Para dokter dan perawat yang bertugas dengan sigap membantu Athar untuk memuntahkan isi perutnya dan menenangkan Athar. Di luar ruangan, Inayah menangis saat melihat putranya tampak sangat kesakitan. Inayah benar-benar tidak tega saat melihat Athar menangis dan merintih kesakitan. Anak itu tampak sangat menderita dan terus merengek dan menggerak-gerakkan tubuhnya dengan gusar.“Athar ....” Inayah menutup mulutnya, menahan isak tangis yang ingin keluar dari bibirnya. Ibu mana yang tega melihat anaknya menangis karena kesakitan seperti itu? Tidak akan ada yang tega, termasuk Inayah.“Inayah, tenangkan dirimu. Kau harus kuat,” ucap Izzan sambil mengusap punggung Inayah. Perempuan berhijab itu menolehkan kepalanya ke arah Izzan. “Aku tidak tega kalau harus melihat Athar menderita seperti itu. Kalau bisa, aku tidak masalah kalau harus menggantikan posisi Athar. Asalkan Athar tidak perlu merasakan rasa sakit lagi,” jelas Inayah menitikkan air mata. Izzan menganggukkan kepala
Entah keberanian darimana Izzan berani mengusap air mata Inayah hingg bersikap sok kuat di depan perempuan berhijab itu. Air mata Inayah kembali turun. Setiap membicarakan tentang Athar, ia akan menangis karena tak tega dengan putra kecilnya tersebut. Inayah pun menangis tersedu-sedu di hadapan Izzan.“Bagaimana bisa aku kuat kalau putra semata wayangku tengah terbaring lemah di sana, Zan? Apakah aku bisa kalau harus terus-menerus melihat dia menderita seperti ini?” tanya Inayah sesengukkan.“Kau bisa, Inayah. Aku yakin sekali. Kau selama ini sudah menjadi ibu yang hebat untuk Athar. Aku yakin kalau kau pasti akan bisa melewati ini semua. Yang terpenting untuk kita lakukan sekarang adalah berdoa untuk kesembuhan Athar,” jelas Izzan.“Rasanya sangat sulit sekali untuk kuat di dalam kondisi yang seperti ini, Zan,” ucap Inayah di sela isak tangisnya.“Ayo, dari pada kamu terus menangis lebih baik kita shalat berjamaah dan berdoa kepada Tuhan supaya Athar bisa segera diberi kesembuhan,”
Kembali pulang ke rumahnya, hari itu pikiran Izzan terus saja dihantui dengan wajah Inayah. Entah kenapa dia mulai memikirkan perempuan berhijab itu, "Apakah sikapku ini berlebihan kepada Inayah? Tapi aku melakukan ini karena amanah dari kak Irsyad." Hendak menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, Izzan terkejut ketika mendengar sang kakek memanggilnya begitu histeris, "Ada apa, Kek?" tanya Izzan berjalan pelan menuju ke ambang pintu."Halwa ada di bawah," jawabnya sambil melirik Izzan sejenak."Halwa," sebutnya terpelonjak kaget. Sontak saja pria tampan itu langsung bangun dan menuju ke bawah, melihat Halwa yang tengah berbincang begitu serius kepada sang kakek, Izzan pun ikut menegahi dua orang itu, tetapi sebuah eprtanya spintan saja membuat Izzan meneguk salivanya dengan kasar."Kapan kalian akan segera menikah? Apakah akan pacaran seperti ini terus?" sindir sang kakek dengan pertanyaan yang begitu lugas."Sepertinya Izzan yang tidak ingin menikah, Kek," jawab Halwa menoleh
"Kak Irsyad itu adalah mantan pecandu narkoba karena itulah dia ditolak untuk menikah dengan Inayah." Halwa tersentak begitu ia mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Izzan. Gadis tersebut tak tahu sama sekali mengenai Irsyad, hanya bertemu sesekali saja dan apa yang terjadi di masa lalu Irsyad dan Inayah. Halwa bahkan tak menyangka jika di keluarga yang tersohor dengan agama yang melekat kuat pada identitas mereka ternyata memiliki satu anggota keluarga yang pernah memakai obat-obatan terlarang.“Jadi, karena itu mereka tidak bisa menikah?” tanya Halwa yang langsung dijawab oleh Izzan dengan anggukan kepala.“Kau pasti paham, ‘kan, bagaimana sulitnya situasi Kak Irsyad waktu itu? Dia sangat mencintai Inayah dan ingin menikah dengan Inayah. Tapi, karena hal itu Kak Irsyad harus kehilangan Inayah dan melihat orang yang dia cintai dijodohkan dengan pria lain,” jelas Izzan dengan matanya yang berlinang. Halwa mengangguk-anggukkan kepala. Dia sedikit memahami tentang apa yang
“Apa, Inayah? Aku tidak dengar,” ujar Izzan sebab suara Inayah betul-betul pelan. Inayah menoleh ke arahnya. “Terima kasih.”Izzan tersenyum, lalu mengangguk. “Sama-sama, Inayah. Aku senang kalau Athar senang.”‘Aku tidak mungkin membuat Kak Irsyad kecewa di atas sana kalau aku membuat putramu kecewa, Inayah,’ sambung Izzan dam hati. Sesekali Izzan melirik Inayah yang nampak bahagia keyiak melihat sang putra terus saja tersenyum bahagia, seakan bahagia terus saja mengiringinya padahal sebenarnya sisa hidup Athar tidak lama lagi. Setiba di Bandara Ngurah Rai Bali, tepat pukul 16.00 WITA, di Bali perputaran waktu brbeda satu jam dengan Indonesia. Ketiga orang itu langsung saja menuju ke hotel mereka. Izzan lebih dulu berjalan ke bagian resepsionis untuk check ini. Setelah mendapatkan kunci kamar, ketiga orang itu bergegas menuju ke lift.Tingg! Pintu lift terbuka dan mereka memasukinya, Athar menarik tangan Inayah sambil bertanya, "Bu, Ayo kita ke pantai sekarang!
