"Kenapa Anda terlihat kesal sekali, Nyonya?" Jessica bertanya sembari meletakkan minuman kaleng dingin di depan Isadora.Wanita cantik itu melepas tangan dari dagunya. Ia meneguk minuman sejenak sebelum menjawab, "Aku sedang kesal pada suamiku!" cetusnya. "Kau tahu? Kemarin dia berani menipuku, Jes .... Dasar, Alaric kurang ajar!"Mendengar nama itu disebut, tubuh Jessica seketika membeku. Keringat dingin pun mulai keluar dari pori-pori kulit. Ia segera meneguk minumannya untuk menghalau rasa gugup. Tetapi, gelagatnya itu tetap terbaca oleh Isadora."Kau baik-baik saja, Jes? Kenapa kau seperti—""Tidak ada apa-apa, Nyonya." Ia memotong ucapan Isadora. "Aku ... hanya merasa gerah dan haus. Oh ya, memangnya suami Anda melakukan apa, Nyonya?"Isadora langsung menyandarkan punggungnya pada kursi yang diduduki. Kedua tangan wanita itu terlipat di depan dada, siap bercerita pada Jessica."Kemarin .....""Honey, kenapa kau menangis?" tanya Alaric panik saat Isadora malah kian tergugu dalam t
Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Frans yang kini masih terbaring di atas bangsal rumah sakit. Ingatannya kembali berputar pada saat Isadora datang dengan wajah panik, ditemani Jessica."Frans, sorry. Aku harus segera pulang, sekarang. Rayden sedang sakit, dan dia terus menyebut namaku. Maaf karena aku tidak bisa memenuhi janji untuk menyelesaikan pekerjaanmu," kata Isadora tadi dengan wajah yang sangat panik. Frans bisa melihat jika wanita itu benar-benar tulus menyayangi putra Alaric. "Kau begitu baik, Isa. Alaric beruntung mendapatkanmu," gumam pria itu yang masih bisa didengar oleh seorang wanita yang duduk di dekat bangsal.Ia adalah Jessica. Sejak datang ke sini menemani Isadora, ia belum pergi ke mana-mana. Masih setia menemani Frans meski pria itu lebih sibuk dengan pikirannya sendiri. "Apa Tuan menyukai Nyonya Isadora?"Pertanyaan konyol itu sontak membuat Frans menoleh pada Jessica. Bibir tipisnya berdecak pelan. "Dari mana kau mendapat ide untuk bertanya se
"Kau mau ke mana, Sayang?" Kening Alaric mengkerut dalam saat melihat Isadora memeluk erat sebuah selimut. Ia singkirkan sejenak laptop dari atas pangkuan, lalu turun dari ranjang untuk menghampiri istrinya."Mau ke mana?" tanyanya lagi."Aku mau tidur bersama Rayden.""Apa?" Mata Alaric membulat sempurna. Tangannya dengan cekatan menarik selimut dari pelukan Isadora. Sontak saja wanita itu tak terima."Al, kembalikan!" Isadora hendak merebut kembali selimut tersebut, tetapi Alaric lebih dulu melemparnya jauh."Kau tidak boleh tidur di tempat lain selain di sini, Dora! Kau harus menemaniku!" Alaric menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Padahal, ini bukan kali pertama ia memperingati Isadora. Tetapi, wanita itu tetap keras kepala.Tadi setelah lama Isadora berada di kamar Rayden, Alaric membawa wanita itu beralih ke kamarnya. Ia memojokkan tubuh Isadora ke dinding agar tak bisa lepas darinya."Aku tahu kau peduli, dan kau khawatir. Tapi, aku tak suka kau berlebihan seperti
