Abang turun, kesian itu nenek-neneknya berat nahan beban abang. Abangkan gendut," celetuk Ratu.Seketika kedua mata teduh Raja terbuka lebar, bibirnya mengerucut tak terima dengan perkataan sang adik. Sejak kapan dirinya genduk? Berat badannya juga cuma naik dua kilo bulan ini, yang adiknya sendiri yang gendut dengan pipi gembul dan perut buncitnya. "Jiddah sayang," peringat Adrian disela obrolannya dengan abi Hasan dan Fahri, sementara Anna masih diam membisu. Bingung harus memulai percakapan darimana, jujur saja dirinya tak pandai basa-basi untuk membuka obrolan dengan orang baru."Abang gak gendut ya dek, adek aja yang gendut" protes Raja dengan turun dari pangkuan umi Saroh."Iya abang gak gendut, cuma lebar aja" celetuk Ratu dengan memeletkan lidahnya, seketika Fahri tergelak memperhatikan ning kecilnya itu."Om kenapa lagi malah ketawa, gak ada yang lucu!" Protes Ratu mendelik sebal. Fahri terdiam, ia tak menyangka dengan sikap Ratu yang begitu diluar dugaan."Sayang, jangan gi
"FAHRI ... Apa-apaan ini, ponakan gue lo kasih apa?"Nah kan, baru juga Fahri berucap suara khas Rama terdengar. Ia berjalam cepat menghampiri mereka yang entah sejak kapan sudah berada di pesantren al-anwar. "Om Rama ..." Pekik Ratu dengan cepat menghambur kepelukannya. Rama tersenyum menyambutnya,"hello princesss ..." Sapanya. Fahri berdiri, ia berjalan mendekati Rama. Menepuk pundak tegas itu dengan pelan. "Apa kabar ente, sudah lama gak pernah lagi kesini. Sibuk banget kayaknya," cibir Fahri terkikik. Rama mendelik, ia duduk disamping Raja dengan Ratu dipangkuannya. "Gue baik," ucapnya datar.Fahri manggut-manggut, tangannya terulur memberikan jajanan cilor pada Ratu. "Cobain deh, ini enak" ungkapnya."Heh!" bentak Rama dengan segera menjauhkan tangan Fahri dari Ratu yang hendak menerima pemberiannya."Om," lirih Ratu, matanya berkaca-kaca. Bibir bawahnya telah bergetar, detik kemudian tangisnya pecah membuat Raja yang tengah anteng menikmati jajanan dihadapannya mengerjap kag
"setelah ini, apa kamu masih akan menjauhkan abi dan umi dari kedua cucu kami?" abi Hasan bertanya dengan penuh kekhawatiran, matanya terpancar kesedihan. Lima tahun berpisah dengan kedua cucunya membuat abi Hasan seperti dilanda ketidak percayaan dengan kehadiran Adrian dihadapannya saa ini. Ini terasa mimpi baginya.Dengan senyuman hangatnya Adrian menggeleng pelan, sedari tadi tangannya tak lepas dari genggaman Anna."InsyaAllah tidak akan abi, Rian dan keluarga kecil Rian sudah memutuskan untuk tinggal kembali di mansion yang dulu pernah saya tempati dengan putri abi. Rasanya Rian sudah berdosa sekali memisahkan kalian dengan anak-anak " jawab AdrianAbi Hasan menatap Adrian dalam-dalam, berusaha mencari kejujuran dalam mata menantunya."Sekarang luka Rian sudah sembuh, abi emm ummi mohon doa restunya untuk Rian dan istri Rian. Semoga rumah tangga kami selalu diberkahi," lanjut adrian dengan nada penuh harap. Abi Hasan terdiam sejenak, kemudian tersenyum lembut. Ia merasakan ketul
