Namun, perempuan itu lekas menjawab,"Bagaimana kau bisa tahu?""Tentu saja aku tahu karena kau begitu mencintainya." Izzan menghempaskan pantatnya di kursi kesayangan Inayah. Dia duduk santai sambil memutar-mutar kursi tersebut, mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke layar komputer. Sebuah novel terpampang jelas dengan judul Different Castes, sangat menarik baginya hingga dia langsung bertanya. "Apakah isi novel ini berisikan cerita cintamu?" Inayah tersenyum sambil melirik Izzan, "Kau cari tahu sendiri saja ya?""Aku paling males yang namanya baca novel, Nay." Pria tampan itu terus saj mengscroll mouse di samping keyboard sambil membaca cerita yang ada di depannya itu."Wah, cinta itu adalah sesuatu rasa yang bisa buat kita bahagia bila ada di dekatnya," ucap Izzan sambil membaca isi novel di bab pertama novel milik Inayah. Izzan sontak terdiam seketika itu sambil mengulangi kalimat tersebut untuk kedua kalinya, "Jika aku boleh tahu menurutmu cinta itu apa, Nay?" t
"Mana mungkin aku bisa menolak keinginan orang tuaku, meski aku tahu betapa sakitnya menjalani hubungan tanpa cinta namun sikap suamiku yang begitu tulus mampu membuatku bahagia meksi tanpa cinta dan dia tahu bahwa aku mencintai pria lain.""Apa? Bagaimana mungkin dia mau menerimamu?" Izzan begitu terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Inayah, kebanyakan pria tak akan mau menjalani hubungan tanpa dicintai namun sangat berbanding terbalik dengan suaminya Inayah. Inayah tersenyum tipis, "Aku selalu berusaha untuk mencintainya namun dia juga berusaha untuk menjadi teman terbaikku, kehadiran Athar pun mulai menyadarkanku bahwa aku harus berusaha keras mencintainya ayahnya.""Begitu rumit hubunganmu ini, Nay." Izzan menarik napas kasarnya, dia tak tahu lagi harus berkata apa karena dia tidak terlalu ahli dengan cinta. Menurutnya cinta itu adalah sebuah hubungan di mana dua orang yang paling mencintai kekurangan dan kelebihannya masing-masing namun tidak bisa dalam sebuah hubung
Sementara Inayah yang sedang duduk santai di kursi panasnya menikmati teh hangat yang baru saja dibuat oleh sang asistennya sontak tersenyum tipis ketika mendengar apa yang dikatakan Alita, teman sekaligus asisten pribadinya. "Siapa pria yang datang kemarin? Dan sepertinya sangat akrab sekali denganmu?""Tidak terlalu sih, tetapi dia adalah sepupunya Irsyad." Inayah menarik napas dalam, mendengar nama Irsyad sungguh sangat menyesakkan dadanya, bagaimana tidak pria yang amat dicintainya dan berharap bisa bertemu lagi di kemudian waktu telah tiada."Irsyad bukannya dia mantan kekasihmu, Naya?" tanya gadis itu melirik Inayah dengan sangat dalam."Iya, Ta. Dia sudah tiada dan aku baru tahu hal itu." "Bagaimana mungkin kau baru tahu hal ini, Naya?" tanya Alita bingung."Izzan baru memberitahuku dan dia sudah meninggal setahun yang lalu . Mungkin tidak berjauhan dengan mendiang suamiku.""Kau harus sabar dan aku yakin kau adalah perempuan kuat.""Harus kuat seperti ap lagi, Ta. Ujiaank
Aldi menoleh ke arah Inayah begitu dalam. "Hanya saja maafkan aku yang tidak ada di saat kau kehilangan suami dan putramu. Namun, satu hal yang harus kau tahu bahwa aku pulang ke sini karena kabar burung itu.""Kabar burung yang mana yang kau maksud, Al?" ucap Inayah seraya mengerutkan alisnya. Aldi berjalan sedikit maju ke arah Inayah sambil berkata, "Yang aku dengar putramu sempat kecelakaan dan apakah benar pria itu tidak mau bertanggung jawab?""Sepertinya kau salah mendapatkan informasi, Al. Dia bertanggung jawab kok.""Lalu kenapa putramu bisa meninggal? Apa karena kecelakaan itu? Yang aku dengar guru Athar adalah penyebab kecelakaan itu." Inayah tersenyum tipis dan berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada putranya, "Penyakit yang diderita Athar itu bukan disebabkan oleh kecelakaan namun karena penyakit itu sudah lama namun baru saja diketahui.""Apa?! Bagaimana kau bisa tidak tahu hal ini dan terlambat menanganinya?" Perempuan cantik itu menghela napas