"Mom ...."Isadora merasa terusik kala mendengar bisikan itu. Perlahan matanya mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk lewat ventilasi kamar."Selamat pagi, Ray." Pemandangan pertama yang Isadora lihat adalah Rayden yang tengah tersenyum padanya."Selamat pagi, Mommy," balas bocah itu.Isadora mengusap kening Rayden sesaat, memastikan jika suhu tubuh sang putra terasa normal. "Syukurlah kau baik-baik saja," ucapnya. Ah, mungkin wanita itu lupa jika sejak kemarin pun suhu tubuh Rayden tidak meningkat, masih normal seperti biasa."Hari ini kau mulai sekolah, kan?" tanya Isadora memastikan.Bocah laki-laki dengan rambut berponi itu mengangguk pelan. "Aku sekolah diantar Sus Ona?""Ya. Memangnya kenapa?" Isadora balik bertanya setelah membenarkan pertanyaan putranya. Sejenak Rayden terdiam. Ada sedikit keinginan di hati kecilnya. Keinginan yang mungkin lebih pantas disebut harapan. Namun, akankah Isadora mampu mewujudkan?"Ray ... kenapa, hm? Bicara pada Mommy." Usapan lembut Isa
"Semua keperluan sekolah Rayden sudah kau masukkan ke dalam tasnya, kan, Ona?" Isadora bertanya pada wanita yang duduk di kursi depan. Ia bosan sejak tadi hanya diam.Belum sempat Liona menjawab, bocah di sampingnya lebih dulu berseru sembari mengangkat tas tinggi-tinggi. "Sudah, Mommy! Aku dan Sus sudah membawa buku, pensil dan lainnya!"Ah, senangnya hati Isadora. Perasaan kesal yang sejak tadi bersarang karena Alaric pun seketika hilang setelah melihat senyum Rayden."Boleh Mommy melihat isi tasmu, Sayang?" Wanita itu sengaja menekankan kata "sayang" hingga membuat Alaric menoleh dengan tatapan tajam. Jelas pria itu cemburu, sebab ia jarang dipanggil seperti itu."Tentu, Mommy!" Rayden membelakangi Alaric agar bisa menghadap pada Isadora. Ya, bocah itu duduk di antara kedua orang tua yang sejak tadi saling mendiamkan. Isadora yang diam karena kesal sebab Alaric hampir saja membuatnya malu di depan Rayden. Sementara Alaric sendiri menahan kesal karena tak berhasil mendapat ciuman I
Bosan! Isadora benar-benar bosan terkurung di ruang kerja Alaric. Tak ada yang bisa ia lakukan selain bermain ponsel dan memerhatikan sang suami dari atas sofa. Huft!"Sampai kapan kau akan mengurungku di sini, Al? Aku ingin pulang!" ketusnya dengan bibir yang mengerucut. Beberapa majalah yang ada di sana pun sudah ia baca sejak tadi, tetapi tetap tak bisa menjadi obat sama sekali.Alaric mengangkat sejenak pandangannya dari dokumen. Ia tatap sang istri yang terlihat lebih lucu jika tengah cemberut seperti itu."Kau bosan?""Menurutmu?!" serang Isadora cepat.Tanpa berkata lagi, Alaric melepas pena dari tangannya dan meletakkan di atas meja. Ia beranjak dan berjalan mendekati Isadora."Ayo!" ajaknya sembari mengulurkan tangan. Sontak saja hal itu membuat Isadora keheranan."Apa maksudnya? Kau mau membawaku ke mana?""Ke suatu tempat. Aku yakin kau akan suka," jawab Alaric dengan seutas senyum manis.Isadora tak lantas menerima uluran tangan sang suami. Ia malah sibuk mengamati wajah
"Aku akan mencoba untuk percaya padamu, asal kau pun mau mencoba menerima Rayden. Jika sekarang saja kau tak bisa menerima dia, bagaimana kau bisa menerima anak kita nanti?"Ah, ucapan itu terus terngiang di kepala Alaric. Sorot penuh harap dari mata Isadora pun masih nampak jelas di pelupuk matanya, seolah enggan pergi dan memaksanya untuk berkata "iya".Ingin sekali kemarin Alaric menyangkal saat Isadora mengucapkan kalimat yang kedua. Jelas wanita itu salah besar karena berpikir seperti itu. Bagaimana bisa Alaric tidak menerima buah hati yang terlahir dari rahim wanita yang sangat ia cintai?Mungkin wanita itu lupa jika seorang Alaric sungguh tergila-gila padanya."Bahkan itu yang kuinginkan sejak lama," gumam Alaric sembari menyandarkan kepala pada kursi kebesarannya. Tumpukan dokumen di atas meja belum ia sentuh sejak 1 jam lalu diantar oleh Mona.Hari ini Alaric merasa tak bisa fokus bekerja sebab terus teringat akan permintaan Isadora. Memang terdengar mudah, hanya mencoba mene
