"Siapa yang kau telpon dan apa benar kau melakukan itu?" tanya seseorang itu yang tak lnin adalah Al Fattah Shidiq."Kakek..?! Sejak kapan Kakek di situ?" tanya Halwa meneguk salivanya dengan kasar."Jawab Kakek, Wa! Kau mencelakai siapa?" tanya pria tua itu dengan mata yang melotot."A--ku tidak mencelakai siapapun, Kek," jawabnya sedikit terbata-bata."Kau tak bisa berbohong pada Kakek, Wa." Pria tua itu berjalan lebih dekat lagi ke arah Halwa yang nampak mematung. Kaki Halwa bergetar hebat namun tiba-tiba dia menjawab, "Aku melakukan ini karena Inayah berniat mengambil Izzan dariku, Kek.""Apa maksudmu? Bukankah Inayah itu adalah ibunya Athar?" tanya pria tua itu ingin memastikan."Iya, Kakek benar dan dia juga adalah mantan kekasihnya kak Irsyad namun perempuan itu masih berniat ingin mendekati Izzan dan mengambil Izzan dariku. ""Jadi karena itu kau mencelakainya?" Halwa mengangguk pelan, "Iya, Kek. Aku melakukan ini untuk memberi hukuman pada perempuan itu karena telah m
"Apa maksudmu, Zan?" tanya pria tua itu sambil mengernyitkan dahinya yang sudah nampak berkerut Izzan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya,"Apa Kakek sangat mendukung perbuatan seperti itu, bukan Inayah yang terus mengejarku namun aku sendiri yang mengejarnya," ungkap Izzan dengan matanya yang berkaca-kaca."Ini tidak mungkin!" serunya pria tua itu nampak tertegun."Apanya yang tidak mungkin, Kek. Inilah kenyataanya. Andai saja Kakek tahu bahwa kak Irsyad menyuruhku untuk menjaga Inayah," tandas Izzan mulai jujur seraya menunjukkan sepucuk surat kepada pria tua itu. Al Fattah Shidiq membacanya dan usia itu terlihat jelas bahwa matanya berlinang. "Sungguh aku telah melakukan kesalahan terhadap Irsyad," ungkapnya tertunduk lemah."Kesalahan apa maksud Kakek?" tanya Izzan ingin tahu. Butuh waktu 10 menit kemudian pria tua itu baru mengatakan bila saat ini dirinya dan Halwa sudah membuat sebuah rencana untuk memmbuat Inayah enggan bertemu lagi dengan Izzan."Apa maksud Ka
"Aku sudah berpikir dengan matang, Zan. Bila melakukan itu maka kau akan kembali padaku.""Nyatanya kau lihat sekarang! Apa kau akan kembali padamu?" Izzan menunjuk satu jari ke arah Halwa. "Dengan melakukan tindakan ini aku malah semakin muak dengan sikapmu itu," tandas Izzan kesal. Buliran bening berjatuhan di pipi Halwa, dia benar-benar merasa bersalah karena telah membuat Izzan mulai membencinya. "Maafkan aku, Zan." Al Fatah Shidiq yang melihat itu sungguh tak menyangka bila cucunya akan bersikap begitu persis dengan mendiang istrinya dahulu. "Sungguh begitu mirip." Tak beberapa lama kemudian, mereka sudah sampai di depan bandara. Di jemput oleh Dery, ketiga orang itu lekas masuk ke dalam mobil, menempuh perjalanan jauh dan tak lama mereka tiba di rumah ternyaman Izzan. Dari awal pulang hingga samapi ke rumah besar Al Faath Shidiq, Izzan sama sekali tak menampakkan wajah ramahnya terhadap Halwa, sungguh dia benar-benar terluka dengan itu. Dia sangat berharap seka
Tak mau kalah, pria itu pun menangkis serangan Aldi dan melayangkan serangan balasan ke pria itu. Wajah Aldi yang terkena bogem mentah membuat tubuhnya limbung ke belakang. Inayah yang ketakutan hanya bisa menjerit saat melihat Aldi terhuyung ke belakang dan menabrak pintu toilet."Tidak!!" Alita yang sedang berjalan menuju ke toilet nampak panik dan bergegas berlari memanggil nama Inayah. Pria itu asing dengan gerakan cepat kembali menyerang Aldi dan sekali lagi tinjunya berhasil mengenai wajah tampan Aldi dan membuat sudut bibir pria itu sobek dan mengeluarkan darah. Aldi yang berusaha mempertahankan diri dengan sisa kekuatannya yang ada, segera menyeruduk pria asing itu sehingga tubuh mereka berdua terdorong keluar dari kawasan toilet dan terjatuh ke lantai. Aksi kedua pria itu yang bergulat mengalihkan pengunjung restoran saat itu dan menimbulkan kegaduhan. Posisi Aldi yang mengungguli pria asing itu memberinya kesempatan untuk menghantam wajah pria itu habis-habi
