"Yakinlah, Izzan pasti mau bertemu denganmu." Inayah berusaha menyakinkan Halwa. Gadis cantik itu tertunduk pelan, ia rasa apa yang diucapkan Inayah itu tak akan terjadi pa dirinya karena Izzan sedang tidak ingin diganggu. "Kenapa Izzan ingin berpisah dariku," desahnya berurai air mata. Inayah tak tega melihat gadis itu terus saja bersedih hingga membuat ia menyentuh jemari Halwa pelan sambil berkata, "Baiklah, aku akan mencoba untuk membantu, Dokter. Namun, bila aku masih tidak bisa membujuk Izzan, aku harap Anda harus terima dengan lapang dada." Inayah sengaja mengatakan hal itu agar Halwa siap sedia bila hal buruk akan terjadi karena Inayah tidak ingin memberikan harapan yang asa."Terima kasih, Inayah. Aku pamit pulang.""Iya, hati-hati di jalan." Mendapati kondisi Halwa yang seperti itu membuat Inayah harus menghela napas kasarnya, bagaimana bisa seorang dokter Halwa bisa sefrustasi itu. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Alita sedikit kepo."Dia putus dengan Izzan,"
"Ketika dipertemukan dengan seseorang itu menandakan bahwa Allah sedang diberi sebuah hikmah, apakah kedatangan orang itu sebagai pelajaran untukmu atau sebagai pengecoh untukmu." Di situ Inayah menjelaskan bahwa dirinya tidak ingin dijadikan sebuah alasan, "Aku harap kehadiranku ini tidak menganggu hubungan kalian," tandas Inayah dengan tatapan teduh."Tidak, Nay. Bukan kehadiranmu yang mengangguku, tetapi perasaanku saja yang berlebihan padamu.""Itu dia yang aku takutkan, Zan. Aku pikir pesan singkat yang kau kirimkan malam itu semuanya bohong namun mengingat bagaimana Halwa menceitakan kisah kalian membuatku mulai yakin bahwa itu benar." Izzan menatap wajah Inayah begitu lekat, dia menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskan napasnya perlahan, "Bertemu denganmu adalah takdir, tetapi aku tak pernha tahu bila Allah akan menitipikan sebuah rasa cinta ini untukmu. Aku bisa apa, Nay?" Inayah tertegun dan hanya bisa bungkam karena dia bingung untuk menjawab apa? Namu
Beberapa hari kemudian, Halwa benar-benar menjalankan aksinya. Ia membayar seorang pria bernama Lion, pria itu berbadan kekar untuk mengintai dan menculik Halwa. Mengingat bahwa kabar kedekatan Izzan dan Inayah sungguh membuat Halwa mulai emosi. Selama dua hari, orang-orang suruhan Halwa mengintai kediaman Inayah. Setelah dua hari mengintai, mereka pun akhirnya mengetahui jika Inayah ingin pergi di luar kota untuk urusan pekerjaannya sehingga mereka memanfaatkan kesempatan emas itu untuk melancarkan aksinya."Kita ikuti saja ke mana dia pergi. Nanti kita cegat di tempat sepi," ucap seorang pria suruhan yang duduk di samping . Teman Lion yang bernama Roy menganggukkan kepalanya. Mereka berdua saat ini tengah berada di dalam mobil yang terparkir tidak terlalu jauh dari rumah Inayah. Biasanya, Inayah akan keluar rumah pukul delapan pagi untuk pergi ke butik. Benar saja, Inayah keluar dari rumah tepat pukul delapan dengan sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang supir. Lion
Sementara di sebuah kafe terlihat Izzan dan Halwa sedang duduk santai namun berbicara begitu serius, "Akhirnya aku sadar bahwa aku tidak akan bisa memaksakan cinta kepadamu, Zan. Namun, satu hal yang pasti aku ingin hubungan kita tetap terjalin sebagai teman masa kecil.""Apa kau yakin?" tanya Izzan dengan melayangkan tatapan tajam."Iya, aku yakin sekali!" Pria tampan dengan lesung pipi itu mencoba memperjelas sesuatu hal, "Bukankah dengan teeus bersama itu akan menyakitmu?""Tidak, Zan. Malah menjauh darimu perasaanku semakin dalam dan bisa melihatmu bahagia saja sudah cukup untukku, mungkin saat ini kita tidak ditakdirkan bersama namun biarlah rasa ini hilang dengan sendirinya." Izzan ingin menyakinkan Halwa bahwa apa yang dilakukan gadis itu benar-benar tidak akan menyakiti hatinya. "Jika itu yang kau mau, maka aku setuju.""Terima kasih, Zan." Halwa tersenyum tipis dan terus bergumam dalam hati, "Dan setelah ini kau akan menjadi milikku." Lagi asyiknya menyantap ma