"Di mana aku menaruh cincin pernikahanku ya?" ucapnya sambil mengedarkan sepasang bola matanya untuk mencari sesuatu."Untung saja kau bertanya tadi," timpal Inayah sontak mencari benda tersebut. Merasa tidak menemukan cincin tersebut di atas sofa, ia berjalan menuju ke meja kerjanya sambil memeriksa semua laci namun tak juga menemukan cincinnya hingga dia meminta bantuan Alita supaya ikut mencari."Apa kau ingat menaruhnya di mana?" tanya Alita ingin tahu. Inayah menggendikkan bahunya pelan sambil menggelengkan kepalanya karena dia lupa telah menaruhnya di mana karena seingatnya semalam dia masih memakai cincin tersebut di jari manis sebelah kanan."Jangan-jangan..." Inayah mengatupkan bibirnya dan langsung bergegas menaiki anak tangga menuju ke lantai atas. Perempuan itu menyentuh kenop pintu kamarnya sambil memeriksa isi kamarnya itu, mengobrak-abrik ranjangnya bila saja cincin tersebut terjatuh di seprei miliknya. Beberapa menit membongkar seisi kamarnya namun Inayah t
Inayah tersenyum geli, ia langsung mengatakan bahwa dirinya bersikap biasa saja, "Bukankah kita sangat beruntung bila memiliki seorang kekasih yang begotu posesif?""Kenapa kau menganggapnya beruntung? Bukannya sikap seperti itu lama-kelamaan akan menjadi bumerang dalam sebuah hubungan?""Selama kita bisa menyikapinya tidak terlalu serius maka semua akan baik-baik saja kok," sambung Inayah melirik Izzan. Di situ Inayah memberi nasehat kepada Izzan agar tetap memilih Halwa karena menurutnya gadis itu adalah orang baik dan sangat pantas untuk Izzan. "Apa lagi yang kau ragukan, Zan?" Pria tampan itu membenarkan posisi duduknya sembari menggedikkan bahunya pelan, "Entahlah, Nay." Dia menarik napas panjang, seolah ada sesuatu hal yang disembunyikannya. Namun, Inayah yang tidak ingin terlalu ikut campur dalam masalah Izzan sontak memberikan nasehat terbaik dan mengingatkan Izzan bahwa jangan sampai ada sebuah penyesalan."Penyesalan apa yang kau maksud, Nay?" tanya Izzan tak men
lan lenggak-lenggok ke arah Inayah tanpa senyum sedikitpun, biasanya gadis itu selalu tersenyum meskipun hanya senyuma tipis namun kini berubah menjadi tatapan begitu tajam kepadanya."Bagaimana bisa Izzan terluka?" tanyanya dengan ketus. Ya, gadis itu tak lain adalah Halwa. Sorot matanya yang begitu tajam sungguh membuat Inayah sedikit gugup untuk menjawab, "Izzan terluka karena menyelamatkan aku." Halwa mendengus kesal, "Kenapa Izzan selalu saja di posisi sulit sejak bertemu denganmu? Baiklah, aku terima perihal Aathar dulu namun untuk sekarang aku tidak terima dan kau harus bertanggung jawab.""Dokter tenang saja, aku pasti akan bertanggung jawab kok," jawabnya menyakinkan."Dan lebih baik kau menjauh dari Izzan dan tidak usah dekat-dekat dengan kekasihku lagi," imbuhnya memperingatkan. Alita yang mendengar itu nampak kesal, "Hello.. Nona cantik, yang ada itu Izzan yang deketin Inayah bukan Inayah yang deketin Izzan. Kalau ngomong dipikir dipikir dulu.""Selama Inayah t
"Kalau kau mau ulang, tidak apa-apa kok!" seru Izzan sambil membenarkan posisi duduknya."Tidak, aku akan di sini sampai matahari terbenam," jawab Halwa dengan menaikkan sebelah alisnya."Apa kau tidak ada jadwal shift?" tanya Izzan sedikit tak ingin merepotkan Halwa. Gadis itu itu menghempaskan pantatnya duduk di samping Izzan seraya menyentuh kaki Izzan yang terluka dan memastikan bahwa jahitan tersebut kering karena bila basah akan menyebabkan infeksi dan luka jahitan akan membusuk."Aku harap kau jangan bergerak lagi, aku takut jahitannya akan terbuka nanti.""Iya, Bu Dokter. Bisakah kau mengambilkanku obat dan segelas air putih?""Apa kau sudah makan?""Belum.""Aku akan ambilkan makan dulu ya, kau tunggu di sini sebentar.""Tapi aku tidak lapar kok!" tolak Izzan seraya menarik tangan Halwa yang hendak pergi."Kau harus wajib mengisi perutmu dulu baru minum obat," ketus Halwa sedikit memaksa. "Atau kau mau aku bawa ke rumah sakit? Pilih mana?""Iya, iya. Aku makan dulu." Deng
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua