“Efek PMS?”“Iya, kayaknya cuma efek PMS. Setiap kali mau tanggalnya, kadang kita jadi aneh begitu, kan?”Vera masih mengkhawatirkan kondisi Kanya setelah apa yang terjadi di hotel kemarin. Vera semakin cemas karena penulisnya itu tidak bisa dihubungi sejak pagi.Menjelang tengah hari, Kanya akhirnya memberi kabar, mengaku baru bangun. Merasa lapar dan terlalu enggan untuk memasak sendiri, Kanya pun mengajak Vera makan siang bersama di kafenya.“Jadi, kemarin itu Mas Sena nggak bales chat yang aku kirim sejak habis sarapan. Sebenarnya aku tahu dia lagi ketemu rekan bisnisnya, tapi efek PMS memang beda. Langsung merasa nggak dicintai sama semua orang di seluruh dunia.”Vera mengernyit tak percaya. “Beneran?” selidiknya.Tentu saja Kanya bohong. Datang bulannya mungkin baru dimulai dua pekan lagi, jadi masih terlalu dini untuk mengambinghitamkan sindrom pramenstruasi. Biarpun begitu, Kanya tidak mungkin mengatakan masalah sebenarnya, kan?Jadi, Kanya menepis keraguan Vera dengan terseny
Kanya berdiri di samping mobilnya. Tangannya tampak bersedekap menunggu. Perempuan itu hanya diam, tetapi Sena tahu apa yang harus segera ia lakukan.Sena buru-buru lari menuju kendaraan roda empat tersebut, lalu membukakan pintu untuk istrinya tanpa berkata apa-apa. Kanya pun masuk mobil tanpa sepatah kata.Namun, saat merasa dirinya sudah duduk dengan cukup nyaman, perhatian Kanya jatuh pada tangan kiri Sena yang sesaat masih tertahan di bagian atas pintu mobil.Memang saat Kanya hendak masuk tadi, tangan Sena terangkat begitu saja. Refleks, seolah sudah biasa.“Kebiasaan baru?”Kanya menggumam pelan begitu Sena menutup pintu di sisinya. “Atau, aku yang baru tahu?” lanjutnya sambil mengamati Sena yang tampak berjalan cepat mengitari bagian depan mobil.Nyatanya, itu merupakan gerakan kecil yang selalu Sena lakukan saat bersama Kanya. Mau seburu-buru apa pun, ia akan tetap memastikan kepala istrinya tidak terbentur ketika masuk mobil.Begitu duduk di kursi kemudi, Sena langsung bers
Kanya tidak terlalu tertarik bekerja di perusahaan keluarganya. Dia merasa tak punya kemampuan berbisnis yang mumpuni. Pernah coba-coba belajar mendesain produk, tetapi hasilnya juga buruk. Kanya cukup jago soal teknik menulis konten pemasaran dan pernah berkontribusi banyak dengan kemampuan tersebut. Namun, setelah buku pertamanya meledak di pasaran, dia kesulitan membagi fokus antara pekerjaan di perusahaan dan proyek menulis buku.Setelah menikah, Kanya tak menyangka bahwa dirinya ternyata berbakat menjadi brand ambassador. Terima kasih kepada viralnya kisah cinta Kanya dan Sena yang berbuah popularitas instan. Kanya jadi bisa bantu mendongkrak penjualan produk Gayatri Silver, sekaligus membuat buku-bukunya semakin laris manis.“Bros ini cantik, tapi rasanya terlalu besar. Bikinannya siapa, deh?” Kanya bicara sendiri sambil bercermin di kamar. Bros perak yang mesti dipakainya hari ini memang kelihatan cukup besar. Biar penampilannya secara keseluruhan tidak terkesan berlebihan, a
“Kenapa kita harus berhenti saling mengabaikan?”Kanya jelas terdengar menuntut penjelasan. Namun, dia juga sudah punya jawabannya sendiri.“Selama ini, semuanya berjalan cukup baik karena aku dan Mas Sena fokus dengan kehidupan masing-masing. Silakan koreksi kalau ternyata aku salah.”Sena tak ingin menyela, seakan tahu kalau masih banyak yang ingin Kanya katakan. Dia hanya diam, memerhatikan istrinya bicara.“Bukankah saling mengabaikan adalah cara terbaik untuk mempertahankan pernikahan tanpa cinta ini? Kita bisa menjalaninya secara profesional karena tidak terikat secara emosional.”Kanya mengalihkan pandangan. Dia merasa tidak nyaman dengan cara Sena menatapnya.Hangat. Bahkan, terlalu hangat.Tatapan sehangat itu mestinya hanya ada ketika mereka bersandiwara, tetapi siapa yang hendak Sena tipu sekarang? Tidak ada siapa pun saat ini, jadi untuk apa Sena bersikap seolah mencintainya begitu?“Aturan itu masih berlaku, kan, Mas?”“Aturan yang mana?”“Katamu, sebagai istrimu, aku bis
Sena tersenyum melihat beberapa foto yang diunggah Kanya di media sosial pagi ini. Takarir dari unggahan itulah yang digunakan Zidan untuk mengolok-ngolok dirinya tadi.Kanya mengunggah foto makanan yang mereka santap pagi ini. Sesuai permintaan istri, Sena membuat gudangan—urap sayur khas Jawa, ayam goreng ungkep, dan nasi merah. Sungguh menu sarapan yang terbilang repot bikinnya, tetapi Sena tetap bersedia memasak itu semua.Untung saja ada toko sayur 24 jam yang melayani belanja daring langganan Kanya. Semua bahan yang dibutuhkan bahkan dapat diantar ke rumah mereka sebelum matahari terbit sehingga bisa langsung Sena eksekusi.Selain foto makanan, Kanya juga mengunggah foto Sena saat memasak yang sengaja dipotret dari belakang.‘Foto punggung lagi tren, Mas. Pasti nanti banyak yang komentar cakep soal bahu lebarmu.’Senyuman Sena melebar karena teringat apa yang diucapkan Kanya sebelum memotret dirinya. “Akhirnya Bapak Bimasena Wardana senyum. Saya ikut bahagia lihatnya, Pak.” Se
Beberapa bulan terakhir, Zidan hampir setiap hari melewati jalan yang sama. Sejak didapuk menjadi general manager untuk salah satu hotel milik Pandega Group itu, Zidan mau tak mau jadi sangat akrab dengan wilayah pesisir pantai selatan Yogyakarta.Idealnya memang Zidan pindah sementara ke dekat hotel. Namun, berbekal keyakinan bahwa dirinya tak akan lama ditugaskan di sana, dia memilih tetap tinggal di rumah pribadinya—sebuah hunian mewah di pinggiran kota. Kendati sudah sekian bulan berlalu, Zidan sangat jarang mau menyetir sendiri. Alasannya sederhana: melelahkan. Lagipula, perusahaan sudah menyediakan fasilitas kendaraan dinas lengkap dengan sopir pribadi. Bukankah sayang jika tidak dimanfaatkan?Hari ini pun, Zidan tak mungkin sudi memegang kemudi jika bukan Sena yang menyuruh.“Bisa-bisanya nyuruh temennya nyetir, sementara dia enak-enak tidur,” gerutu Zidan.Pria itu melirik Sena sekilas, lalu menghela napas panjang sebelum kembali fokus menyetir.‘Setelah tiga tahun, dia yakin
Tugas penting yang Kanya emban sore ini adalah membuat adonan klepon. Sebenarnya tidak sulit, tetapi Kanya tetap berusaha melakukannya dengan cermat agar klepon yang dihasilkan nantinya memiliki tekstur kenyal dan lembut.Desi sempat mewanti-wanti agar Kanya tidak menguleni adonan dengan menekannya terlalu keras. Uleni pelan saja hingga adonan kalis dan bisa dibentuk.Namun, gara-gara terkejut oleh pertanyaan ibu mertua, Kanya tanpa sadar meremas kuat adonan dengan kedua tangannya.“Ngidam …?” Kanya mengulang satu kata dari pertanyaan mertuanya dengan ragu.Desi tertawa kecil, menyadari keterkejutan menantunya. “Kamu tiba-tiba pengin banget makan sesuatu. Bisa beli, tapi kamu maunya Sena yang bikin. Spesifik banget lagi, minta rasanya harus seenak buatan Mama.”“Kamu kayak orang ngidam, Kanya. Hamil, ya?” tembak Desi sambil menyenggol Kanya dengan tatapan menggoda.Kanya bingung harus bagaimana menanggapinya. Hamil? Jelas tidak mungkin. Bercinta dengan Sena saja belum pernah, mustahil
