Sudah larut malam, namun mereka masih saja berputar-putar mengelilingi kota Penang mencari penginapan yang sedari tadi sudah penuh.Anna lelah, begitupun dengan Ajeng. Ibunya itu kini tertidur pulas dengan tubuh bersandar dikursi mobil. Sementara Anna, ia masih menahan kantuknya dengan menggulir-gulir ponsel seraya mencari hotel yang masih mau menerima tamu selarut malam begini. "Kita mau kemana lagi mbak? Ini sudah larut malam, semua hotel pasti sudah tidak menerima tamu" ungkap Suryono memecah keheningan.Anna menoleh, ia pun menggeleng tak tau harus mencari kemana lagi. "Bapak bilang kalau gak nemuin hotelnya, mbak sama ibu mbak suruh buat dibawa ke apartemennya. Gimana mbak mau?" tawar Suryono. Anna menggeleng. "Tidak usah, saya gak enak sama tuan kamu. Saya sudah merepotkan dia berkali-kali" jujur inilah alasan Anna yang sebenarnya mengapa ia begitu menolak mentah-mentah tawaran Adrian tadi. Apalagi ia merasa bersalah atas sikapnya yang cuek terhadap anak-anak Adrian saat diba
"Kalian ngapain disana?"Anna dan Suryono terperanjat kaget. Ia menoleh ke arah Adrian yang berdiri tegap memandangi mereka. "Enggak ngapa-ngapain tuan. Saya dan mbak ini gak sengaja bertemu disini" jelas Suryono. Adrian menyipitkan mata, berjalan menghampiri keduanya."Kamu ngapain disini An? Ada yang sakit?" tanyanya Adrian dengan wajah datar. Anna berdecak, ia menatap wajah Adrian yang masih sama. Angkuh dan dingin. "Tidak, saya hanya haus" jawab Ayana cepat berlalu meninggalkan Adrian. Adrian menggelengkan kepalanya menatap kepergian Anna, sementara Suryono dibuat menunduk menunggu tuannya yang berdiri menghalangi jalannya. "Apa sih, gak jelas" gumam Adrian sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan. Matanya berbinar menatap Anna yang tengah meneguk segelas air putih ditangannya. "No, kamu tunggu saya diluar ya. Saya haus, mau minum dulu" ucap Adrian tanpa menoleh kearah Suryono sedikit pun. Kakinya melangkah menjauhi Suryono.Suryono hanya mengangguk tanpa curiga sedik
Ditengah-tengah obrolan hangat Adrian bersama Ajeng, tiba-tiba saja ponsel Adrian berdering nyaring diatas meja membuat atensi keduanya teralihkan pada benda pipih tersebut. Mata Adrian memicing saat benda pipih itu ia ambil, terpampang nama Rama di layar tersebut tengah muncul dengan simbol panggilan video. Adrian heran, tak biasanya Rama memanggil dirinya dengan video, biasanya pemuda itu selalu anti akan panggilan tersebut. Untuk menghapus rasa penasarannya segera Adrian menggeser tombol hijau itu keatas. Wajahnya semeringah ketika dua bocah kesayangannya yang menenuhi layar ponselnya. "Assalamualaikum, kesayangan ayah""Waalaikumsalam, ayah lagi ngapain? Udah sarapan? Ayah disana lagi musim apa? Disini lagi hujan deras loh ayah ... "Adrian tersenyum mendengar celotehan Ratu yang wajahnya hampir saja menenuhi layar ponsel , putrinya itu sungguh menggemaskan."Dek, jangan gitu dong. Abangkan juga pengen lihat ayah, ayo bagi sini" Terdengar keluhan Raja dengan berusaha merebut
Adrian serta keluarganya Anna berjalan mengikuti brankar yang dibawa beberapa perawat menuju ruang operasi. Wajah tegang menyelimuti mereka, sementara Anna beberapa kali menatap langit-langit rumah sakit dengan hembusan napas gusar. Pasrah. Dirinya kini rela akan apa yang terjadi dalam kehidupannya, melihat wajah ayah dan ibunya membuat Anna yakin jika keputusan orang tuanya adalah yang terbaik. "Bismillah ya sayang, ibu doakan semua berjalan dengan lancar" bisik Ajeng menggenggam tangan Anna. "Berdoalah sebanyak mungkin, ayah disini menunggu kamu kembali" bisik Dirgantara bergantian. Bisikan itu bagai motivasi buat Anna, ia tidak boleh menyerah dalam hidup. Ada kedua orangtua nya yang masih menginginkan ia untuk tetap bersama mereka. Brankar pun berhenti tepat di depan ruang operasi, sebelum brankar tersebut dimasukan keruangan operasi, Adrian dengan sopan meminta kepada para perawat agar memberinya kesempatan untuk berbicara dengan Anna. "Anna, saya tidak tau apa yang ak
Satu jam pasca operasi, Anna tersadar. Pandangannya kosong menatap langit-langit ruangan yang serba putih tersebut. Matanya berair, bibirnya pucat. Sedetik kemudian tangisnya pecah, terdengar begitu keras membuat ketiga orang yang menemaninya terkejut. "Sayang, kamu kenapa? Apa ada yang sakit nak? Dimana?" lembut Ajeng bertanya berusaha menenangkan. Anna menggeleng, tangisnya malah semakin menjadi. terdengar begitu pilu. "Ibu ... " sesak Anna memanggil. Dadanya serasa terhimpit bebatuan besar. Sekuat mungkin Ajeng berusaha tegar, tangannya dengan hati-hati merengkuh tubuh yang rapuh itu."Minum dulu, tenangkan hatimu" sigapnya Adrian memberikan segelas air minum pada Anna. "Iya nak, minum dulu. Isighfar sayang," lanjut Dirgantara mengelus rambut Anna. Anna menggeleng, ia masih saja meneruskan tangisnya dengan tersedu-sedu. Pikirannya kacau, setelah ini ia tak tau lagi harus melanjutkan hidup atau mengakhirinya.Anna prustasi, ia benar-benar kehilangan jati dirinya, impia
Anna merasa detak jantungnya berhenti sejenak, matanya membulat tak percaya mendengar kata-kata Adrian. Ia menatap pria itu dengan campuran perasaan bingung, marah, dan terkejut."Sudahlah, Adrian. Jangan bercanda seperti itu," ujar Anna, mencoba meredakan kebingungannya. Ia percaya bahwa laki-laki dihadapannya itu sedang menghibur hatinya."Tidak ada yang lucu dalam hal ini, Anna. Saya serius. Saya ingin menggantikan tempat Mario dalam hatimu," kata Adrian dengan tatapan tajam.Anna memandang Adrian, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Apakah benar ini Adrian yang baru ia kenal? Apa maksud perkataannya? Bukankah lelaki itu bahkan tidak menyukainya? Bukankah lelaki itu membencinya, lalu apa maksud dari perkataannya.Sekelumit tanya hadir dalam benak Anna, ia merasa aneh dengan sikap Adrian saat ini.Anna merasakan kebingungan dan keraguan memenuhi ruang di antara mereka. "Adrian, apa yang membuatmu menjadi gila seperti ini? Jangan bercanda perihal rasa, kau sangat mengejutkanku. Tolo
Seminggu berlalu, masa pemulihan Anna dirumah sakit ternama itu sudah selesai. Kedua orang tua Anna kini tengah bersiap membereskan baju-baju Anna.Seminggu itu pula, Adrian tidak lagi menemuinya. Semua seperti biasanya, mereka kembali terasa asing."Pah, bagaimana dengan kabar Adrian?" tanya Anna tiba-tiba membuat kedua orang tua yang tengah sibuk mengemas keperluan Anna menoleh bingung."Apakah ayah tidak salah dengar bund? Anak kita nanyain siapa tadi?" Sedikit menggoda anna, Herman bertanya kepada istrinya."Iya pah, bunda juga dengar. Adrian ya" jawab istrinya sembari cekikikan.Mendengar hal itu, membuat pipi Anna merona. Entahlah, sejak seminggu ini Anna begitu bimbang dengan perasaannya. Satu sisi Anna masih mencintai Mario, di satu sisi Anna mengagumi keberanian Adrian seminggu lalu."Ih ..." rengek Anna dengan malu."Kenapa sayang, apa yang belum kita ketahui tentang Adrian? Apa Adrian membuat masalah sama kamu?" tanya ibunya dengan mendekati Anna.Anna memandang ibunya deng
Hari-hari telah berlalu, kini Anna telah sembuh total dari penyakit mematikan itu. Ia pun kini sudah mulai beraktivitas seperti biasa, berkutat dengan obat-obatan di ruang apoteker.Namun, setiap kali Anna melihat botol obat dengan label yang akrab, ingatannya selalu membawanya kembali pada masa-masa sulit saat dirinya terbaring lemah. Jika bukan karena beberapa orang, mungkin saat ini Anna masih harus berjuang dengan penyakitnya, terus menerus meminum obat yang sama tanpa tau kesembuhannya kapan."Jangan dipikirkan, itu sudah masa lalu. Fokuslah dengan kehidupanmu yang sekarang"Seketika Anna mengerjap, mendengar ucapan seseorang dibalik kaca."Kamu," lirih Anna.Adrian tersenyum, matanya menyipit memperhatikan wajah Anna dari balik kaca tersebut."Apa kabar, senang bisa melihatmu bekerja kembali" sapa Adrian. Anna menggeleng, ia berusaha menetralkan degup jantungnya."Alhamdulillah, ada perlu apa kesini? Mau tebus obat? Buat siapa?""Tanyanya bisa satu-satu bu? Saya bingung mau jawa
Suara kumandang adzan subuh terdengar saling bersahutan dibeberapa mesjid yang tak jauh dari kediaman rumah megah tiga lantai itu yang mereka sebut dengan mansion itu berdiri paling mewah disekitaran perumahan warga. Didalamnya, gemericik suara air keran berjatuhan membelah kesunyian. Nampak, seorang wanita yang sudah mengenakan mukena berwarna putih itu bersandar di ambang pintu. Menatap remang-remang cahaya dihadapannya, menunggu kehadiran sang suami yang sepertinya tengah berwudhu.Seorang pria dewasa, berkoko putih lengkap dengan sarung hitamnya keluar dari kamar mandi dengan pandangan menunduk membuat rambutnya yang basah terkena air wudhu itu menetes. Tangannya cukup sibuk menurunkan lengan baju kokonya yang tersingkap. Matanya memindai kearah lemari, hendak mencari kopiah yang akan dikenakannya untuk shalat subuh hari ini. Setelah menemukannya, ia kenakan rapih kopiah ke kepalanya dengan sedikit menunduk, ia mendongak. Lantas terperanjat kaget saat melihat siluet berwarna puti
"Assalamualaikum, bu. Saya MUA yang dipesan bapak Adrian, bolehkah saya masuk"Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya. "Waalaikumsalam," jawabnya akhirnya, sambil membuka pintu untuk MUA yang datang.Seorang wanita muda dengan riasan wajah profesional dan perlengkapan lengkap memasuki kamar. "Selamat pagi, Bu Anna. Kita akan mulai dengan riasan dan hijab stylish. Bapak Adrian sudah memesan semua perlengkapan yang dibutuhkan."Anna mengangguk, berusaha tenang. "Silakan, mari kita mulai."Selama proses riasan, hai Anna mulai tidak enak pasalnya riasan yang sedang MUA itu lakukan padanya seperi riasan untuk seorang pengantin dan itu membuat Anna terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi. Masa iya Anna akan menjadi pengantin lagi? Ia kan hanya mengajukan syarat agar Adrian melakukan ijab kabul saja didepan orang tua dan saksi. Udah itu aja, bukan meminta mengadakan pesta besar-besaran. Saat MUA menyelesaikan riasan dan Anna berdiri di
