Diana, gadis manis berkacamata itu tampak menggigil kedinginan di bawah guyuran hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.
Perlahan ia memelankan laju motor matic-nya dan berhenti di depan rumah.
"Desta? Kenapa dia ada di sini, bukankah seharusnya dia bersama Meta ke acara pertemuan keluarga?"
Dengan memeluk tubuhnya sendiri, Diana melangkah menuju pintu. Membukanya dengan kunci cadangan yang ia bawa, mengabaikan sosok pria yang tampak tertidur di kursi teras dekat pintu itu.
"Sayang, akhirnya kamu pulang juga. Kamu membuatku tersiksa karena menunggu terlalu lama," ucap pria itu serak sambil memeluk tubuh Diana dari belakang.
Gadis itu membeku mendapati dirinya berada dalam dekapan seseorang yang sebentar lagi akan menjadi iparnya. Lelaki itu semakin mengeratkan tubuhnya membuat sesuatu yang berusaha ditahannya sejak tadi semakin bergolak.
Menyadari posisinya yang salah, Diana berusaha melepaskan diri dan masuk rumah. Dadanya berdebar kencang saat tiba-tiba tangan kekar itu kembali meraihnya. Tetesan air dari badannya membuat lantai yang dipijak licin dan membuatnya terpelanting. Spontan ia memejamkan matanya. Namun beberapa detik ia tak merasakan apa-apa. Hingga hembusan napas panas menerpa wajahnya.
Tatapan matanya bersirobok dengan mata sayu milik Desta. Pria itu semakin mendekatkan wajahnya hingga membuat Diana kalang kabut.
"Tidak! Desta, sadar, ini aku Diana. Jangan lakukan ini!" teriaknya sambil berusaha melepaskan diri dari pria itu.
"Tolong, bantu aku lepas dari siksaan ini, sayang. Aku sudah tak tahan lagi," lirih pria yang berstatus calon ipar itu dengan mata yang sudah tertutup kabut.
"Tidak! Ini salah. Jangan lakukan itu, aku tidak mau!"
Diana terus berontak. Berusahamenghindar dari pria yang sedang dalam pengaruh obat itu. Ia tahu, posisinya dalam bahaya. Saat pria itu lengah, ia berlari menuju kamarnya. Namun sial, lagi-lagi ia terpeleset karena tetesan air yang membuat lantai licin. Ia merutuki keputusannya untuk menerobos hujan hingga ia harus terjebak pada situasi yang tidak diinginkannya ini.
Melihat Diana tergeletak di lantai, pria itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Segera ia menindih tubuh mungil gadis itu dan berusaha untuk melepaskan has**tnya yang menggelora akibat obat yang dimasukkan dalam minumannya.
Dua jam lalu, Desta terpaksa datang ke rumah temannya yang mengadakan pesta lajang untuk dirinya. Hingga ia terpaksa membiarkan Meta, pergi ke acara keluarga bersama kedua orangtuanya. Ia memang sudah berjanji untuk menyusulnya. Namun siapa sangka, teman-temannya mengerjainya dengan menaruh obat perangsang dalam gelasnya.
Dan di sinilah sekarang. Ia tersiksa menahan tubuhnya yang semakin panas akibat hal itu.
Diana terus berontak untuk melepaskan diri dari kelakuan calon iparnya. Berulang kali ia memohon agar dilepaskan. Namun pergerakannya justru semakin membuat kabut gai*rah dalam diri pria itu semakin membuncah.
"Desta, ini tidak benar. Sebentar lagi kamu menikah, tolong jangan lakukan ini!" ucap Diana sendu.
Suaranya sudah serak akibat berteriak minta dilepaskan. Hujan deras disertai petir menutupi teriakannya, hingga tak ada satu pun tetangga yang mampu mendengarnya.
Tenaganya semakin melemah, ditambah lagi akibat kehujanan membuat gadis yang berprofesi sebagai guru itu menggigil dan semakin lemah. Hanya do'a yang bisa ia lakukan sekarang. Melawan tenaga pria yang sedang terpengaruh obat, bukan hal yang mudah.
Tanpa aba-aba, pria itu mencoba untuk menarik kerudung yang dikenakan Diana hingga terlepas dari kepala. Meski sudah kepayahan akibat terlalu lama di bawah guyuran hujan, Diana tak tinggal diam. Ia terus saja bergerak meraih apa saja untuk menggagalkan niat keji pria itu. Semakin lama, tenaga gadis itu makin habis. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangannya memburam dan semakin gelap, hingga semuanya tak lagi bisa ia rasakan.
Dari arah pintu, seorang gadis baru saja masuk rumah dan berhenti mendapati pemandangan di hadapannya. Tatapan gadis itu nanar melihat pemandangan yang membuat hatinya seperti diremas-remas. Jadi ini sebabnya sang kekasih tak jadi menyusul ke pertemuan keluarga?
"Apa yang kalian lakukan!"
Desta membeku. Mendengar suara kekasihnya yang muncul dari arah belakang. Tatapan sayunya jatuh pada gadis yang berada di bawahnya. Lamat-lamat ia mengumpulkan kekuatan untuk melawan gejolak yang sudah sampai di ubun-ubun. Lalu meneliti dengan saksama gadis yang dinodainya.
Matanya membelalak mendapati bukan Meta yang sedang di bawahnya. Dengan kecepatan kilat, ia mencoba bangkit dari posisinya. Namun gerakannya yang tiba-tiba membuat kepalanya berdenyut nyeri. Lalu tiba-tiba semuanya gelap. Pemuda itu ambruk menimpa Diana.
Pengaruh alkohol yang dicampur obat perangsang membuat pria yang mau menikah beberapa hari lagi ini tak mampu mengendalikan diri. Tubuhnya panas seperti terbakar. Pandangannya kabur dan menciptakan halusinasi yang akhirnya menyeretnya pada masalah yang tidak ia tahu ke depannya akan semakin panjang.
Akibat pengaruh minuman haram itu, Diana disangka Meta. Ia mengira perempuan yang dari tadi bersamanya adalah Meta, sang calon istri.
"Nggak usah pura-pura pingsan, Breng**k! Apa yang kamu lakukan sudah terekam jelas dalam otakku!" teriak Meta sambil menendang punggung pria yang telah merenggut rasa cintanya.
Tatapannya beralih pada sang kakak yang terlihat sangat kacau. Baju basah yang sudah robek sana-sini, kerudung yang selalu menutup auratnya sudah terlepas dari kepala, dan beberapa bekas cakaran yang tampak di kulit putihnya yang sudah tak tertutup sempurna oleh bajunya.
Dadanya bergemuruh hebat menyaksikan hal itu. Ia melangkah dan berjongkok di hadapan gadis yang masih tergolek lemah di lantai itu. Tangannya hendak terulur untuk menutup bagian tubuh yang terbuka dengan kerudung yang tergeletak di sembarang tempat. Namun mengingat Penghianatan yang dilakukan sang kekasih membuat hatinya mengeras. Rasa iba yang semula menyergap dada terhadap sang kakak berubah menjadi kebencian yang mendalam.
Gadis itu mencoba menutupi rasa kasihannya pada sosok yang selalu mengalah itu dengan rasa kecewa akibat ulah Desta. Entah siapa yang memulai lebih dulu. Namun melihat baju sang kakak yang basah kuyup membuat pikirannya berkelana.
"Nggak usah pura-pura pingsan, aku tahu kamu tidak pingsan, Kak. Bangun!" teriak Meta seperti kesetanan. Ia menyiramkan air minum yang ada di teko sebelahnya berdiri tadi kepada Diana yang pingsan sejak tadi.
Diana gelagapan. Perlahan ia membuka kedua matanya hingga lamat-lamat terlihat wajah sang adik yang dipenuhi kebencian. Lalu memindai seluruh ruangan dan didapati kedua orang tuanya telah berdiri di depan pintu dengan tatapan murka.
Mencoba untuk menggali ingatan kejadian sebelum pingsan, Diana merasa kepalanya berdenyut nyeri. Tubuhnya menggigil kedinginan serta ketakutan mengingat apa yang telah diperbuat oleh calon iparnya.
Saat menoleh ke samping, pria itu tergeletak tak sadarkan diri. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba bangkit.
"Me--meta, kamu sudah pulang? Dia--dia mencoba untuk menodai--"
"Hentikan omong kosongmu, Kak! Kekasihku nggak mungkin berbuat sekeji itu! Pasti kamu yang menggodanya, kan?"
Diana menggeleng-gelengkan kepalannya menyangkal. “Aku tidak serendah itu,” lirihnya.
Gadis yang selalu mendapatkan kasih sayang penuh dari keluarganya itu tersenyum sinis menatap kakak perempuannya. Mencemooh ucapan Diana yang membuatnya semakin benci pada fakta itu. Meta benci pacarnya salah mengenali orang, padahal jelas-jelas penampilan mereka berbeda. Diana dengan pakaian yang serba tertutup, sementara dirinya selalu memakai pakaian seksi yang menampakkan lekuk tubuhnya. Sangat aneh jika kekasihnya sampai salah mengenali orang. Namun kenyataan itu tak bisa ia terima. Hatinya sakit jika harus menerima kenyataan sang kekasih hampir saja melecehkan kakak perempuannya yang hampir tak pernah bergaul dengan pria. Sementara padanya Desta selalu menjaga diri. Tak pernah melakukan hal-hal yang diinginkan Meta layaknya pasangan kekasih zaman sekarang, sekalipun dia sering memancingnya."Tidak, Meta. Tidak! Dia mabuk dan mengira aku adalah kamu. Kamu bisa lihat ini!" tunjuk Diana pada bajunya
Diana hanya menanggapi dengan senyuman dan kembali berkutat pada hasil kerjaan siswa. Sebagai guru matematika, ia memang menjadi idola para siswa. Cara penyampaiannya yang gamblang dan santai membuat para siswa enjoy belajar matematika. Padahal biasanya mapel itu adalah momok yang menakutkan. Dan di tangan Dianalah, belajar matematika semudah belajar membaca. Pukul setengah empat sore, Diana pulang dengan perasaan gamang. Hatinya kembali berdenyut mengingat kejadian kemarin. Semua orang mengucilkannya di rumah. Ah, mungkin ini takdir yang harus diterimanya. Rumah terlihat sangat sepi. Perlahan ia membuka pintu dengan kunci cadangan. Namun belum juga ia memasukkan kunci dengan sempurna, pintu sudah terbuka sendiri karena tersenggol tangannya. Itu berarti tidak dikunci yang menandakan di rumah ada orang.&nbs
Aroma minyak kayu putih menyengat hidung. Perlahan kelopak mata Diana terbuka. "Sudah bangun, heh?" Ucapan itu membuat bulu-bulu halus Diana berdiri. Ia kira sendirian di sini. 'Kenapa pria itu masih ada di sini?', batin Diana bersenandika. "Kenapa, kaget aku masih disini? Cepat minum obat ini, dan pulang. Kamu sudah membuang banyak waktuku!" Setelah melempar Paracetamol ke pangkuan Diana, pria itu melangkah keluar meninggalkan Diana seorang diri. Meski hatinya sakit diperlakukan seperti itu, ia tetap berterimakasih karena ia masih mau peduli meski sangat jutek. Suara pintu terbuka, menampilkan sosok perempuan muda seum
Desta menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Diana. Namun sepertinya gadis itu menghilang entah kemana, hingga nalurinya menuntun untuk berjalan ke samping rumah. Sepasang mata kelamnya membelalak saat mengetahui sosok gadis yang membuatnya kehilangan kekasih tergeletak di depan pintu rumah belakang. Dengan cepat ia melangkah menuju gadis itu. Hampir saja dia mengulurkan tangan untuk memastikan apakah gadis itu pingsan atau sekadar tertidur di sana. Namun egonya sebagai lelaki melarangnya untuk berbuat demikian. Akhirnya dia memilih berbalik dan melangkah meninggalkan gadis itu. baru beberapa langkah ia berjalan, telinganya mendengar rintihan Diana hingga memaksanya untuk menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.Diana merasakan pening yang luar biasa. Badannya kembali menggigil. Sepertinya ia benar-benar sakit sekarang. Secepatnya ia harus masuk sebelum dia pingsan di sini
DiabaikanDesta tampak kacau. Pikirannya terbagi antara masalahnya dengan Meta dan juga gadis yang sedang terbaring lemah di brankar ini. Kilas balik kejadian saat ia berusaha melecehkannya kembali membuat otaknya mendidih. Dia memang bersalah, tapi tak bisakah semuanya diperbaiki? Kenapa semua orang tak mau mendengarkan penjelasannya? Meta, gadis yang selalu membuat hari-harinya hidup, terlihat sangat terluka akibat perbuatannya. Pergerakan kecil dari pasien di hadapannya mengalihkan pandangan. Netranya menatap tajam gadis itu."Akhirnya bangun juga kamu. Ck, menyusahkan saja!" ucapnya ketus membuat Diana langsung sadar. Netra mereka bertemu. Untuk sesaat semuanya hening. Diana yang baru saja tersadar merasa aneh dengan keberadaan Desta di dekatnya. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar. Tak bisa dipungkiri, aura dingin pria ini membuat Diana gemetar ketakutan. Ucapan pria
"I--ibu!" Senyum Diana langsung mengembang. Ia maju selangkah, hendak merengkuh tubuh sang Ibu. Di luar dugaan, wanita paruh baya itu justru mundur dan mengangkat tangannya sebagai tanda "jangan mendekat". Meski begitu, senyum Diana tak pernah luntur. Ia berpikir Ibu bersikap demikian karena masih kecewa padanya. Buktinya ia masih saja membayar biaya rumah sakitnya. "Makasih ya, Bu. Ibu sudah sangat baik padaku. Kalau bukan karena Ibu yang membayar biaya pengobatanku, mungkin sekarang aku masih terbaring dia rumah sakit.Wanita yang dipanggil ibu itu tak menyahut. Hanya menatap Diana sekilas lalu oergi meninggalkannya. Namun bagi Diana itu lebih dari cukup. Ia tak peduli meski ibunya masih bersikap cuek. Langkah kakinya membawa ia ke lantai dua. Kamar yang semalam tak ia sambangi karena harus bermalam di rumah sakit. Ia juga tersenyum melihat Desta yang sedang mengobrol dengan adik dan bapaknya. Itu artinya masalah mereka sudah selesai.