Di hari pertama saat Izzan dilarikan ke rumah sakit, dokter menyarankan untuk sementara pria itu mendapatkan perawatan di rumah sakit agar luka yang dialami Izzan dapat dipantau secara intensif. Luka tusuk ditangannya memang tidak dalam karena pisau pelaku hanya menggunakan sebuah pisau pendek dan kecil, tetapi infeksi dan efek berkelanjutan bisa saja terjadi jika luka itu tidak pantau secara serius. Inayah setuju dengan keputusan dokter, ia benar-benar mengkhawatirkan Izzan bahkan secara berlebihan. Perempuan berhijab itu bahkan bersikeras untuk menemani Izzan di rumah sakit tanpa mau digantikan oleh siapapun, termasuk oleh Dery atau Aldi. Izzan sempat tidak setuju dengan sikap Inayah yang keras kepala, dan akhirnya mereka berdebat dan dimenangkan oleh Inayah. Izzan hanya bisa pasrah menerima sikap perempuan yang begitu perhatian, tetapi sebenarnya ia membutuhkan hal itu. Namun, sehari dirawat di rumah sakit seperti neraka bagi Izza. Dia merengek kepada Inayah untuk me
Izzan tersenyum yang membuat Inayah merona di dalam dirinya, tetapi ia tidak tahan untuk tidak tersenyum walau hanya senyum kecil dan singkat. Ia masih malu menunjukkan jika dia terpengaruh akan ucapan pria itu. “Bawel itu memang perlu apalagi bagi seorang perempuan. Itu tandanya dia perhatian dan peduli. Apa jadinya kalau aku tidak bawel padamu di saat seperti ini?! Yang harus kau lakukan bersyukur pada Allah karena masih ada perempuan sepertiku yang -“ Inayah seketika bungkam tatkala Izzan yang tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke wajah Inayah hingga jarak mereka sangat dekat. Ia terkejut akan serangan tiba-tiba itu terlebih lagi Izzan menatapnya begitu intens. “Kau jadi cantik kalau sedang bawel.” Ucapan Izzan seketika membuat Inayah merona dan salah tingkah. Perempuan itu dengan segera memalingkan wajahnya dari tatapan Izzan kemudian berkata, “A-aku akan ambilkan obatnya, sudah waktunya minum obat.” Inayah segera bangkit dan meninggalkan Izzan tidak lupa ia membawa mangkuk ko
Setelah mengakhiri teleponnya, Izzan duduk santai di atas pembaringan. Luka jahit di tangannya yang masih begitu terasa nyeri. Meski saat ini tangan belum pulih. Dia mengenakan jasnya dengan pelan lalu berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di depan pintu. Pria itu memanggil seorang gadis yang sedang duduk di taman. Izzan terlihat gelisah dan berharap sekali dia bisa pulang sebelum Inayah pulang, jika saja sampai dia belum pulang dan Inayah sudah pulang maka perempuan itu sudah pasti akan mengomelinya."Kita ke kantin saja," ajak Izzan melirik gadis itu. Tanpa menjawab gadis itu hanya mengikuti Izzan dari belakang, melihat tangan sang kekasih diperban membuat gadis itu merasa bersalah. Memesan teh hangat, dia terus saja menyeruput minuman tersebut seraya menunggu Halwa berkata jujur padanya. Hampir 15 menit lamanya, pria itu menunggu namun gadis berambut panjang itu tak kunjung bersuara. Izzan menampakkan tatapan yang tak bersahabat, bahkan Inayah sama sekali tida
Izzan tersenyum geli mendengar itu hingga dia berniat membalas sindiran itu, "Aku tidak pernah takut apapun namun yanag lebih aku takutkan lagi adalah nyawa Inayah dalam bahaya, jadi aku mohon kau lebih baik menjauhinya itu demi keselamatan Inayah.""Apa hakmu menyuruhku menjauhi Inayah?""Hakku tidak penting, tetapi sebagai seorang yang mencintai Inayah, aku tidak ingin nyawanya dalam bahaya." Izzan menatapnya dengan tatapan begitu dalam dan penuh arti."Apa kau pikir hanya kau saja yang emncintai Inyah? Hah?" Pria berlesung pipi itu sontak menoleh sambil bertanya, "Aku jadi ragu pada rasa cintamu itu? Apakah benar kau mencintai Inayah atau kau hanya ingin memaksa untuk memilikinya?""Kau lihat saja, siapa yang akan dipilih Inayah. Aku atau kau?" Kemudian, pria berhidung mancung itu angkat kaki dari hadapan Izzan. Bertemu pria itu sungguh membuatnya naik darah, jika saja dia menjelaskan apa yang telah dilakukan Halwa pada Inayah, sudah pasti pria itu akan marah besar kepada
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua