Meja itu di gerbak dengan keras. Pria bernama lengkap Elan Yamamoto itu melepas kerah kemeja yang terasa mencekiknya setelah mendapat kabar bahwa anak buah kepercayaannya harus mati di tangan saudaranya.
“Kei brengsek!” umpatnya. “Jangan sampai Alex tau.”“Baik Bos,” balas asisten pribadi Elan. “Suruh Fika ke ruanganku!”Seorang gadis dengan heels setengah jengkal masuk dengan gayanya yang berlenggak-lenggok. Senyumnya tak pernah memudar saat pintu terbuka menampilkan dirinya.“Ada apa sayang?” tanyanya dengan nada menggoda. Tentunya setelah asisten pribadi Elan pergi ke luar, karena bisa kepanasan jika menyaksikan aktivitas apa yang akan dilakukan keduanya di ruangan itu.“Aku rindu belaianmu,” balas Elan serak. Ia langsung merangkul pinggang wanita bernama Fika dan melemparnya ke sofa.Setelah aksi bejat mereka tuntaskan di ruangan yang sengKei memijat keningnya pelan. Masalahnya kini semakin rumit. Ancaman Aoshi terngiang di kepalanya. Peristiwa tadi pagi yang membuat darahnya mengalir deras, juga menambah rasa pening itu. Bagaimana tidak? Setelah ia menghanguskan seseorang tanpa jejak, namun yang di sebut 'Tuan besar' oleh Aoshi justru memintanya untuk meninggalkan sang istri.Safir, dianggap sebagai penghambat dirinya bekerja. Padahal, bukan itu alasannya. Hanya saja, jiwanya yang lain seolah memberontak. Ingin berhenti saja dari dunia hitam yang terus menerus mencengkeram dirinya.Haruskah ia melepaskan Safir saja? Membiarkan wanita itu membesarkan anak seorang diri tanpa suami di sisinya? Memberikan sejumlah kekayaan tanpa dirinya harus menjadi suami Safir? Pikiran itu, terus berkelebat. Mengetuk setiap kemungkinan, mulai dari buruk hingga terburuk.“Ini janjiku,&rdq
“Safir!” teriak Kei tajam. Ia mendorong tubuh Fika hingga terpelanting ke sofa.“Sialan!” makinya sebelum mengejar sang istri yang pastinya salah paham dengan adegan barusan.Melihat Kei yang begitu emosi, Fika tersenyum puas. Ia menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah telah selesai dengan pekerjaannya.Sam yang baru saja datang dari toilet hampir bertabarakan dengan Safir yang berlari tanpa melihat jalan. Ia tak sempat bertanya dan langsung pergi ke ruangan sang Bos.“Kamu liat Safir Sam?”“Tadi Ibu lari-lari.”Kei mendesah, menyugar rambutnya sendiri. “Kenapa kamu nggak bilang kalau dia bakal ke ruanganku?”“Maaf Pak, saya kira udah janjian sama Bapak
Mata Safir beralih menatap dua orang yang baru saja datang. Tatapan mereka tampak seperti ingin menguliti harga dirinya. Seolah, dirinya yang hina ini akan sangat tidak tahu diri jika memilih tetap bersama sang suami."Gara-gara kamu semua ini terjadi! kalau aja, sedari awal aku memilih menggugurkan saja anak ini, atau aku membesarkan sendiri tanpa campur tangan orang lain, mungkin rasa bersalah yang kualami tidak sebesar sekarang. Kamu, telah memberi harapan padaku, bahwa kita akan membesarkannya bersama-sama. Namun, hanya dalam sekejap, kamu meluluhlantakan asaku dan anak ini." Safir menghala nafas ngilu, bukan ini yang dia inginkan tapi, sakit yang dialaminya mungkin saja di masa depan akan lebih menyakitkan, jika ia tetap memilih egois. Kei hanya menyimak mendengar uneg-uneg sang istrinya. Hatinya juga perih mendengarnya. Tapi, ada sesuatu yang menahannya untuk membiarkan langkah apapun yang akan diambil Safir, ia akan menyetujui. Mungkin, wanita itu juga tersiksa berada di sisin
Kei menelpon Sam, menyuruh asisten pribadinya itu untuk mengantar sang istri dengan selamat."Bu, mari saya antar ke rumah.""Nggak usah Sam," tolak Safir. Ia berhenti di halaman rumah sakit, begitu mendapati Sam menghentikan mobil."Tapi ini perintah dari Tuan Kei."Safir menatap Sam, dalam pikirannya ia bertanya-tanya, maukah pria dihadapannya ini memberitahu perihal Kei. Seperti apa sebenarnya kepribadiannya, orang tuanya, hingga segala apapun tentang suaminya itu."Kalau kamu mau memberi informasi padaku tentang Kei, baru aku mau ikut," ucap Safir.Mata Sam melebar, lalu sedetik kemudian ia menganggukkan kepala. Membuat Safir tersenyum.Selama satu jam perjalanan, ternyata Sam hanya bercerita perihal makanan kesukaan, m
Malam bertabur bintang itu tak mampu menggugah hati yang tengah kelabu. Pohon vinus yang berjejer menemani langkah seorang wanita yang sesekali meneteskan air matanya. Dadanya semakin sesak begitu melihat nisan yang belum bertuliskan sama sekali sebuah nama, tapi yang menjadi penanda adalah di sana diletakkan bunga Angrek yang terlihat gelap karena remangnya malam. Bunga itu, di letakkan tepat di samping sebuah batu berwarna silver.“Anakku.” Safir mengusap sebuah batu yang menyembul di balik tanah yang menjadi tanda, bahwa di sana terdapat sebuah makam seseorang. Sam yang berdiri sambil menjaga istri Tuannya itu hanya menatap iba.“Setelah kamu meninggalkan Ibu, mulai saat itu ibumu sadar, bahwa terlepas dari benih mana kamu berasal, tapi kamu tetap belahan jiwaku. Belum genap sembilan bulan, tapi Ibu sudah menyayangimu Nak. Sangat.”“Mungkin, Allah mengambilmu demi menjagamu dari siapapun yang akan menyakitimu kelak, termasuk Ibu sendiri. Ibu, bukanlah seorang yang dapat menyangimu
“Ternyata, harus kamu yang mendapatkan ini Fir. Gara-gara dia. Kalau sampai kamu mati di tanganku, sampaikan kepada Tuhan, bahwa bukan salahku. Tapi, salah orang-orang yang selalu saja merebut kebahagiaanku. Mereka mengatakan menyayangiku, tapi selalu membuatku tertekan, tidak pernah menghargai hasil kerja kerasku, dan parahnya mereka justru hanya bermanis muka di depanku saja.”Elan memang sengaja memutuskan untuk menemui Safir, ketika ia mendapatkan kabar dari Tante Sonia, bahwa Kei sepertinya hendak menceraikan istrinya, karena anak yang di kandung Safir telah keguguran. Untunglah, anak buahnya membuntuti asisten Kei dan juga istrinya hingga ke Bandung, sehingga ia yang kebetulan sedang ada pertemuan bisnis di sana, bisa langsung bertindak untuk membalas perbuatan sang Kakak, yang kali ini sangat keterlaluan. Kenapa lagi jika bukan membunuh kekasihnya, Fika.“Lepaskan Mas!” Safir menepis tangan yang mencengkeram dagunya itu dengan kuat. Matan
Kei meremas dadanya kuat-kuat. Seberapa besar pun usahanya untuk menutupi masa lalu, tetap saja kapanpun akan terkuak juga. Dan kini, persoalannya adalah dirinya sendiri. Semua berawal dari perbuatannya dan ternyata berdampak buruk bagi yang lain.Air matanya berlinangan. Bahunya sesegukkan. Ia pantang menangis, tapi mengingat bahwa ada orang tak bersalah yang ia lenyapkan nyawanya apalagi orang-orang itu berhubungan dengan orang yang dicintainya, tentu saja hal itu membuat dunianya benar-benar hancur. Memang pantas baginya untuk ditinggalkan. Ayah dan Ibunya, adiknya, meninggalkannya. Dan mungkin, hanya tinggal menunggu waktu, Kakeknya akan memenggal kepalanya.Tangannya segera meraih ponsel, lalu menelpon seseorang. Hingga terdengar sahutan dari sana, hatinya sedikit menghangat.“Ada apa Mas?” suara yang walau beberapa jam saja tidak ia dengar, namun sudah ia rindukan. Kei hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan, membuat Safir di
