Desta menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Diana. Namun sepertinya gadis itu menghilang entah kemana, hingga nalurinya menuntun untuk berjalan ke samping rumah. Sepasang mata kelamnya membelalak saat mengetahui sosok gadis yang membuatnya kehilangan kekasih tergeletak di depan pintu rumah belakang.
Dengan cepat ia melangkah menuju gadis itu. Hampir saja dia mengulurkan tangan untuk memastikan apakah gadis itu pingsan atau sekadar tertidur di sana. Namun egonya sebagai lelaki melarangnya untuk berbuat demikian. Akhirnya dia memilih berbalik dan melangkah meninggalkan gadis itu. baru beberapa langkah ia berjalan, telinganya mendengar rintihan Diana hingga memaksanya untuk menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.
Diana merasakan pening yang luar biasa. Badannya kembali menggigil. Sepertinya ia benar-benar sakit sekarang. Secepatnya ia harus masuk sebelum dia pingsan di sini. Dengan berpegangan pada dinding, gadis itu berjalan menuju pintu depan. Ia tak menyadari jika mobil Desta masih terparkir manis di samping motornya.
Dengan kaki tertatih, ia mencoba masuk. Namun tiba-tiba langkahnya oleng di di depan pintu, hingga semuanya menjadi gelap. Ia tumbang bersamaan dengan sorot mata tajam yang menembus dirinya.
"Sh*t! Kenapa gadis ini lemah sekali?" ucap Desta yang tergesa melangkah menuju sosok Diana tergeletak di lantai.
Tanpa pikir panjang, pria itu langsung meraih kepala Diana dan meletakkan di pangkuannya. Sementara satu tangannya menyentuh nadi gadis itu. Lalu berpindah pada kening yang terasa menyengat kulitnya. Sangat panas.
Profesi sebagai dokter, membuatnya begitu cekatan dalam menangani pasien. Ia memperlakukan Diana seperti pasien lainnya tanpa berpikir akan masalah yang sedang menderanya. Sesaat ia melupakan siapa gadis itu. Hingga ia tak menyadari ada sorot mata terluka yang mengawasinya dari balik korden.
Tadi saat ada suara benda jatuh yang tak lain adalah Diana, Meta langsung berlari menuju ruang tamu. Ia berpikir Desta melakukan sesuatu yang nekat. Nyatanya justru pemandangan menyakitkan yang ia dapat. Raut khawatir tercetak jelas dari sosok yang ia cintai.
Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat seorang yang namanya masih terukir indah dalam sanubarinya begitu tulus merawat kakaknya. Seseorang yang telah membuat pernikahannya gagal. Pria itu mengangkat Diana dan menidurkan di atas sofa. Setelahnya ia berlari ke mobil, dan kembali lagi dengan membawa alat medis yang selalu tersimpan di dalam mobil.
Pria itu begitu telaten memeriksa Diana tanpa memerhatikan sekitar. Mengecek suhu dan tekanan darah. Dengan sabar ia menunggu termometer berbunyi, menandakan hasil telah terbaca.
"Katanya membencinya, tapi kamu begitu perhatian padanya. Cih, dasar laki-laki, lain di mulut lain di hati!" ucap Meta ketus membuat Desta berjingkat.
Wajahnya tetap tenang meski gadis yang dicintainya terlihat cemburu. Apalagi yang akan ia jelaskan? Faktanya ia hanya menolong seseorang yang butuh pertolongannya. Ia telah mengucapkan sumpah dokter untuk menolong siapa pun tanpa pandang bulu. Dan itu memang bagian dari pekerjaannya.
"Meta sayang, tak lihatkah kamu dia sedang pingsan? Dia sakit, dan aku harus menolongnya."
"Kamu yakin dia beneran sakit? Paling hanya pura-pura untuk mencari perhatianmu saja. Dasar kakak tidak tahu diri!"
Ucapan Meta yang keras mengundang kedua orang tuanya untuk datang. Mereka berkumpul di ruang tamu untuk melihat apa yang terjadi. Netra Bapak melotot sempurna melihat Desta sedang merawat Diana.
"Drama apa lagi yang dibuatnya?" ucap Bapak dingin.
Sementara ibu menatap mereka tanpa ekspresi. Tak ada kesedihan melihat Diana yang tergolek lemah. Ia menoleh pada putri bungsunya yang terlihat nemerah akibat marah.
"Diana sakit, Pak. Dia pingsan di depan pintu tadi. Jadi saya mencoba memeriksanya. Suhu badannya sangat panas. Tekanan darahnya juga sangat rendah."
"Kamu takin dia beneran sakit?"
"Iya, Pak."
Desta merapikan kembali alat medisnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Lalu menuliskan resep untuk ditebus dan menyerahkannya pada Meta.
"Tolong tebus obat ini, ya. Kalau sudah siuman nanti langsung buatkan teh manis dan beri dia makan. Sepertinya dia juga terserang magh."
"Apa? Kamu menyuruhku untuk melakukan itu? Kamu pikir aku mau? Dia telah menghuanatiku, kalau kamu lupa!"
Desta menghembuskan napas lelah. Gadis pujaannya ini memang memiliki sifat yang egois dan manja. Sering mereka bertengkar hanya karena masalah sepele. Sikapnya yang over protective dan cemburuan membuatnya sering mengalah. Namun entah mengapa ia begitu cinta padanya meski sering kali ia harus mengalah dan menurunkan egonya. Namun kali ini sudah sangat keterlaluan. Kakaknya sedang sakit, bahkan belum sadar, tapi ia menolak sekadar menebus obat ke apotek.
Lalu ia beralih pada ibu. Berniat meminta tolong padanya untuk menebuskan obatnya. Namun lagi-lagi menolak. Ia tak habis pikir dengan sikap mereka. Apa kecewa bisa menghilangkan belas kasih dan merenggut rasa kemanusiaan?
Melihat Diana yang masih tenang dan tak ada tanda-tanda siuman, Desta makin gelisah. Ia kembali menyentuh keningnya. Kali ini ia merasa suhunya semakin panas. Tatapannya beralih pada calon mertuanya dan gadis yang entah bisa disebut apa? Mantan tunangan atau calon ipar? Mereka semua menampilkan ekspresi datar.
Tanpa aba-aba, ia mengangkat Diana dan memasukkan dalam mobilnya. Ia tak memedulikan ekspresi terkejut dari sekua orang. Setelah kembali mengambil tasnya, ia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gadis ini harus segera mendapat penanganan medis. Tak bisa dibiarkan begiti saja.
***
"Ibu lihat tadi? Betapa khawatirnya Desta pada kak Diana? Bahkan ia berani menyuruhku untuk menebuskan obatnya, Bu, ini sangat keterlaluan!"
Meta tergugu di sofa bekas Diana dibaringkan tadi. Bayangan Desta yang merawat kakaknya dengan begitu telaten membuat hatinya kembali nyeri. Padahal tadinya ia akan mempertimbangkan kembali hubungannya meski Bapak pasti akan menentangnya. Ia sadar bahwa cintanya begitu dalam pada Desta.
Namun kenyataan pahit justru menamparnya. Ia mengira bahwa Desta dan Diana memang memiliki hubungan khusus di belakangnya.
"Kenapa kak Diana selalu saja merebut milikku, Bu? Apa salahku?" Gadis itu menenggelamkan kepalanya dalam dekapan hangat sang ibu.
"Dia pasti akan mendapatkan balasannya, sayang. Sudahlah jangan ditangisi. Kalau Desta masih cinta sama kamu, pasti nanti akan kembali padamu. Lihat saja, dia pasti akan mengemis cinta padamu."
Ibu mengelus lembut rambut putrinya. Ada senyum misterius tersemat tanpa di sadari siapapun. Pikirannya melayang pada masa belasan tahun silam. Dadanya nyeri mengingat masa-masa itu.
"Tapi sebentar lagi mereka akan menikah, Bu. Kak Diana telah merebut posisiku. Aku tak lagi punya harapan," ucapnya sambil terisak.
"Hanya sementara, sayang. Kamu akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu suatu hari nanti. Bersabarlah dulu."