"Halo,"[Bisa datang ke rumah. Ada hal penting yang mau bapak bicarakan]"Sekarang?"[Ya. Kalau kamu nggak sibuk]"Oh, nggak kok, sayang. Aku langsung ke sana."Desta tersenyum. Akhirnya Meta mau berbicara lagi dengannya. Ia berharap bapaknya membatalkan rencana untuk menikahkan dirinya dengan Diana dan kembali menikahkannya dengan Meta. Gadis pujaannya. Dengan senyum mengembang, pria berprofesi dokter itu melangkah cepat menuju parkiran. Mengabaikan setiap sapaan yang mampir padanya. Hatinya diliputi kebahagiaan saat ini. Sambil membuka pintu mobil, ia mengetik oesan untuk membatalkan janji dengan sahabatnya yang baru saja sampai dari luar negeri. Ia tak peduli jika sahabatnya nanti marah. Yang penting sekarang urusannya dengan Meta selesai.Dua puluh lima menit perjalanan yang ia tempuh dari rumah sakit ke rumah kekasihnya. Di ruang tamu ternyata mereka sudah menunggu kehadirannya. "Duduklah!" perintah
Desta mengacak rambutnya frustasi. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Mungkin kalau laki-laki lain akan dengan senang hati menerima tawarannya. Menikahi dua wanita cantik dalam waktu berdekatan. Tapi tidak baginya. Ia mencintai Meta, bukan Diana. Bahkan ia sangat membenci Diana."Pak, tapi saya tidak bisa. Diana nggak bakal hamil, karena saya tak sampai melak--" ucapannya terjeda oleh kalimat bapak selanjutnya. "Cukup, Nak Desta. Keputusan saya sudah bulat. Kamu nikahi Diana. Setelahnya kamu ceraikan seperti kata saya tadi. Nggak ada tawar menawar lagi."Desta hanya menghembuskan napas pasrah. Tak bisa lagi bernegosiasi dengan orang tua ini. Mungkin sebaiknya ia terima saja permintaannya. Cuma satu tahun. Ia pasti bisa melewatinya. Daripada kehilangan Meta selamanya, lebih baik bersabar selama setahun lagi untuk menggapai impiannya mengarungi hidup bersama gadis pujaannya."Baiklah, Pak. Kalau itu memang sudah jadi keputusan Bapak," ucap De
Pertama kali bertemu orang yang melahirkan ke dunia seumur hidupnya, Diana seperti mimpi dan tak ingin bangun lagi. Selama ini ia mengira ibunya Meta adalah orang yang telah melahirkannya juga. Ternyata dia salah.Dan kini, wanita yang telah menyediakan rahimnya untuk dia tumbuh selama sembilan bulan lebih, talah ada di depan mata. Mereka masih berpelukan melepaskan rindu. Seolah hanya ada mereka berdua di sini. Bahkan, Diana sampai melupakan suaminya. Dalam kondisi normal, ia akan merasa malu bersikap seperti ini di depan suaminya. "Apa kalian nggak menganggap kami ada?" ucap Daniel dengan nada cemburu. Sepasang wanita kembar beda usia itu melerai pelukannya. Lalu menatap tajam pada pria yang barusan berbicara. Seolah mengerti dengan tatapan itu, Daniel memilih untuk duduk di samping Desta. "Apa setelah bertemu kalian akan bersekutu untuk memusuhiku? Kenapa tatapan kalian seperti itu?" cicitnya membuat ia mendapat lemparan dua bantal sofa secara bersamaan. "Tuh, kan ... benar. Bah
Pagi-pagi sekali, Diana sudah berkutat di dapur. Efek tak bisa tidur semalaman karena memikirkan ibu angkatnya, ba'da subub ia sudah berkutat di dapur. Membuat nasi goreng dan roti bakar untuk sarapan. Bi Ijah berkali-kali sudah melarang. Tak tega melihat majikannya di depan kompor dengan perut besar. Apalagi sesekali Diana menekan punggungnya yang mulai pegal. Namun, dasar Diana, ia tetap melakukan aktivitas meski sudah dilarang. Katanya biar persalinannya nanti lancar. Bahkan andai Desta nggak memaksa, ia tetap ingin pergi mengajar. Tepat pukul 6 pagi semua sarapan sudah terhidang di meja makan. Delapan puluh persen Diana yang membuatnya. Setelah siap, wanita itu segera masuk ke kamarnya. Semenjak usia kandungannya mencapai tujuh bulan, Desta memindahkan kamar mereka di kamar tamu yang ada di lantai satu. Jadi, Diana tak perlu susah payah naik turun tangga. "Mas, sarapannya sudah siap, tuh!" Diana mendekati suaminya yang asik dengan HP pintarnya. "Dari habis subuh kamu menghilan
"Eh, Gita, belanja juga?" Kedua sahabat lama ini langsung berpelukan. Menyingkir dari tempat itu dan membiarkan Deata menyelesaikan pembayaran. "Alhamdulillah, ini sudah delapan bulan. Kamu ...?" Diana tak melanjutkan pertanyaannya. "Anakku sudah dua.""Oh ya? Masyaa Allah, lama tak berkabar tahu-tahu dah berbuntut dua," ujar Diana nyengir. Mereka terlibat obrolan panjang sampai suami Diana mendekat. "Sudah, Mas?" "Udah. Yuk!" ajak Desta sembari menarik pinggang sang istri. Saat itulah tatapan matanya bersirobok dengan Gita. Sesaat keduanya terpaku. Kenangan silam masa SMA teringat kembali oleh mereka. Gita adalah orang yang pernah menolong Diana waktu kecelakaan dulu. Saat itu Diana berlarian ke halte karena ia tak mau ketinggalan UAS. Saat bersamaan ada pengendara sepeda motor dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kanan. Spion motor itu menyenggol tubuh Diana membuatnya terjatuh. Untuk hanys luka ringan sehingga ia masih bisa ikut UAS. Gita yang sedang mengendari mobil berhe
"Jadi?""Yah, begitulah faktanya." Dengan santai pria yang mengaku bernama Eldi mencomot kembali udang crispy yang masih setengah porsi milik Diana. Tentu kelakuan nggak sopan pria ini membuat dua pria lain menganga melihatnya. "Hei, kalau mau makan pesan aja sendiri! Jangan main comot gitu, dong!" Desta tampak menggeram melihat kelakuan sewenang-wenang pria yang mengaku teman SMA istrinya. Namun sepertinya Eldi tak merasa terganggu dengan tatapan membunuh 2 pria di sampingnya . Mau tak mau Diana menyudahi makannya meski sebenarnya iya masih sangat ingin melahap udang crispy itu. Namun mengingat aura yang mulai berubah horor, wanita hamil ini menekan keinginannya."Eh, eh, eh, mau kemana? Temani aku dulu di sini napa? Sepertinya kamu sudah nggak takut ma cowok lagi. Kalau gitu, boleh dong babang El PDKT sama Diana cantik," ucapnya tanpa disaring dulu. Iya Bahkan tak mau repot-repot melihat dua orang yang menjadi bodyguard Diana. Baginya dua orang pria itu dianggap seperti bayangan
Mobil yang mereka tumpangi berbelok ke restoran seafood yang ada di pinggir pantai. Diana berjalan lebih dulu ketika mobil telah berhenti. Memilih tempat dengan view yang menarik. Dia sangat suka laut. Maka tak heran ia memilih saung yang berhadapan langsung dengan laut. Dari sini mereka bisa melihat matahari terbenam secara langsung. Sayangnya, saat mereka sampai, surya masih bersinar terang dan belum condong ke barat. "Mau pesan apa, Sayang?" tanya Desta saat bobot tubuhnya mendarat sempurna di samping sang istri. "Aku mau cumi asam manis, udang krispi, sama ca kangkung aja." "Ok. Minumnya?""Es degan.""No! Wanita hamil tak boleh minum es." "Kata siapa?""Kata suamimu yang paling ganteng," ucap Desta narsis. Daniel memeragakan akting memuntah pada sohib sekaligus iparnya itu yang ditanggapi dengan gelak tawa. Wanita hamil yang sejak tadi fokus pada deburan ombak di laut, bahkan ketika menyebutkan menu yang diingini, menoleh pada sumber suara. Menatap takjub pada pria tampan