“Oh.” Elan manggut-manggut dengan alasan Edward yang masuk akal. Ia hanya merasa aneh mengapa Edward tahu jika sebelum pembunuhan terjadi, Fika menemui Kei terlebih dahulu, karena bagaimana pun yang tahu dirinya menyuruh Fika ke tempat Kei waktu itu, hanya dirinya dan wanita itu, Fika.“Ada apa Tuan?”“Aku hanya memastikan, wanita ini nggak akan kabur kemana-mana.”“Aman Tuan.”“Edward, kamu ikut saya bertemu klien."“Baik Pak.”“Safir, jangan coba-coba untuk kabur. Kalau aku tahu, maka kejadian pada malam itu akan terulang lagi padamu,” ucap Elan dingin dan berlalu dari sana.Safir mendudukkan dirinya di ranjang dengan tangan gemetar. Mendengar perkataan Edward dan Elan tadi membuatnya begitu syok. Suaminya, Kei, membunuh Fika? Bagaimana bisa pria itu.“Mas Kei tidak mungkin ‘kan membunuh Fika?” tanyanya lirih. Beberapa
Negeri Jiran menjadi tempat yang kini dipilih oleh Kei dan juga Safir untuk melanjutkan hidup. Keduanya memilih meninggalkan segala kenangat pahit, walau ada juga diselingi kenangan indah disana, namun semuanya hanya ingin mereka kenang dan berharap tidak akan terulang lagi selamanya.Sejarah memang selalu terulang, tapi harapan keduanya adalah mengulangi sejarah yang indah. Terutama untuk keluarga mereka. Kei memulai bisnisnya kembali dari nol, ia sekarang bekerja di sebuah perusahaan di Malaysia dan mendapat posisi sebagai menejer.Safir juga hidup layak disebuah rumah yang tidak semewah rumah Kei terdahulu, namun ia merasa tenang dan tentram tanpa gangguan siapapun. Bahkan, kini ia sudah memiliki seorang putra yang tampan, mirip sekali dengan suaminya, Keiji. Putranya ia beri nama Anggara Putra Keiji. Nama yang juga sangat disukai suaminya.“Pekan depan Elan mau berkunjung ke rumah kita, katanya mau lihat keponakannya, gimana menurutmu sayang? apa aku n
“Insyaa allah, Evan kuat Mas, dia pasti akan bertahan untuk berbaikan sama kamu lagi, kembali seperti dulu,” ujar Safir lembut ia duduk tepat disamping suaminya yang menutup wajahnya dengan tangan dan sikunya yang terpangku dikedua lututnya. Ini bukan kali pertama Kei merasa kehilangan, setelah Ayah, kemudian disusul Ibunya dan kini adiknya.Ia kira dengan mengikuti semua titah dari Kakeknya dan dengan berkuasanya ia di dalam perusahaan, kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi. Namun tetap saja, semua terjadi dan inilah takdir untuk keluarganya. Elan adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.Aoshi berdiri tidak jauh dari dua orang suami istri itu. Ia menatap prihatin kearah Kei, ia juga turut sedih karena tindakan Elan yang bebahaya dan membahayakan nyawa, ia bahkan tidak menduga pria bajingan itu akan memberikan nyawanya untuk melindungi Kei. Padahal, setahunya hubungan Elan dan Kei sedang tidak baik-baik saja.“Safir, dia keluar