Ucapan Ibu membuat Meta berpikir keras. Ia tak mampu mencerna kalimat itu. Seperti terselip makna terselubung yang tidak ia ketahui. 'Bagaimana mungkin aku bisa memiliki Desta lagi kalau sebentar lagi dia akan menjadi milik kakanya?'
Batin perempuan berumur 23 tahun itu berkecamuk. Tak rela jika kekasih tercintanya menikah dengan perempuan lain. Tiga tahun ia terus menunggu kekasihnya melamar. Namun saat hari bahagia itu tinggal menghitung hari, kakaknya menggagalkannya. Bahkan dialah yang akan memiliki apa yang seharusnya jadi milikmya.
"Maksud Ibu apa?"
"Kamu akan tahu nanti," ucap Ibu dengan senyum misteriusnya.
DiabaikanDesta tampak kacau. Pikirannya terbagi antara masalahnya dengan Meta dan juga gadis yang sedang terbaring lemah di brankar ini. Kilas balik kejadian saat ia berusaha melecehkannya kembali membuat otaknya mendidih. Dia memang bersalah, tapi tak bisakah semuanya diperbaiki? Kenapa semua orang tak mau mendengarkan penjelasannya? Meta, gadis yang selalu membuat hari-harinya hidup, terlihat sangat terluka akibat perbuatannya. Pergerakan kecil dari pasien di hadapannya mengalihkan pandangan. Netranya menatap tajam gadis itu."Akhirnya bangun juga kamu. Ck, menyusahkan saja!" ucapnya ketus membuat Diana langsung sadar. Netra mereka bertemu. Untuk sesaat semuanya hening. Diana yang baru saja tersadar merasa aneh dengan keberadaan Desta di dekatnya. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar. Tak bisa dipungkiri, aura dingin pria ini membuat Diana gemetar ketakutan. Ucapan pria
"I--ibu!" Senyum Diana langsung mengembang. Ia maju selangkah, hendak merengkuh tubuh sang Ibu. Di luar dugaan, wanita paruh baya itu justru mundur dan mengangkat tangannya sebagai tanda "jangan mendekat". Meski begitu, senyum Diana tak pernah luntur. Ia berpikir Ibu bersikap demikian karena masih kecewa padanya. Buktinya ia masih saja membayar biaya rumah sakitnya. "Makasih ya, Bu. Ibu sudah sangat baik padaku. Kalau bukan karena Ibu yang membayar biaya pengobatanku, mungkin sekarang aku masih terbaring dia rumah sakit.Wanita yang dipanggil ibu itu tak menyahut. Hanya menatap Diana sekilas lalu oergi meninggalkannya. Namun bagi Diana itu lebih dari cukup. Ia tak peduli meski ibunya masih bersikap cuek. Langkah kakinya membawa ia ke lantai dua. Kamar yang semalam tak ia sambangi karena harus bermalam di rumah sakit. Ia juga tersenyum melihat Desta yang sedang mengobrol dengan adik dan bapaknya. Itu artinya masalah mereka sudah selesai.