"Saat ini hanya satu rencana itu saja yang terlintas di pikiranku.""Tidak, itu bukanlah rencana yang baik karena Izzan bisa menjebloskanmu ke penjara lagi bila itu sampai itu terjadi." Mendengar itu Daniel berjalan mendekati Halwa dan berdiri di sampingnya, "Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyanya menatap gadis di sampingnya itu. Halwa menggelengkan kepalanya dan masih bingung untuk melakukan apa karena terlihat jelas bahwa saat ini gadis itu juga bingung untuk merencanakan apa karena Izzan adalah seorang pria yang pintar dan sudah pasti tahu sesuatu."Menghadapai seorang pria yang pintar seperti Izzan juga harus memerlukan otak bukan hanya rencana yang matang saja," ucap Halwa seraya menghempaskan pantatnya duduk sebuah sofa. Kemudian, disusul oleh Izzan. Dia rasa apa yang telah dikatakan oleh Halwa memang benar. "Apa yang harus kita rencanakan selanjutnya?" ujar Daniel nampak sudah lelah sedari tadi terus memandangi wajah Inayah hingga dia sudah tidak fokus lagi denga
"Aku sudah bertemu dengannya," jawab Izzan singkat."Lantas apa tanggapannya setelah mengetahui Irsyad sudah tiada?" tanya Dery serius. Di situ Izzan menceritakan bila Inayah masih mencintai Irsyad hingga membuat Dery sontak terkejut. "Yang benar saja mana mungkin, Inayah masih mencintai Irsyad?""Tapi itulah kenyataannya." Izzan menyeruput teh hangatnya. Baru saja ingin melanjutkan ceritanya, tiba-tiba saja ponselnya berdering, mendapati deretan angka yang berjejer membuat Izzan hanya mengabaikan panggilan tersebut.*** Sementara di rumah Inayah, Alita begitu sibuk menelepon ponsel sahabatnya itu karena sampai saat ini Inayah belum pulang juga. Menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam, Alita tak bisa menunggu lagi dan mencoba menghubungi Aldi."Hallo, Al. Apa kau bisa membantuku?" tanya Alita dari balik telepon.["Bantu apa, Ta?"]"Sampai malam begini, Inayah belum pulang dari membeli bahan-bahan butik, tak seperti biasanya?" imbuh Alita mulai panik.
"Apakah Anda adalah putrinya pak Derajat?" tanya Izzan ketika mendapati seorang anak gadis yang usianya kurang lebih 17 tahun. "Iya, aku puterinya," jawab gadis itu sedikit gemetar."Bisakah kami bertemu dengan ayahmu?" tanya Izzan menatapnya begitu dalam. Gadis itu tertegun dan hanya bungkam, ia seolah bingung untuk menjawab apa namun Izzan yang sedikit bisa membaca pikiran anak itu sontak menyentuh jemarinya pelan sambil bertanya dengan nada suara pelan, "Apakah kau tahu di mana ayahmu berada, Nak?" Tak lama setelah mendengar pertanyaan Izzan, anak itu menjatuhkan buliran bening menetes di pipinya, "Ayah dibawa pergi oleh dua orang pria yang begitu garang, aku tidak tahu siapa pria itu, bisakah Anda membantu ayahku," ucapnya dengan sesenggukkan."Dibawa dua orang pria garang? Apakah kau tahu ciri-cirinya?" tanya Izzan ingin tahu. Anak itu menceritakan secara detail ciri-ciri fisik dua pria asing itu, tetapi Izzan tidak bia mengenalinya hingga rekaman suara anak kecil it
Si pria tampan dengan tubuh kekar itu mengangguk pelan, dia juga menceritakan bagaimana kejadian sebenarnya setelah tahu bahwa Inayah dibawa oleh dua orang pria asing maka Izzan langsung menemui orang kepercayaannya untuk mencari tahu di mana Inayah berada. Setelah menerima kabar dari pihak kepolisian bahwa mobil penculik itu tertangkap kamera dan menuju ke sebuah villa maka Izzan sudah bisa menebak bahwa Inayah dibawa ke sebuah villa. "Apakah kau tahu villa siapa itu, Jod?" tanya Izzan ingin tahu."Aku belum tahu, Zan. namun, saat ini anak buahku sedang emnggali informasi pemiliki villa itu. Kau tenang saja, aku pasti akan menemukan Inayah kok.""Iya." Izzan menatap penuh telisik ke arah si pria yang ditangkap. Ingin rasanya dia menghajar habis-habisan pria itu namun dia mencoba menahan amarahnya, "Aku ingin tahu siapa orang yang telah menyuruhmu untuk menculik Inayah?" tanya Izzan berjaan elbih dekat ke arah pria itu. Nahasnya, si pria itu hanya tersenyum mengejek dan tidak
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua