Demi meredam keinginan yang sudah dipuncak. Yuksel memutuskan untuk mengajak Kimberly berjalan ke arah jendela. Kemudian membiarkan sang istri menyaksikan merpati yang selama ini digunakan untuk bertukar pesan dengan Putra Mahkota."Wah." Kimberly menatap takjub pada merpati yang bertengger di jendela.Namun, Kimberly sedikit bersembunyi di balik tubuh suaminya. Karena mata merpati ini tertuju ke arahnya dengan tajam. Yuksel tersenyum atas respon darinya."Merpati ini hanya berusaha mengenali siapa wanita cantik ini," ujar Yuksel memberi tahu."Tapi, tidak akan menyerang aku kan?"Yuksel menuntunnya untuk kembali duduk di sofa. "Tidak Sayang. Merpati ini adalah hewan yang diciptakan oleh ahli sihir. Selain menyampaikan pesan dengan akurat, bisa menjadi alat menyerang juga jika terjadi sesuatu padaku.""Jika aku memukulmu, apakah aku akan diserang?"Yuksel tersenyum dan mengusap wajahnya. "Aku punya kendali atas merpati itu, jadi tidak akan menyerang sembarangan.""Jadi, ayo tulis apa
"Tidak," sahut Yuksel terdengar tegas.Kimberly menatap surat lagi. "Sepertinya kau belum mendengarnya dengan benar? Aku akan bacakan sekali lagi dan--""Aku sudah mendengarkan dengan baik dan aku tetap menolak," potong Yuksel membuat Kimberly menarik napas."Kenapa?""Aku tidak suka dia datang ke tempat kita."Kimberly menatap suaminya lama, kemudian berakhir dengan menarik napas. Karena Yuksel terlihat tak bisa mengubah keputusan. Kimberly memutuskan untuk tidak membahas kembali dalam waktu dekat, karena itu bisa membuat suaminya marah."Sayang, aku malas mandi. Bisakah bantu aku ke dalam kamar mandi?" tanya Kimberly.Namun, Yuksel menghela napas. "Jangan menggodaku, Sayang."Kimberly cemberut. "Aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak menggoda."Begitu mendengar ucapannya. Yuksel segera meletakkan cangkir teh dan berdiri dari duduk. Membuat matanya menatap suaminya yang terlihat bersemangat."Setelah memandikanmu, bisakah aku mendapatkan bonus?" tanya Yuksel.Kimberly tersenyum dan m
Aaron menatap wajah Yuksel yang terlihat serius. "Kau tahu perbatasan itu tempat seperti apa? Dengan sifatnya, kau pikir Rosalind akan bisa hidup senyaman ibu mertuamu?""Justru dengan menempatkannya di perbatasan, Rosalind akan belajar caranya hidup sederhana dan bisa menjaga perkataan juga kelakuannya," sahut Yuksel terlihat santai.Aaron langsung diam. Memang itu bagus untuk melatih kelakuan Rosalind yang buruk. Namun, tak mungkin wanita itu bisa bertahan dengan baik di perbatasan."Apa kau melakukan ini sebagai bentuk balas dendam? Atas perbuatan Rosalind pada Kimberly dan ibu mertuamu?" tanya Aaron penasaran.Yuksel tersenyum. "Apa aku sesenggang itu?""Ayah tahu apa yang ada di pikiranmu."Mata Yuksel menatap pada sang ayah mertua. "Lebih baik jika Ayah mertua berpura tidak tahu saja."Aaron menarik napas. "Setelah mengirimnya ke perbatasan, apakah kau akan berhenti mengganggunya?""Mungkin."Aaron terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tak ada pilihan selain membiarkan
Yuksel menatap pada Yoshi. "Sekali pun dia menikah dengan calon Raja, apakah kau masih tidak membiarkannya menikah?"Yoshi membalas tatapan Yuksel dan mulai mendebat, "usianya terlalu muda untuk mengenal selir dan tak tahu soal aturan istana."Kimberly langsung mengangguk. Karena tak ada wanita yang mau dimadu. Tapi, Yuksel memegang tangannya seolah meminta Kimberly untuk tidak bereaksi apa pun."Dia bukan menjadi selir, tapi seorang Ratu. Kau tidak ingin masa depan adikmu cerah?" tanya Yuksel."Yang Mulia, menjadi seorang Ratu di usia muda saya rasa--""Atau kau mau adikmu itu menikah dengan bangsawan biasa?" potong Yuksel cepat."Tidak masalah kalau memang pria itu hanya menikahi adikmu saja. Bagaimana jika ada bangsawan lain yang sudah beristri yang menikahi adikmu?"Mendengar perumpamaan itu membuat Yoshi diam. Yuksel pun melanjutkan bicara untuk membujuk."Bukankah lebih baik suami memiliki selir tapi dia menduduki kekuasaan paling tinggi?"Yoshi masih terlihat tak setuju. "Apaka
Liliana terlihat kaget. "Maafkan saya, sepertinya itu tidak pantas Putra Mahkota."Lantas, pria ini segera melirik ke arah Liliana yang menolak. Mungkin hanya ada satu wanita yang pernah melakukannya, yakni Kimberly. Hari ini justru bertambah satu manusia lagi.Hingga Putra Mahkota tersenyum. "Pantas atau tidak, bukan orang lain yang menentukan. Tapi aku sendiri. Bagiku, kau pantas berjalan denganku."Hal itu membuat Liliana membisu. Dahi Putra Mahkota sampai mengerut."Jangan bilang, kalau kau membedakan pria yang masih lajang dengan tidak? Kau tidak akan melangkah bersama pria yang beristri."Liliana terburu menggelengkan kepala. "Bukan seperti itu, saya tidak ada niatan merendahkan sama sekali.""Kalau begitu mari," ajak Putra Mahkota.Terpaksa Liliana mengikuti Putra Mahkota yang meninggalkan para pelayan. Pria tersebut nampak mengurangi kecepatan melangkah demi menyamai kaki Liliana yang sedikit pendek. Bagi Putra Mahkota, tubuh Liliana sangat lucu. Berjalan hampir beriringan be
Yuksel menatap ke arahnya. "Sayang, apa kau yakin Alesha tidak akan terbangun lagi?"Atas pertanyaan tersebut, Kimberly menatap suaminya. "Benar. Kalau sampai petir datang lagi, Alesha terbangun saat kita sedang ...."Kimberly tak melanjutkan ucapannya. Karena Yuksel pun sudah paham meski dirinya tak bicara lagi. Hingga kepala Yuksel mengangguk, dan tangan mengusap wajahnya."Tidak baik melakukannya saat anak terbangun," sambung Yuksel.Kimberly menarik napas. "Kalau begitu mari kita tidur."Yuksel mengusap wajahnya. "Ya Sayang."Dengan Alesha menjadi penghalang di antara Kimberly dan Yuksel. Namun, Yuksel malah mendekatkan diri demi bisa menjadikan tangan sebagai bantal tidur untuknya. Kimberly tersenyum senang dan mulai memejamkan mata.***Esoknya. Di ruang kerja, Yuksel kedatangan Putra Mahkota yang seharusnya sudah pulang. Justru terlihat enggan untuk kembali."Bukankah kau sudah mengerti cara kerja dan risiko dari obat yang diberikan?" tanya Yuksel."Bisakah aku tinggal di sini
"Apa yang membuat istriku ini sangatlah bergembira?"Kimberly menoleh dan tersenyum begitu mendapati Yuksel berjalan mendekat bersama Yoshi. Sementara Emma hendak bangkit berdiri lagi dan menyapa. Namun, Yuksel lebih dulu melarang."Wanita hamil tidak boleh banyak gerak, duduklah."Kimberly masih tersenyum. "Suamiku, apa yang membawamu ke sini?"Yuksel mendekatinya dan ikut tersenyum. "Aku hanya ingin melihat apa yang kau lakukan Sayang.""Aku menyulam," sahutnya dengan ceria.Jemari Yuksel mengusap kepalanya. Menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Kemudian mengambil hasil sulaman setengah jadi miliknya."Bagus," puji Yuksel."Terima kasih suamiku."Isabella yang melihat keberadaan sang ayah. Langsung berhenti bermain dan segera menghampiri Yuksel sembari berteriak memanggil ayah. Yuksel sendiri bangkit dari duduk dan mendekat.Alesha yang melihat Isabella sudah sangat dekat. Membuat putri kecil itu terburu berlari tertatih demi bisa mencapai Yuksel lebih dulu. Noah, Prisa dan para pe
Beberapa minggu berlalu. Kimberly dan keluarganya telah tiba di kediaman Pangeran kelima, perjalanan membutuhkan waktu kurang dari dua hari untuk tiba. Karena mereka memilih jalan pintas dan tercepat.Isabella berdecak kagum melihat taman di kediaman lama. "Wah indahnya, Bu aku jadi ingin tinggal di rumah Kakek."Pangeran kelima tersenyum mendengar hal itu. "Benarkah? Apa Isabella tidak takut tinggal sendirian di sini?""Kenapa begitu Kek?"Noah melintasi Isabella dan menyahut dingin, "bukankah sudah jelas? Kau ingin tinggal di sini, sementara kami semua pulang ke ibukota."Isabella langsung cemberut. Meski begitu, anak keduanya itu berlari menyusul Noah yang berjalan mendekatinya. Kimberly sesekali tersenyum dan berbincang dengan ibunya."Bu, ayah di mana?" tanya Noah begitu berjalan di sampingnya.Mendengar anak mencari sang ayah, membuat Kimberly hanya bisa tersenyum. Namun, Noah teringat sendiri hingga memutuskan untuk tidak bertanya lagi.Kimberly mengusap kepala putranya. Jujur