Seorang pria terus menitikkan air mata. Sedih, kehilangan, sesal bercampur bersamaan. Ia sebelumnya tidak pernah menduga kepergian sang Ayah begitu cepat. Bahkan, ia dan Ayahnya belum sempat menjalani hubungan baik sebagaimana seorang Ayah dan anaknya."Maafkan sikapku selama ini," isak Alvin dengan bahu bergetar. Tidak ada siapapun yang menemaninya, bahkan hingga malam semakin larut. Tidak ada tanda-tanda kedatangan istrinya. Saudara yang ia miliki, jauh entah dimana. Hanya Ayah yang ia miliki saat ini, Ibu tiri jangan diharap lagi, wanita itu pasti sudah kabur membawa harta Ayahnya."Ayah, kalau boleh, aku akan memintamu hidup, satu hari aja, kita habiskan waktu bersama. Terlepas dari kesalahan yang kamu lakukan, jika aku tahu keadaan akan begini, jauh-jauh hari, aku akan memaafkan sikapmu pada Ibuku." Alvin mengusap wajah Ayahnya, lalu beralih ke mata yang sudah tetutup.Dua orang perawat datang, hanya menatap iba ke arah Alvin yang keadaannya sudah kacau. "Maaf Pak, apakah jenazah
“Ceraikan Amel, agar aku kembali percaya,” ucap Haris tegas. Mata Alvin melebar, dalam hati menolak syarat dari Bapak mertuanya. Bagaimana bisa, bapak mertuanya menawarkan hal tak masuk akal agar Alvin bisa mengembalikan kepercayaannya.“Itu berarti Bapak masih nggak percaya. Harusnya, Bapak memberi kesempatan pada saya, untuk memperbaiki semuanya,” jelas Alvin seraya menggelengkan kepala. Tatapan matanya sayu, memohon. Namun Haris membuang wajah.“Aku masih bisa melihat ada cinta di matamu untuk wanita lain. Aku nggak akan biarkan putriku menderita lagi.”Ya. Haris masih belum percaya. Walau Alvin mengaku telah mencintai putrinya. Ia sangat paham bahwa pria yang selingkuh dibelakang seperti Alvin ini bisa saja memanipulasi. Berbohong demi kepentingannya sendiri.“Mel,” panggil Alvin, matanya memohon. “Kamu percaya ‘kan sama aku?” tanyanya. Amel membuang wajah, ia bimbang. Merasa gamang dengan perasaannya. Di sisi lain, ia tidak ingin membuat Bapaknya marah, disisi lain entah dorongan
Setelah kejadian dimana ia berkunjung ke rumah keluarga Alvin, Amel selalu mengurung diri di kamarnya. Keluar jika ada keperluan, semisal belanja untuk kebutuhan makanan, memberi makan kelincinya dan juga ke kampus sekaligus ke tokonya.Selama itu pula, surat cerai tidak pernah sampai ke tangannya. Bapaknya sudah mendesak, agar memperosesnya saja dengan pengadilan. Tapi, Amel menolak, bukan karena ia tidak ingin bercerai, hanya tidak ingin memperunyam permasalahan. Ia ingin Alvin datang sendiri, memberinya surat gugatan cerai, lalu ia hanya perlu menandatangani. Ketika ia mengirim chat kepada Alvin, agar segera menceraikan, pria itu malah membalasnya dengan kata 'nanti' terus menerus.Pernah suatu malam, Amel mengirim pesan yang panjang kali lebar, karena sudah muak dengan diamnya Alvin."Pak, saya akan bicara baik-baik ke kamu. Karena Bapak adalah dosen, saya masih bisa sopan. Tolong, segera ceraikan saya. Karena saya akan menikah dengan seseorang," tulis Amel di pesan whatsappnya."
Amel tertegun sesaat. Bukan tidak mungkin mereka berdua tidak melakukan hal yang iya-iya. Mulutnya hanya bisa terkekeh, pelan sekali. Entah menertawakan dirinya karena merasa hati telah jatuh pada Alvin atau malah mentertawakan sikap kekanak-kanakkan Wati."Kamu percaya diri sekali ya mempertontonkan perbuatan zinamu? aibmu yang harusnya kamu tutupi. Saranku, segera taubat, hubungan yang kalian bangun bukan saja tidak sehat, tapi melanggar syariat. Jika benar, ini adalah foto suamiku, maka aku akan dengan mudah menggugat cerai nanti," jelas Amel sembari menatap Alvin dan Wati bergantian."Aku sangat-sangat, berterimakasih karena kamu harus repot-repot membuat bukti ini. Sehingga, aku nggak harus capek mencari alasan untuk menggugat duluan," lanjut Amel."Mel, itu bukan aku. Aku nggak mungkin ngelakuin itu," sergah Alvin, ia merebut ponsel Wati dari tangan Amel."Sangat mungkin. Sudahlah, nggak usah ngelak. Sekarang, hubungan kalian udah di ketahui banyak orang. Dan kamu, em maaf maksu
Tidak seperti wanita bercerai pada umumnya. Amel tidak trauma, tidak sedih, tidak pula memaki jika semua laki-laki sama saja, habis manis sepah dibuang. Ia hanya berfikir, bahwa semua adalah kekeliruan yang dibuatnya sendiri. Salah karena menyetujui untuk dinikahi hanya sementara, walau dengan alasan untuk membahagiakan Bapak, tapi nyatanya Bapaknya tidak bahagia.Keluarga kecil itu tengah berkumpul di ruang keluarga. Bapaknya Amel -Haris- sibuk mengikir kayu yang sudah berbentuk asbak. Adiknya Amel -Rafa- menatap layar televisi sambil nyemil. Mereka hidup normal seperti biasa, tidak merasakan kehilangan atau apapun. Tidak pula ingin membahasnya."Kapan kamu skripsian?" tanya Haris kepada Amel. Yang ditanya sedang fokus membalas pelanggan hijabnya, hanya menoleh sesaat."Semester ini aku maju proposal dulu, kalau bisa selesai, bisa langsung garap," jelas Amel. Haris manggut-manggut."Dia nggak ada ganggu kamu 'kan?" tanya Haris. Yang pria itu maksud adalah mantan suami putrinya."Alvi
Amel hanya membuang nafas, ditatap seperti itu ia tak suka, namun karena ia terlanjut menawarkan bantuan, tentu saja tidak bisa menarik lagi perkataannya."Amelia?" tanya pria itu dengan raut wajah yang mendadak ramah. Amel sedikit mengaga, ia kira pria dihadapannya bakal marah-marah, tersingggung akibat Amel menawarkan bantuan. Sedari awal, ia sengaja menggunakan bahasa sopan, karena penurut apa yang ia pelajari, seseorang dengan disabilitas cenderung sensitif, tidak suka dikasihani."Iya nama saya Amelia, bagaimana anda tau?" tanya Amel sopan, setelah menangkupkan tangannya. Pria dengan kursi roda itu tersenyum simpul."Kamu pelanggan setia perusahaan konveksi kami, mana mungkin aku nggak tau," ucap pria itu, membuat Amel menebak jika mungkin pria dihadapannya ini Bos?"Anda pemilik perusahaan ini?" tebak Amel."Nama saya Haikal Pratama, saya dan teman-teman saya mengelola perusahaan ini," terang pria berkursi roda yang ternyata bernama Haikal. Amel mengulas senyum, kepalanya manggu
Benarlah apa yang diucapkan Ramdan. Pria itu membawa serta orang tuanya untuk melamar Amel. Perbincangan dua keluarga di ruang tamu sederhana itu, menghasilkan keputusan bahwa satu bulan lagi, akan diadakan acara resepsi pernikahan sekaligus ijab qabul.Sebenarnya, Amel yang meminta agar proses ta'aruf dilakukan sebulan. Padahal, Ramdan inginnya jika bisa seminggu, atau esok hari, pun ia mau meminang dan menghalalkan Amel."Maaf ya Kak, aku kesannya nggak menyegerakan kebaikan. Aku cuma mau memantapkan hati aku. Bersiap untuk menjadi istri sungguhan, seumur hidup." Begitu Amel berbicara di telepon dengan Ramdan.Terdengar kekehan kecil dari seberang. "Santai aja, tugas lelaki tidak melulu mengejar, tapi menunggu juga. Menunggu apakah calon istri siap. Aku nggak akan tergesa-gesa, karena ketergesaan adalah dari setan.""Terimakasih Kak, udah memahami aku," lirih Amel. Dalam hati ia mengucap syukur, bertemu dengan pria sebaik Ramdan. Berkurang pula keraguannya. Semoga, sampai hari itu t
Mungkinkah, ini bagian dari rencananya dulu? Amel membatin sendiri. Jika memang begitu, ia bisa meminta sendiri kepada Alvin agar tidak menjadi dosen pembimbingnya. Barangkali seharusnya mantan suaminya itu bukanlah dosen pembimbingnya, tapi Amel menduga Alvin sudah melakukan pemaksaan terhadap biro skripsi.Amel menunggu ponselnya dengan bosan. Dua puluh menit lagi, ia akan bersiap untuk pergi ke kampus. Bukan untuk kuliah, karena ini masa tenang, tapi untuk ke tokonya. Mengingat ada beberapa pelanggannya yang ingin melihat-melihat produk yang dijualnya ke toko.[Kamu ke toko hari ini?] tanya Ramdan.[Iya Kak. Ada apa?] tanya Amel.[Ada agenda lain selain itu?] tanya Ramdan lagi.Amel mengecek list kegiatan yang hari ini akan ia lakukan. Tidak ada kesibukan yang berarti selain, jadwal jalan-jalan bersama teman-temannya ke Mall.[Aku hari ini ada jadwal jalan-jalan ke Mall sama temen-temen, itung-itung menikmati masa tenang. Ada apa emangnya Kak?] tanya Amel penasaran. Ramdan memang b
Bagi Amel, peristiwa yang ia alami mendadak ini terasa seperti mimpi di sore hari. Setelah hatinya memantapkan untuk kembali melabuhkan hati pada seseorang, akhirnya kini tubuhnya merela untuk duduk sembari mendengar seorang pria mengucap janji suci.Ketika Amel mengatakan pada sang Ayah bahwa ia telah siap kembali menikah dengan Alvin, sepertinya Haris tidak ingin membuang banyak waktu, selain segera menghubungi pihak KUA untuk menikahkan putrinya yang sudah dua kali gagal menikah. Kini, ia percaya dan penuh harap semoga rumah tangga yang akan dibina oleh dua orang yang ia sayangi itu, akan menemukan bahagia.Sedangkan Alvin, ia juga tidak kalah syok karena setelah Haris kembali ke ruangannya tanpa Amel, pria paruh baya itu mengatakan dengan tegas bahwa akad mendadak akan dilaksanakan sore hari, menjelang Maghrib. Tanpa bisa membantah, Alvin hanya mengiyakan walau dadanya berdebar tidak karuan."Secepat itu," batin Alvin. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih dalam keadaan belum pul
"Kamu belum bisa melupakan Ramdan?” lirih Haris, wajahnya terlihat sedih. Amel menghela nafas, ia tahu, Ayahnya sedang berusaha membujuknya.“Bukan begitu Pak."“Terus apa alasan kamu? Karena dia kekurangan fisik?” tanya Haris memastikan. Ia tahu, pasti berat bagi putrinya yang tiba-tiba ditawarkan seorang pria yang kekurangan secara fisik.“Bukan itu juga. Begini Pak, walau Pak Haikal itu kekurangan fisik, apa dia mau sama aku? Janda dua kali ini? Ck, aku rasa perjaka semacam dia, enggan. Pasti mencari perawan,” jelas Amel sembari menggelengkan kepalanya. Ia sadar diri, sebagai seorang janda, tentu tidak percaya diri menikahi seorang pria yang benar-benar baru, belum pernah menikah sama sekali. Apalagi, Haikal cukup tampan dan cerdas. Ah, Amel tidak bisa membayangkan bisa bersanding dengan pria itu.“Anak Bapak juga masih perawan. Apa lagi yang diragukan?” tanya Haris yang memang tahu, putrinya masih perawan. Bukankah Amel tempo hari menceritakan jika Ramdan tidak pernah menyentuhnya