Setelah melaksanakan shalat dzhur berjamaah dimesjid, kini Adrian dan abi Hasan tengah duduk bersantai diruang keluarga, disusul oleh Rama dan sikembar yang so soan ikut ngeteh bersama mereka."Ini kedua cucu Jaddun sudah pada sekolah belum?" Abi Hasan bertanya dengan gemas saat melihat Raja dan Ratu yang tengah asik menikmati buah jambu merah yang dipetik Fahri ditaman tadi.Raja mendongak,"belum, kata ayah bulan ini kita masuk sekolah. Iya kan ayah?" tanyanya memastikan pada Adrian.Adrian mengangguk, ia tersenyum manis kearah putranya."iya, inshaaAllah.""Bulan ini itu kapan ayah? Masih lama ya?" tanyanya Ratu begitu polos.Ketiga lelaki dewasa itu tertawa kecil mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut kecil Ratu. Adrian tersenyum dan mengusap kepala Ratu dengan lembut. "Tidak lama lagi, sayang. Mungkin minggu depan kalian sudah mulai sekolah," jawabnya.Ratu mengerutkan keningnya, lalu menatap Raja. "Minggu depan, kita harus bangun pagi-pagi, ya, bang? Kita gak boleh tidur
Sejak pulang dari pemakaman tadi, Raja masih tetap dalam mode ngambeknya. Ia terus saja mendiami orang-orang yang dia temui, termasuk adiknya sendiri.Tatapannya sendu, hatinya seperti remuk redam. Ucapan sang ayah yang membenarkan pernyataan ustadz Fahri membuatnya kecewa, Raja benar-benar seperti orang yang sudah menginjak remaja yang mengerti apa itu kehilangan dan kekecewaan.Bumi seakan mendukung kekecewaannya, ia ikut menangis dengan cara bertahap. Dari mulai gerimis lembut yang menyapa dedaunan hingga hujan deras yang menampar tanah dengan kerasnya. Hujan bahkan turun semakin deras, menimbulkan suara gemuruh yang membuat suasana semakin suram. Raja duduk di tepi jendela kamarnya, memperhatikan titik-titik air yang menempel pada kaca, membentuk pola acak yang tidak beraturan.Adrian yang sedari tadi berusaha keras membujuk pun akhirnya menyerah, membiarkan putra kesayangannya menikmati kesedihan untuk beberapa saat. "Tuhan, kenapa harus ibu? Bahkan Raja sendiri belum pernah mer
Adrian melangkah menuruni satu persatu anak tangga dengan Raja digendongannya, nampak suara canda tawa dari kedua perempuan yang ia sayangi terdengar asik ditelinganya.Adrian mematung sejenak dari jarak yang tidak cukup jauh, memperhatikan bagaimana interaksi Anna dan putri kesayangannya itu. Seulas senyum tercetak indah diwajahnya saat melihat perhatian-perhatian kecil yang Anna berikan pada putrinya."Boy, lihat adikmu. Semburat diwajahnya begitu bahagia saat bundamu memberikan perhatian kecil padanya,"Raja yang sedari tadi ikut memperhatikan, mengangguk setuju."jangan berpikiran seperti tadi lagi ya. Bunda mu bukan orang jahat, ayah janji akan menceritakan tentang ibu kalian tapi Raja juga harus baik sama bunda. Terima dia, seperti dia menerima kamu dengan tulus selama ini" Raja hanya terdiam menanggapi.Adrian melangkah perlahan menuju Anna dan putrinya, menjaga agar langkahnya tidak mengusik momen indah yang tengah berlangsung. Dia menurunkan Raja dengan lembut, membiarkan anak
*Flasback on*Malam itu, suasana mansion menjadi gaduh ketika pintu rumah terbuka menampakan pria paruh baya dengan stelan hitam-hitam bersama sepasang anak yang berusia sepuluh dan delapan tahunan. Semua pandangan mata tertuju pada kedua anak yang bergandengan dengan wajah nelangsa. Adrian yang waktu itu baru berumur lima belas tahun, beranjak dari duduknya menghampiri sang ayah. "Darimana saja, kami mengkhawatirkan mu, ayah?" tanya Adrian memeluk erat sang ayah. "Hai boy, tolong antarkan mereka ke kamar tamu. Biarkan mereka istirahat," perintahnya."Mereka siapa, ayah?""Mereka akan menjadi teman kamu," jawabnya lugas. Semua orang yang sedari tadi terdiam, kini kompak berdiri menghampiri. "Mas, kamu bawa anak siapa? Mengapa kotor begitu?" Kali ini ibunya Adrian yang bertanya.Darius dan murni pun tak kalah syok, ia menatap sang kakak dengan penuh tanya. "Dar, abang kita sudah meninggal" ucapnya menepuk pundak kokoh Darius. "Abang bohong, bang agas sehat-sehat saja. Dia gak mun
Suasana makam siang kali ini mendadak rame, Aruni dan Rama yang ikut bergabung bersama keluarga kecil Adrian menambah suasana kehangatan di ruangan tersebut.Pujian demi pujian banyak Adrian dan Rama lemparkan kepada Anna yang sengaja membuatkan makanan kesukaan mereka. "Aruni, maaf ya kakak tidak tau makanan kesukaanmu, jadi makan yang ada saja ya" ucap tak enak hati. "Tidak apa kak, Aruni suka ini semua kok""Alah, adiknya abang kan penyuka semua jenis makanan mana mungkin tidak ada yang kamu tidak sukai" timpal Rama dengan gelengan. Aruni mencebik kesal, "abang jangan bukai aib aku didepan kakak ipar dong" pinta Anna memelas. "Lagian dari kecil sampai sekarang hobinya doyan makan, tapi lumayan sih sekarang badannya gak gendut-gendut amat padahal porsi turun tuh, heran deh" kekeh Rama, entah itu pujian atau keluhan seorang kakak pada adiknya."Masih doyan semur jengkol gak?" tanya Adrian menimpali. "Masihlah, mana mungkin dia lupa sama semur jengkol, orang tiap pesen makanan ya
Suara kumandang adzan subuh terdengar saling bersahutan dibeberapa mesjid yang tak jauh dari kediaman rumah megah tiga lantai itu yang mereka sebut dengan mansion itu berdiri paling mewah disekitaran perumahan warga. Didalamnya, gemericik suara air keran berjatuhan membelah kesunyian. Nampak, seorang wanita yang sudah mengenakan mukena berwarna putih itu bersandar di ambang pintu. Menatap remang-remang cahaya dihadapannya, menunggu kehadiran sang suami yang sepertinya tengah berwudhu.Seorang pria dewasa, berkoko putih lengkap dengan sarung hitamnya keluar dari kamar mandi dengan pandangan menunduk membuat rambutnya yang basah terkena air wudhu itu menetes. Tangannya cukup sibuk menurunkan lengan baju kokonya yang tersingkap. Matanya memindai kearah lemari, hendak mencari kopiah yang akan dikenakannya untuk shalat subuh hari ini. Setelah menemukannya, ia kenakan rapih kopiah ke kepalanya dengan sedikit menunduk, ia mendongak. Lantas terperanjat kaget saat melihat siluet berwarna puti
"Assalamualaikum, bu. Saya MUA yang dipesan bapak Adrian, bolehkah saya masuk"Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya. "Waalaikumsalam," jawabnya akhirnya, sambil membuka pintu untuk MUA yang datang.Seorang wanita muda dengan riasan wajah profesional dan perlengkapan lengkap memasuki kamar. "Selamat pagi, Bu Anna. Kita akan mulai dengan riasan dan hijab stylish. Bapak Adrian sudah memesan semua perlengkapan yang dibutuhkan."Anna mengangguk, berusaha tenang. "Silakan, mari kita mulai."Selama proses riasan, hai Anna mulai tidak enak pasalnya riasan yang sedang MUA itu lakukan padanya seperi riasan untuk seorang pengantin dan itu membuat Anna terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi. Masa iya Anna akan menjadi pengantin lagi? Ia kan hanya mengajukan syarat agar Adrian melakukan ijab kabul saja didepan orang tua dan saksi. Udah itu aja, bukan meminta mengadakan pesta besar-besaran. Saat MUA menyelesaikan riasan dan Anna berdiri di
Seminggu telah berlalu, Adrian kini masih berada di kediamannya Anna. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan dalam seminggu ini Adrian hanya tidur sendiri di ranjang besar milik istrinya itu. Sementara Anna memilih untuk tidur disofa yang lumayan besar disudut kamarnya. Cukup nyamanlah untuk dipakai tidur. Seperti malam ini, Anna baru saja memasuki kamarnya dan terkejut saat menoleh pada Adrian yang kini tengah merebahkan tubuhnya disofa yang biasa Anna tempati sembari menonton beberapa siaran berita seputaran bisnis minggu ini. "Awas," usir Anna dengan cepat. Adrian mendongak, "mau tidur sekarang?" tanyanya bangkit dari pembaringan. Anna mengangguk, berjalan mengambil bantal dan selimut didalam lemari. "Jangan tidur dulu ya, mas mau ngobrol." pinta Adrian lembut. Anna mendengus sebal, ia meletakan bantal yang dibawanya keatas sofa. "Ngapain? Udah malam, aku ngantuk" tolak Anna halus.Anna malah merebahkan tubuhnya diatas sofa, padahal Adrian masih duduk disana.Adrian melihat ra
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap hujan yang terus menerpa jendela kamar. Suasana di luar yang dingin dan suram mencerminkan perasaannya saat ini. Suara tetesan hujan yang monoton dan gelegar petir membuat suasana hatinya semakin berat. Ia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Hujan ini seolah memberikan penekanan pada kebingungan dan rasa sakit yang ia rasakan. Hujan diluar nampaknya mulai agak mereda, membuat Anna bangkit untuk membuka jendela sekedar untuk menghirup udara pagi ini. Ia harap bau basah tanahnya yang menguar akan mampu menenangkan pikirannya dan berharap Adrian segera pergi dari rumahnya setelah ia menolak untuk bertemu dengannya.Jujur saja, Anna masih merasakan sakit hati atas perbuatan Adrian padanya tapi ia juga merindukananya namun logika Anna kali ini sedang berjalan, ia tidak akan luluh begitu saja saat ibunya bilang jika Adrian tidak memberikan surat yang Anna maksud melainkan Adrian datang ingin memperbaiki hubungan mereka. Jujur s
Sesubuh ini, hujan deras sudah melanda kota Surabaya. Sesekali petir menyambar bumi, dan Anna kini tengah memanfaatkan keadaan, seusai shalat subuh ia masih setia duduk diatas sejadah dengan menengadah berdoa sebanyak mungkin. Anna percaya, salah satu waktu mustajabnya doa ialah diwaktu hujan turun, dan Anna yakin Allah akan mendengar segala keluh kesah serta doa-doa dirinya.Anna memejamkan matanya, membiarkan suara hujan dan petir mengisi kesunyian sekelilingnya. Dalam kegelapan pagi itu, pikirannya melayang jauh, menelusuri berbagai harapan dan impian yang belum terwujud. Ia berdoa untuk kesehatan orang-orang tercintanya, untuk ketenangan dalam hidupnya, dan untuk petunjuk yang jelas dalam menghadapi jalan hidup yang penuh ketidakpastian, terutama untuk keutuhan rumahtangganya. Anna harap, Adrian tidak sungguh-sungguh dengan perceraian itu. Tak lama setelah ia berdoa, samar-samar ia mendengar bell rumah berbunyi. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Anna membuka matanya perlahan d
Setelah kepergian Aruni beberapa menit yang lalu, Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan kepala yang menengadah, menatap langit-langit. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ucapan Aruni seperti perintah baginya, namun apakah harus secepat ini? Bahkan Adrian belum memiliki persiapan untuk bertemu dengan Anna beserta mertuanya. Tiba-tiba tubuh Adrian bergidik ngeri saat mengingat wajah ayah mertuanya yang terlihat begitu tegas nan berwibawa. Ia begitu malu, jika harus menghadap Dirgantara malam itu juga. Entahlah, nyali Adrian selalu menciut jika dirinya tau sudah melakukan kesalahan. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalanya pening. Lebih baik ia sekarang bergegas pulang, menemui anak-anaknya. Rindu sekali ia bercanda dengan mereka. Ia pun bergegas pulang, mengendarai mobilnya sendiri tanpa ditemani Rama. Sengaja beberapa minggu ini Adrian membiarkan Rama untuk menjaga Aruni, menemani adik kesayangannya itu agar traumanya cepat sembuh. Seper