"Halo,"[Bisa datang ke rumah. Ada hal penting yang mau bapak bicarakan]"Sekarang?"[Ya. Kalau kamu nggak sibuk]"Oh, nggak kok, sayang. Aku langsung ke sana."Desta tersenyum. Akhirnya Meta mau berbicara lagi dengannya. Ia berharap bapaknya membatalkan rencana untuk menikahkan dirinya dengan Diana dan kembali menikahkannya dengan Meta. Gadis pujaannya. Dengan senyum mengembang, pria berprofesi dokter itu melangkah cepat menuju parkiran. Mengabaikan setiap sapaan yang mampir padanya. Hatinya diliputi kebahagiaan saat ini. Sambil membuka pintu mobil, ia mengetik oesan untuk membatalkan janji dengan sahabatnya yang baru saja sampai dari luar negeri. Ia tak peduli jika sahabatnya nanti marah. Yang penting sekarang urusannya dengan Meta selesai.Dua puluh lima menit perjalanan yang ia tempuh dari rumah sakit ke rumah kekasihnya. Di ruang tamu ternyata mereka sudah menunggu kehadirannya. "Duduklah!" perintah
Desta mengacak rambutnya frustasi. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Mungkin kalau laki-laki lain akan dengan senang hati menerima tawarannya. Menikahi dua wanita cantik dalam waktu berdekatan. Tapi tidak baginya. Ia mencintai Meta, bukan Diana. Bahkan ia sangat membenci Diana."Pak, tapi saya tidak bisa. Diana nggak bakal hamil, karena saya tak sampai melak--" ucapannya terjeda oleh kalimat bapak selanjutnya. "Cukup, Nak Desta. Keputusan saya sudah bulat. Kamu nikahi Diana. Setelahnya kamu ceraikan seperti kata saya tadi. Nggak ada tawar menawar lagi."Desta hanya menghembuskan napas pasrah. Tak bisa lagi bernegosiasi dengan orang tua ini. Mungkin sebaiknya ia terima saja permintaannya. Cuma satu tahun. Ia pasti bisa melewatinya. Daripada kehilangan Meta selamanya, lebih baik bersabar selama setahun lagi untuk menggapai impiannya mengarungi hidup bersama gadis pujaannya."Baiklah, Pak. Kalau itu memang sudah jadi keputusan Bapak," ucap De
"Sorry, Bro, mendadak ada urusan penting tadi," ucap Desta sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan Daniel. Setelah meyakinkan Meta, pria bertinggi 182 cm itu langsung meluncur ke kafe Laut Biru untuk bertemu dengan sahabatnya yang baru pulang dari luar negeri. Akibat panggilan mendadak calon mertua, ia membatalkan janji temunya padahal Daniel sudah di jalan menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Dan di sinilah mereka sekarang. Saling mengobrol mengusir jenuh. "Gimana hubungan Lo sama Meta? Sudah ada tanda-tanda mau ke jenjang yang lebih serius?" Daniel memang belum mendengar kabar tentang dirinya. Karena selama laki-laki itu di Sidney, jarang sekali mereka bertukar kabar. Selain kesibukan masing-masing, gaya hidup pria yang lama tinggal di luar negeri itu sangat bebas. Desta tak nyaman untuk sekadar menceritakan hubungan percintaannya pada Daniel. Bukan mendapatkan solusi, yang ada malah dibully. Desta menarik napas panjang sebe
Daniel sibuk dengan pemikirannya tentang Diana yang belum pernah dilihatnya. Namun entah mengapa dia begitu benci pada muslimah berhijab. Terlebih pikirannya sudah terkontaminasi oleh pemikiran liberal hingga menciptakan dendam tersendiri pada makhluk bernama wanita. Terlebih jika wanita itu mengenakan hijab. Pemikiran liberal lah yang membawa pengaruh buruk dan opini negatif tentang hijab. Sehingga banyak dari kaum wanita merasa hijab tak lain hanya aksesoris semata. Sehingga bebas untuk dipakai dan dilepas kapan saja. Apalagi tanpa dibarengi dengan iman dan pemikiran yang benar. Ya seperti Daniel ini. Desta tampak terprovokasi. Ia manggut-manggut membenarkan ucapan sahabatnya. Cara berpikir pria itu memang bebas. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan liberal. Dimana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi. "Apalagi dia sudah dewasa. Seharusnya dia sudah mendapat jodoh duluan, kan? Mungkin ia tak rela kalau adiknya yang menikah duluan. Apalagi calon su