Seminggu telah berlalu, Adrian kini masih berada di kediamannya Anna. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan dalam seminggu ini Adrian hanya tidur sendiri di ranjang besar milik istrinya itu. Sementara Anna memilih untuk tidur disofa yang lumayan besar disudut kamarnya. Cukup nyamanlah untuk dipakai tidur. Seperti malam ini, Anna baru saja memasuki kamarnya dan terkejut saat menoleh pada Adrian yang kini tengah merebahkan tubuhnya disofa yang biasa Anna tempati sembari menonton beberapa siaran berita seputaran bisnis minggu ini. "Awas," usir Anna dengan cepat. Adrian mendongak, "mau tidur sekarang?" tanyanya bangkit dari pembaringan. Anna mengangguk, berjalan mengambil bantal dan selimut didalam lemari. "Jangan tidur dulu ya, mas mau ngobrol." pinta Adrian lembut. Anna mendengus sebal, ia meletakan bantal yang dibawanya keatas sofa. "Ngapain? Udah malam, aku ngantuk" tolak Anna halus.Anna malah merebahkan tubuhnya diatas sofa, padahal Adrian masih duduk disana.Adrian melihat ra
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap hujan yang terus menerpa jendela kamar. Suasana di luar yang dingin dan suram mencerminkan perasaannya saat ini. Suara tetesan hujan yang monoton dan gelegar petir membuat suasana hatinya semakin berat. Ia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Hujan ini seolah memberikan penekanan pada kebingungan dan rasa sakit yang ia rasakan. Hujan diluar nampaknya mulai agak mereda, membuat Anna bangkit untuk membuka jendela sekedar untuk menghirup udara pagi ini. Ia harap bau basah tanahnya yang menguar akan mampu menenangkan pikirannya dan berharap Adrian segera pergi dari rumahnya setelah ia menolak untuk bertemu dengannya.Jujur saja, Anna masih merasakan sakit hati atas perbuatan Adrian padanya tapi ia juga merindukananya namun logika Anna kali ini sedang berjalan, ia tidak akan luluh begitu saja saat ibunya bilang jika Adrian tidak memberikan surat yang Anna maksud melainkan Adrian datang ingin memperbaiki hubungan mereka. Jujur s
Sesubuh ini, hujan deras sudah melanda kota Surabaya. Sesekali petir menyambar bumi, dan Anna kini tengah memanfaatkan keadaan, seusai shalat subuh ia masih setia duduk diatas sejadah dengan menengadah berdoa sebanyak mungkin. Anna percaya, salah satu waktu mustajabnya doa ialah diwaktu hujan turun, dan Anna yakin Allah akan mendengar segala keluh kesah serta doa-doa dirinya.Anna memejamkan matanya, membiarkan suara hujan dan petir mengisi kesunyian sekelilingnya. Dalam kegelapan pagi itu, pikirannya melayang jauh, menelusuri berbagai harapan dan impian yang belum terwujud. Ia berdoa untuk kesehatan orang-orang tercintanya, untuk ketenangan dalam hidupnya, dan untuk petunjuk yang jelas dalam menghadapi jalan hidup yang penuh ketidakpastian, terutama untuk keutuhan rumahtangganya. Anna harap, Adrian tidak sungguh-sungguh dengan perceraian itu. Tak lama setelah ia berdoa, samar-samar ia mendengar bell rumah berbunyi. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Anna membuka matanya perlahan d
Setelah kepergian Aruni beberapa menit yang lalu, Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan kepala yang menengadah, menatap langit-langit. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ucapan Aruni seperti perintah baginya, namun apakah harus secepat ini? Bahkan Adrian belum memiliki persiapan untuk bertemu dengan Anna beserta mertuanya. Tiba-tiba tubuh Adrian bergidik ngeri saat mengingat wajah ayah mertuanya yang terlihat begitu tegas nan berwibawa. Ia begitu malu, jika harus menghadap Dirgantara malam itu juga. Entahlah, nyali Adrian selalu menciut jika dirinya tau sudah melakukan kesalahan. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalanya pening. Lebih baik ia sekarang bergegas pulang, menemui anak-anaknya. Rindu sekali ia bercanda dengan mereka. Ia pun bergegas pulang, mengendarai mobilnya sendiri tanpa ditemani Rama. Sengaja beberapa minggu ini Adrian membiarkan Rama untuk menjaga Aruni, menemani adik kesayangannya itu agar traumanya cepat sembuh. Seper