Awalnya Amel hendak melipir dan bersembunyi, walau matanya sudah terlanjur bertemu dengan Wati. Pertemuan ini pasti akan terasa aneh. Amel menghirup nafas dalam-dalam, ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan dua orang itu.“Untuk apa aku takut bertemu mereka?” batin Amel. Akhirnya ia memberanikan diri untuk tetap tegap dan berjalan lurus ke depan.“Kamu dari tempat Alvin?” tanya Wati langsung setelah ia berhenti di depan Amel.“Iya. Kalian mau berkujung juga?” tanya Amel dengan wajah ramah, melirik sekilas kepada Ramdan yang tampak canggung. Sedangkan Wati, tersenyum sumir, ketika melihat mantan madunya nampak baik-baik saja.“Mereka memang tampak serasi sebagai suami istri,” batin Amel.Wati menganggukkan kepala, “Apa tidak ada yang aneh? Mantan istri mengunjungi mantan suami. Padahal sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi, kamu baru saja cerai dari Ramdan, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa?” sindir Wati tajam. “Pasti ada sesuatu Jangan bilang, setelah ini kamu akan balikka
Mengingat sang Ayah tersenyum penuh arti. Amel menjadi kepikiran jika pria paruh baya itu benar-benar akan menjodohkannya dengan Bos Konveksi itu. Haikal.Selama packing hijab pesanan pelanggannya pun, Amel masih tidak bisa tenang. Jangan sampai Ayahnya menawarkannya pada Haikal. Mau ditaruh dimana muka ini? batin Amel.Akhirnya, karena kegalauannya, ia memutuskan untuk sekedar refreshing ke cafe. Bersama siapa lagi, jika bukan Tiara. "Gimana kabarmu? aku liat, pipimu baik-baik aja?" tanya Tiara sembari menyeruput Americanonya.Amel tersenyum masam. "Haruskah aku kurus gara-gara cerai?"Tiara tertawa. "Ya nggak lah. Tapi, mengingat dia pria yang sangat kamu kagumi. Apa nggak susah lupainnya?" tanya Tiara. Ia turut bersedih ketika Amel bercerita padanya via telpon bahwa rumah tangga wanita itu dengan Ramdan telah kandas gara-gara ada orang ketiga. Dan parahnya, orang ketiganya telah hamil."Susah. Cuma, kalau ingat dia telah menghamili wanita lain, aku menjadi sedikit, gimana gitu. Ent
Bagi seorang Ayah, akan sangat tidak tega membiarkan putrinya menyimpan luka sendirian. Haris, terus memantau keadaan Amel yang ia tahu, putrinya berusaha terlihat baik-baik saja. Dan Amel, berusaha keras agar Ayahnya percaya.Hari demi hari terlewati, Amel terlihat semakin ceria. Banyak senyum dan tertawa. Tidak ada rona kecewa dan kesedihan di sana. Dan hal itu, membuat Haris justru makin khawatir, takut anaknya menyembunyikan rasa stress yang dialaminya seorang diri.“Rafa! Sarapan!” teriak Amel sambil menggedor-gedor kamar sang adik.Haris yang melihatnya, hanya menatap nanar putrinya. Tidak mungkin, bagi wanita bercerai akan bangkit secepat itu.“Eh Bapak! Ayo makan, kita tinggalin Rafa!” ucap Amel saat ia menolah mendapati sang Ayah yang tengah berdiri dan menatapnya.Haris tersenyum. “Ayo!”Keluarga kecil itu kembali pada rutinitas seperti biasanya. Seperti sebelum Amel di boyong oleh suami ke rumah mertuanya. Pagi-pagi, Amel yang menyajikan berbagai menu makanan. Haris yang me
“Mau kemana kalian?” tanya Melani yang sedang berbincang dengan suaminya. Amel yang masih menitikkan air mata, menyekanya, mengulas senyum namun tidak kuat untuk mengatakan bahwa dia dan Ramdan telah bercerai.“Nak, kenapa kamu membawa koper?” tanya Melani lagi, kini wanita paruh baya itu menghampiri Amel dan Ramdan yang berdiri. “Ramdan, kenapa Amel menangis?” Melani masih terus bertanya. Ramdan menghela nafas.“Kami sudah bercerai Bu,” lirih Ramdan. Amel tersenyum paksa, ia menggenggam tangan Ibu mertuanya yang dingin. Terlihat raut wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu begitu terkejut.“Maafkan Amel Bu,” ujar Amel. “Maaf, karena Amel tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”“Ramdan, apa yang kamu lakukan pada Amel?” tanya pria paruh baya. Ayahnya Ramdan.Ramdan yang mendapat pertanyaan penuh intimidasi itu menundukkan kepala, tidak berani menatap sang ayah. “Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kalian bercerai?” tanya Ayah Ramdan.“Nanti. Aku akan jelaskan. Ayo.” Ramdan mem
