"Bangunlah, Sayang ... jangan membuatku takut."Alaric masih setia menggenggam tangan Isadora. Wanita itu belum juga membuka mata semenjak pingsan di sebuah gang. Sang dokter yang baru selesai memeriksa, memang mengatakan jika tak ada hal serius yang terjadi pada Isadora. Akan tetapi, tetap saja Alaric khawatir pada istrinya."Semua ini gara-gara Rayden!" geram Alaric. Jika saja bocah itu tidak hilang, Isadora pasti tidak akan seperti ini sekarang!Tadi saat masih mencari Rayden, Isadora tiba-tiba meminta Alaric untuk menghentikan laju mobil. Karena wanita itu mendesak, pada akhirnya Alaric setuju untuk menepi. Saat itu Isadora langsung berlari keluar mobil sembari menyerukan nama Rayden."Rayden! Tunggu!" pekik Isadora. Alaric yang tertinggal di belakang pun segera mengejar.Tatapan Isadora tertuju pada beberapa bocah yang tengah berlarian di sebuah gang. Namun, fokusnya hanya pada bocah laki-laki yang mengenakan kaos kuning. Dari rambut dan postur tubuh yang sangat tak asing, Isador
Setelah kejadian kemarin, Isadora menangkap sesuatu yang aneh di diri Rayden. Bocah itu sering kali terlihat melamun jika tengah sendirian. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Saat ditanya pun, Rayden hanya akan menjawab jika ia tidak apa-apa.Jujur saja, dengan sikap Rayden yang seperti itu, Isadora justru dibuat cemas berkali lipat. Ia takut ada sesuatu yang mengganjal perasaan sang putra, tetapi tak bisa atau bahkan tak mau diungkapkan pada siapapun juga."Sepertinya aku harus berbicara lagi dengan Ona," gumam wanita itu.Isadora menoleh sejenak pada jam dinding yang sebentar lagi menunjukkan pukul 10 pagi. Itu artinya, tak lama Liona dan Rayden akan tiba di rumah ini. Baiklah, Isadora akan tetap menunggu di atas sofa.Untuk mengusir rasa bosan, wanita itu meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Ia buka salah atau akun sosial media untuk sekadar melihat beranda terbaru. Hingga matanya seketika memicing kala berita tentang Aldora Grup menjadi perbincangan hangat di jagat maya.
Benar saja, Isadora tak memiliki pilihan selain menunggu hingga sore hari tiba. Semenjak datang, ia hanya sesekali keluar ruangan untuk berbincang dengan Mona dan para staf lainnya. Sementara si pembuat masalah tengah tertidur lelap. Pria itu benar-benar tidur seperti mayat."Sampai kapan kau akan terus tidur, Al?!" Isadora berdecak kesal sembari berkacak pinggang. Ia sudah memastikan semua orang telah pulang. Tetapi, Alaric malah menyusahkan.Ah, kembali menyusahkan lebih tepatnya."Sepertinya aku harus memberi dia kejutan," gumam wanita itu setelah sebuah ide melintas di kepalanya.Dengan langkah santai ia mengisi gelas dengan air hingga penuh. Setelah itu, ia kembali berdiri di samping Alaric. "Lihat saja apa yang akan kulakukan, Tuan Alaric!"Tanpa rasa iba, wanita cantik itu membalik gelas yang ia pegang tepat di atas wajah Alaric. Seketika itu juga seluruh air tumpah membasahi wajah sang suami."Aaaaaa!" Spontan Alaric membuka mata, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah
"Sial! Ini benar-benar sial! Bagaimana bisa aku bangun terlalu siang?" umpat Isadora resah. Ia mondar-mandir di dekat ranjang, memikirkan cara untuk keluar. Sementara Alaric tengah berada di kamar mandi untuk mencuci muka.Ah, entah mengapa Isadora tidur begitu lelap hingga pagi kini sudah terlewat. Parahnya, ia tak bisa keluar dari gedung secara diam-diam sebab para staf dan karyawan sudah berdatangan."Ini gara-gara Alaric! Pasti karena pelukannya aku tidur terlalu lelap!""Tapi kau menikmati pelukanku, bukan?"Degh!Bibir Isadora mengatup seketika. Tubuhnya membeku kala sebuah tangan membelit di perutnya. "Aku tahu kau begitu nyaman dalam pelukanku, Sayang. Lalu, apa yang salah, hm?" bisik Alaric. Sesekali ia menghirup leher dan rambut Isadora penuh minat. Namun, hal itu justru membuat sang istri merasa tak nyaman. Isadora segera melepas tangan Alaric dan menggeser posisi agar tidak terlalu dekat dengan pria itu."Aku ingin pulang!" ketusnya, alih-alih menanggapi godaan yang tadi
"Kenapa ini bisa terjadi?" Alaric menatap tajam pada Liona yang tengah menunduk dalam. Mereka berdiri saling berhadapan di dekat bangsal rumah sakit."M-maaf, Tuan. Tadi ... Rayden akan menyebrang jalan tanpa sepengetahuan saya."Mendengar jawaban Liona, tentu saja Alaric geram. Ia beralih menatap tajam pada sang putra yang terlihat ketakutan."Anak nakal!" seru pria itu. Ia makin mendekat hingga kini berdiri di sisi Rayden yang tengah terbaring di atas bangsal. "Apa sebenarnya maumu, hah? Kenapa kau selalu menyusahkanku? Kau sengaja ingin menarik simpati istriku?!"Sungguh Rayden takut mendapat bentakan berkali-kali. Kepala bocah itu menggeleng pelan dengan kedua tangan yang meremas selimut kencang. "T-tidak, Daddy. A-aku tidak menyebrang—""Sudahlah, Ray. Kau jujur saja. Tuan tidak akan marah jika kau jujur padanya," potong Liona yang langsung menarik perhatian Rayden. Saat itu juga ia memberi bocah itu tatapan tajam untuk mengancam."Kali ini aku akan menghukummu ketika kembali ke
"Kau masih marah padaku?" tanya Alaric dari atas sofa. Sementara orang yang ia beri pertanyaan tengah berbaring di atas ranjang bersama sang putra.Beberapa saat menunggu, tak ada satu jawaban pun yang keluar dari bibir Isadora, membuat Alaric serba salah rasanya. Memang, mungkin ia tadi sudah keterlaluan karena membela Liona. Tetapi, semua itu ia lakukan karena sangat yakin jika memang putranyalah yang bersalah. Lagipula, untuk apa Liona berbohong pada mereka?Setelah menghabiskan secangkir kopi, gegas Alaric beranjak dan berjalan menuju ranjang sang putra. Ia duduk di bagian kosong, tepat di belakang punggung Isadora. "Maafkan aku, Sayang."Sepi. Masih tak ada jawaban yang keluar dari bibir istrinya. Dan sungguh itu membuat Alaric sangat lelah. Bayangkan saja, sejak perdebatan tadi, Isadora langsung mengunci mulut rapat-rapat."Jadi, apa maumu sekarang, hm?" Alaric sudah kehabisan cara untuk membuat sang istri mau berbicara.Isadora yang memang belum tertidur pun, terdiam sejenak u
Tekad Isadora sudah bulat. Hari ini juga, ia akan menginterogasi Liona dan mengeluarkan wanita itu setelahnya. Ia tak mau Rayden diasuh oleh wanita yang memiliki sifat buruk seperti itu."Dasar, pembohong! Untung saja aku tidak tertipu!" gerutu Isadora sembari melangkah menuju kamar Liona. Hari ini Rayden tidak ia izinkan pergi ke sekolah. Karena itu, pasti saat ini Liona tengah berada di kamarnya.Tangan Isadora terangkat mengetuk pintu kamar. Ia masih memakai etika sekalipun sedang kesal pada wanita yang ada di dalam kamar sana. Namun, beberapa saat menunggu, tak ada sahutan sedikitpun. Tak apa, Isadora kembali mencoba mengetuk pintu lebih kuat. Tetapi, hasilnya tetap sama. Tak ada sahutan dari Liona."Baiklah. Mungkin aku harus langsung masuk saja," gumamnya.Tangan mulus wanita itu mendorong pintu hingga terbuka lebar. Matanya mengedar ke sekeliling kamar untuk mencari Liona. Namun, pengasuh itu tak ada."Ke mana dia?"Merasa penasaran, gegas Isadora masuk lebih dalam. Tetapi, en
Beberapa hari ini, Alaric telah mengerahkan beberapa orang untuk mencari informasi tentang Liona sekaligus melacak keberadaan wanita itu. Benar kata Isadora, setidaknya mereka harus tahu maksud Liona sering mempertemukan Rayden dengan seorang pria adalah untuk apa.Penculikan? Penjualan anak? Rasanya terlalu tidak logis bagi Alaric. Namun, jika pria itu adalah musuh bisnisnya, tidak menutup kemungkinan dugaan itu benar."Banyak manusia tak tahu diri yang memanfaatkan orang kaya, Al! Contohnya seperti Liona. Aku sangat yakin dia ingin membawa Rayden, lalu saat kita putus asa mencari, dia akan meminta tebusan dengan jumlah yang besar!" Itulau argumen Isadora yang sangat diyakini oleh wanita itu. Tetapi, tidak bagi Alaric. Ia tak bisa menduga-duga sebelum ada bukti yang meyakinkan di depan mata.Sementara Alaric sibuk dengan urusan kantor sekaligus menunggu informasi tentang Liona, Isadora pun menyibukkan diri dengan mengurus Rayden. Sejak Liona tak ada, ia yang mengambil alih semua tuga
Isadora tak ingin menyerah untuk membuat Rayden mau bicara. Kala bocah itu kembali dari sekolah, ia langsung mengajaknya memasuki kamar dan membongkar semua hadiah. Mobil dan robot mainan tampak mendominasi di lantai kamar itu."Bagaimana? Kau suka, kan, Ray? Mommy yang memilih semua ini untukmu," seru Isadora penuh antusias. Tetapi, bocah di depannya masih saja menampilkan wajah datar."Lihat! Mommy juga membeli banyak buku tulis yang sampulnya lucu. Ada pensil juga. Kau suka, kan?"Lagi, Rayden masih diam.Isadora menghela napas lelah. Ia sungguh bingung dengan sikap Rayden yang tiba-tiba berubah."Ray ... sebenarnya kau kenapa, Sayang? Apa Mommy memiliki kesalahan? Jika benar, Mommy minta maaf padamu."Rayden masih tak merespon. Kepala bocah itu kini sedikit tertunduk seperti ada yang tengah ditahan. Tetapi, tak bisa ia ungkapkan."Ray ...." Isadora hendak menyentuh bahu Rayden, tetapi bocah itu malah menghindar dengan menggeser duduknya. Sesaat kemudian, Rayden berdiri dan berteri
Waktu berlibur satu minggu itu terasa singkat dan masih tak cukup bagi Alaric. Rasanya ia masih ingin tinggal di Tokyo untuk menghabiskan waktu berdua dengan Isadora. Sayangnya, ia harus ditampar kenyataan bahwa ada segudang pekerjaan yang menunggunya pulang.Alaric dan Isadora tiba di rumah tepat pukul 10 malam, dan belum sempat bertemu Rayden, sebab bocah itu sudah tertidur. Mereka tidak tega jika harus mengganggu.Kini sebagai penebusan karena sudah meninggalkan Rayden selama 1 minggu, Isadora membawakan bocah itu banyak mainan yang sengaja ia beli di Tokyo. Ia yakin Rayden pasti suka.Setelah selesai mandi dan merapikan diri, gegas Isadora turun ke lantai dasar sembari menenteng dua plastik berukuran besar. Sementara Alaric yang tengah bersiap untuk ke kantor, ia tinggalkan di dalam kamar sendirian.Isadora ingin segera bertemu Rayden. Ia ingin memberikan semua hadiah yang dibawa pada bocah itu."Suprise!" seru Isadora begitu tiba di kamar sang putra. Terlihat Rayden tengah dibant