"Kau suka di sini, Ray?" Isadora bertanya pada Rayden yang tengah menatap gedung tinggi dari kaca ruangan Alaric.Ya, sejak dari sekolah, Isadora langsung meminta agar mereka ikut ke kantor, bukan ke rumah. Bukan bermaksud mengganggu, ia hanya ingin mengenalkan Rayden pada seluruh staf perusahaan sebagai putra sulung suaminya. Meski Alaric sempat menolak, pada akhirnya Isadora berhasil juga."Aku suka, Mommy. Di sini tidak membosankan," sahut Rayden tanpa beranjak dari tempatnya berdiri."Kalau begitu, kita harus sering-sering meminta Daddy agar membawa kita ke sini. Kau setuju?""Setuju, Mommy!"Ibu dan anak sambung itu lanjut bermain bersama. Bagi Isadora, Rayden cukup dewasa untuk ukuran anak seusianya. Bocah itu tampak kritis kala Isadora memberi beberapa pernyataan."Apa kau lapar, Ray?" tanya Isadora setelah beberapa lama bermain dengan sang putra.Bocah itu mengangguk saja karena memang sudah merasa lapar."Baiklah. Mari, kita cari Daddy-mu dulu. Setelah itu, kita pergi makan s
Isadora termenung seorang diri. Tatapannya tertuju pada langit pagi yang tengah hangat-hangatnya. Namun, sedikitpun ia tak menikmati kehangatan itu. Ya, memang harusnya ia merasa senang sekarang, karena semalam Alaric bilang jika Rayden tidak marah padanya. Tetapi, entah kenapa Rayden masih saja bersikap tak acuh padanya. Bahkan ketika tadi sarapan sebelum sekolah pun, bocah itu masih sama seperti semalam.Rasanya Isadora hampir putus asa. Ia dipaksa mengingat kesalahan yang entah apa, sebab Rayden tak mau memberitahu. "Kau tidak perlu terlalu memikirkannya, Sayang. Biarkan saja," pesan Alaric semalam. Tetapi, hal itu tak bisa Isadora lakukan.Sebagai seseorang yang sangat dekat dengan Rayden, jelas ia merasa tak nyaman kala bocah itu selalu menghindar."Sepertinya aku harus mengajak dia jalan-jalan berdua."Ya, mungkin itu akan menjadikan Rayden kembali terbuka dan mau berbicara dengannya.Tak ingin membuang waktu, gegas Isadora bersiap. Ia memasuki kamar mandi sebentar untuk mencu
Isadora tak ingin menyerah untuk membuat Rayden mau bicara. Kala bocah itu kembali dari sekolah, ia langsung mengajaknya memasuki kamar dan membongkar semua hadiah. Mobil dan robot mainan tampak mendominasi di lantai kamar itu."Bagaimana? Kau suka, kan, Ray? Mommy yang memilih semua ini untukmu," seru Isadora penuh antusias. Tetapi, bocah di depannya masih saja menampilkan wajah datar."Lihat! Mommy juga membeli banyak buku tulis yang sampulnya lucu. Ada pensil juga. Kau suka, kan?"Lagi, Rayden masih diam.Isadora menghela napas lelah. Ia sungguh bingung dengan sikap Rayden yang tiba-tiba berubah."Ray ... sebenarnya kau kenapa, Sayang? Apa Mommy memiliki kesalahan? Jika benar, Mommy minta maaf padamu."Rayden masih tak merespon. Kepala bocah itu kini sedikit tertunduk seperti ada yang tengah ditahan. Tetapi, tak bisa ia ungkapkan."Ray ...." Isadora hendak menyentuh bahu Rayden, tetapi bocah itu malah menghindar dengan menggeser duduknya. Sesaat kemudian, Rayden berdiri dan berteri
