Yuksel bertarung dengan menggila. Membuat puluhan pembunuh bayaran di barisan depan mulai saling berjatuhan karena racun. Tubuh membiru dengan otot tegang, semua mengalami gejala itu.Namun, tak membuat petarung di barisan belakang menyerah. Mereka langsung keluar dari persembunyian dan bergerak maju. Yuksel menatap jumlah yang tidak bisa dihitung itu."Bagaimana ini Tuan?" tanya Aiden dengan tubuh saling membentur dengan Aaron, karena orang mereka sudah berkurang.Di tengah Yuksel beserta Aiden dan Aaron yang sudah memegang pedang dengan erat. Telah bersiap untuk bertarung. Namun, mereka semua dibuat terperangah oleh sekawanan anak panah yang melesat ke arah pembunuh bayaran itu begitu cepatnya. Panah itu sama sekali tak melukai Yuksel dan yang lainnya.Suara erangan rasa sakit dari para pembunuh bayaran terdengar jelas. Mereka merangkak dan berlari sekali pun, panah itu mengejar hingga mengenai lawan. Kini, aroma darah segar menghuni perjalanan mereka. Tapi, satu hal yang membuat Aa
"Bagaimana dengan cucu menantuku? Kenapa tidak dibawa ke sini?" tagih sang Raja.Yuksel tersenyum. "Kimberly saat ini sedang istirahat.""Benar bagaimana pun ibu hamil harus sering istirahat. Kakek sudah tidak sabar ingin segera menimang cicit."Bibir Yuksel kembali mengulas senyum atas raut gembira dari sang kakek. Setelah lama berbicara mengenang masa lalu hingga membahas pekerjaan. Yuksel bersama Pangeran kelima berjalan keluar dari kediaman sang kakek dan menyusuri lorong yang cukup panjang dan lebar."Apa Ayah akan berkunjung ke kamar yang dulu ibu gunakan?" tanya Yuksel melirik sang ayah."Ya, malam ini ayah ingin tidur di sana. Kau akan langsung pulang?"Yuksel pun tersenyum ceria. "Tentu saja, aku punya istri yang harus ditemani."Pangeran kelima menghela napas, namun mengerti karena dia juga pernah mengalami masa muda dan punya anak. Mereka berdua mulai berpisah di lorong lain. Yuksel terus saja berjalan hingga sepenuhnya keluar dari kediaman Raja dan bersiap menghampiri kere
Kimberly menyambut Yuksel yang menindih tubuhnya perlahan dan menyesap bibir. Kimberly membuka mulutnya lebar dan mulai bermain lidah dengan Yuksel. Tak peduli dengan saliva yang mulai tak tertampung dari mulutnya.Karena ini kali pertama. Mereka berdua bisa berciuman tanpa takut menyakiti Kimberly. Kecup demi kecupan mulai Yuksel berikan pada kulit lehernya."Yuksel," sebut Kimberly dengan berusaha menahan suaranya untuk tidak mendesah terlalu awal."Kenapa Sayang?"Jari jemari Yuksel begitu lincah melepas kancing dress-nya satu persatu. Hingga memperlihatkan dadanya. Yuksel hanya menurunkan sebatas pundak saja. Sementara tangan mulai sibuk meremas dadanya."Pelan-pelan," pintanya karena Yuksel yang sedikit menggila.Yuksel yang menyadari dia telah lepas kendali langsung terkekeh. "Maafkan aku istriku."Kimberly segera menutup mulutnya dengan tangan. Ketika bukan lagi tangan Yuksel yang bermain pada dadanya. Melainkan bibir dan lidah. Sepenuhnya Kimberly sudah dibuat panas oleh suami
Tepat seperti apa yang Yuksel pikirkan. Begitu pria itu sudah pergi dengan kereta. Seorang wanita mengenakan dress berwarna merah itu mengawasi dari dalam kereta."Kau yakin kediaman ini sudah dihuni?""Benar Nyonya Margaret."Wanita bernama Margaret sekaligus mantan Putri mahkota yang dilengserkan itu menatap lagi. Kediaman yang dihuni oleh Yuksel, terlihat begitu sepi. Seolah tak berpenghuni."Kau yakin?""Sangat yakin Nyonya. Kemarin saya melihat seorang pelayan membeli bahan makanan yang lumayan banyak."Margaret tersenyum. "Kalau begitu ayo, kita lihat seperti apa Putra dan Putri mahkota yang baru.""Mungkin di kediaman hanya ada Putri mahkota saja, karena Putra mahkota sedang menerima penobatan jabatan di istana.""Oh benarkah? Bukankah itu berita yang bagus? Aku jadi bisa menindas istrinya."Margaret terlihat begitu antusias. Bahkan menuruni kereta dengan sangat semangat. Margaret berjalan dibantu oleh pelayan pribadi dan menuju arah gerbang.Sempat pelayan Margaret mengetuk pi