Izzan mengangguk dan berusaha menetralisirkan jantungnya yang mulai berdetak tak beraturan. Melihat langit yang begitu indah membuat Inayah pun ikut duduk di samping Athar sambil menikmati matahari tenggelam. "Memandangi langit sore seperti ini sungguh sangat menyejukkan mata, menghilangkan kepenatan tersendiri..." Inayah mengatupkan bibirnya ketika menghentikan kalimat yang terlontar dari bibirnya. Entah kenapa saat itu Inayah teringat dengan seseorang, matanya berlinang, seseorang yang masih ada di hatinya kini masih tetap bersemayam di relung hati terdalam. "Sakit itu ketika kamu masih ada di hatiku namun kita tidak ditakdirkan bersama." Siapa sangka Izzan sejak tadi memandangi Inayah yang sedang termenung, lamunannnya bersemayam di dalam jiwanya. Tak terasa buliran bening tiba-tiba saja berjatuhan di pipinya membuat sang anak langsung menyentuh jemari Inayah sambil bersandar di bahu Inayah. "Apakah Ibu merindukan ayah?" tanya Athar spontan. Mendengar itu Inayah terte
"Maafin Atahr ya, Bu," ucapnya untuk kedua kali. Izzan yang melihat itu pun langsung mengajak Inayah dan Athar untuk makan malam bersama, menyelusuri sebuah restoran outdor yang ada di dekat pantai membuat Athar berlarian kecil dan berdiri di tepi pantai sambil berteriak, "Bu, Pemandangan mlam begitu indah ya," pujinya tersenyum bahagia."Iya, sayang," jawab Inayah sambil berdiri tepat di samping putranya. Izzan memanggil Inayah dan Athar untuk menikmati makam malam bersama dan seteah itu pria tampann itu berniat untuk mengajaknya menghidupkan api unggun di ruang bawah dekat gazebo di tepi pantai, "Ayo Athar, duduklahdi sini," ajaknya sambil menarik kursi dan mempersilahkan anak kecil itu duduk."Kau bisa duduk di sini, Naya," sambung Izzan melakukan hal yang sama kepada perempuan berhijab itu. Seperti pada umunya ketiga orang itu menjaga adab makan dengan bungkam dan setelah makan barulah Izzan menoleh ke arah Athar, "Apakah Athar sudah siap buat api unggun?" tanyanya ter
Inayah yang melihat itu spontan saja memanggil nama putranya begitu histeris, "Athar," panggil Inayah beberapa kali. Mata Athar mengerjap perlahan dan kemudian anak kecil itu membuka matanya, "Ibu," panggilnya menatap Inayah. Segera saja perempuan itu langsung mengenggam erat tangan Athar sambil bertanya, "Ada apa sayang?" tanyanya dengan tatapan begitu tajam."Athar igin pulang, Bu.""Iya, sayang. Kamu hars sembuh dulu baru bisa pulang," balas Inayah mencoba menenangkan Athar. Entah kenapa sang buah hatinya tiba-tiba saja mau pulang secara mendadak seperti itu, tetapi melihat Athar yang sudah sangat gelisah membuat Inayah mulai khawatir, "Apakah Athar merasakan sakit?" Athar menggelengkan kepalanya seraya melirik pak guru, "Athar ingin pulang ke Jakarta saja, Pak Guru.""Iya, Athar tenang ya? Kalau Dokter sudah mengijinkan kamu boleh pulang maka kita akan pulang hari ini juga." Izzan dan Inayah saling beradu pandang satu sama lain, mereka merasa bingung dengan sika
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua