanpa sepengetahuan keluarga. Meski Ghifari group memiliki banyak cabang rumah sakit di berbagai kota dengan fasilitas yang luar biasa canggih, namun keduanya memilih melakukan program inseminasi buatan di luar dari unit fasilitas kesehatan Ghifari group. Mereka tidak ingin program inseminasi yang mereka jalani terendus oleh pihak keluarga.Raffan terasa tercekik dengan udara yang ia hirup saat ini, tangannya terkepal erat serta giginya gemeletuk menahan tumpukan emosi yang serasa menyerbunya dari segala arah. Membuat pria itu menghela nafas gusar berkali-kali, sebelum menyibak tirai di depannya dengan tidak sabaran."Berhenti!" ucapnya dengan suara bergetar, matanya memerah saat menatap istrinya yang tengah terbaring pasrah, A
Raffan benar-benar serius dengan ucapannya, mereka pulang ke Jakarta, pria itu kembali memulai terapi dengan psikolognya. Kali ini Raffan optimis karena keberadaan Atisha yang mendukung sepenuhnya. Bahkan atas usul psikolognya, mereka berdua di tempat ini, untuk mulai mengikuti couple therapy. Atisha dan Raffan duduk bersisian, keduanya saling berpegangan tangan. Kontak fisik diantara mereka selama ini memang hanya sebatas pegangan tangan dan pelukan namun tanpa melibatkan perasaan secara emosional di dalamnya, karena selama ini Raffan secara spontan selalu menepis perasaan itu di alam bawah sadarnya. "Coba kalian hadirkan, perasaan yang kalian miliki untuk satu sama lain pada setiap kontak fisik yang terjadi di antara kalian. Mulailah dari hal-hal kecil seperti ini." Psikiater menyarankan mereka untuk menghadirkan perasaan itu, mulai dari saling memandang, keduanya mencoba menyelami seberapa dalam perasaan mereka miliki untuk satu sama lain. Jantung mereka berdedak cepat dengan seira
"Ha ... halo." Rayyan berucap terbata, dengan tubuh bergetar hebat. Penampilannya tampak begitu kacau, ujung jasnya yang berwarna abu-abu, berlumuran darah."Gue Rayyan—" Pria itu berhenti sejenak, menyeka air matanya dengan tangan yang juga berlumuran darah."Di rumah sakit Mitra Medika, gu—gue dan Raffan disini. Raffan udah nggak ada, Raffan ditikam orang tak dikenal." Rayyan memejamkan mata, menghela nafas sejenak membuangnya dengan kasar, ada kegetiran diakhir kalimatnya. "To–tolong bilang ke Mama Papa. Gue nggak tau harus bilang apa ..." Rayyan mematikan telponnya, merosot ke lantai, kakinya sejak tadi lemas tak mampu menahan bobot tubuhnya. Di selasar rumah sakit, pria ia menunduk dalam, menangis meraung tak tau malu, mengabaikan pandangan orang-orang disekitarnya. Perawat mencoba membantunya untuk berdiri dan meminta untuk mengikhlaskan kepergiannya, tapi pria itu justru berontak, bagaimana ia bisa ikhlas? Kakaknya adalah manusia yang sama sekali tidak pernah bertengkar, apala
Atisha duduk termenung di pinggir kolam renang sambil menurunkan kedua kakinya di dalam kolam, Ia menatap saksama permukaan air. Beberapa kali ia menunggu akan ada bayangan lain di sampingnya dan ikut bergabung bersamanya, lalu bayangan itu akan menanyakan seluruh aktivitasnya pada hari itu. "Atisha, kamu ngapain di situ?!" Panggilan itu membuat Atisha menoleh sambil tersenyum. Ia lalu mengangkat kakinya yang mulai mengerut karena terlalu lama di dalam air. Dengan langkah tergopoh-gopoh Atisha menghampiri ibu mertuanya."Mama di sini? Sama siapa?" Tanya Atisha dengan senyum mengembang lalu mencium punggung tangan mertuanya, ia selalu bahagia jika mertuanya bertandang ke rumah mereka."Sama papa kamu. Kamu habis ngapain?" Raisa bertanya lembut. Menatap menantunya yang terlihat sangat kurus dan pucat, bahkan lingkar matanya sangat kontras dengan wajah putih bersih Atisha. Perempuan itu lalu mengalihkan tatapannya pada gamis bagian bawah menantunya yang basah kuyup kemudian menggeleng sa
Atisha terbangun pukul satu dini hari. Ia duduk termenung di atas tempat tidur, sambil menatap bagian kosong di sampingnya. Membayangkan Raffan masih terbaring di sisinya seperti 432 malam sebelumnya dimana mereka melarung mimpi bersama. Bayangan ketika mereka tertawa bersama setelah sesi tarik menarik selimut hingga terjungkal ke lantai, suara tawa mereka masih menggema merdu di telinganya. Membuat Atisha tersenyum sambil mengusap air matanya. Atisha menghela nafas panjang, begitu sulit hidup tanpa Raffan, begitu sakit setiap setiap langkahnya kala kenyataan mencekiknya, kenyataan menghantamnya berkali-kali bahwa Raffan kini fatamorgana, hanya terpatri di hati dan melekat kuat dalam memori ingatannya, namun mustahil ia sentuh. Ia tak akan bisa memeluk pria itu kala hatinya diamuk rindu. "Aku nggak kuat Raffan! Hiks ..." Atisha menangis tersedu sambil memeluk piama suaminya yang couple dengan piama yang ia kenakan. "Aku nggak kuat," lirihnya dengan nafas sesak. Bagaimana ia bisa t
Pria itu menyeka setetes air mata di pipi yang tak betah di pelupuknya. Genggaman hangatnya ditangan sang istri tak ia lepas sejak satu setengah jam yang lalu. Atisha masih terlelap pulas. Sesekali pria itu mengelus punggung tangan istrinya yang agak bengkak. Flebitis akibat bekas jarum infus, sehingga pemasangan infus di pindahkan di tangan lainnya. Pria itu terpejam, sudah banyak untaian kata maaf ia ucapkan pada sang istri. Ternyata, tak mampu menebus dosa dan mengeringkan penyesalan atas perbuatannya di masa lalu. Ia pernah teramat menyakiti sang istri secara brutal. Sakit istrinya kali ini diluar kuasanya. Ia benar-benar tak berniat menyakiti istrinya lagi. Meski secara tidak langsung ada andilnya pada sakit sang istri. Kehamilan istrinya cukup lemah, perempuannya tak jarang mengalami kram perut hingga bercak darah akhir-akhir ini. Belum lagi morning sicknes yang membuat istrinya kian pucat sejak trimester awal hingga trimester kedua ini. Rayyan mengecup tangan perempuan itu. B
Saat membuka mata dan mengerjap, Atisha mendapati suaminya tersenyum lembut padanya. Pria itu menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah istrinya. "Mas." Atisha menatap lekat suaminya, kembali mengingat percakapan mereka sebelum ia jatuh tertidur. Ia Lalu menghembuskan napas dan memeluk sang suami mencari posisi nyaman. "Kok udah bangun sih, padahal tidur baru tiga puluh menit." Rayyan mengangkat tangannya yang bebas dan melirik jam tangannya. "Nggak nyaman yah tidurnya? Pindah di kasur aja yuk." Ajak Rayyan, Atisha hanya menggeleng."Udah jam berapa?" "Jam lima lewat." Rayyan mendekap hangat istrinya, pipinya menempel di kepala istrinya. Pria itu memejamkan mata sambil tersenyum tak dapat membendung keharuannya dengan kemajuan pesat dalam hubungan mereka setelah sekian lama. Mengungkapkan hal yang selama ini mereka pendam bertahun-tahun memang tidak mudah, bagai mengangkat bongkahan batu yang telah lama tertimbun. Namun sepadan dengan kelegaan yang kini mereka hirup ber