1 bulan kemudian ...Tepat satu bulan pertengkaran itu, rupanya Anna benar-benar pergi dari kehidupan Adrian dan kedua anaknya. Dengan terpaksa Anna tidak menuruti permintaan Raja kala itu, Anna benar-benar sakit mengingat Adrian mengajaknya bercerai kala itu. Padahal secara logika, Anna tidak salah dalam hal apa pun justru Anna hanya membantu agar emosi Adrian tidak menambah permasalahan kala itu. Namun, Adriaj terlalu emosi, ia mengartikan semua pembelaan dan kalimat penenangnya hanya untuk Mario, demi kebaikan mantan pacarnya itu.Dan sudah satu bulan ini hidup Adrian dan anak-anaknya begitu menyedihkan. Raja tak ingin berbicara dengannya sampai saat ini bahkan ia memilih untuk tinggal di pesantren al-anwar bersama jiddah dan jaddunnya sebelum Adrian membawa Anna kembali. Sementara Ratu, sampai sekaran putri kecilnya itu begitu murung, bahkan sering sakit-sakitan menggumamkan nama Anna sebagai bunda kesayangannya.Sudah berkali-kali Melati dan Darius menasehati agar Adrian menemui
"Bunda kenapa? Kok matanya bengkak, nangis ya?" kira-kira begitulah Ratu bertanya ketika menemui bundanya yang tengah melamun sendirian menghadap jendela kamar mereka. Anna tersenyum tipis, ia menyambut hangat putri Adrian yang semakin hari semakin cantik dan menggemaskan."Bunda ih katanya dirumah nenek, tapi pas kita kesana gak ada" kesal Raja yang tiba-tiba datang ke kamar mereka. Wajah tampannya menyiratkan kekesalan. Anna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan."maaf ya, tiba-tiba kepala bunda pusing. Makannya bunda pulang duluan darisana, oh iya padahal disana masih ada ayah kalian loh kenapa malah buru-buru pulang?"Ratu dan Raja saling bertukar pandang, tampak bingung sekaligus khawatir. Raja yang biasanya tegas kini menunjukkan sisi lembutnya ketika melihat ekspresi Anna."Bunda pusing kenapa? Udah minum obat atau mau abang ambilkan sesuatu buat bunda?" tanyanya Raja dengan penuh khawatir dan perhatian, ia mendekat kearah Anna dan mengulu
Aruni terduduk dan termenung di kamarnya sejak sejam yang lalu. Meratapi nasibnya sekarang ini. Apakah ia akan sanggup menjalani hidup setelah ini? Apakah ia akan sanggup mengurus bayi tidak berdosa diperutnya itu? Entahlah, Aruni hilang arah. Dia marah, terluka, kecewa. Kalau saja malam itu ia tidak menolong Mario, mungkin sekarang Aruni akan baik-baik saja atau bahkan ia sudah berada di Surabaya menyusul pria yang dicintainya. "ARGHHHH!" teriakan amarah dari dalam kamar itu terdengar begitu memilukan, Melati dan Anna berusaha untuk mencoba memasuki kamar Aruni kembali namun tidak bisa. Sejam yang lalu, Aruni mengusir keduanya saat dokter Tia menyarankan agar Aruni dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Aruni menolak. Ia sudah tau hasilnya dan ia yang merasakannya, bahkan gelagat dokter Tia yang mencurigakan itu membuatnya gampang ditebak. Brak ... Prang ...Suara barang pecah dan berjatuhan membuat Melati dan Aruni panik, keduanya memutuskan untuk menghubung