Amel tidak kuasa menahan tangis. Ia berteriak dengan cairan bening yang terus menetes."Sama. Laki-laki semuanya sama ketika berbohong," batin Amel walau tidak ia suarakan di hadapan Ramdan. Saat di perjalanan menuju rumah Ramdan. Pria itu tiba-tiba mendapat telpon entah dari siapa."Kenapa nggak diangkat Kak? siapa tau penting," ujar Amel yang penasaran mengapa Ramdan tidak mengangkat."Aku lagi mengemudi, takut nggak fokus, apalagi lagi bawa kamu." Ramdan beralasan.Amel mengangguk saja, ia lebih memilih memejamkan mata. Hingga setelah cukup lama ia di posisi begitu, suara dering telpon, kembali terdengar. Namun, ia tetap berpura-pura tidur."Nanti, aku telpon lagi." Sepertinya Ramdan mengangkat telpon, hanya itu yang terdengar oleh Amel.Sesampainya di rumah. Ramdan menyuruh Amel ke kamar lebih dulu, karena pria itu beralasan akan mengecek sesuatu dulu di mobil. Ada yang tidak beres dalam mesinnya. Amel hanya mengiyakan, walau ia tidak benar-benar pergi dari sana."Kenapa menelpon?
Amel kembali ke kamarnya, menyisir rambutnya dengan tenang. Ketukan pintu membuatnya segera memakai kerudung lagi. Ia tahu, yang akan datang pasti suaminya.“Gimana keadaan kamu?” tanya Ramdan yang langsung berjalan mendekat, lalu memeluk Amel dengan erat dan mengelus punggung wanita itu.“Aku sudah baikkan Kak. Tadi habis di lap sama Ibu. Oh ya, Bapakku katanya udah siuman. Yuk, jenguk ke sana dulu,” ajak Amel dengan senyum mengembang, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia memang pengecut, coba saja tadi langsung melabrak Wati dan Ramdan, namun, itu hanya khayalan di kepalanya. Menegur mereka, bukanlah pilihan yang tepat sementara ini.Ramdan mengangguk, ia lalu menggandeng tangan Amel. “Rafa sekolah ‘kan?” tanya Amel saat mereka berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ramdan mengangguk.“Awalnya dia mau aku boongin kamu, minta izin nggak sekolah. Tapi karena kamu, aku nggak biarin dia,” ucap Ramdan terkekeh mengingat rayuan Rafa padanya, untuk izin tidak masuk sekolah, namun i
"Sedari kami SMA. Aku mengenal dia dengan sangat baik. Entah mengapa dia tidak mengenalkan aku padamu. Kalau saja kita tidak bertemu secara tidak sengaja di tempat konveksi, mungkin kamu tidak bakal tau tentang hubunganku dengan Alvin," jelas Haikal, lalu menatap ke arah Alvin lagi, ia mengerti wanita disampingnya tidak nyaman ditatap olehnya seperti tadi.Bukan tanpa alasan, hanya saja seorang Haikal merasa heran apa sebenarnya keistimewaan seorang Amelia hingga Alvin mau berkorban untuk wanita yang telah bersuami itu."Kamu mungkin dulu bukan orang yang pantas tahu cerita hidupnya. Tapi, melihat fakta perasaannya padamu saat ini, rasanya kamu harus tahu. Dia anak broken home. Bapaknya menikahi wanita lain, saat Ibunya sakit. Dia menjadi anak yang memberontak, sering kena SP sewaktu SMA. Kamu sudah tau cerita ini?" tanya Haikal. Memastikan, jika Amel belum pernah mendengar cerita tentang Alvin.Amel hanya mengangguk. "Dia akan bercerita pada orang yang ia anggap dekat. Berarti, kamu