Pria tua yang dipanggil paman oleh Diana ini berdiri. Tatapannya nyalang seperti hendak memakan orang. Diana yang sudah biasa diperlakukan demikian olehnya tak merasa heran. Sejak dulu adik kandung bapak angkatnya ini memang terlihat nggak suka padanya. Selalu saja mengatakan jika Diana sebagai anak pembawa sial. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Kini, Diana paham. Yang dimaksud pamannya itu adalah karena Diana mendapat bagian harta yang lebih banyak. Padahal jika dipikir-pikir, bagiannya sama rata. Karena selain mendapat lahan sawit, bapak dan paman mendapat saham perusahaan masing-masing lima puluh persen. "Tolong, Pak, jaga sikap. Semua pembagian sudah dihitung secara adil. Selain lahan sawit, bapak-bapak masih mendapat saham perusahaan.""Ya, tapi seharusnya perempuan pembawa sial ini nggak perlu dapat bagian. Kenapa tidak Meta saja yang mendapatkannya? Dia putri kandung keluarga ini!""Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah almarhum. Keputusan ini sah dan dilindungi huk
"Tapi nanti keluarga itu akan semakin membenciku," lirih Diana sambil menunduk. Bagaimana pun dia sudah dibesarkan dengan sangat layak oleh keluarga itu. Dikuliahkan hingga ia bisa mengejar impiannya menjadi guru. Dia tak mengharap apapun dari mereka sebenarnya. "Tanpa mengungkit masalah ini pun mereka sudah membencimu sejak dulu, Di. Kebaikan dan ketulusan mereka selama ini hanya topeng. Mereka menginginkan bagianmu. Karena untuk mengalihkan nama menjadi nama Meta butuh persetujuan dan tanda tanganmu."Diana memijat pelipisnya. Tiba-tiba kepalanya berdenyut mendengar hal ini tiba-tiba. Ia tak menginginkan harta itu. Baginya berkumpul dengan keluarga sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah cukup senang dengan menjadi guru dan mendapatkan hasil darinya.Sarapan pagi yang seharusnya dilakukan dengan santai, kali ini justru diliputi keseriusan. Diana berharap apapun yang terjadi nanti keluarga yang telah membesarkannya tidak semakin membenci dirinya. "Apa tidak masalah kalau
Melihat kekagetan mommy, Diana berdiri dan membimbingnya untuk duduk. Ada yang perlu dijelaskan di sini. Diana menatap suaminya lalu beralih ke abangnya seolah ingin meminta persetujuan untuk menjelaskan statusnya. Kedua pria itu kompak mengangguk. "Mom, sebenarnya aku dan Bang Daniel kakak adik.""Apa?!"Wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu membelalak. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, Tan. Maaf, kami baru bisa memberi tahu sekarang. Karena kami juga baru tahu sesaat setelah Diana menikah dengan Desta." Daniel berinisiatif untuk menjelaskan mewakili adiknya. Dengan santai ia menjelaskan kronologis hilangnya Diana waktu masih bayi. Lalu menjelaskan bagaimana dia bisa tahu kalau Diana adalah adik kandungnya. "Jadi keluarga yang berusaha untuk mencelakaimu itu bukan keluarga kandungmu? Oh syukurlah Diana Mommy sangat senang mendengarnya. Karena kamu bukan keturunan keluarga kriminal." Mommy tampak bersungguh-sungguh. "Awalnya tante sangat
Aroma masakan Diana memenuhi dapur. Menguar ke seluruh penjuru ruangan. Pagi ini, Desta akan mengajak sang istri berjalan-jalan ke suatu tempat. Ia sengaja mengambil cuti seminggu untuk menebus waktu yang hilang sebelum ini. Ia turun dengan pakaian casualnya. Menambah kadar ketampanan pria itu meningkat beberapa kali lipat. Ditambah senyum yang tak pudar membuat semua penghuni rumah tertular aura bahagia yang ia taburkan. "Hem, wangi sekali aromanya, masak apa?" ucap Desta yang tiba-tiba sudah berada di belakang Diana. Melilitkan sepasang tangan kokohnya ke perut buncit wanita itu dan mengelusnya pelan. Mengantarkan sensai nyaman pada wanita itu. Diana tak menjawab pertanyaan sang imam. Ia sibuk menetralkan degub jantungnya yang berdentam-dentam tak karuan. Matanya terpejam menikmati gerakan aktif calon buah hatinya. "Wow, dia aktif sekali! Apa dia sedang mengajakku bicara?" ucap Desta antusias. Pria itu tampak takjub dengan apa yang ia rasakan. Baru kali ini dia merasakan secara