"Dia ... hilang saat aku tinggalkan membeli es krim," ucapnya penuh penyesalan. Daniel menerawang. Mengingat kejadian saat ia berumur lima tahun. Meski belum ingat sepenuhnya, tapi ia tahu kalau hilangnya sang adik karena ulah cerobohnya. Dulu saat satu keluarga pergi ke kebun raya untuk melihat beranekaragam hewan. "Daniel sayang, tolong jagain adek dulu ya. Mama mau ke toilet sebentar." Setelah mengusap pelan kepala Daniel, sang mama berlalu menuju toilet umum yang ada di kebun binatang. Namun karena sedikit antre, tiga puluh menit nggak kembali juga. Daniel kecil yang melihat es krim tak jauh dari tempatnya duduk, langsung membeli. Sebenarnya nggak bisa dikatakan membeli juga, karena ia tak bawa uang. Namanya anak kecil, ketika melihat anak-anak lain makan es krim, langsung tergiur untuk makan juga. Maka tanpa pikir panjang bocah berusia lima tahun itu meninggalkan sang adik dan ikut berkerumun mengelilingi penjual es itu."Begitul
"Biar saya saja yang bayar, Pak. Sekalian dengan punya saya." Diana menoleh. Sedikit terkejut melihat seorang pria yang tak dikenal menyelamatkan dirinya dari rasa malu. "Terima kasih. Nanti saya bayar, tolong beri nomor teleponnya," ucap Diana lembut. "Tidak usah, Nona. Saya ikhlas kok.""Tidak, tidak. Saya tetap akan membayarnya nanti. Anggap saja saya berhutang pada anda.""Baiklah kalau itu maumu." Daniel meminta HP Diana, lalu mengetikkan nomornya. "Namaku Daniel, siapa namamu Bu guru?" Setelah mengambil kembali HP-nya, ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Saya Diana. Sekali lagi terimakasih, Mas. Insyaallah saya ganti. Saya permisi."Daniel menatap punggung Diana hingga menghilang dari pandangan. Apa yang diceritakan sahabatnya tak seperti yang dilihat. Gadis itu terlihat sangat sopan dan lembut. "Sepertinya nggak mungkin kalau dia gadis seperti itu. Tapi ... Belum tentu juga kan? J
Pertama kali bertemu orang yang melahirkan ke dunia seumur hidupnya, Diana seperti mimpi dan tak ingin bangun lagi. Selama ini ia mengira ibunya Meta adalah orang yang telah melahirkannya juga. Ternyata dia salah.Dan kini, wanita yang telah menyediakan rahimnya untuk dia tumbuh selama sembilan bulan lebih, talah ada di depan mata. Mereka masih berpelukan melepaskan rindu. Seolah hanya ada mereka berdua di sini. Bahkan, Diana sampai melupakan suaminya. Dalam kondisi normal, ia akan merasa malu bersikap seperti ini di depan suaminya. "Apa kalian nggak menganggap kami ada?" ucap Daniel dengan nada cemburu. Sepasang wanita kembar beda usia itu melerai pelukannya. Lalu menatap tajam pada pria yang barusan berbicara. Seolah mengerti dengan tatapan itu, Daniel memilih untuk duduk di samping Desta. "Apa setelah bertemu kalian akan bersekutu untuk memusuhiku? Kenapa tatapan kalian seperti itu?" cicitnya membuat ia mendapat lemparan dua bantal sofa secara bersamaan. "Tuh, kan ... benar. Bah
Pagi-pagi sekali, Diana sudah berkutat di dapur. Efek tak bisa tidur semalaman karena memikirkan ibu angkatnya, ba'da subub ia sudah berkutat di dapur. Membuat nasi goreng dan roti bakar untuk sarapan. Bi Ijah berkali-kali sudah melarang. Tak tega melihat majikannya di depan kompor dengan perut besar. Apalagi sesekali Diana menekan punggungnya yang mulai pegal. Namun, dasar Diana, ia tetap melakukan aktivitas meski sudah dilarang. Katanya biar persalinannya nanti lancar. Bahkan andai Desta nggak memaksa, ia tetap ingin pergi mengajar. Tepat pukul 6 pagi semua sarapan sudah terhidang di meja makan. Delapan puluh persen Diana yang membuatnya. Setelah siap, wanita itu segera masuk ke kamarnya. Semenjak usia kandungannya mencapai tujuh bulan, Desta memindahkan kamar mereka di kamar tamu yang ada di lantai satu. Jadi, Diana tak perlu susah payah naik turun tangga. "Mas, sarapannya sudah siap, tuh!" Diana mendekati suaminya yang asik dengan HP pintarnya. "Dari habis subuh kamu menghilan