1 bulan kemudian ...Tepat satu bulan pertengkaran itu, rupanya Anna benar-benar pergi dari kehidupan Adrian dan kedua anaknya. Dengan terpaksa Anna tidak menuruti permintaan Raja kala itu, Anna benar-benar sakit mengingat Adrian mengajaknya bercerai kala itu. Padahal secara logika, Anna tidak salah dalam hal apa pun justru Anna hanya membantu agar emosi Adrian tidak menambah permasalahan kala itu. Namun, Adriaj terlalu emosi, ia mengartikan semua pembelaan dan kalimat penenangnya hanya untuk Mario, demi kebaikan mantan pacarnya itu.Dan sudah satu bulan ini hidup Adrian dan anak-anaknya begitu menyedihkan. Raja tak ingin berbicara dengannya sampai saat ini bahkan ia memilih untuk tinggal di pesantren al-anwar bersama jiddah dan jaddunnya sebelum Adrian membawa Anna kembali. Sementara Ratu, sampai sekaran putri kecilnya itu begitu murung, bahkan sering sakit-sakitan menggumamkan nama Anna sebagai bunda kesayangannya.Sudah berkali-kali Melati dan Darius menasehati agar Adrian menemui
"Bunda kenapa? Kok matanya bengkak, nangis ya?" kira-kira begitulah Ratu bertanya ketika menemui bundanya yang tengah melamun sendirian menghadap jendela kamar mereka. Anna tersenyum tipis, ia menyambut hangat putri Adrian yang semakin hari semakin cantik dan menggemaskan."Bunda ih katanya dirumah nenek, tapi pas kita kesana gak ada" kesal Raja yang tiba-tiba datang ke kamar mereka. Wajah tampannya menyiratkan kekesalan. Anna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan."maaf ya, tiba-tiba kepala bunda pusing. Makannya bunda pulang duluan darisana, oh iya padahal disana masih ada ayah kalian loh kenapa malah buru-buru pulang?"Ratu dan Raja saling bertukar pandang, tampak bingung sekaligus khawatir. Raja yang biasanya tegas kini menunjukkan sisi lembutnya ketika melihat ekspresi Anna."Bunda pusing kenapa? Udah minum obat atau mau abang ambilkan sesuatu buat bunda?" tanyanya Raja dengan penuh khawatir dan perhatian, ia mendekat kearah Anna dan mengulu
Aruni terduduk dan termenung di kamarnya sejak sejam yang lalu. Meratapi nasibnya sekarang ini. Apakah ia akan sanggup menjalani hidup setelah ini? Apakah ia akan sanggup mengurus bayi tidak berdosa diperutnya itu? Entahlah, Aruni hilang arah. Dia marah, terluka, kecewa. Kalau saja malam itu ia tidak menolong Mario, mungkin sekarang Aruni akan baik-baik saja atau bahkan ia sudah berada di Surabaya menyusul pria yang dicintainya. "ARGHHHH!" teriakan amarah dari dalam kamar itu terdengar begitu memilukan, Melati dan Anna berusaha untuk mencoba memasuki kamar Aruni kembali namun tidak bisa. Sejam yang lalu, Aruni mengusir keduanya saat dokter Tia menyarankan agar Aruni dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Aruni menolak. Ia sudah tau hasilnya dan ia yang merasakannya, bahkan gelagat dokter Tia yang mencurigakan itu membuatnya gampang ditebak. Brak ... Prang ...Suara barang pecah dan berjatuhan membuat Melati dan Aruni panik, keduanya memutuskan untuk menghubung