“Seorang Alexander tidak benar-benar mempercayaimu Edward, mereka akan membunuhmu perlahan. Seharusnya yang kau hancurkan adalah mereka,” ucap Elan berjalan mendekat ke arah Edward agar pria itu mengurunkan niatnya dan tidak buta karena ambisi pribadinya. Sementara pria dengan jas hitam dan bergaya rambut top knot itu terkekeh, bahkan meringis senang karena bisa mengubah posisi antara dirinya dan atasannya dimasa lampau. Dunia memang berputar, ia sudah percaya dari sejak lama pepatah itu, hanya saja ia perlu sabar dan terus berusaha.“Apa kamu tahu Elan, kakakmu bukan hanya pembunuh berdarah dingin, tapi dia binatang yang tidak seharusnya hidup di dunia ini. Dia telah membunuh banyak orang dengan tangannya. Sekarang, apa kamu membelanya karena Alex sudah tidak percaya padamu lagi Elan?” sindir Edward dengan nada meremehkan. Matanya menyalang dengan kaca-kaca, ia merasakan betapa pahitnya kehidupannya selama ini dikejar-kejar rentenir, dikejar polisi pu
“Jadi, kamu benar mau menipuku Safir?” Edward menyeringai, dalam sedetik ia sudah menyudutkan Safir ke dinding dan menatapnya tajam.“Kenapa kamu berubah pikiran hah? apa kini kamu sudah mencintai suamimu yang jahat itu? atau kini kamu sudah bermimpi untuk menguasai hartanya?” geram Edward. Tangan pria itu merembet untuk mencekik Safir.Brak!Pintu besar yang terbuat dari kayu itu terbuka, Elan berada disana dan langsung mengeluarkan tinjunya kearah Edward.“Bos, kenapa kamu disini?” Edward terkejut.“Safir, pergilah.” Elan menatap Safir menyuruh wanita itu pergi. Sedangkan Safir yang masih terkejut menggeleng tidak percaya, bagaimana bisa Elan berada disini dan malah memihak padanya?“Safir! tunggu apa lagi, cepat bawa dokumen-dokumen itu dan pergi dari sini!” teriak Elan menggema diruangan kedap suara itu. Edward yang hendak menarik tangan Safir, tidak mampu karena Elan mendorongn
"Kei kamu mau pergi?" Mata Sonia berkaca-kaca, tangannya mengelus lengan keponakannya yang selama ini telah menampungnya.Kei mengangguk, "iya, aku minta maaf jika selama ini, belum bisa menjadi anak yang baik bagimu. Belum bisa menjadi Kakak yang baik untuk Emira dan Nania."Sonia menatap lekat-lekat wajah Kei, tangannya kini menangkup wajah pria itu. Laki-laki kecil yang dulu pernah ia rawat setelah kepergian saudaranya. Kini ternyata sudah menjelma menjadi pria dewasa. Namun, kehidupannya tidak berjalan selalu mulus. Sonia sangat tahu, Kei selalu berurusan dengan dunia hitam yang tidak tahu kapan akan berakhir.Sedari awal, ia mendukung semua apapun yang dilakukan Kei. Selama dirinya bisa mendapat perlindungan dan tumpangan. Ia tidak ingin bernasib sama dengan Ayah maupun Ibu Kei yang menentang Kakeknya, Sugi Yamamoto. Ia ingin hidup kaya dan bahagia. Wajar, jika dirinya selama ini, sangat tidak suka dengan kedatangan Safir yang bisa jadi merebut harta yang selama ini ia idamkan da
Safir yang sudah terbebas dari Edward, menghela nafas lega. Bukti yang kini di tangannya ia apit kuat-kuat, jangan sampai ada yang mengambil, karena ia takut justru akan berakibat fatal nantinya.Baru saja keluar dari kantor polisi, saat ia hendak mencari taksi, tangannya ada yang mecekal tiba-tiba. Bahunya dipeluk dari belakang, sebuah lengan kekar, melingkar di lehernya. "Jangan banyak gerak, ikuti aja kemana aku membawamu.""Siapa kamu?!" sentak Safir, berusaha melepaskan diri. Namun, kungkingan pria itu terlalu kuat. Akhirnya dengan jantung berdegup, ia pasrah saja."Berani berteriak, aku akan memenggal lehermu disini," ancamnya. Safir mengangguk, mencari aman sementara, juga ia ingin tau siapa pria yang kini menyeretnya ke dalam mobil."Kamu..." Safir kehabisan kata. Pria itu, adalah pria bertopi coboi yang pernah menemuinya di atas balkon. Kei sudah menceritakan padanya, jika pria bermata tajam dan berkulit vampir itu bernama Aoshi, tema