Entah kenapa sore itu terasa begitu syahdu bagi Isadora. Entah karena ia berada di tempat yang sangat indah, atau karena ada Alaric di sampingnya. Atau mungkin ... bisa jadi karena keduanya. Yang jelas, Isadora benar-benar bersyukur dengan apa yang ia dapat."Kau ingin makan apa?" tanya Alaric yang membuayarkan lamunan istrinya. Beberapa saat lalu mereka baru tiba di sebuah restoran yang terkenal di sana.Isadora segera membawa pandangannya pada buku menu di tangan Alaric. "Aku ingin makan ... Yakizakana. Lengkap dengan teman-temannya."Alaric terkekeh pelan. Ia tahu yang Isadora maksud teman-temannya adalah nasi, sup miso, juga acar. Tetapi, wanita itu malas menyebutkan.Baiklah, Alaric segera menyebutkan pesanan ia dan Isadora satu per satu. Setelah itu, harus menunggu beberapa saat hingga pesanan mereka terhidang."Kapan kita akan pulang, Al?"Pertanyaan Isadora membuat alis Alaric sedikit terangkat. Sejujurnya ia tak suka wanita itu membahas mengenai kepulangan mereka. Ia ingin me
Bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Alaric dan Isadora nyaris sempurna. Mereka sudah jarang sekali bertengkar selain beradu argumen kecil yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Hanya saja, mereka menganggap hal itu sebagai hiburan."Rasanya hidup ini terlalu datar jika aku tidak menggodamu," kata Alaric kala itu. Dan, Isadora tak memungkiri jika ia pun setuju.Terkadang, dalam rumah tangga memang perlu sedikit perdebatan untuk menjadi bumbu. Dengan begitu, setiap pasangan akan belajar untuk menyelesaikan masalah bersama, berdiskusi, dan saling menurunkan ego agar suasana kembali damai.Seperti saat Alaric memutuskan untuk kembali menyewa jasa pengasuh untuk Rayden. Ia dan Isadora berdebat hebat karena perbedaan pendapat. Alaric yang memang tak ingin Isadora harus repot mengantar dan menunggu Rayden, meskipun sebenarnya wanita itu tidak merasa keberatan. Sementara, Isadora sendiri masih trauma dengan kejadian tempo lalu."Aku takut mendapat pengasuh seperti Monica, Al. Aku takut ki
"Mommy ... terlihat an—"Alaric segera membekap mulut Rayden sebelum bocah itu melanjutkan ucapannya. "Ah, tentu. Kau sangat manis, Honey. Aku hampir saja tidak mengenalimu," ucap Alaric. Ya, meski tidak sepenuhnya benar. Pakaian terusan berwarna biru dengan model nyentrik, sangat jauh dari kebiasaan Isadora. Rambut panjang yang selalu anggun, kini hanya tersisa sebatas bahu. Memang masih terlihat cantik. Tetapi, ini seperti bukan Isadora. Alaric malah merasa melihat seorang gadis berusia 15 tahun yang baru merasakan cinta."Benarkah?" Mata Isadora berbinar seketika. Ia melakukan gerakan memutar dengan senyum yang mengembang."Menurutmu bagaimana, Ray? Mommy cantik, kan?"Rayden tak langsung menjawab, sebab mulutnya masih dibungkam. Ia menatap kesal pada sang ayah, baru tangan besar pria itu lepas dari mulutnya."Kau sangat cantik, Sayang. Lagipula Rayden masih terlalu kecil. Dia belum paham tentang penampilan.""Tapi ... bukankah anak kecil itu justru selalu berkata jujur, ya?" kat
Hari minggu ini, Alaric berjanji untuk mengabdikan diri pada keluarga, terutama Isadora. Menjelang siang, ia bersama anak dan istrinya menikmati waktu bersama dengan jalan-jalan, berbelanja, juga menemani Rayden bermain di sebuah wahana. "Kau masih ingat permintaanku kemarin, kan, Al?" tanya Isadora di sela menyantap makan siangnya. Kondisi kafe yang ramai cukup membuat ia ingin segera keluar. Hanya saja, ia tak tega sebab Alaric dan Rayden tampak menikmati makanan yang terhidang. "Emh ...." Alaric tampak berpikir keras. Sejujurnya, ia lupa apa yang diminta Isadora. "Ya ... aku ingat." Ia terpaksa beralibi agar tidak merusak suasana hati sang istri. Sontak saja senyum di wajah Isadora mengembang sempurna. "Baiklah. Kalau begitu, setelah ini aku akan kembali ke mall. Kau dan Rayden boleh menunggu di mana pun yang kalian mau." "Hm? Tentu aku akan ikut denganmu, Sayang." Bahaya jika Alaric membiarkan Isadora sendirian. Bukannya tak percaya jika sang istri bisa menjaga diri, tetapi ia