Waktu berlibur satu minggu itu terasa singkat dan masih tak cukup bagi Alaric. Rasanya ia masih ingin tinggal di Tokyo untuk menghabiskan waktu berdua dengan Isadora. Sayangnya, ia harus ditampar kenyataan bahwa ada segudang pekerjaan yang menunggunya pulang.Alaric dan Isadora tiba di rumah tepat pukul 10 malam, dan belum sempat bertemu Rayden, sebab bocah itu sudah tertidur. Mereka tidak tega jika harus mengganggu.Kini sebagai penebusan karena sudah meninggalkan Rayden selama 1 minggu, Isadora membawakan bocah itu banyak mainan yang sengaja ia beli di Tokyo. Ia yakin Rayden pasti suka.Setelah selesai mandi dan merapikan diri, gegas Isadora turun ke lantai dasar sembari menenteng dua plastik berukuran besar. Sementara Alaric yang tengah bersiap untuk ke kantor, ia tinggalkan di dalam kamar sendirian.Isadora ingin segera bertemu Rayden. Ia ingin memberikan semua hadiah yang dibawa pada bocah itu."Suprise!" seru Isadora begitu tiba di kamar sang putra. Terlihat Rayden tengah dibant
Entah kenapa sore itu terasa begitu syahdu bagi Isadora. Entah karena ia berada di tempat yang sangat indah, atau karena ada Alaric di sampingnya. Atau mungkin ... bisa jadi karena keduanya. Yang jelas, Isadora benar-benar bersyukur dengan apa yang ia dapat."Kau ingin makan apa?" tanya Alaric yang membuayarkan lamunan istrinya. Beberapa saat lalu mereka baru tiba di sebuah restoran yang terkenal di sana.Isadora segera membawa pandangannya pada buku menu di tangan Alaric. "Aku ingin makan ... Yakizakana. Lengkap dengan teman-temannya."Alaric terkekeh pelan. Ia tahu yang Isadora maksud teman-temannya adalah nasi, sup miso, juga acar. Tetapi, wanita itu malas menyebutkan.Baiklah, Alaric segera menyebutkan pesanan ia dan Isadora satu per satu. Setelah itu, harus menunggu beberapa saat hingga pesanan mereka terhidang."Kapan kita akan pulang, Al?"Pertanyaan Isadora membuat alis Alaric sedikit terangkat. Sejujurnya ia tak suka wanita itu membahas mengenai kepulangan mereka. Ia ingin me
Bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Alaric dan Isadora nyaris sempurna. Mereka sudah jarang sekali bertengkar selain beradu argumen kecil yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Hanya saja, mereka menganggap hal itu sebagai hiburan."Rasanya hidup ini terlalu datar jika aku tidak menggodamu," kata Alaric kala itu. Dan, Isadora tak memungkiri jika ia pun setuju.Terkadang, dalam rumah tangga memang perlu sedikit perdebatan untuk menjadi bumbu. Dengan begitu, setiap pasangan akan belajar untuk menyelesaikan masalah bersama, berdiskusi, dan saling menurunkan ego agar suasana kembali damai.Seperti saat Alaric memutuskan untuk kembali menyewa jasa pengasuh untuk Rayden. Ia dan Isadora berdebat hebat karena perbedaan pendapat. Alaric yang memang tak ingin Isadora harus repot mengantar dan menunggu Rayden, meskipun sebenarnya wanita itu tidak merasa keberatan. Sementara, Isadora sendiri masih trauma dengan kejadian tempo lalu."Aku takut mendapat pengasuh seperti Monica, Al. Aku takut ki
"Mommy ... terlihat an—"Alaric segera membekap mulut Rayden sebelum bocah itu melanjutkan ucapannya. "Ah, tentu. Kau sangat manis, Honey. Aku hampir saja tidak mengenalimu," ucap Alaric. Ya, meski tidak sepenuhnya benar. Pakaian terusan berwarna biru dengan model nyentrik, sangat jauh dari kebiasaan Isadora. Rambut panjang yang selalu anggun, kini hanya tersisa sebatas bahu. Memang masih terlihat cantik. Tetapi, ini seperti bukan Isadora. Alaric malah merasa melihat seorang gadis berusia 15 tahun yang baru merasakan cinta."Benarkah?" Mata Isadora berbinar seketika. Ia melakukan gerakan memutar dengan senyum yang mengembang."Menurutmu bagaimana, Ray? Mommy cantik, kan?"Rayden tak langsung menjawab, sebab mulutnya masih dibungkam. Ia menatap kesal pada sang ayah, baru tangan besar pria itu lepas dari mulutnya."Kau sangat cantik, Sayang. Lagipula Rayden masih terlalu kecil. Dia belum paham tentang penampilan.""Tapi ... bukankah anak kecil itu justru selalu berkata jujur, ya?" kat