"Eh, Gita, belanja juga?" Kedua sahabat lama ini langsung berpelukan. Menyingkir dari tempat itu dan membiarkan Deata menyelesaikan pembayaran. "Alhamdulillah, ini sudah delapan bulan. Kamu ...?" Diana tak melanjutkan pertanyaannya. "Anakku sudah dua.""Oh ya? Masyaa Allah, lama tak berkabar tahu-tahu dah berbuntut dua," ujar Diana nyengir. Mereka terlibat obrolan panjang sampai suami Diana mendekat. "Sudah, Mas?" "Udah. Yuk!" ajak Desta sembari menarik pinggang sang istri. Saat itulah tatapan matanya bersirobok dengan Gita. Sesaat keduanya terpaku. Kenangan silam masa SMA teringat kembali oleh mereka. Gita adalah orang yang pernah menolong Diana waktu kecelakaan dulu. Saat itu Diana berlarian ke halte karena ia tak mau ketinggalan UAS. Saat bersamaan ada pengendara sepeda motor dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kanan. Spion motor itu menyenggol tubuh Diana membuatnya terjatuh. Untuk hanys luka ringan sehingga ia masih bisa ikut UAS. Gita yang sedang mengendari mobil berhe
"Jadi?""Yah, begitulah faktanya." Dengan santai pria yang mengaku bernama Eldi mencomot kembali udang crispy yang masih setengah porsi milik Diana. Tentu kelakuan nggak sopan pria ini membuat dua pria lain menganga melihatnya. "Hei, kalau mau makan pesan aja sendiri! Jangan main comot gitu, dong!" Desta tampak menggeram melihat kelakuan sewenang-wenang pria yang mengaku teman SMA istrinya. Namun sepertinya Eldi tak merasa terganggu dengan tatapan membunuh 2 pria di sampingnya . Mau tak mau Diana menyudahi makannya meski sebenarnya iya masih sangat ingin melahap udang crispy itu. Namun mengingat aura yang mulai berubah horor, wanita hamil ini menekan keinginannya."Eh, eh, eh, mau kemana? Temani aku dulu di sini napa? Sepertinya kamu sudah nggak takut ma cowok lagi. Kalau gitu, boleh dong babang El PDKT sama Diana cantik," ucapnya tanpa disaring dulu. Iya Bahkan tak mau repot-repot melihat dua orang yang menjadi bodyguard Diana. Baginya dua orang pria itu dianggap seperti bayangan
Mobil yang mereka tumpangi berbelok ke restoran seafood yang ada di pinggir pantai. Diana berjalan lebih dulu ketika mobil telah berhenti. Memilih tempat dengan view yang menarik. Dia sangat suka laut. Maka tak heran ia memilih saung yang berhadapan langsung dengan laut. Dari sini mereka bisa melihat matahari terbenam secara langsung. Sayangnya, saat mereka sampai, surya masih bersinar terang dan belum condong ke barat. "Mau pesan apa, Sayang?" tanya Desta saat bobot tubuhnya mendarat sempurna di samping sang istri. "Aku mau cumi asam manis, udang krispi, sama ca kangkung aja." "Ok. Minumnya?""Es degan.""No! Wanita hamil tak boleh minum es." "Kata siapa?""Kata suamimu yang paling ganteng," ucap Desta narsis. Daniel memeragakan akting memuntah pada sohib sekaligus iparnya itu yang ditanggapi dengan gelak tawa. Wanita hamil yang sejak tadi fokus pada deburan ombak di laut, bahkan ketika menyebutkan menu yang diingini, menoleh pada sumber suara. Menatap takjub pada pria tampan