Isadora menutup mulut tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh, ia lupa jika hari ini adalah kelahirannya. "I-ini ...." Wanita cantik itu tak bisa berkata apa-apa. Ia bergegas memeluk kedua orang tuanya erat, lalu beralih memeluk Alaric meski sedikit sulit. Ya, sebab pria itu tengah memegang sebuah kue ulang tahun dengan lilin yang menyala di atasnya."Selamat bertambah usia, Honey. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucap Alaric manis. "Terima kasih, Al ...." "Selamat ulang tahun putri Mommy," ujar Celine. Ia menatap dalam sang putri yang begitu ceria hari ini. "Doa terbaik untukmu, Nak." Julian ikut menimpali.Hah, sungguh Isadora terharu rasanya. Ia benar-benar tak menyangka diam-diam diberi kejutan."Thank you, semuanya. I'am so surprise!"Kebahagiaan tampak menyelimuti mereka yang ada di sana. Hingga seorang bocah berlari mendekat dengan wajah keheranan."Daddy! Kue siapa itu?" Semua orang mengalihkan perhatian mereka pada Ryden. Lalu, dengan jahil Isadora mencol
Hari-hari selanjutnya, kehidupan Alaric dan Isadora berjalan lebih normal, tanpa ada pertengkaran. Keduanya sudah bisa mengatur ego masing-masing. Tak jarang saling mengalah demi terciptanya sebuah kedamaian dalam rumah tangga. Meski begitu, tetap belum ada kata cinta yang terucap dari bibir Isadora.Hem, tak apa. Sebab tanpa diungkapkan pun, Alaric sudah yakin 1000% jika Isadora memang mencintainya.Tak hanya hubungan mereka yang membaik. Kondisi Aldora pun sudah tidak seterpuruk kemarin. Perlahan tapi pasti, Alaric berhasil kembali menarik kepercayaan publik. Klien baru dari luar kota dan luar negeri pun berdatangan untuk mengajukan sebuah kerjasama. Semua itu berkat usaha dan kerja keras semua tim Aldora, juga dukungan penuh dari Isadora.Entahlah harus berapa banyak lagi kata syukur yang Alaric ucap karena memiliki istri yang selalu mendukungnya.Kini, Alaric sudah membawa Rayden dan Isadora kembali ke rumah mereka. Ia juga mempekerjakan dua orang pelayan baru untuk mengurus rumah
Sungguh Isadora terkejut mendengar ucapan Alaric jika mereka akan menginap di hotel malam ini. Ia hanya mengira akan makan malam seperti biasa. Akan tetapi, meski sedikit takut, Isadora tak bisa menolak. Ia tidak ingin membuat suaminya kecewa."Aku tahu kau pasti terkejut," ucap Alaric sembari menatap sang istri yang baru saja memasukkan potongan daging ke dalam mulut.Isadora menghentikan gerakan tangannya sejenak. "Hem. Aku tidak menyangka kau merencanakan sejauh ini."Sudah Alaric duga. Maka pria itu hanya mengukir senyum manis dan kembali menikmati hidangan di depannya. Hingga setelah beberapa lama, ia kembali bersuara, "Beberapa hari lagi waktu kita habis, Dora. Maka dari itu, aku menyiapkan semua ini untuk membuat kenangan indah bersamamu, hanya berdua."Garpu dan gagang pisau yang tak bersalah, menjadi sasaran remasan Isadora kala telinganya mendengar Alaric berucap demikian. Entah kenapa hatinya selalu sakit jika pria itu membahas tentang sisa kebersamaan mereka."Ah, lupakan.