Kereta Yuksel baru saja tiba di kediaman. Pintu dibuka dan Aiden mulai turun lebih dulu, kemudian bersiap untuk membantu sang tuan. Namun, Yuksel sendiri saat melihat Kimberly berjalan mendekat langsung turun dan melewati Aiden begitu saja.Aiden hendak mengeluh, namun saat berbalik dan melihat Kimberly, pria itu mengangguk mengerti. "Benar, di dunia ini hanya Putri yang beliau pedulikan.""Tutup mulutmu," titah Yuksel sembari melangkah mendekatinya.Kimberly tersenyum melihat suaminya yang telah kembali. Matanya menatap jubah berwarna biru yang Yuksel letakkan di pundaknya, kemudian tali diikat di bawah lehernya. Matanya saling bertemu dengan Yuksel."Kenapa keluar? Bukankah pinggangnya sakit?"Satu hal yang selalu ingin Kimberly lakukan pada suaminya. "Berikan tanganmu."Yuksel pun menyerahkan tangan dan menatap kegiatannya yang melepas sarung tangan. "Tidak menjawab pertanyaanku? Bagaimana keadaanmu, Sayang?""Aku sudah baik-baik saja, berkat perintahmu. Madam Ane dan Emma memaksak
Setelah makan malam selesai. Kimberly menatap pada Yuksel yang tetap berdiam diri di dalam kamarnya. Bahkan menyuruh Emma untuk menyiapkan air mandi."Tunggu, kenapa kau mandi di sini? Kau kan punya kamar mandi sendiri," singgungnya.Yuksel tersenyum. "Kamar istriku berarti kamar milikku juga.""Ya aku tahu soal itu."Kimberly yang mengikuti membuat Yuksel menoleh. "Kenapa? Ingin mandi bersamaku, Sayang?"Mendengarnya Kimberly langsung memukul. "Jangan berharap."Yuksel kembali tersenyum, kemudian mulai masuk ke dalam kamar mandi. Suaminya mandi seorang diri, sementara Emma langsung meninggalkan kamar. Hanya menyisakan dirinya saja dengan Yuksel.Tanpa rasa malu, Kimberly membuka pintu dan memasuki kamar mandi. Yuksel sendiri berendam di sana tanpa malu juga. Justru tersenyum melihatnya yang duduk di pinggiran kolam."Apa kau berniat tidur di kamarku lagi?"Yuksel mendekatinya. "Benar."Mata Kimberly menatap lekat air di dalam kolam yang tidak dicampur sabun sama sekali. Membuat selur
Kimberly dan Yuksel pun duduk di kereta yang sama. Mereka jelas menuju ke rumah yang dihuni oleh kedua orang tuanya. Sementara Emma dan Aiden satu kereta.Kimberly yang merasa penasaran dengan apa yang mereka bicarakan pun, langsung membuka jendela. Yuksel yang melihat kelakuannya justru menggenggam tangannya. Kemudian memainkan jari-jemarinya."Yuksel, lepaskan," pintanya.Yuksel justru mencium tangannya. "Bisakah jangan pedulikan mereka? Dan hanya pedulikan aku seorang."Yuksel merebahkan kepala pada pundaknya. Membuat Kimberly terpaksa menutup jendela dan mulai menatap suaminya yang mendadak bersikap manja. Kimberly pun membalas genggaman dari Yuksel."Baiklah, aku hanya akan peduli pada suamiku seorang."Bibir Yuksel mengulas senyum. "Ini baru benar."Kimberly ikut tersenyum. "Iya."Melakukan perjalanan sekitar 15 menit dari kediaman. Mereka telah tiba di kediaman kedua orang tuanya. Yuksel turun duluan dan mengulurkan tangan untuk membantunya. "Hati-hati," ujar Yuksel setelah ia
Ketika matahari mengintip di ibukota. Kimberly di atas ranjangnya tersenyum lebar, karena pagi hari akan melihat wajah ibunya setelah beberapa tahun lamanya. Namun, senyum Kimberly luntur permanen ketika menoleh dan mendapati Yuksel masih terlelap."Kenapa aku kembali ke sini?" gumamnya segera duduk.Namun, matanya mulai menatap pada suaminya lagi. Pasti pelaku yang membawanya kembali ke kamar adalah Yuksel. Seketika Kimberly menjadi marah."Yuksel!"Suara Kimberly yang menggelegar di pagi hari. Telah membangunkan Yuksel dari tidur, bahkan mata melotot kaget dan menoleh ke sebelah. Yuksel terlihat mengeluarkan pisau kecil di balik punggung."Ada apa Sayang?"Kimberly menatap sengit. "Kau mengeluarkan pisau padaku?"Yuksel menatap sekeliling, yakin tak ada bahaya pun mulai memasukkan pisau tersebut lagi. "Tidak Sayang. Aku kira ada pencuri atau pembunuh."Lantas Yuksel menatap wajahnya. "Kenapa teriak begitu?""Kau tanya kenapa? Justru aku yang harusnya bertanya padamu," ujarnya dengan