"Kamu nggak ngerti, kamu nggak ingat sama aku yang pernah ngejar-ngejar kamu saat SMA." Atisha menatap suaminya dengan serius, ia sama sekali tak tahu maksud suaminya."Kamu mah, dulu hanya melihat Jerome. Mengabaikan cowok lain yang sedang berusaha dekat sama kamu, padahal aku baru tahu suka dan cinta sama cewek itu apa, kompleks banget karena langsung mengecap sakitnya patah hati..." Rayyan berucap sambil menyentuh pelipisnya, tampak menerawang. Ternyata pengalaman buruk itu masih membuat hatinya meradang kala mengingatnya."Aku cowok yang pernah berkompetisi dengan kamu di salah-satu olimpiade mewakili SMA Gantara. Kamu ingat nggak? Cowok yang selalu berusaha ngedeketin kamu, nungguin kamu setiap pulang sekolah bahkan nekat nerobos masuk di sekolah kamu demi bisa kenal dekat dengan kamu, tapi selalu di cuekin dan kamu anggap nggak kasat mata. Terakhir di taman depan perpustakaan umum, waktu itu aku coba deketin kamu lagi dan jujur tentang perasaan aku, tapi malah nggak digubris pad
"Asha, kok udah bangun jam segini?" Tanya Raisa saat menatap siapa yang berada di depan pintu kamarnya menjelang subuh seperti ini, Asha berdiri di depan pintu kamarnya mendongak menatap wajah sang nenek dengan sorot berkaca-kaca sambil memeluk boneka koala kesayangannya."Cucu Oma kenapa, jam segini kok sudah bangun?" Mendengar pertanyaan keheranan Omanya membuat gadis kecil itu menitihkan air matanya."Mami nggak ada," lirihnya dengan bibir bergetar, Raisa segera menggendong cucunya yang langsung terisak di dekapannya. "Didinya Asha juga belum pulang ya?" Tanya Raisa yang dijawab Asha dengan gelengan kepala, semalam putranya itu belum pulang saat ia masuk kamar dan tertidur. "Asha jangan nangis. Sayang..." Raisa berujar khawatir saat cucunya menangis sesegukan. Selama ini, cucu kesayangannya itu jarang menangis seperti ini, ia lalu menoleh kearah Ghifari yang masih tertidur."Memang maminya kemana?" Tanyanya mengelus lembut punggung cucunya. Ia benar-benar bingung saat tiba-tiba cu
Atisha ditemani dua orang koas baru di stase obgyn yang tengah mengobrol dengannya mendiskusikan kondisi pasien kepadanya, teramat serius sampai tidak melihat dokter Kikan yang hendak ke poli, berpapasan dengannya andai perempuan itu tidak menyapanya lebih dulu. "Selamat pagi." "Pagi, dokter Kikan..." jawab Atisha dengan senyum ramah. "Udah lepas jaga kan, papanya Asha di depan nungguin tuh," ujarnya, sambil tersenyum."Oh iya dok, makasih infonya yah. Padahal tadi mau sarapan bareng mereka dulu di kafetaria sebelum balik. Maaf, lain kali ya..." Atisha menoleh pada dua dokter muda di sisinya. "Iyya dok, nggak papa," jawabnya berbarengan. Atisha lalu pamit sebelum meninggalkan mereka. Rayyan menjemputnya adalah suatu hal yang langka sebenarnya, jadi ia tak ingin membuat pria itu menungguinya terlalu lama."Hai," Rayyan tersenyum kearah Atisha yang menghampirinya. Perempuan itu menghela nafas lirih, sebelum balas tersenyum. "Assalamualaikum," ucapannya sebelum meraih punggung tangan
Malam harinya, pemuda itu baru pulang kerja saat mendapati apartemennya diterobos oleh seseorang. Pria itu menggeleng, melihat sosok yang sedang terpaku dalam cahaya remang-remang, penerangan ruang tamunya hanya bersumber dari TV. Bahkan seluruh penjuru ruangan lain apartemen itu, masih gelap. "Kenapa lagi Lo?" Tanya Bram mendapati Rayyan duduk termenung, menyalakan tv sambil melamun. Rayyan hanya menggeleng sambil menghembuskan nafas jengah."Apa nggak capek hidup kayak gini? Yah, gue tau Lo bahagia punya putri cantik dan menggemaskan, tapi kebahagiaan itu nggak cukup. Lo berubah drastis dan nggak lagi main cewek karena Lo takut karma berlaku. Bagaimanapun Lo punya anak cewek juga. Tapi tetap aja, Lo butuh sosok perempuan yang bisa melengkapi hidup Lo, dan gue tebak istri Lo bukan orangnya. Mending Lo nikah lagi deh Ray, jangan ngekang diri Lo sekeras ini." Bram berujar sambil meletakkan tas kerjanya, lalu duduk di samping teman karibnya melirik Rayyan dengan prihatin. Meski Rayyan t
Pagi hari, Atisha sibuk di dapur menyiapkan bekal untuk sang putri yang sudah masuk PAUD. Sementara Bibi menyiapkan sarapan. Tidak lama kemudian setelah makanan tersaji di meja, serta bekal Asha yang telah di tata menarik, putrinya muncul dengan seragam yang sudah rapi melekat di tubuh mungilnya, disusul dengan pengasuhnya yang membawa bando lalu memasangkannya pada Ashana. “Mami…” gadis itu berlari sambil merentangkan tangan kearahnya. “Sayang.” Atisha segera melepaskan apronnya sebelum meraih tubuh mungil sang putri dan menggendongnya. “Sarapan dulu nak,” Atisha mendudukkan putrinya di depan meja makan. “Gabung disini aja Ver,” ucap Atisha saat pengasuh Asha memilih masuk ke dalam. Perempuan itu tidak menyuapi Asha, karena sejak kecil Asha memang di didik untuk dibiasakan mandiri mulai dari hal kecil seperti makan sendiri tanpa di suapi, merapikan tempat tidur, merapikan barang-barangnya setelah belajar maupun bermain dan selalu diajarkan untuk meminta tolong jika dihadapkan deng
Malam harinya, Rayyan ikut membaringkan tubuhnya di sisi sang istri, meski Atisha lebih banyak diam setelah mengikuti persidangan hari ini, serta sore harinya ia malah menyerahkan kado terakhir dari Raffan padanya. Rayyan masih merutuki dirinya akan hal itu, saat istrinya justru semakin uring-uringan, makan seadanya dan lebih memilih bungkam. Ia bahkan hanya mendengar suara istrinya kala bersenandung lirih saat menidurkan putri mereka sebelum meletakkannya di boks bayi setengah jam lalu. Rayyan memperhatikan istrinya yang sibuk menatap plafon kamarnya. Pria itu dapat merasakan kekalutan istrinya saat ini. Perlahan ia menepis jarak, lalu memeluk istrinya dalam diam. Sesekali ia mengecup puncak kepala perempuan itu sambil berbisik lembut, mencoba menyalurkan ketenangan. "Jangan sedih Mami Asha." Atisha menoleh, menatapnya dengan nanar."Ray, bisa nggak kamu kembali saja ke kamar kamu?" Pinta Atisha, saat Rayyan masih memeluknya."Hmm..." Rayyan hanya bergumam, mengabaikan protes istr
Ia tak pernah menyangka akan berada disini, ikut dalam proses peradilan yang membuatnya terus merutuki kejahatan yang telah merenggut nyawa almarhum suaminya, manusia yang begitu ia kasihi melebihi dirinya sendiri. Atisha duduk di hadapan majelis hakim, disebelah kanan meja hakim ia dapat melirik beberapa jaksa penuntut umum, namun disebelah kiri Atisha sama sekali tidak sudi melirik sedikit pun terdakwa dan penasehat hukumnya. Ia tak ingin lagi melihat wajah laki-laki keji itu. "Saudari Atisha Namira, apa benar anda pernah menjalin hubungan pacaran dengan terdakwa?" Tanya salah seorang hakim perempuan dihadapannya."Benar... dulu saat awal hingga akhir masa SMA. Dan hubungan itu berakhir sejak kami memutuskan kuliah di tempat yang berbeda, saya di Jakarta dan dia di Inggris," jika ada penyesalan terbesarnya, itu adalah kenyataan ini. Ia benar-benar malu mengakuinya."Bagaimana intensitas komunikasi anda dengan terdakwa setelah itu?" "Tidak ada komunikasi sama sekali hingga menjelang