Pria tua yang dipanggil paman oleh Diana ini berdiri. Tatapannya nyalang seperti hendak memakan orang. Diana yang sudah biasa diperlakukan demikian olehnya tak merasa heran. Sejak dulu adik kandung bapak angkatnya ini memang terlihat nggak suka padanya. Selalu saja mengatakan jika Diana sebagai anak pembawa sial. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Kini, Diana paham. Yang dimaksud pamannya itu adalah karena Diana mendapat bagian harta yang lebih banyak. Padahal jika dipikir-pikir, bagiannya sama rata. Karena selain mendapat lahan sawit, bapak dan paman mendapat saham perusahaan masing-masing lima puluh persen. "Tolong, Pak, jaga sikap. Semua pembagian sudah dihitung secara adil. Selain lahan sawit, bapak-bapak masih mendapat saham perusahaan.""Ya, tapi seharusnya perempuan pembawa sial ini nggak perlu dapat bagian. Kenapa tidak Meta saja yang mendapatkannya? Dia putri kandung keluarga ini!""Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah almarhum. Keputusan ini sah dan dilindungi huk
"Tapi nanti keluarga itu akan semakin membenciku," lirih Diana sambil menunduk. Bagaimana pun dia sudah dibesarkan dengan sangat layak oleh keluarga itu. Dikuliahkan hingga ia bisa mengejar impiannya menjadi guru. Dia tak mengharap apapun dari mereka sebenarnya. "Tanpa mengungkit masalah ini pun mereka sudah membencimu sejak dulu, Di. Kebaikan dan ketulusan mereka selama ini hanya topeng. Mereka menginginkan bagianmu. Karena untuk mengalihkan nama menjadi nama Meta butuh persetujuan dan tanda tanganmu."Diana memijat pelipisnya. Tiba-tiba kepalanya berdenyut mendengar hal ini tiba-tiba. Ia tak menginginkan harta itu. Baginya berkumpul dengan keluarga sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah cukup senang dengan menjadi guru dan mendapatkan hasil darinya.Sarapan pagi yang seharusnya dilakukan dengan santai, kali ini justru diliputi keseriusan. Diana berharap apapun yang terjadi nanti keluarga yang telah membesarkannya tidak semakin membenci dirinya. "Apa tidak masalah kalau
Melihat kekagetan mommy, Diana berdiri dan membimbingnya untuk duduk. Ada yang perlu dijelaskan di sini. Diana menatap suaminya lalu beralih ke abangnya seolah ingin meminta persetujuan untuk menjelaskan statusnya. Kedua pria itu kompak mengangguk. "Mom, sebenarnya aku dan Bang Daniel kakak adik.""Apa?!"Wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu membelalak. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, Tan. Maaf, kami baru bisa memberi tahu sekarang. Karena kami juga baru tahu sesaat setelah Diana menikah dengan Desta." Daniel berinisiatif untuk menjelaskan mewakili adiknya. Dengan santai ia menjelaskan kronologis hilangnya Diana waktu masih bayi. Lalu menjelaskan bagaimana dia bisa tahu kalau Diana adalah adik kandungnya. "Jadi keluarga yang berusaha untuk mencelakaimu itu bukan keluarga kandungmu? Oh syukurlah Diana Mommy sangat senang mendengarnya. Karena kamu bukan keturunan keluarga kriminal." Mommy tampak bersungguh-sungguh. "Awalnya tante sangat
Aroma masakan Diana memenuhi dapur. Menguar ke seluruh penjuru ruangan. Pagi ini, Desta akan mengajak sang istri berjalan-jalan ke suatu tempat. Ia sengaja mengambil cuti seminggu untuk menebus waktu yang hilang sebelum ini. Ia turun dengan pakaian casualnya. Menambah kadar ketampanan pria itu meningkat beberapa kali lipat. Ditambah senyum yang tak pudar membuat semua penghuni rumah tertular aura bahagia yang ia taburkan. "Hem, wangi sekali aromanya, masak apa?" ucap Desta yang tiba-tiba sudah berada di belakang Diana. Melilitkan sepasang tangan kokohnya ke perut buncit wanita itu dan mengelusnya pelan. Mengantarkan sensai nyaman pada wanita itu. Diana tak menjawab pertanyaan sang imam. Ia sibuk menetralkan degub jantungnya yang berdentam-dentam tak karuan. Matanya terpejam menikmati gerakan aktif calon buah hatinya. "Wow, dia aktif sekali! Apa dia sedang mengajakku bicara?" ucap Desta antusias. Pria itu tampak takjub dengan apa yang ia rasakan. Baru kali ini dia merasakan secara