Aaron menatap Yuksel dengan pandangan tak percaya. Memang pria itu sudah sangat tahu bagaimana sikap asli dari sang menantu. Tapi, Aaron tetap saja tak menyangka."Ingat, Rosalind itu kakak iparmu, kakak dari Kimberly.""Lantas?" tanya Yuksel terdengar tak ingin berhenti."Menurutmu apa Kimberly akan senang mendengar apa yang kau lakukan pada kakaknya?"Soal itu, Yuksel langsung diam. Tak mendebat lagi, karena memang Kimberly antara setuju atau tidak dengan yang Yuksel lakukan. Namun, bagi Yuksel sendiri itu sudah hal yang paling benar."Aku hanya membalas apa yang sudah Kimberly terima saja," ujar Yuksel masih keras kepala.Hingga Aaron menghela napas. "Ayolah menantu. Jangan keras kepala seperti ini, anggap saja ini demi Kimberly. Dia juga tidak akan suka hal ini."Mata Yuksel melirik sang ayah mertua. "Ayah seperti ini, demi Kimberly atau keinginan sendiri sebagai seorang Ayah?""Bukankah sudah jelas? Jika suatu hari ada yang menyakiti anakmu, apakah kau akan diam saja?"Jika Yukse
Yuksel terbangun lebih dulu, ketika Alesha duduk di hadapan dengan tangan memainkan wajah sang ayah. Yuksel tersenyum dan mengusap kepala Alesha. Sang putri tertawa ceria hingga membangunkan Kimberly dari tidur."Apa yang kalian lakukan di pagi hari?"Yuksel menatap padanya. "Alesha sepertinya ingin membangunkan aku karena hari sudah pagi."Kimberly mengusap wajah putrinya. "Hari ini aku mau berkunjung ke rumah Aiden, apa kau sibuk?"Yuksel menatapnya. "Aku akan menyusul sebelum siang, bagaimana?"Kimberly mengangguk. "Baiklah."Melihat dirinya yang ingin turun dari ranjang. Yuksel sempat meraih tangannya, kemudian mendaratkan kecupan di bibirnya. Membuatnya memukul."Aku belum mandi," keluhnya.Yuksel tersenyum. "Aku suka baik kau sudah atau belum mandi."Jemari Yuksel menutup mata Alesha kemudian kembali menyerangnya dengan kecupan mesra. Kimberly tersenyum dan membalas ciuman dari suaminya. Hingga Alesha kesal dan menurunkan tangan Yuksel, kemudian memukul sang ayah."Lihatlah, ked
Yoshi mengangguk mengerti. "Baik Yang Mulia."Yuksel menatap ke arah sang asisten. "Jika kemungkinan Rosalind dibebaskan dari hukuman, dia tidak akan bisa tinggal di kota Lefan.""Apa Anda akan membiarkan Rosalind tinggal di sini?"Yuksel menyeringai. "Tentu tidak. Aku membahasnya untuk meminta pendapatmu, tempat apa yang cocok untuknya?""Neraka?" sahut Yoshi menawarkan.Yuksel tertawa. Yoshi memang selalu memuaskan, tak pernah mengecewakan sama sekali. Yuksel mengangguk dengan raut senang, sementara Yoshi terlihat sedikit heran.***Kimberly sedang duduk di kursi taman bersama Emma. Sementara anak-anak dijaga oleh Aiden, ya kalau Alesha tentu berada di pangkuannya. Putri kecilnya ini tidak mau dengan siapa pun."Aku rasa ini karma," singgungnya.Emma menoleh. "Meski begitu, Anda tetap saja memikirkan nona Rosalind, eh nyonya Lewis."Kimberly menarik napas. "Aku memang membencinya, tapi aku tak menduga kalau dia mendapat balasan mulai sekarang."Emma mengangguk. "Benar Yang Mulia. Ra
Setelah dua bulan berlalu. Yuksel berdiri di hadapan jendela yang terbuka. Tangan membuka gulungan surat yang dibawa oleh merpati.Yuksel menatap lekat tiap huruf yang tertulis di sana. "Putra Mahkota sudah melakukan penangkapan.""Sudah ditangkap semuanya atau ada yang berhasil kabur, Yang Mulia?" Kepala Yuksel menoleh sejenak. Mata mendapati Yoshi yang semula sedang membereskan dokumen, langsung terhenti dan menunjukkan raut penasaran. Yuksel berjalan mendekati Yoshi, lantas duduk di kursi kerja.Jemari meraih pena dan kertas baru. "Tertangkap semuanya, termasuk Caesar palsu itu."Yoshi pun mulai kembali membereskan dokumen, namun mata menatap tulisan yang Yuksel buat untuk balasan. "Yang Mulia benar-benar berniat melepaskan Rosalind?"Yuksel menggulung surat dan diberikan pada Yoshi. "Benar. Biarkan dia terombang-ambing hingga memohon di depan gerbang Kairi.""Lantas Anda akan menerimanya?" tanya Yoshi sembari mendekati merpati.Memasukkan surat pada kotak kecil yang terikat pada
Kimberly menatap pada suaminya. "Kak Rosalind mengandung anak pria penipu itu, lantas bagaimana nasibnya?""Kau bertanya seolah aku Rosalind itu sendiri, Sayang?"Mendengarnya Kimberly menghela napas. "Aku hanya bertanya apa yang akan terjadi dari sisi pandangmu, itu saja."Yuksel menatapnya lama. Perlahan Kimberly menjauhkan kepala, demi bisa membalas tatapan Yuksel. Serta melihat bagaimana reaksi dari suaminya. Yang saat ini terlihat sedikit tak bersahabat."Aku bertanya saja, jika kau tidak ingin membahasnya ya sudah."Kimberly bangkit berdiri dan mulai meninggalkan Yuksel. Yoshi menatap ke arah sang Raja. Berharap Yuksel menahan Kimberly."Sudut pandangku," ujar Yuksel membuat Kimberly berhenti melangkah dan berbalik.Mata Yuksel menatap sang istri. "Dia tidak akan diterima jika kembali ke kediamannya, bahkan bisa jadi diusir dari kota Lefan."Kimberly terdiam sejenak. Kemudian berbalik lagi dan mulai sepenuhnya pergi serta telah keluar dari ruang kerja suaminya. Meninggalkan Yuks
Demi meredam keinginan yang sudah dipuncak. Yuksel memutuskan untuk mengajak Kimberly berjalan ke arah jendela. Kemudian membiarkan sang istri menyaksikan merpati yang selama ini digunakan untuk bertukar pesan dengan Putra Mahkota."Wah." Kimberly menatap takjub pada merpati yang bertengger di jendela.Namun, Kimberly sedikit bersembunyi di balik tubuh suaminya. Karena mata merpati ini tertuju ke arahnya dengan tajam. Yuksel tersenyum atas respon darinya."Merpati ini hanya berusaha mengenali siapa wanita cantik ini," ujar Yuksel memberi tahu."Tapi, tidak akan menyerang aku kan?"Yuksel menuntunnya untuk kembali duduk di sofa. "Tidak Sayang. Merpati ini adalah hewan yang diciptakan oleh ahli sihir. Selain menyampaikan pesan dengan akurat, bisa menjadi alat menyerang juga jika terjadi sesuatu padaku.""Jika aku memukulmu, apakah aku akan diserang?"Yuksel tersenyum dan mengusap wajahnya. "Aku punya kendali atas merpati itu, jadi tidak akan menyerang sembarangan.""Jadi, ayo tulis apa
"Tidak," sahut Yuksel terdengar tegas.Kimberly menatap surat lagi. "Sepertinya kau belum mendengarnya dengan benar? Aku akan bacakan sekali lagi dan--""Aku sudah mendengarkan dengan baik dan aku tetap menolak," potong Yuksel membuat Kimberly menarik napas."Kenapa?""Aku tidak suka dia datang ke tempat kita."Kimberly menatap suaminya lama, kemudian berakhir dengan menarik napas. Karena Yuksel terlihat tak bisa mengubah keputusan. Kimberly memutuskan untuk tidak membahas kembali dalam waktu dekat, karena itu bisa membuat suaminya marah."Sayang, aku malas mandi. Bisakah bantu aku ke dalam kamar mandi?" tanya Kimberly.Namun, Yuksel menghela napas. "Jangan menggodaku, Sayang."Kimberly cemberut. "Aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak menggoda."Begitu mendengar ucapannya. Yuksel segera meletakkan cangkir teh dan berdiri dari duduk. Membuat matanya menatap suaminya yang terlihat bersemangat."Setelah memandikanmu, bisakah aku mendapatkan bonus?" tanya Yuksel.Kimberly tersenyum dan m
Aaron menatap wajah Yuksel yang terlihat serius. "Kau tahu perbatasan itu tempat seperti apa? Dengan sifatnya, kau pikir Rosalind akan bisa hidup senyaman ibu mertuamu?""Justru dengan menempatkannya di perbatasan, Rosalind akan belajar caranya hidup sederhana dan bisa menjaga perkataan juga kelakuannya," sahut Yuksel terlihat santai.Aaron langsung diam. Memang itu bagus untuk melatih kelakuan Rosalind yang buruk. Namun, tak mungkin wanita itu bisa bertahan dengan baik di perbatasan."Apa kau melakukan ini sebagai bentuk balas dendam? Atas perbuatan Rosalind pada Kimberly dan ibu mertuamu?" tanya Aaron penasaran.Yuksel tersenyum. "Apa aku sesenggang itu?""Ayah tahu apa yang ada di pikiranmu."Mata Yuksel menatap pada sang ayah mertua. "Lebih baik jika Ayah mertua berpura tidak tahu saja."Aaron menarik napas. "Setelah mengirimnya ke perbatasan, apakah kau akan berhenti mengganggunya?""Mungkin."Aaron terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tak ada pilihan selain membiarkan