Hari minggu ini, Alaric berjanji untuk mengabdikan diri pada keluarga, terutama Isadora. Menjelang siang, ia bersama anak dan istrinya menikmati waktu bersama dengan jalan-jalan, berbelanja, juga menemani Rayden bermain di sebuah wahana. "Kau masih ingat permintaanku kemarin, kan, Al?" tanya Isadora di sela menyantap makan siangnya. Kondisi kafe yang ramai cukup membuat ia ingin segera keluar. Hanya saja, ia tak tega sebab Alaric dan Rayden tampak menikmati makanan yang terhidang. "Emh ...." Alaric tampak berpikir keras. Sejujurnya, ia lupa apa yang diminta Isadora. "Ya ... aku ingat." Ia terpaksa beralibi agar tidak merusak suasana hati sang istri. Sontak saja senyum di wajah Isadora mengembang sempurna. "Baiklah. Kalau begitu, setelah ini aku akan kembali ke mall. Kau dan Rayden boleh menunggu di mana pun yang kalian mau." "Hm? Tentu aku akan ikut denganmu, Sayang." Bahaya jika Alaric membiarkan Isadora sendirian. Bukannya tak percaya jika sang istri bisa menjaga diri, tetapi ia
Isadora menutup mulut tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh, ia lupa jika hari ini adalah kelahirannya. "I-ini ...." Wanita cantik itu tak bisa berkata apa-apa. Ia bergegas memeluk kedua orang tuanya erat, lalu beralih memeluk Alaric meski sedikit sulit. Ya, sebab pria itu tengah memegang sebuah kue ulang tahun dengan lilin yang menyala di atasnya."Selamat bertambah usia, Honey. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucap Alaric manis. "Terima kasih, Al ...." "Selamat ulang tahun putri Mommy," ujar Celine. Ia menatap dalam sang putri yang begitu ceria hari ini. "Doa terbaik untukmu, Nak." Julian ikut menimpali.Hah, sungguh Isadora terharu rasanya. Ia benar-benar tak menyangka diam-diam diberi kejutan."Thank you, semuanya. I'am so surprise!"Kebahagiaan tampak menyelimuti mereka yang ada di sana. Hingga seorang bocah berlari mendekat dengan wajah keheranan."Daddy! Kue siapa itu?" Semua orang mengalihkan perhatian mereka pada Ryden. Lalu, dengan jahil Isadora mencol
Hari-hari selanjutnya, kehidupan Alaric dan Isadora berjalan lebih normal, tanpa ada pertengkaran. Keduanya sudah bisa mengatur ego masing-masing. Tak jarang saling mengalah demi terciptanya sebuah kedamaian dalam rumah tangga. Meski begitu, tetap belum ada kata cinta yang terucap dari bibir Isadora.Hem, tak apa. Sebab tanpa diungkapkan pun, Alaric sudah yakin 1000% jika Isadora memang mencintainya.Tak hanya hubungan mereka yang membaik. Kondisi Aldora pun sudah tidak seterpuruk kemarin. Perlahan tapi pasti, Alaric berhasil kembali menarik kepercayaan publik. Klien baru dari luar kota dan luar negeri pun berdatangan untuk mengajukan sebuah kerjasama. Semua itu berkat usaha dan kerja keras semua tim Aldora, juga dukungan penuh dari Isadora.Entahlah harus berapa banyak lagi kata syukur yang Alaric ucap karena memiliki istri yang selalu mendukungnya.Kini, Alaric sudah membawa Rayden dan Isadora kembali ke rumah mereka. Ia juga mempekerjakan dua orang pelayan baru untuk mengurus rumah