Safir menutup mulutnya sendiri begitu rekaman yang di dapat dari daschcam mobil seseorang menangkap beberapa kejadian termasuk kecelakaan orang tuanya. Mobil itu terlihat bergerak hingga terdengar pecakapan pengemudinya.“Aku akan membunuh direkturnya, dengan tanganku sendiri.”Lalu kemudian mobil bergerak dengan kecepatan diatas rata-rata. “Aku akan mengahancurkan kalian semua!” geram seorang pria yang wajahnya terlihat jelas di kamera.Pria itu adalah Keiji Salim Yamamoto. Wajahnya masih khas asia timur. Matanya masih terlihat sedikit sipit dan tidak ada jambang yang menghiasi wajahnya. Potret pria itu ketika masih muda. Terlihat, Kei mengambil minuman beralkohol dengan botol mini, lalu meneguknya beberapa kali.Mobil itu semakin dilajukan dan secepat kilat menabrak sebuah mobil di depannya dengan sengaja. Namun sepertinya karena mabuk keseimbangan Kei terganggu begitu pula mobil yang ditumpanginya, hingga ketika a
Kei menyugar rambutnya sendiri bisa-bisanya iaupa jika di apartemen yang ditinggali olehnya tersimpan bukti-bukti mengenai kecelakaan orang tua Safir. Ia belum sempat memindahkan bukti-bukti itu ke tempat yang aman.Sepulang dari kediaman Sugi Yamamoto yang berakhir dengan dirinya yang mendapat ancaman bahwa semakin Kei memberontak, Sugi akan benar-benar melenyapkan orang-orang terdekatnya. Ia bergegas untuk segera sampai ke apartemennya.Setelah membuat laju kendarannya di atas rata-rata membelah jalanan kota. Kei akhirnya sampai di apartemen mewah bak hotel bintang lima tempat dimana ia tinggal sementara itu. Ia segera menaiki lift dengan dada bergemuruh dan pikiran yang berkecamuk. Berharap Safir tidak menemukan apa-apa di tempat tinggalnya.Saat Kei memeriksa laci di dekat ranjang, matanya membelalak. Dokumen-dokumen termasuk flashdisk yang ia simpan sudah menghilang. Semuanya. “Safir!” pekik Kei dengan suara berat.Ia segera menelpon Soni
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Edward untuk mendapatkan bukti rekaman yang menunjukkan Elan telah membunuh seseorang. Pulpen mini itu ia masukkan ke dalam saku celana, memberi kecupan sebentar ke dahi Emira lalu berpamitan pergi dari kediaman Keiji Salim Yamamoto.Safir dan Kei yang tengah berada di apartemen namun terasa seperti hotel, kini mereka sedang menikmati makan malam mereka. “Mas, kira-kira kenapa ya Mas El ingin tahu target kamu selanjutnya?” tanya Safir.Kei yang sedang fokus dengan makanannya mendongak, ia memang cenderung sangat diam dan tenang jika sudah berhadapan dengan makanan. “Kamu lupa Fir? Aku nggak suka bicarain bisnis di meja makan,” ucap Kei datar. Safir hampir saja tersedak, pria itu tetaplah seorang Keiji Salim Yamamoto yang sedari awal ia temui bersikap dingin dan tidak suka terganggu.“Maaf,” ujar Safir, menunduk.“Bicarakanlah hal lain,” ucap Kei, bukan berarti ia