Jarum jam hampir menyentuh angka 11 saat orang tua Sena tiba di rumah. Melihat pintu utama langsung terbuka begitu dia dan suaminya keluarga dari mobil, Desi jalan cepat menghampiri asisten rumah tangga (ART) andalannya dengan antusias. Matanya semakin berbinar saat melihat bukan hanya satu orang yang menyambutnya, melainkan dua. Ada beberapa dus berisi oleh-oleh dari teman lamanya, jadi dia kebetulan memang butuh banyak bantuan untuk mengeluarkannya dari mobil dan memasukkannya ke dalam rumah.“Pas banget, deh! Mbak, minta tolong itu …”Desi seketika berhenti bicara karena melihat kedua ART-nya buru-buru memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk mereka di depan bibir.“Pelan, Bu. Kesayangannya Bu Desi lagi pada tidur,” kata seorang ART, berbisik selirih mungkin.Mengikuti arahan para ART. Desi masuk rumah dengan langkah mengendap-endap. Melihat kelakuan istrinya, Indra cuma terkekeh tanpa suara sambil geleng-geleng kepala.Indra mengalihkan perhatian sejenak pada supir pribadi
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di
Kanya ingin bertemu dengan Jingga bukan hanya untuk mengoceh tak jelas. Ada sesuatu yang hendak dia katakan pada mantan kekasih suaminya itu.“Jadi, sesuai apa yang kamu mau, akhirnya aku minta cerai.”Setelah mengatakan itu, Kanya ingat benar bagaimana suasana di antara mereka jadi hening sepenuhnya. Suara-suara lain di sekitarnya perlahan menghilang, tak terkecuali gemuruh angin laut dan deburan ombak yang saling berkejaran.Tak ada dengusan kesal atau helaan napas emosional. Jingga benar-benar hanya diam, pun dengan Kanya yang menunggu reaksinya.“Dia bilang apa …?”Ketika Jingga akhirnya memecah sunyi, suaranya sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.“Setelah kamu minta cerai, dia bilang apa?”Jingga memperjelas pertanyaannya dengan suara yang sedikit bergetar.Saat menoleh ke arah Jingga, Kanya menangkap ekspresi yang tak bisa ia pahami. Jingga tampak menunduk, memandangi lantai dengan tatapan kosong.“Dia nggak mau,” tutur Kanya lirih. “Dia nggak mau kami bercerai.”Hening la
“Sialan kamu! Semuanya kacau gara-gara kamu! Semua salahmu! Aaargh …!”Jingga berteriak di sela isak tangisnya. Dia terus-menerus menyalahkan Kanya sambil mengguncang-guncang bahu perempuan yang menurutnya telah mengambil sumber kebahagiaannya itu.Baik Jingga maupun Kanya sama-sama tak menyadari saat pintu kamar terbuka. Pun dengan keributan kecil yang sempat terjadi di luar sebelum Sena memilih berlari menghampiri mereka berdua.Kamar yang ditempati Jingga cukup luas. Meski begitu, hanya butuh beberapa langkah bagi Sena untuk mencapai balkon.“Jingga …!”Sena tanpa sadar meninggikan suaranya ketika berusaha menghentikan apa yang Jingga lakukan pada Kanya. Tangan besarnya men
“Jujur, sampai sekarang pun aku belum paham kenapa Sena tiba-tiba muncul sebagai pengganti kakaknya.”Setelah susah payah meletakkan egonya, Jingga akhirnya mau duduk bersama Kanya di balkon. Namun, baru saja Kanya mulai bicara, dia sudah mencebik tak suka.“Selama bertahun-tahun, kami bahkan nggak pernah ngobrol. Basa-basi pun, dia kelihatan banget malesnya. Jadi, aku beneran nggak habis pikir waktu dia tiba-tiba diperkenalkan sebagai calon suamiku.”“Sebelum menikah, aku sempat tanya soal kalian. Bukannya kalian mau tunangan? Emangnya masuk akal kalau dia mendadak nikahnya malah sama aku?”Kanya masih ingat betapa dingin sikap Sena padanya dulu. Bicara sungguh hanya seperlunya. Saat berbicara pun, Sena tak mau melihat matanya kecuali saat ada orang yang memperhatikan.“Aku tanya nggak cuma 1-2 kali, tapi dia selalu nggak mau menjelaskan apa pun. Cuma bilang kalau kalian udah putus. Titik. Soal kapan dan/atau kenapa kalian putus, dia nggak merasa aku berhak tahu.”Jingga tersenyum mi